“Hentikan!” Di saat yang kritis tersebut, terdengarlah satu bentakan dan satu kibasan tenaga dalam yang dahsyat menghalau para warga desa sehingga mereka terjengkang ke belakang. “Hentikan! Perbuatan kalian lebih hina dari perbuatan binatang!” bentak Surodipo yang langsung berdiri didepan Retno dan Ki Margoloyo untuk
melindungi mereka.
“Heh Surodipo! Kau mau menlindungi perampok keji itu?! Kau tidak malu pada ayahmu?!” bentak salah satu warga.
“Oh aku tahu, kau menikahi putri perampok itu agar kau bisa kaya dengan harta hasil rampokannya itu kan?!” ejek Wardo.
“Jaga mulutmu Wardo! Atau ujung kerisku yang akan menyumpal mulutmu!” bentak Surodipo dengan mata melotot dan dada kembang kempis karena marah sekali sambil mencabut kerisnya, yang langsung membuat nyali Wardo ciut.
“Ayo siapa yang berani menyakiti Retno dan ayahnya harus berhadapan denganku! Ayo cabut keris kalian atau senjata kalian! Kita duel sampai mati!” teriak Surodipo. Tentu saja tidak ada yang berani menghadapi Surodipo, selain karena memang pemuda ini mempunyai ilmu kanuragan yang cukup tinggi, mereka juga segan jika harus berurusan dengan Ki Wirojoyo.
Ki Wirojoyo sedari tadi terdiam karena ia sendiri pun tidak tega dengan perlakuan warga desa pada Ki Margoloyo dan keluarganya, sejujurnya ia lebih suka kalau Ki Margoloyo langsung dihukum mati saja daripada dihakimi masa seperti ini, tapi ia juga tidak bisa menyalahkan pemikiran Ki Demang karena ia juga perlu membersihkan nama keluarganya. Terus terang, jauh didalam lubuk hatinya ia pun merasa tidak adil jika pernikahan Surodipo dengan Retno Jumini harus batal karena polah Ki Margoloyo, namun ia juga harus menjaga kehormatan dan martabat
keluarganya, apalagi ia juga memanggul nama baik kerabat Selo di pundaknya, maka terpaksa ia mengambil keputusan untuk membatalkan pernikahan Surodipo.
Tetapi ketika melihat putra sulungnya mencak-mencak menantang semua warga desa, ia pun merasa perlu untuk turun tangan, lagilagi untuk menjaga nama baik keluarganya. “Surodipo! Hentikan kelakuanmu yang memalukan itu!” bentaknya.
“Apanya yang memalukan Romo? Bukankah Romo sendiri yang mengajarkan bahwa kita harus menolong orang yang tidak berdaya? Apakah Romo akan membiarkan para warga desa membunuh Ki Margoloyo yang sudah tidak berdaya dan Retno yang tidak berdosa apa-apa?!” jawab Surodipo dengan emosi.
Ki Wirojoyo mendengus kesal, dia langsung menggenjotkan kakinya melompat ke muka, sekonyong-konyong ia sudah ada di hadapan Surodipo dan memegangi tangan kanan anaknya yang menggenggam keris tersebut “Hentikan perbuatan konyolmu! Jangan coreng arang ke wajah Romomu ini!” bentak Ki Wirojoyo sambil memelototi
anaknya.
“Apakah Romo akan membiarkan para warga Desa mengeroyok Retno dan dan seluruh keluarganya yang tidak berdaya?! Dimana jiwa kesatria Romo?!” jawab Surodipo sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman ayahnya.
Ki Wirojoyo tak menyangka bahwa anaknya mampu melepaskan cengkraman tangannya, maka dengan terpaksa ia pun melumphkan putranya. Dengan kecepatan kilat yang sukar diikuti oleh mata, satu pukulan telak bersarang di tengkuk Surodipo, pemuda yang sedang dibakar oleh amarahnya ini pun langsung jatuh bak karung kosong dengan tak sadarkan diri.
Ki Wirojoyo langsung membopong anaknya, kemudian ia menghampiri Ki Bocor. “Ki Bocor, sesuai dengan permintaan Panjenengan saya sudah membantu tugas Panjenengan, saya juga berterima kasih atas kebijakan hati Ki Bocor, sekarang saya mohon pamit, terima kasih.”
Ki Wirojoyo kemudian berlalu, Ki Bocor pun terdiam sejenak, ia tidak menyangka keadaan akan menjadi rumit seperti ini. Namun, selain merasa kasihan pada anggota keluarga Ki Margoloyo, ia juga merasa tidak adil jika ia harus menghukum seluruh anggota keluarga Ki Margoloyo yang tidak tahu apa-apa akan perbuatan sang kepala keluarga mereka tersebut, maka ia pun mengambil keputusan.
Berkatalah ia kepada seluruh warga desa, “Para sedulur warga Desa Banyu Urip, aku sebagai ponggawa Pajang yang diserahi tugas untuk menangkap Serigala Kelabu menyerahkan Serigala Kelabu alias kepada kalian, terserah kalian mau memberi hukuman apa pada perampok ini, tetapi apabila ada yang menyiksa anggota keluarga Ki Margoloyo yang tidak bersalah, akan berhadapan dengan hukum yang berlaku di Bumi Pajang ini! Sekian!”
Kemudian ia berkata pada Ki Demang, “Ki Demang, setelah semua urusan disini selesai aku minta kau untuk ikut kami ke Kotaraja Pajang untuk melaporkan semua peristiwa ini pada Gusti Sultan!”
Setelah Ki Demang mengangguk Ki Bocor dan para prajurit Pajang pun berlalu dari tempat itu. Tinggalah Ki Demang dengan para desa Banyu Urip. “Warga Desa Banyu Urip semuanya… Kalian dengar perintah Ki Bocor tadi, perbuatan Ki Margoloyo memang sudah keterlaluan, tetapi jangan libatkan anak dan istrinya karena yang patut
dihukum hanyalah Ki margoloyo!”
“Lalu apa yang harus kita lakukan pada Ki Margoloyo?!” tanya seorang sesepuh desa.
“Lihatlah dia! Dia sudah sakaratul maut! Kalian biarkanpun dia akan mati dengan sendirinya! Apakah kalian perlu mengotori tangan kalian dengan darahnya?! Lagipula dia tidak merampok dan menyakiti warga desa ini bukan?! Yang dia rampok orang-orang dari luar Desa ini!” jawab Ki Demang.
“Tapi anak istrinya juga ikut menikmati harta haram hasil rampokan Ki Margoloyo! Mereka juga mencemari nama baik Desa kita! Apalagi Desa ini dekat dengan Kotaraja Pajang!” Ujar salah satu warga yang masih “Panas”.
“Yang kalian katakan itu benar, tapi bukan berarti kita berhak membunuh mereka! Jadi kita biarkan saja hidup di desa ini, tapi terserah kalian bagaimana memperlakukan mereka, kalian boleh mendiamkan mereka dan bertindak seolah tidak kenal dengan mereka!” Jawab Ki Demang.
“Benar… Apa yang dikatakan Ki demang benar… Sebaiknya menahan diri untuk tidak menumpahkan darah kotor perampok itu di desa ini! Hukuman yang dikatakan oleh Ki Demang itu pun sangat bijak sekaligus sangat tegas. Tanpa kita bersikap keras pada mereka pun, mereka akan sangat menderita dengan sendirinya akibat perbuatan Ki Margoloyo!” ucap sesepuh Desa yang tadi.
“Kalian dengar itu? Sekarang bubar! Bubar! Kembali ke rumah kalian masing-masing!” perintah Ki Demang. Maka seluruh warga desa pun bubar meskipun beberapa dari mereka masih mendumel.
Diantara seluruh rasa sakitnya Ki Margollyo mendesah berat. Teribayanglah peristiwa beberapa tahun silam saat Aryo Kusumo dan seluruh sisa laskar Jipang mendatanginya lalu meminta sumpah setianya untuk membangu satu gerakan perampokan di wilayah Pajang yang hasilnya akan mereka gunakan untuk melakukan gerakan pemberontakan besar-besaran kepada penguasa Pajang dan membangun kembali negeri Jipang.
Ki Margoloyo menyeringai menahan sakit yang teramat sangat sambil mengingat semua kejadian tersebut. "Duh Gusti... Akhirnya.... Aku tak... Menghianati... Janjiku... Bukan....Karena.... Kesetianku... Tapi... Demi.... Keselematan.... Anak dan istriku... Hhh...." desahnya dalam hati.
“Romo… Tidak benar Kan?” ratap Retno menangisi ayahnya sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya. “Romo bukan perampok kan?” tambahnya.
“Eeuuuhhhh… Hhh… Maafkan Romo Ndhuk… Romo telah mengecewakan kamu…” jawab ayahnya sambil
mengerang menahan sakit dan mengelus-elus lembut tangan anaknya.
Nyai Margoloyo seolah baru tersadar, kemudian berlari dan memeluk suaminya. “Tega benar kamu Kakang… Kamu membohongi kami selama ini… Apa salah kami padamu? Aku minta apa selama ini Kang?” ratap Nyai Margoloyo dengan penuh isak tangis.
"Retno... Nyai... Sepeninggalku... Bacalah sepucuk... eheekkkk... Surat.... Yang... Yang... Uhukk... Yang Kusimpa di... Dalam peti...Keris... Pusakaku.... " Pesan Ki Margoloyo dengan susah payah karena sakit di sekujur tubuhnya.
Akhirnya Ki Margoloyo merasa sudah tidak kuat lagi, dengan seluruh sisa tenaga terakhirnya, ia mengucapkan salam perpisahannya. “Maafkan aku Nyai… Anakku… Kalian akan mengalami ujian yang… Sangat… Berat… Tapi... Itu... Lebih... Baik... Daripada... Me... Mereka.... Mengetahui... Si... Siapa.... Kalian... Yang... Sebenarnya...” ucap Ki Margoloyo dengan susah payah, dan ternyata itulah kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya, tewaslah pemimpin kelompok perampok yang terdiri dari sisa-sisa laskar Jipang ini dengan penuh penderitaan dan penyesalan.
Penyesalan karena tidak sempat bertaubat, penyesalan karena telah menreima perintah dari Aryo Kusumo meskipun ia tahu bahwa semua itu adalah tugas yang mustahil untuk membangun kembali negeri Jipang, penyesalan karena telah membuat kecewa keluarganya, dan penyesalan yang akan mengakibatkan penderitaan yang maha berat untuk keluarganya. Kini tinggalah Retno dan ibunya dengan hanya ditemani warsiah yang masih setia kepada mereka karena merasa berhutang budi dan bekerja pada mereka sejak ia kecil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Thomas Andreas
bagus ki bocor
2022-07-19
1
@elang_raihan.Nr☕+🚬🐅🗡🐫🍌
Bagus ceritanya thor 👍🏿☕
2021-01-27
2
Ghotam
selalu menarik utk dibaca
2020-12-26
2