Ki Margoloyo sudah merasa jerih, dia merasa tidak akan menang menghadapi Ki Bocor, apalagi ketika dilihatnya seluruh anak buahnya sudah tewas, jerit kematian Kartono pun terdengar ketika ujung keris Ki Slewah menembus dadanya. Maka ia pun melompat mundur berjumpalitan ke atas cabang sebuah pohon, untuk kemudian kabur melarikan diri!
Tapi tentu saja Ki Bocor tidak akan membiarkannya kabur begitu saja, ia pun melompat ke atas pohon yang sama dan melepaskan pukulan andalannya yakni “Aji Gajah Gelar!” Satu angin deras yang menyertai sinar kelabu sebesar buah kelapa bersarang telak di dada Ki Margoloyo yang kurang waspada karena panik setelah mendapati Kartono dan seluruh anak buahnya tewas!
Ki Margoloyo mengerang keaskitan, dadanya bagaikan diinjak seekor gajah besar, tiga tulang rusuknya remuk! Ia jatuh terguling ke tanah, Ki Bocor pun menerjangnya hendak menotok Ki Margoloyo, namun Ki Margoloyo segera merogoh sakunya dan melemparkan serbuk beracun ke mata Ki Bocor. Untunglah Ki Bocor segera menutup mata dan hidungnya, sebab kalau tidak, ia bisa mati oleh ganasnya racun tersebut. Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Ki Margoloyo yang terluka amat parah untuk melarikan diri dengan segenap sisa kekuatannya.
“Ahhhh!!! Serigala Kelabu! Pengecut kamu! Ayo hadapi aku Ki Bocor!” teriak Ki Bocor marah sekali sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke hidung dan matanya.
“Jangan lari Kau! Hei ayo kejar dia! Tangkap dia hidup atau mati!” perintah Ki Bocor sambil mengucek-ngucek matanya.
Di saat yang sama, di rumah Ki Margoloyo, Retno Jumini yang sedang tidur dengan lelapnya sekonyong-konyong seperti mendengar suara Ki Margoloyo yang memanggil namanya. “Retno anakku… Ndhuk…” setelah itu merasa seolah Ki Margoloyo mengusap kepalanya dan mencium keningnya. Retno pun terbangun. “Romo!” panggilnya
spontan berbarengan dengan ia membuka matanya.
Retno kemudian duduk di sudut ranjangnya, ia pun mengusap keningnya yang tadi serasa dicium oleh ayahnya. “Romo…” desahnya, hatinya merasa sangat tidak enak, entah mengapa bayangan-bayangan wajah ayahnya terus berkelebat di benaknya seolah menari-nari di pelupuk matanya. “Duh Gusti… Perasaan apa ini? Ya Gusti, tolong berilah keselamatan pada Romo…” bisiknya dalam doa, seiring dengan air mata yang tiba-tiba lollos dari matanya.
Sementara itu Ki Margoloyo terus berlari sekencang-kencangnya, beberapa kali ia juga melompat ke atas pohon dan berpindah dari atas satu cabang ke cabang lainnya dan kemudian disambung berlari untuk menghilangkan jejak. Dengan segala daya dan sisa tenaganya ia terus berusaha melarikan diri, namun ia telah terluka dalam amat parah oleh Aji Pukulan “Gajah Gelar”nya Ki Bocor, belum lagi luka akibat sabetan Keris Ki Bocor di bahu kirinya yang semakin terasa perih karena racun warangan di keris tersebut.
Ketika tubuhnya semakin lemas dan luka di bahunya semakin panas dan perih, Ia pun bersender pada sebatang pohon, ia mencolek bahunya yang terluka dan melihat darahnya yang menghitam di tangannya yang tadi ia colek dari bahunya. Sekonyong-konyong wajah anak dan istrinya berkelebat di pelupuk matanya, teringat ia pada obrolannya tadi siang dengan Kartono. Seaindainya ia menuruti firasat hatinya dan permintaan dari istri dan anaknya, tentu malapetaka ini tidak akan terjadi.
“Nyai… Retno… Maafkan Romo… Eeuhhhh…” kemudian dengan seluruh sisa tenaganya ia kembali menggenjotkan kakinya untuk melarikan diri.
Jauh di belakangnya, Ki Bocor sedang mencuci wajahnya yang tadi dilempari serbuk beracun oleh Ki Margoloyo. “Rawat prajurit yang luka!”
“Sudah Ki… mereka memang para perampok berilmu tinggi, meskipun kita menang jumlah, tapi mereka tetap cukup menyulitkan kita.” jawab Ki Bahugoro.
“Korban jiwa di pihak kita ada Lima orang, sisanya belasan orang luka-luka.” tambah Ki Slewah.
Saat itu datanglah beberapa prajurit memberi laporan pada Ki Bocor. “Lapor Gusti, Kami kehilangan jejak si Serigala Kelabu, tapi menurut kami, mungkin ia melarikan diri ke Desa Banyu Urip.”
“Siapkan seluruh rombongan, kita harus sampai ke Banyu Urip sebelum pagi!” perintah Ki Bocor. Maka seluruh rombongan pun bergerak ke Desa Banyu Urip.
***
Pagi harinya, seperti biasa Retno sedang didandani dan dirawat oleh ibunya serta beberapa pembantu keluarganya. Setelah selesai, ia kemudian membuka jendela kamarnya, sambil minum jamu ia melihat semua orang yang sedang mempersiapkan pesta pernikahan dirinya esok lusa. Retno menghela nafas panjang, tidak seperti kemarin-kemarin, kali ini senyum tidak menghiasi wajahnya, malah ia nampak sangat murung karena terus teringat pada ayahnya.
Semakin lama, ia semakin gelisah, akhirnya ia tidak tahan lagi, ia keluar dari kamarnya dan menyusul Ibunya yang sedang mengawasi orang-orang yang sedang bekerja di halaman rumahnya. “Mbok…”
Ibunya menoleh dan cukup terkejut karena Retno berani keluar dari bagian dalam rumahnya, ia pun langung menuntun Retno masuk kembali ke dalam. “Retno kamu ndak boleh keluar, Kamu kan lagi dipingit! Ayo masuk Ndhuk!”
“Romo belum pulang Mbok?” tanya Retno dengan wajah yang sangat menyiratkan kekhawatiran.
“Mungkin sebentar lagi.” jawab Nyai Margoloyo sambil memegang pundak putrinya ketika sampai di kamar Retno. “Kamu jangan keluar kamar ya!” pungkas Nyai Margoloyo yang kemudian kembali keluar untuk mengawasi orang-orang yang sedang bekerja.
Entah mengapa, sejak firasat buruk malam itu Retno jadi kehilangan rasa bahagia yang mestinya dinikmati setiap calon pengantin. Entah mengapa firasat yang sangat buruk terus menghantuinya, nalurinya mengatakan bahwa ia tidak akan mengalami kebahagiaan yang sebelumnya sangat ia dambakan.
Di waktu yang sama, di rumah Ki Wirojoyo. Rombongan Mantri Pamajegan yang dipimpin oleh Ki Bocor bersama dengan Ki Demang Banyu Urip mengunjungi rumah Ki Wirojoyo, meskipun mereka tahu bahwa besok Ki Wirojoyo akan mengawinkan putra sulungnya, namun mengingat ini sangat mendesak, mereka pun meminta bantuan Ki Wirojoyo sang Ponggawa Kasultanan Pajang yang cukup disegani di Pajang.
“Sebenarnya saya merasa tidak enak ketika meminta Ki Demang untuk mengantar kami ke rumah Panjenengan. Tetapi mengingat bahwa situasi ini sangat mendesak demi keamanan seluruh warga Pajang di sekitar Kali Laweyan, kami terpaksa meminta bantuan Kakang Wirojoyo untuk mencari Si Serigala Kelabu.” ucap Ki Bocor.
“Benar Kakang, menurut Ki Demang, tidak ada orang lain lagi yang mengenali daerah ini dan mempunyai kemampuan mencari jejak sebaik Kakang Wirojoyo.” sambung Ki Slewah.
“Kami hanya meminta Kakang untuk memandu jalan kami mencari Serigala ompong itu, sisanya tetap menjadi tugas kami.” tambah Ki Bahugoro.
Ki Wirojoyo mengangguk-ngangguk, ia memang dikenal sebagai pemburu paling handal di Banyu Urip dan sekitarnya yang mengenali seluruh seluk beluk hutan di sekitar Kali Laweyan. Namun bagaimanapun juga ia masih tetap merasa berat untuk berangkat karena besok adalah hari pernikahan putranya.
“Saya mengerti keadaan Dimas yang esok mau mantu, tapi ketika Ki Bocor mengatakan ini tugas dari Gusti Sultan… Saya tidak bisa menolak.” ucap Ki Demang yang memahami perasaan dan keadaan Ki Wirojoyo.
Kata-kata Ki Demang inilah yang menonjok hati Ki Wirojoyo, karena bagaimanapun ini adalah perintah Sultan. Meskipun bukan ia yang diberi tugas secara langsung, namun jika ia tidak bersedia membantu Ki Bocor dan yang lainnya, maka ia bisa dianggap menghalangi tugas yang diberikan Sultan, Ki Bocor bisa mengadukannya kepada Sultan dan ia bisa dianggap bersalah. Maka ia pun terpaksa mengangguk setuju. “Baiklah… Sebaiknya kita pergi sekarang juga agar tidak kemalaman, sebab jika malam tiba, kita akan sulit mengejarnya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Bang Roy
makin seru nih
2022-09-19
1
Thomas Andreas
tragedi sang besan
2022-07-19
0
Astiah Harjito
Waktu masih ABG sy sering baca novel bergenre sejarah spt BENDE MATARAM, API DI BUKIT MENOREH, KERIS MAUT dll.
2021-08-28
1