Bab 9

Aku mengerutkan dahiku bingung sambil terus memperhatikan Ibu membuka sebuah kotak kecil di tangannya.

"Ibu dan Davina tidak mungkin terus berada di sini, Ayahmu di tipu dan sekarang dia sudah tiada... Tidak mungkin untuk Davina melawan Marvin yang licik itu demi merebut perusahaan yang mereka ambil secara paksa"

"Maksud Ibu?" dalam hati aku bertanya-tanya apa yang sedang ingin Ibu katakan.

"Ini" Ibu meletakkan beberapa foto di atas meja dan sebuah kalung dengan liontin berwarna ungu.

"Sebenarnya...

Ibu tiba-tiba menggantung ucapannya, terlihat ragu untuk melanjutkannya.

"Sebelumnya Ibu minta maaf padamu, ini mungkin akan menyakitimu"

Mendengar itu tentunya semakin membuatku bingung dan bertanya-tanya.

"Katakan saja Bu, Vania siap" ucapku meyakinkannya.

"Sebenarnya, Ibu kandungmu sudah meninggal 25 tahun yang lalu"

Damn....

Tubuhku mematung, "maksud Ibu? Aku... Aku bukan putri kandung Ibu?!"

"Jawab Vania Bu"

"Maafkan Ibu Vania, Ibu dan Ayah tidak sanggup untuk memberitahumu dari awal... Sebenarnya kami berniat menyembunyikan ini sampai kami berdua tiada, tapi Ibu rasa itu salah" Ucapnya dengan uraian air mata.

Aku bahkan tak sadar air mataku sudah jatuh sedari tadi, hatiku menyangkal semua yang baru saja ia katakan.

Tanganku perlahan meraih foto itu, foto seorang wanita yang sedang menggendong bayi dengan ekspresi yang begitu bahagia.

"Sekarang kamu sudah menikah dan punya keluarga sendiri, kamu tidak perlu mengkhawatirkan Ibu dan Davina.. Kami akan pindah ke Canada dan tinggal bersama nenekmu"

"Tapi itu bukan pernikahan yang Ibu bayangkan bu" sahutku dalam hati tanpa bisa mengucapkannya.

"Ibu ingin berpesan padamu Vania, jangan pernah mengungkit masalah kecelakaan mu maupun tentang Ibu kandungmu, cobalah untuk acuh terhadap sekitar dan hidup tenang bersama suamimu"

"Ibu mohon ingat itu" ujarnya lagi seraya menggenggam erat kedua tanganku.

Aku hanya bisa mengangguk, dan ia membawaku kedalam pelukannya yang hangat, pelukan yang sudah ia berikan selama 25 tahun terakhir.

"Rumah ini akan dijual agar bisa melunasi hutang Ayahmu di Bank, jika suatu saat kamu ingin menemui Ibu dan Davina, kamu bisa pergi Ke rumah nenek, Ibu akan selalu ada di sana"

"Bisakah aku ikut kalian saja" seruku dengan suara parau karena menangis.

"Tidak sayang, kamu sudah punya rumah tangga sendiri dan itu tanggung jawab untukmu"

Hampir 26 tahun, wanita ini sama sekali tak pernah meninggikan suaranya padaku, wanita yang begitu lemah lembut dan kadang tegas jika aku salah.

"Terimakasih banyak Bu, sudah membesarkan ku tanpa membeda-bedakan antara aku dan Davina"

Ia memelukku semakin erat dengan derai air mata yang terus mengalir.

...****************...

Baru saja aku masuk, Ibu mertua sudah berdiri didekat anak tangga menunggu kedatanganku.

"Sudah larut malam begini kau baru saja pulang? pergi bersih-bersih dan siapkan makanan untuk Vino" ucapnya yang langsung pergi tanpa mendengarkan jawabanku.

"Kau tak ingin mencari masalah disini Vania, tahan dan ikuti saja ucapannya, lagi pula semua akan berakhir setelah dua tahun"

"......"

"Sebenarnya aku sangat buruk dalam hal ini, kuharap kau suka" gumamku

Vania menghidangkan sepiring nasi goreng di atas meja makan, beserta air putih dingin.

Sambil memainkan ponsel, ia menunggu pria itu pulang.

"Cih, keluarga? Aku bahkan tak punya nomor telponnya"

Saat sedang bicara sendiri, tiba-tiba terdengar suara mobil.

Benar, dia datang.

"Kau menungguku?"

"Siapa?"

"Kau, memangnya siapa lagi?"

"Ah, aku hanya menuruti perintah ibumu"

"Kau yang membuatnya?"

"Kau sudah makan?"

"Aku sudah makan sepulang dari kantor, tapi aku akan menghargai usahamu" ucapnya.

"Kau minum?"

"Sedikit" sahutnya seraya menyendok makanan yang masih agak hangat itu.

Uhukkk...uhukkk...

"Ini makanan atau garam, kenapa asin sekali"

"Nah, kan... Apa kubilang, aku tidak bisa masak jadi aku tidak akan tersinggung atas ucapannya kali ini" ucapku dalam hati.

"Minum dulu" kataku seraya memberikan segelas air padanya.

Tapi entah kenapa, aku mencium aroma yang tak asing... Aroma dari parfum wanita.

"Kau dari Bar?"

"Bukan urusanmu, buang saja ini aku mau bersih-bersih" ujarnya yang langsung pergi menuju kamar.

Terpaksa memilih acuh, aku segera membereskan meja makan dimana ternyata sedari tadi bibi Anna ada di dapur, mungkin ia mendengar obrolan kami tadi.

Aku hanya tersenyum canggung lalu segera pergi seolah tak terjadi apapun.

...****************...

"Apa harus kita yang mengalah bu? Ini perusahaan Ayah, perusahaan yang Ayah rintis sendiri, lalu dengan mudahnya kita membiarkan pria itu menguasainya?"

"Tidak bisa, Bu! Davina tidak setuju... Kenapa kita yang harus pergi?"

"Jika kita tetap disini, kita mau tinggal dimana? Semua aset sudah dijual"

Davina sontak meletakkan gelas dengan begitu kasar hingga pecah di tangannya.

"Tapi kak Vino cucu dari pemilik HF Bu, tempat tinggal saja mudah baginya"

"Ibu tidak ingin membuat kakakmu susah, sekarang dia sudah punya keluarga sendiri"

Tanpa mendengarkan Ibunya, Davina meraih ponselnya untuk menelpon sang kakak tapi Nyonya Mellia sudah lebih dulu menahannya.

"Vania sudah tahu, dan Ibu sudah mengatakan semuanya kalau kita akan pergi ke Canada hari ini, Ayo Davina penerbangan sebentar lagi.. Kita harus ke bandara sekarang juga"

"Tapi Bu"

"Tidak ada tapi-tapian, Ayo"

Mau tak mau Davina harus ikut dengan sang Ibu karena tak mungkin baginya untuk menumpang di rumah suami kakaknya.

"......"

"Jangan membangkang ucapan Ibu, aku akan menyusul kalian setelah menyelesaikan semuanya" pesanku pada adik perempuan yang sedari kecil besar bersamaku

"Maksudnya?"

"Jangan dipikirkan, pokoknya turuti saja kemauan Ibu dan jadi anak yang berbakti, kau paham"

"Iyaa,"

"Aku akan merindukanmu kak" ucapnya seraya memelukku, begitu juga Ibu yang ikut memelukku.

"Jangan berpikir Ibu meninggalkanmu, jadilah istri dan menantu yang baik.. Kamu paham"

Aku hanya bisa mengangguk, lalu Ibu beralih pada pria yang berdiri di belakangku.

"Ibu harap, kau pria baik dan bisa membuat Vania bahagia, semoga pernikahan kalian berjalan lancar"

"Terimakasih Bu" sahut Vino sopan

"Aku akan memotong masa depanmu jika berani mengkhianati kakak ku juga" peringat Davina sebelum ia dan sang Ibu pergi.

"......"

Argghhh....

Sambil memegangi kepalaku, sekelebat ingatan muncul, sesosok pria berpakaian hitam serta topi berwarna hitam sedang mengendarai truk melaju ke arah ku.

"Kau baik-baik saja"

"Maaf Tuan" ucap Vino karena aku tak sengaja menyenggol orang di samping ku.

Pria itu hanya mengangguk lalu pergi, namun tatapanku terus mengarah padanya.

"Duduklah"

"Apa kau mau ke rumah sakit?" tawarnya, tapi aku hanya menggeleng dan meminta untuk pulang.

"Karena ada meeting, aku akan memesankan taxi untukmu"

Setelah menunggu beberapa saat, ia membantuku untuk berdiri seraya berjalan menuju pintu keluar.

Setelah memastikan aku masuk kedalam taxi, pria itu segera masuk kedalam mobilnya untuk pergi ke kantor.

"....."

Sampai di rumah, aku harus dihadapkan dengan Ibu mertua dan kerabat dari keluarga Vino.

"Apa dia menantu?"

Ny. Zeline membuang wajahnya lalu mengangguk secara terpaksa.

Aku hanya tersenyum ramah, lalu melangkah pergi menaiki anak tangga.

"Bagaimana bisa Vino memilih istri seperti itu, bahkan asal usulnya saja tidak jelas... terlebih dia melepaskan Rachel" ucap Nyonya Riana

"Kau benar, kenapa bisa keponakan melakukan itu, padahal Ayah mertua sangat menginginkan HF Motors bersatu dengan Ersy Group" sambung Nyonya Karin

Vania menahan dirinya untuk tidak menoleh kebelakang dan melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga.

"Bagaimana Kak, Ayah Mertua pasti akan memberikan kursinya untuk putra Kak Jimy" ucap Ny. Karin

"Benar kak, Vino menghilangkan kesempatannya untuk menduduki kursi pimpinan, Fredrich pasti kesusahan untuk mengelola perusahaan sebesar itu, terlebih dia masih muda" seru Ny. Riana yang merasa ini kemenangan untuk putranya.

Dua orang di antaranya adalah istri dari adik Tuan Fernan, itulah alasan kenapa Vino membutuhkan waktu untuk bisa mewarisi kursi pimpinan ditambah kedua pamannya itu tidak mendukung keputusan sang Ayah untuk mewariskan perusahaan induk pada Vino

Jika perusahaan itu dibangun oleh Ayahnya sendiri, mungkin ia tak perlu menikahi Rachel untuk bisa duduk di tahta.

Ny. Zeline hanya bisa tersenyum paksa atas ucapan Ny. Riana dan Ny. Karin

Saat asik bicara, Bibi Anna berlari menuruni anak tangga untuk menghampiri sang majikan.

"Maaf Nyonya, tapi Nona Vania pingsan di depan kamarnya"

...****************...

.

.

.

.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!