"Sedang apa?" tanyanya saat melihat Vino berdiri di depan pintu sambil menyatukan kedua tangannya seolah sedang memohon pada seseorang.
"Jangan mendekat" serunya hingga respect kaki Vania berhenti.
Brukh...
Sebuah buku tiba-tiba dilempar keluar, tepat mengenai dahinya.
Tanpa menghiraukan ucapan Vino, ia langsung mendekat dan melihat apa yang sedang terjadi.
"PERGI!!!"
Tentunya gadis itu kaget saat melihat seorang gadis muda tengah terduduk di lantai dengan tali yang mengikat kakinya seperti tali kekang.
Entah kenapa secara naluri ah, ia langsung saja menghampiri gadis itu dan mencoba untuk melepas tali kekangnya.
"Stop! Pergi dari sini dan jangan ikut campur" ucap Vino tegas, tapi Vania sama sekali tak bergeming.
Setelah dilepas, gadis itu nampak mengambil ancang-ancang untuk lari tapi nyatanya Vania sudah lebih dulu tahu pergerakannya dan berlari untuk menutup pintu sebelum ia keluar.
Brak!!!
"Ada apa Vino? Apa Freya baik-baik saja?!" tanya Ny.Zeline yang datang dengan terburu-buru hingga nafasnya memburu.
"Ah, itu... "Ada apa?" potong sang Ayah.
"Tidak ada yang perlu di khawatirkan Bu, sepertinya tadi dia mimpi buruk, jadi aku langsung memberinya obat penenang dan sekarang dia sudah tidur"
"Baiklah, jika ada sesuatu tolong segera panggil kami"
"Iyaa, Bu"
Setelah kedua orang tuanya turun, Vino langsung menguping lewat pintu.
"......"
"Tenanglah... aku tidak akan menyakitimu, sekarang tidurlah" ucap Vania sambil membelai lembut pucuk kepala gadis yang bahkan namanya saja aku belum tahu.
Setelah ia mulai tenang dan tertidur, Vania mencoba untuk mencari kotak obat dan melihat ada beberapa obat yang tersimpan di laci nakas.
"Chlorpromazine, Haloperidol?!"
"Apa jangan-jangan tali kekang tadi...
Sontak ia langsung meraih tali yang tadi dilepasnya untuk dipasangkan kembali.
Setelah menarik selimut, ia pergi dari kamar itu tanpa membuat kegaduhan.
Seluruh barang-barang yang tadi jatuh sudah ia kembalikan ketempat seharusnya.
"Bagaimana? Apa adikku baik-baik saja?"
Tapi Vania hanya diam dan masuk kedalam kamar, begitu juga dengan pria itu yang mengikuti Vania di belakang.
"Duduklah" ucapnya menepuk sofa di sampingnya.
Dengan patuh pria itu duduk tepat dimana Vania menyuruhnya duduk.
"Maaf, tapi apa adikmu memiliki gangguan jiwa?" tanyanya seraya membersihkan darah di pelipis kanannya yang tergores akibat ujung buku tadi.
Dengan ragu Vino mengangguk,
"Sudah berapa lama?" tanyanya lagi sambil memasangkan plester luka.
"Sudah 1 tahun ini"
"Kau melakukan kesalahan besar sampai adikmu memiliki trauma seperti itu?"
"Bagaimana... "Bagaimana aku bisa tahu? Sudah jelas saat aku pertama kali melihatnya, trauma terbesarnya mungkin berkaitan dengan laki-laki, dan ingatan yang buruk atau mungkin rasa bersalah" potong Vania seraya mengembalikan kotak obat ke tempat nya.
"Lalu apa kata dokternya?" lanjutnya kembali duduk.
"Sampai saat ini kami masih tidak bisa mengetahui alasan yang membuat adikku seperti itu"
Sejak kapan kau terbuka seperti ini, gumam Vino dalam hatinya.
"Dia tidak mau jujur?" tembaknya
"Hmm, sudahlah jangan terlalu dipikirkan... Kau bisa kembali tidur" ucap Vino yang langsung bangkit dari duduknya.
Tak mau mencampuri lebih banyak, Vania memilih untuk melanjutkan tidurnya dimana sebenarnya ia merasa kasihan dengan kondisi Freya yang harus di rantai.
"......"
Hampir satu jam pria itu berdiam di balkon kamar sambil merokok, bahkan jam sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari.
Untuk saling menghormati satu sama lain, Vino menutup pintu secara perlahan saat melihat Vania sudah tertidur pulas.
Ia meraih selimut, lalu melemparnya begitu saja ke dekat kaki Vania hingga secara tak sadar gadis itu menariknya karena merasa kedinginan.
...****************...
"Ah sial, kenapa ini susah sekali" gumam Eric yang sedari tadi terus mencoba memecahkan kombinasi password untuk membuka file yang ia dapatkan waktu itu.
"Sedang apa?" tegur Claudia.
Sontak Eric langsung mengganti tampilan komputernya dengan tampilan dari aplikasi lain.
"Tidak, hanya memperbaiki beberapa coding saja" bohongnya.
Claudia hanya mengangguk, dan segera duduk di kursinya.
"Apa kau masih penasaran dengan kematian Aileen?"
"Aku sudah tak terlalu memikirkannya lagi, tapi setelah bertemu Vania waktu itu membuatku semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi hari itu, buktinya terlalu jelas sampai aku hampir membenci Vania... Tapi sebelum aku mengetahui apa kebenarannya aku tak akan menyimpulkan apapun" jawab Claudia.
"Tapi, apa kau ingat tentang rekaman CCTV yang Vania dapat sebelum dia kecelakaan?"
"Ingat, memangnya kenapa? Bukankah rekamannya tidak jelas sampai pak Nichole sempat tidak memasukkannya kedalam daftar barang bukti?!"
"Menurutmu itu masih ada diruang penyimpanan?"
"Entahlah, tapi coba kau cari saja siapa tahu masih ada" sahut Claudia, dimana Eric langsung saja berlari keluar ruangan menuju ruang penyimpanan bukti.
...****************...
Vania Pov
Aku berlari secepat mungkin menuju kamar Ayah, bahkan Ibu saat ini tengah mematung setelah mendengar pernyataan dari dokter.
"Apa yang terjadi dok?"
Dokter menghela nafasnya, dan bicara pada perawat mengenai waktu kematian Ayah.
Disaat itu juga pertahananku runtuh, kakiku rasanya tak bisa berdiri kokoh lagi, Ibu jatuh pingsan dan adikku yang terus menangis.
Suster membawa Ibu keruangan lain, dan hanya tersisa aku dan Davina.
Dokter mulai menarik kain putih itu untuk menutupi Ayah.
Rasanya aku tak bisa mendengar siapa-siapa sekarang, semuanya terdengar samar dan terdengar begitu riuh di kepalaku.
"Lakukan tes ulang ....... menggerogoti ...... Pasien......"
Dokter pergi bersama perawat meninggalkan kami bertiga, disaat itu aku menangis sejadi-jadinya, aku bahkan belum sempat meminta maaf padanya karena telah membuatnya malu pada hari pernikahan dan malah menikahi pria lain, maafkan aku Ayah... Aku bahkan tak bisa berbakti padamu walau hanya semenit saja
Wajahku tertunduk menahan tangis yang sedari tadi terus mengalir, jika bukan diriku maka siapa lagi yang akan menjadi kekuatan untuk Adik dan Ibuku.
"......"
Kematian Ayah yang begitu mendadak membuat begitu banyak pertanyaan di otakku, sebelumnya dokter mengatakan jika Ayah masih bisa bertahan cukup lama, tapi nyatanya kurang dari satu minggu ia telah pergi.
Ingin menyalahkan orang lain, namun aku sadar jika itu mungkin sudah menjadi garis takdir.
...****************...
"Vin!" teriak Adam berlari masuk.
"Kau kenapa?"
"Tuan Benny dinyatakan meninggal 1 jam yang lalu"
"APA! Kenapa tidak ada yang memberitahuku?!"
"Sekarang sudah di beri tahu jadi lebih baik kau pergi ke rumah sakit sekarang"
Sesuai ucapan Adam, pria itu bergegas memasang jas-nya dan pergi ke rumah sakit yang untungnya tak jauh dari kawasan perkantorannya.
"......"
Sampai di rumah sakit, pria itu langsung pergi ke bangsal VIP, Namun sayang hanya tersisa Davina yang sedang membereskan barang-barang.
"Vania mana?"
"Kak Vania tadi pulang ke rumah untuk mengantar Ibu, mungkin sebentar lagi dia akan datang" sahut Davina
Vino sontak keluar dan pergi menemui dokter yang waktu itu merawat Ayah mertuanya.
"......"
"Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba? Bukankah dari yang kudengar Tuan Benny akan bertahan lama?" tanyanya seraya menutup pintu, dan duduk di kursi pasien.
"Aku akan menjelaskannya saat Vania datang dan hasil Lab keluar" sahut sang dokter.
"Sebenarnya aku merasa ada yang aneh, karena itu aku mencoba untuk melakukan beberapa tes tapi tiba-tiba Tuan Benny sudah tak bernyawa"
"Apa kau mengetahui sesuatu?" tanya dokter lagi
"Mengetahui apa?" sahut Vino
"Maaf, saya terlambat dok!" seru seseorang.
"Sedang apa kau disini?" tanyaku heran
"Dia temanku, apa salah jika aku mengunjungi temanku?!" sahutnya .
"Apa Tuan Benny sempat bepergian keluar negri 1 atau 2 minggu yang lalu?"
"Ayah sempat melakukan perjalanan bisnis selama 3 hari ke Australia dok? Memangnya ada apa?"
"untuk saat ini, saya belum bisa memberikan jawaban pasti karena harus menunggu hasil lab, tapi ini mungkin ada kaitannya jika apa yang saya pikirkan benar" ucap Dokter Jian.
"Apa ini ada kaitannya dengan kepergian Ayah saya keluar negri dok?"
"Kemungkinan besar semuanya bisa saja di mulai dari sana"
Kami terus melanjutkan pembicaraan hingga beberapa menit ke depan, sebelum akhirnya aku pamit sedangkan Vino, pria itu masih tinggal di ruangan itu.
...****************...
Keesokan harinya Vino dan Ibunya datang ke pemakaman.
Kami memilih untuk tak membuang waktu dan sepakat menyelesaikan pemakaman dengan cepat agar Ayah bisa beristirahat tenang.
"Saya turut berduka cita atas kepergian Tuan Benny" ucap Ny. Zeline menepuk pelan pundak Ibu, tidak ada yang tahu apakah itu tulus atau hanya sekedar formalitas
Saat itu Ibu hanya bisa mengangguk pelan berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri.
Selesai dari pemakaman, Aku pulang ke rumah sedangkan Vino dan Ibunya juga langsung pulang. Aku sengaja menyuruhnya untuk tidak menyusul ke rumah ku.
"......"
"Vania, Ibu ingin bicara"
"Ingin bicara apa Bu?" sahutku seraya meletakkan buku Ayah kedalam lemari.
Ibu mengeluarkan sesuatu dari dalam Brangkas yang ada di dekatnya.
"Suatu saat, kamu berhak mengetahuinya dan mungkin ini saatnya"
...****************...
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments