Aku bersama dengan Izumi juga kak Viona naik tangga tinggi ini menuju lantai atas. Ternyata benar di lantai atas itu tersusun lebih mewah tampilan nya ketimbang lantai bawah tadi. Hanya ada satu meja lingkaran besar yang sudah di tempati Aran sensei, istri beserta kedua anak nya.
"Bohong— ini semua bohong. Ibu, sejak kapan ibu menikah lagi?" Arwah bocil di belakang ku menahan langkah kaki ku. Raut wajah nya tegang melihat istri Aran-sensei yang sedang berdiri di samping nya sambil menggendong anak bayi. Tapi jika diperhatikan lebih teliti lagi, tampang mereka berdua sangat persis satu sama lain.
"Kakak... Kakak juga ikut? Jahat. Harusnya mereka berada di rumah menyambut pelayat. Kenapa mereka malah bersenang-senang disini?! Jahat..., Ughhh." Arwah itu tersedu-sedu seketika, air mata darah nya mengalir deras hingga mengotori gaun nya menjadi merah menyala. Dia tidak lagi melayang di belakang ku, justru jatuh tersungkur sambil mengusap matanya dengan kasar. Kasian sekali, di saat kematian nya, keluarga nya malah berada di sini tersenyum bahagia tanpa beban seolah tidak pernah ada kejadian itu. Mereka memang jahat, seperti katanya. Aku ingin memeluk dan menenangkan nya namun tidak bisa ku sentuh. Juga, aku di panggil oleh mereka karena tersadar aku hanya berdiri mematung entah melihat apa di sana.
"Maafkan aku." Aku berjalan ke meja bundar dan menghampiri mereka berdua. Aku duduk di sebelah Izumi, mataku tetap masih awas pada arwah itu. Air matanya tidak berhenti-henti sejak tadi, dan raungan nya membuat ruangan ini sedikit terguncang.
"Walah, ombak malam hari ternyata seram juga ya. Sampai goyang gini lampu gantung nya." Aku rasa itu bukan ombak, kak Viona. Tapi raungan kesakitan atas apa yang di lihat oleh gadis belia yang tewas beberapa Minggu yang lalu dan baru di temukan tadi pagi. Harusnya, acara berduka mereka masih berlangsung, entah apa yang ada di pikiran nya dan malah berakhir bersama kami melingkari meja besar ini. Aku benar-benar tidak bisa memaafkan mereka.
Setelah tangisan itu, aku melihat nya berjalan kearah ibunya dan berbicara sesuatu.
"Ibu, kamu, malam ini harus menyusul ku. Melompat lah kelaut saat semua nya usai." Aku tidak terlalu mendengar apa yang dia ucapkan, lantas dia pergi menghilang begitu saja di tiup angin. Di ujung tangga ini tak lama kemudian muncul penghalang lagi dan membuat para arwah penasaran yang lain tidak bisa masuk ke dalam. Aku sedikit lega, tapi juga takut dengan anak itu. Aku takut dia berbuat yang tidak-tidak tadi.
"Chieko, kok gak makan? Masih pusing ya?"
"Eh, gak kok. Bukan apa-apa. Aku hanya kagum dengan ruangan ini, mewah banget. Rasanya kek gak lagi di dalam kapal, hehe."
"Apa ini kali pertamanya kamu naik kapal pesiar, nak Azumi?" Aran-sensei bertanya. Saat aku menoleh kearahnya, wanita paruh baya yang ada di sebelah nya itu sejak tadi terus-terusan memegang lengan sensei, seolah-olah aku akan mengambilnya. Dia memang cantik—lebih cantik lagi kak Viona, tapi raut wajah nya sedikit agak menua dan tatapan nya selalu kosong ke arah kami semua. Bibir nya pucat dengan rambut hitam dengan sedikit uban yang berantakan. Kondisi nya terlihat kacau. Apa dia terpaksa ikut dalam liburan ini karena tidak mau membuat suaminya kecewa?
"Ya, ini baru pertama kali, sensei. Ternyata terasa berbeda dibanding naik pesawat pribadi milik manager."
"Yahh, tidak masalah kok. Apa kamu senang?"
"Lumayan sensei. Oh, bolehkah sensei memperkenalkan istrinya padaku?"
Saat aku bertanya demikian, cengkraman nya pada lengan sensei semakin kuat dan aku malah di pelototin sama wanita itu. Seram, itu kesan pertama yang aku terima darinya. Dia bahkan lebih seram dari penampakan apapun yang aku lihat selama ini.
Dia juga terlihat seperti mengatakan sesuatu dengan bibirnya yang pucat keabu-abuan. Aku tidak bisa mendengar nya, tapi gelagatnya seperti sedang menyumpahi ku.
"Ahahaha, Chieko, biar aku saja yang kenalkan ya. Soalnya beliau lagi kurang sehat saat menuju kesini. Beliau adalah nyonya Isabella Betford. Dari keluarga Isabella, dan dia adalah seorang guru seni di sekolah ku dulu." Untuk seorang mantan guru seni, dia tidak terlihat demikian. Aku tidak paham apa yang membuat tampilan nya kacau seperti itu, yang jelas itu sangat mengerikan buat image nya sebagai guru seni.
Sekarang, aku melihat wajah Aran-sensei di buat pucat oleh tatapan mengerikan yang masih saja terlukis di wajah wanita itu. Sepertinya kekuatan yang dia berikan sangat besar sehingga sensei tidak mampu menahan nya. Anak yang di gendong nya pun di taruh sembarangan di pinggir meja, hei, kamu kira kamu sedang membawa boneka bayi. Itu manusia hei, bisa saja dia terjatuh saat meja ini bergoyang. Kakak laki-laki nya, sibuk makan sambil menonton film dewasa dan tidak ada seorang pun yang menegur nya baik ayah atau ibunya. Astaga, keluarga ini sangat kacau untuk Aran Ryousuke yang sangat sempurna dan memiliki wajah rupawan. Kenapa sensei mau menikah sama wanita menyeramkan itu?
"Uhh, mohon maaf semuanya. Sepertinya istri saya sedang kumat penyakitnya. Aku akan membawa nya bersama bayinya ke kamar ya. Alex Ryousuke, kamu tunggu di sini ya?" Bukan nya mendapatkan jawaban yang sopan, anak itu justru meludahi seragam Aran-sensei dengan makanan yang dia kunyah di mulutnya.
"Berisik, bodoh. Aku sedang ereksi nih." Dia duduk kembali dan melanjutkan tontonan nya. Spontan itu membuat ku menggebrak meja dengan keras karena sudah tidak tahan lagi dengan pemandangan kurang ajar yang ada di hadapan ku sekarang. Aku tidak terima sensei diperlakukan seperti ini bahkan itu didepan keluarga nya sendiri.
"Bukan kah kau sudah terlalu berlebihan, anak bodoh?!" Alex lantas menoleh kearah ku dan menatap sinis. Aku berusaha tidak memperhatikan tangan nya yang sedang melakukan hal bejat di bawah taplak meja.
"Kakak cantik banget. Buset, pengen aku sentuh, ingin kucumbu dirimu kak, boleh ya. Wuaaaaahhh dada mu juga bagus. Aku terangsang pada mu sejak pandangan pertama kak." Saat dia berjalan dengan celananya yang terbuka dan 'itu' nya kelihatan, aku langsung menampar keras wajah nya sampai terbanting kelantai saat tangan nya berusaha menyentuh dada ku.
"Bajingan. Cuih."
"Ahhh, aku ereksi di ludahin gadis cantik seperti mu kak."
"Hei, Alex. Jangan gitu. Maaf ya, nak Azumi." Aran-sensei yang terlihat kewalahan pun menyeret tubuh Alex dan mereka sekeluarga pergi dari ruangan ini. Aku baru pertama kali melihat sensei seperti itu. Dia terlalu tabah mengatasi anggota keluarganya yang tidak beres itu.
"Kak Viona, kenapa membiarkan sensei menikahi wanita itu? Liat saja kelakuan anak nya saja demikian."
Viona dan Izumi menghentikan makan nya, menundukkan kepalanya. Lalu melihat kearah ku dengan serius.
"Azumi. Kami rasa kamu sepertinya tau mereka keluarga siapa kan?"
"Benar. Dia keluarga dari anak kecil yang jasad nya baru di temukan tadi pagi."
"Kamu tahu, Aran semata-mata tidak tulus menikahi wanita itu. Dia itu maniak penelitian yang gila dan dia sedang meneliti keluarga itu. Singkat cerita aja sih, wanita yang dulunya mantan guru ku itu sebenarnya sudah tidak waras dan anak nya, otak nya sudah terlanjur rusak karena tontonan itu dan hampir mendekati gila sama seperti ibunya. Anak bayi itu juga hasil hubungan dari ibu dan anak laki-laki yang bernama Alex tadi." Seketika aku ingin di buat muntah mendengar cerita itu. Hubungan ibu dan anak seperti itu benar-benar menjijikkan. Kak Viona menghentikan pembicaraan nya sebentar sambil memainkan rambutnya. Kemudian melanjutkan nya kembali karena melihat ku menunggu kelanjutan dari cerita ini.
"Aran bertemu wanita itu ingin melompat di atas rumah sakit tempat dia bekerja. Dan Aran mencium nya, dan berakhir menjalin hubungan serius tapi semata-mata pula itu demi keuntungan nya sendiri. Kamu lihat kan betapa mengerikannya wanita itu? Dia akan marah jika kamu bertanya tentang nya melalui Aran. Dia cemburu lah ceritanya, berpikir kalau kamu sedang menggoda Aran, haha."
"Kau tau Chieko-san, anak yang mati itu namanya sama loh kek mak nya. Isabella."
"Begitu ya. Jika di pikir lagi, kasihan sekali. Itulah sebab nya mereka tidak mengadakan acara berduka di rumah."
"Tentu saja. Orang gila mana yang berpikiran seperti itu. Bahkan saat mayat nya di bawa pulang, dia tidak bereaksi apapun. Anaknya yang bodoh itu malah onani di depan mayat adik nya. Menjijikkan." Aku rasa Isabella salah paham terhadap keluarga nya. Mereka bukan nya tidak ingin melakukan upacara pemakaman di rumah duka, tapi karena keadaan mereka yang sekarang tidak mengerti apapun jadinya dia langsung di kubur begitu saja oleh keluarga Izumi.
"Satu hal lagi, lebih baik ada satu pelayan perempuan yang menemani mu di kamar, Chieko. Kita tidak tau apa anak itu akan datang mengganggu mu seperti tadi saat semuanya sedang tertidur. Aku dan Izumi satu kamar soalnya jadi gak papa ya?" Aku mengangguk. Lagian sudah sewajarnya karena mereka satu keluarga. Aku kembali melanjutkan makan ku yang sudah mulai dingin dan segera kembali ke kamar untuk mandi dan beristirahat.
Ada banyak hal yang aku alami bahkan sebelum aku tiba di pulau itu, entah hal apa lagi yang akan terjadi nantinya saat tiba di sana. Tapi semoga saja di balik semua itu aku bisa menikmati nya layak nya liburan. Aku tidak mau pikiran ku terbebani karena ini semua.
.
.
.
.
.
.
Isabella, sial, arwah bocil tadi sempat kulihat terbang cepat melintas di atas kepala para awak. Padahal aku sudah menyuruh nya untuk mengawasi Azumi yang sedang makan malam di atas sana bersama kumpulan iblis selagi aku sibuk mengisi energi ku juga, dia malah melalaikan pekerjaan nya. Sudah banyak tempat ku telusuri namun tetap tidak menemukan nya juga.
"Mana sih itu arwah."
Saat aku berada di luar, hanya ada laut lepas yang gelap dan juga beberapa arwah penasaran yang melayang di sisi kapal. Aku menyusuri pandangan ku ke sekitar namun juga tidak menemukan apa yang kucari. Sampai ku rasa pencarian ku ini sia-sia, aku melihat seorang ibu-ibu yang berdiri di depan besi pembatas kapal. Tatapan nya kosong menatap kedepan dan tak bergeming oleh hembusan angin laut yang begitu kencang. Aku bisa merasakan aura arwah itu ada padanya. Sial, tindakan kekanakan macam apa ini, Isabella. Kenapa kamu merasuki orang lain untuk melakukan hal berbahaya?!
Aku buru-buru turun menggunakan tangga yang ada di samping ku dan berlari seadanya ke arah ibu tadi karena pijakan ku sangat licin dan aku tidak mau jatuh di buat nya.
"Hei, bu, apa yang kamu lakukan di situ? Berbahaya Bu. Ayo ikut saya kedalam."
"Oh, Vhylen. Apa itu kau?"
"Isabella?! Astaga. Hal konyol apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu pikirkan dengan merasuki orang asing, Isabel?!"
"Hemm, coba kita pikir. Dia ini bukan orang asing Vhylen. Wanita ini adalah ibuku, yang melahirkan ku dan sekarang... Meninggalkan ku. Aku ingin dia menyusul ku Vhylen. Aku ingin dia jatuh ke lautan selagi suami barunya kerepotan mengurus kakak ku."
"Sadarlah, Isabella. Itu bukan alasan dia harus mati begitu saja? Apa yang kamu tahu? Bisa saja dia ada alasan lain. Hei, ini bukan tujuan kamu di biarkan bebas, Isabella. Ingat lah apa tujuan mu sebenarnya. Ingat lah Azumi. Bukan ini yang kamu lakukan, ini bukan Isabella."
"Cukup Vhylen. Biarkan aku membunuh wanita ini. Aku tidak mau melihatnya bahagia lagi dengan suami dan anak nya yang baru. Yang menggantikan posisi ku." Isabella membanting tubuh ku dengan perantara wanita yang di rasuki nya. Tapi aku bisa melihat mata itu, yang penuh dengan keraguan untuk melakukan semua nya. Dia ragu membunuh ibunya tapi dia juga tidak mau mengakui kalau dia sebenarnya masih menyayangi orang tua nya. Aku sangat yakin, auranya terpancar jelas seperti itu. Tapi tetap saja, sebesar apapun keraguan yang ada di hatinya, dia pun bisa melawan nya dan langsung menerjunkan ibu nya saat aku benar-benar lengah oleh aura yang di keluarkan nya. Sedikit lagi, Isabella dengan tubuh yang di rasuki nya naik ke pagar besi. Melihat ku dengan tatapan selamat tinggal. Aku tidak bisa bangkit mencegahnya lagi karena kaki ku terkilir saat terbanting olehnya tadi. Tapi sebelum itu terjadi, tiba-tiba Isabella berhenti mendengar suara seseorang yang memanggil namanya.
"ISABELLA!!! HENTIKAN." Suara itu, Azumi. Tidak, aku harus mengatur poni ku dan memasang kontak lensa lagi biar dia tidak tahu kalau ini aku. Aku tidak boleh ketahuan oleh Azumi sendiri, bisa-bisa mereka yang bersamanya juga tahu kalau sebenarnya aku kenalan dari azumi—lebih tepatnya adalah seorang pendeta.
"Kak Azumi?" Azumi buru-buru turun dan berlari kearah kami. Untung saja kontak lensa ini tidak lupa aku bawa di kantung celanaku.
"Ahh, pelayan, kamu tidak papa?"sebelumnya dia membantuku terlebih dahulu untuk bangkit. Kaki ku sedikit pincang tapi tidak papa. Kalau yang membantuku berdiri adalah dia, rasa sakit itu berangsur-angsur hilang. Hei, Vhylen. Ini bukan saat nya untuk kesemsem.
"Kenapa kamu bisa tahu namaku?"
"Hentikan itu, Isabella. Aku akan menjelaskan nya padamu. Alasan kenapa keluarga mu berada di sini."
"Tidak mau."
"Aku mohon. Aku akan sangat tersiksa jika kamu tidak ada. Aku tidak akan bisa menghadapi makhluk yang sejenis dirimu, Isabel. Aku mohon. Sebentar saja, turun lah dan dengar kan aku." Aku tidak melihat kedua iblis itu datang bersama dengan Azumi. Tapi itu bagus, tidak akan ada yang tahu kalau aku pun juga ada di sini dan mereka juga tidak akan tahu kalau wanita ini sebenarnya sedang di rasuki anak nya sendiri.
Berkat bujukan dari Azumi, perlahan Isabella turun dan menghampiri kami berdua.
Azumi menggenggam kedua tangan Isabella, tatapan nya serius juga sedih, membuat ku juga sedih melihat nya. Aku tidak tau kenapa dia bisa tahu Isabella ada di sini sambil melewati kumpulan arwah yang sebenarnya ada lebih banyak kalau di sekitar sini. Mungkin saja dia tidak terpengaruh karena masih memakai kalung salib nya, tapi itu bagus. Setidak nya kekhawatiran ku berkurang satu.
"Isabella, dengarkan aku baik-baik. Ibu mu yang sekarang, bukan lagi seorang ibu yang kamu kenal selama kamu hidup. Beliau sudah kehilangan kewarasan nya semenjak kamu menghilang, Isabel. Mengerti lah, dan lihat ibu mu sekali lagi. Apa dia memang terlihat seperti ibu mu yang dulu?"
"Tidak mungkin Azumi..."
"Aku tidak mungkin juga berbohong padamu Isabella. Buka lah mata mu. Tidak ada orang yang akan mengadakan upacara duka jika kewarasan saja dia tidak punya. Ayo lah, Isabella. Percaya lah padaku dan keluarlah dari tubuh ibu mu. Lihat lah dia sekali lagi." Perlahan arwah Isabella keluar dari tubuh ibu nya membuat tubuh itu tergeletak di depan Azumi. Aku membawa nya menjauh dari pinggir besi pembatas agar tidak tergelincir lebih jauh mumpung keadaan nya masih tidak sadarkan diri.
"Ibu... Dia memang tidak terlihat seperti ibuku, Azumi. Ibu. Meski dia dulu tidak pernah memperhatikan ku, wajah nya selalu berseri dan tidak padam sinarnya seperti yang sekarang."
"Benar kan? Jadi, kamu sudah ingat apa tujuan mu kan?" Isabella mengangguk lantas menangis keras, memeluk paha Azumi walau dengan tubuh nya yang sekarang transparan. Aku bersyukur dia mau menuruti kata-kata Azumi. Jika saja tidak ada dirinya, mungkin aku sudah sangat terlambat mencegah tindakan nya itu.
"Hei pelayan, aku tau kamu ini siapa."
"Uhhh, apa? Aku tidak mendengar anda, nona."
"Nona, nona. Ini kamu kan? Vhylen Roberto?!" Gawat, penyamaran ku di ketahui oleh nya begitu saja setelah semua ini? Apa memang ini masih kurang menutupi penampilan ku yang sesungguh nya bahkan ketika aku menyisir poni ku?
Gawat. Penyamaran ku terbongkar sudah. Harusnya setelah ini aku pergi saja meninggalkan mereka dan malah harus tertahan di sini karena penasaran apa yang akan di katakan Azumi dan alasan kenapa bisa Azumi ada di sini.
"Ceh, padahal aku udah pake soflens."
"Haha. Andai saja Isabella tidak menyebut nama mu, mungkin aku gak akan tahu, bodoh. Kenapa kamu bisa ada di sini hah?" Azumi menarik pipi ku kencang sampai meninggalkan jejak merah yang menyakitkan. Aku tidak mungkin juga harus menceritakan semua yang sudah aku usahakan agar tidak ketahuan baik itu oleh nya atau kedua iblis yang menjadi penghalang ku saat ini.
"Aku khawatir padamu, sialan. Makanya aku memutuskan untuk bekerja dengan keluarga mereka sebagai pelayan baru hanya untuk memastikan kamu tidak di apa-apain sama mereka."
"Aww, manis sekali. Tapi bukan berarti kamu harus meninggalkan tugas pendeta mu Vhylen bodoh. Tapi ya, lupakan saja. Jujur saja, aura di kapal ini aneh banget dan terkadang samar-samar aku mencium bau busuk melintas begitu saja di hidungku, setelah itu lenyap."
"Kak Azumi gak tau ya kalau kapal ini banyak ma—umphhh" Isabella bodoh, jangan coba-coba untuk ember ya bocah. Azumi tidak boleh sedikitpun tau kalau ada ratusan lebih peti mayat di kapal ini. Aku tidak mau dia malah berakhir panik dan tidak bisa menikmati liburan nya agar tidak di curigai dua iblis itu. Terkadang berakting itu harus tau batasan nya, tapi untuk kasus kali ini aku rasa Azumi tidak akan bisa melakukan nya.
"Eh apa? Kok mulut nya di tahan, Vhylen?"
"Ah ya, gak papa. Tadi ada nyamuk."
"Arwah mana bisa keselek nyamuk, bodoh. Haha. Yaudah lah, yuk balik ke kamar penumpang. Vhylen, awas aja macam-macam sama aku. Mending kamu bantu aku dulu membawa ibu ini ke Aran-sensei. Sepertinya dia sudah menunggu ku di bawah." Aku dan Azumi membopong tubuh wanita ini dan turun kebawah tempat di mana ruangan untuk penumpang berada. Aku bersyukur semua ini berakhir sampai akhirnya lupa aku ingin bertanya sesuatu terkait kejadian ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments