Musim dingin di bulan Januari, jalan tertutup gumpalan dingin berwarna putih berkilau dan sangat basah. Di bawah topi jerami ini, aku dan dia berusaha mengusir dingin yang menggerogoti kami selama berjam-jam.
Saat itu aku berusia 8 dan dia 7 tahun. Dia bukan adik ku, hanya kebetulan kita sama-sama dibuang di tempat yang sama.
Tempat itu di kenal sebagai wadah untuk menyimpan tumbal seorang anak dan dijadikan makanan para iblis yang haus dengan jiwa-jiwa polos.
Aku bersyukur bisa melarikan diri dari tempat penyiksaan yang kalau di ingat terus membuatku mual.
"Huh, hahh—sudah semakin dingin saja. Apa kita akan terus disini, kak?"
Anak laki-laki yang duduk meringkuk di samping nya menggeleng, bibirnya menyinggung kan senyum tipis lalu menatap lirik kearah gadis yang ada di depan nya.
Tak lama setelah itu, beberapa orang asing datang beramai-ramai menghampiri mereka berdua. Mereka berdiri melingkari dua anak yang ada di hadapan nya dan menatap dengan tatapan serius. Aura mencekam terasa keluar dari tiap orang yang ada. Anak laki-laki itu berdiri dengan gagahnya dan membuat tameng dirinya menutupi gadis kecil di belakang. Sedangkan sang gadis menangis ketakutan karena kehadiran orang-orang asing itu.
Salah satu dari mereka melangkah kedepan dan mendekati anak laki-laki itu, membuatnya mundur perlahan dengan posisinya yang sama, melindungi si gadis.
Anak itu menatap murka pria yang ada di hadapan nya sekarang, dengan berani pula dia membentak dan bertanya ada perlu apa dia mengelilingi nya dan gadis kecil yang tengah bersamanya.
"Jangan takut, kami tidak akan menyakiti kalian."
"Pergilah, aku dan dia tidak ingin di asuh oleh siapapun!" Anak laki-laki itu menepis tangan pria yang ingin mencoba menyentuh nya.
Mereka dengan bersamaan membuka jubah yang mereka kenakan dan mulailah nampak jelas sosok yang tidak nampak wajah nya barusan. Sosok dibalik jubah ini memiliki wujud wajah yang mengerikan, ribuan gigi manusia terlihat di dalam mulutnya yang lebar menganga sampai ke telinga. Lidah nya yang runcing panjang dan berlendir asam pun terlihat menggeliat keluar dari tengah-tengah mulut mereka yang menganga. Anak laki-laki dan perempuan barusan terdiam tak berkutik menatap ngeri perangai mereka yang terlihat seperti bukan manusia yang ada di bumi pada umumnya. Mereka ingin lari saat itu juga, namun entah mengapa kaki terasa begitu berat sekarang.
Yang tadinya menatap penuh kemarahan berubah menjadi tatapan kengerian dan tangisan, membuat trauma seketika. Mulut pun tak kuasa untuk sekedar teriak.
Mata dari para kumpulan pria—seperti itu kelihatan nya kalau mereka sebenarnya memang manusia asli, terbuka lebar dan mengeluarkan darah, menjatuhkan salah satu bola matanya ke tanah secara bersamaan kemudian tumbuh lagi bola mata yang baru.
Salah satunya, kemungkinan ketua dari perkumpulan ini, menatap seram kearah anak-anak yang bergidik ngeri melihatnya.
"Kalian akan jadi penurut dan bersedia mengikuti kami." Seketika anak-anak itu terdiam, menatap kosong kearah mereka dan mengangguk pelan. Saat matahari terbenam, dingin makin terasa, mereka pun akhirnya pergi bersama tanpa meninggalkan jejak. Mereka benar-benar lenyap saat malam mulai menyambut.
.
.
.
.
.
Badan ku terasa hangat, bukan nya aku dan kakak tidak punya rencana buat tidur beralaskan kardus di dalam gereja lagi malam ini. Karena takut merepotkan pendeta dan biarawati yang ada di dalamnya, kami terpaksa untuk tidak menumpang tidur lagi di sana.
Cahaya menyilaukan mulai merambat lembut mengenai mataku yang baru saja ingin terbuka. Aku melihat sekeliling, sebuah ruangan mewah dengan lampu gantung yang cantik di atas kami. Di samping ku, kakak masih terlelap nyaman berselimutkan seprei yang tebal. Aku juga demikian, kenapa bisa kami tiba-tiba tertidur di kamar?
Mulai muncul banyak pertanyaan di kepalaku dan membuatnya sakit. Aku tidak bisa mengingat apa yang sudah terjadi. Yang aku ingat hanyalah aku dan kakak duduk tersungkur dengan malang nya memakai topi jerami lebar di bawah guguran salju yang dingin. Kini secara ajaib kita berselimutkan benda hangat, seperti ada yang membawa kita kemari.
Di tengah lamunan ku melihat seluruh ruangan besar ini, sambil mencoba membangunkan kakak juga, kenop pintu terlihat bergerak memutar dan nampak seseorang yang membawa meja dorong berisikan nampan yang penuh dengan makanan. Orang itu memakai baju serba hitam dan putih dengan bando renda yang menghiasi rambut hitam tergerai indah berkilau. Ini yang di panggil para bangsawan negara ini sebagai "pelayan".
Dia melangkah maju mendekati bibir ranjang, mendorong meja beroda itu lalu menyapaku.
"Selamat pagi, nona muda. Silahkan di habiskan bersama dengan tuan muda saat dia akan bangun nanti." Hanya itu yang di ucapkan nya, melempar senyum cantik ke arahku kemudian pergi begitu saja tanpa menjelaskan kenapa aku bisa berada di sini dan kenapa dia bersikap seolah-olah kita sudah saling kenal sebelumnya.
Tapi itu sudah tidak penting lagi bagiku, untuk pertama kalinya aku melihat makanan seenak dan sebanyak ini tepat di depan mataku membuat air liurku sedikit menetes tak sabar ingin ku lahap sepuasnya. Karena kakak belum bangun juga, aku harus menahan niat itu dan mulai menggoncang tubuh nya.
"Kakak... Bangun."
Kakak menggeliatkan badan nya, membalikkan wajah tampan nya ke arahku. Perlahan dia membuka kelopak menahan silau yang menyerang.
"Pagi, Yuuzy." Sapa nya. Setelah meregangkan tubuh dan mengucek mata, dia mulai mengambil secangkir susu coklat dan makan roti. Tapi aku heran, kenapa dia bertingkah biasa saja? Seolah dia sudah pernah melakukan hal ini sebelum nya. Toh, kita pun sebenarnya baru saja ada di tempat yang entah ini ada di mana, kamar siapa dan kenapa bisa? Kakak malah dengan santai nya bersikap seolah ini hal normal.
"Kenapa Yuuzy? Tidak nafsu makan ya? Nanti aku akan memanggil dokter."
"Tu..tunggu sebentar, kak. Kenapa kamu memanggil ku begitu? Siapa itu Yuuzy?"
"Masih pagi kamu sudah jadi aneh begini. Habis mimpi apa emang? Kamu kan emang Yuuzy."
"Tapi...."
"Aku akan suruh pelayan membuatkan mu bubur jahe ya, sekalian panggil dokter kerajaan. Kamu istirahat lah, gak perlu mikirin hal yang membuat sakit kepala." Kakak menghentikan sarapan nya dan turun dari ranjang bergegas keluar dari kamar, meninggalkan ku sendiri yang di penuhi banyak pertanyaan tak terjawab kan. Yang bisa ku katakan hanyalah, mengapa ini bisa terjadi? Apa artinya ini semua?
.
.
.
.
.
.
Tak lama setelahnya, kakak datang dengan dua pelayan dan satu orang berjaket putih berkalung stetoskop di lehernya, berjalan di belakang kakak. Aku masih tidak mengerti semua ini, dan yang benar saja tiba-tiba tubuhku terasa panas dan kepalaku pusing sekali. Bahkan lidahku pun terasa sangat pahit ketika aku mencoba meminum teh jahe hangat yang di berikan pelayan itu.
"Tuan muda Vhylen, adik anda ternyata terkena demam tinggi. Kita harus membawanya ke ruang rawat agar tidak menular ke anda, Tuan." Begitu lah kira-kira yang kudengar dari mulut sang dokter, aku benar-benar terbaring lemah secara tiba-tiba pula. Saking lemahnya aku, pandangan ku jadi sedikit mengabur dan suhu badan ku meningkat sangat pesat dalam waktu singkat.
"Oh tidak, sayang sekali, adik ku tercinta, Yuuzy... Maafkan aku." Beberapa perawat pun datang membawa ranjang dorong beserta infus nya masuk kedalam kamar dan membopong ku berbaring di atasnya. Aku sekarang memiliki pertanyaan baru lagi, kenapa hanya kakak saja yang namanya masih Vhylen dan aku malah di panggil nya Yuuzy? Bukan kah namaku yang sebenarnya adalah Azu--
.
.
.
.
.
...
.
.
"Azumi-san?" Di ruangan dingin ber-AC ini, beberapa orang duduk berjejeran di meja panjang dan di depan nya ada seorang gadis tinggi duduk termenung menundukkan kepala nya seperti sedang ingin di dakwah.
Gadis itu terkejut dari lamunan nya dan kembali melihat ke deretan orang dewasa berseragam yang menatap serius kearahnya.
"Maafkan aku, pak."
"Baiklah, tidak masalah. Aku tahu kamu shock sekali saat itu. Tapi kami hanya ingin bertanya kronologis itu sekali lagi karena semalam penjabaran yang kamu berikan masih kurang jelas dikarenakan keadaan mu yang ketakutan hebat. Jadi kami memaklumi itu dan memutuskan untuk bertanya sekali lagi hari ini. Setelah ini, akan ada dokter psikologis yang akan membantu mu." Azumi hanya mengangguk sebagai jawaban. Pak kepala polisi kembali membuka tutup pulpen dan menyediakan kertas nya ke atas meja, lalu mulai menanyakan beberapa pertanyaan pada Azumi.
"Pertama, apa yang kamu lakukan di tempat itu pada saat jam 10 malam?"
"Aku habis dari berteduh di cafe yang dekat dengan TKP untuk menghangatkan diri dan membeli jas hujan. Sebenarnya aku sudah menyadari ada sesuatu seperti, benda, pikirku, di atas pohon. Aku terlalu penasaran jadinya aku nekat untuk melihatnya."
"Oke, kedua, kamu habis dari mana dan ingin kemana?"
"Apakah itu juga penting untuk anda tanyakan pak kepala?"
"Tentu saja."
Azumi sempat berhenti menjawab dan berpikir. Ingatan nya saat itu sudah sedikit buram karena shock, tapi dia mencoba berfikir keras agar secepatnya terbebas dari masalah ini.
"Aku dari gereja mentari senja untuk menemui pendeta—teman ku, Vhylen Roberto."
"Bukan nya gereja itu sangat jauh dari apartemen dimana kamu tinggal?"
"Aku sudah terbiasa ke sana, pak kepala."
"Baiklah, ini pertanyaan terakhir. Apa kamu merasa aneh dengan pelayan cafe di sana? Maksudku, lebih ke gerak-gerik nya."
Azumi melotot terkejut. Dia seperti mengingat sesuatu yang benar-benar ganjal saat itu. Pelayan yang melayani pesanan nya semalam nampak pendiam dan jarang tersenyum. Wajahnya sedikit pucat pasih dan keringat juga nampak membasahi jidat nya padahal cuaca saat itu sangat dingin. Memang aneh, kesan nya seperti pelayan ini di suruh bungkam oleh pembunuh nya. Tapi Azumi merasa tidak yakin, karena tidak ingin terlibat lebih lama lagi, dia memutuskan untuk menggeleng.
"Aku tidak merasakan hal aneh pada pelayan-pelayan yang ada di cafe itu."
Pak kepala menutup kembali pulpen nya. Beliau berterima kasih dan mengizinkan Azumi untuk menemui dokter psikologis di UKS sekolah. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk pergi menginterogasi pelayan yang terlibat dengan Azumi malam itu di Cafe Violetta, tempat terjadinya pembunuhan berlangsung.
.
.
.
.
.
.
Aku sebenarnya ragu ingin menjelaskan keanehan pelayan itu pada mereka. Aku takut nantinya bakal makin panjang urusan ini dan ya, seperti yang mereka perintahkan, aku harus pergi ke UKS untuk menemui dokter itu.
Jujur, aku lebih suka minum sake saja daripada berobat ke dokter kalau sedang dalam keadaan begini, tapi apa boleh buat. Aku masih di sekolah dan anggota Rox'iz lain pasti sedang belajar sekarang.
"Permisi." aku menggeser pintu itu ke kanan dan masuk kedalamnya. Namun yang kulihat justru bukan seorang dokter—atau setidaknya orang dewasa yang menggunakan jaket putih dan memegang stetoskop, duduk di kursi itu, melain kan seorang gadis kecil berambut biru mint. Teman sebangku ku, alias Hanakawa.
"Hai~"
"Kok kamu di sini? Dokter yang harusnya dari polisi itu mana?"
"Aku sudah dari tadi di sini dan tidak ada siapapun apalagi dokter yang duduk di kursi ini." Izumi loncat dari kursinya dan berjalan ke arahku. Dia kemudian menaruh kepalanya ke atas pahaku sambil mengelusnya.
"Anu, Izumi. Maaf ya tadi pagi aku membentak mu tanpa alasan." Izumi menggeleng keras. Matanya kini terlihat berkaca-kaca dan buliran air mata mulai menetes membasahi pangkal rok ku. Pasti dia tengah mengkhawatirkan keadaan ku saat ini.
"Kasihan, Chieko-san. Kamu pasti sangat ketakutan melihat mayat-mayat itu."
"Uhh, ya, jujur saja. Aku hampir pingsan saat itu."
"Tapi tenang saja, aku akan mengobati mu. Kamu tidak perlu dokter psikolog itu lagi kalau sudah ada aku." Izumi mulai mengeluarkan liontin nya dan melepaskan nya, kemudian dia mencoba menempelkan nya ke dadaku—tapi tidak sampai karena tinggi badanku. Aku memutuskan untuk berbaring di kasur agar dia mudah melakukan apa yang ingin dia lakukan. Jujur aku sebenarnya tidak ingin percaya, tapi takutnya aku menyakiti nya lagi karena menolak kebaikan nya.
Izumi memanjat kursi tinggi yang ada di samping ranjang UKS dan mulai menempelkan liontin nya ke dadaku. Entah apa yang dia ucapkan dalam hatinya, tubuh ku langsung mengeluarkan cahaya—sama seperti dirinya saat mendapat luka aniaya hari itu. Sekejap gelisah dan beban pikiran yang ada di kepalaku lenyap. Aku menjadi lebih tenang dan rileks dari sebelumnya dan bayang-bayang menyeramkan dari gambaran mayat tanpa badan itu mulai hilang dari ingatan ku.
"Luar biasa." Aku langsung memeluk tubuh kecil Izumi dan mengangkat badan nya berbaring di atas ku
"Eehhh, tunggu, Chieko-san!!!"
"Luar biasa banget kalung itu. Beli di mana? Bagikan lokasi nya padaku, aku ingin memiliki nya!!" Izumi menatap aneh kearah ku kemudian tertawa lepas setelah mendengar permintaan ku. Apa lucunya? Aku benar-benar ingin memiliki nya.
"Kamu lupa ya, Chieko-san. Aku pernah bilang, ini sudah ada padaku saat aku lahir. Jadi aku tidak tau jelas liontin ini datang dari mana, hahahaha. Kamu seperti anak kecil barusan." Aku harap wajah ku tidak menjadi merah padam setelah mendengarnya mengatakan itu barusan. Sial, aku benar-benar lupa soal kebenaran liontin itu ada padanya sudah cukup lama.
"Ta..tapi, kalau kamu memang segitu ingin nya liontin yang sama dengan ku, aku bisa meminta pada seseorang."
"Benarkah? Siapa itu?"
"Yang jelas, dia yang dulu terlibat saat hari 'kebangkitan' ku." Izumi tersenyum lagi, tapi kali ini kesan nya terlihat aneh. Aku mencoba untuk tidak mempedulikan hal yang tidak penting dan mengiyakan tawaran nya sekali lagi. Aku yang awal nya tidak bisa percaya yang namanya sihir dan kemampuan menyembuhkan secara instan seperti yang di lakukan Izumi—dua kali dan tanpa gagal, sekarang meminta nya untuk membuatkan yang sama dengan nya untuk ku pakai sendiri.
.
.
.
..
.
Pukul 9 tepat, hujan masih mengguyur deras membasahi jalan kota yang beraspal. Membuat nya licin saat di lalui.
Sebuah cafe terlihat sangat penuh dengan desakan para manusia yang ingin berteduh dan menghangatkan diri dengan secangkir kopi nya.
Semua pelayan yang hanya berjumlah 5 orang mulai sedikit kewalahan melayani.
"Kalau hujan cafe kita selalu ramai ya, walau sudah malam begini." Ujar salah satu pelayan wanita berambut Bob yang sedang membersihkan meja bekas pelanggan yang baru saja meninggalkan tempatnya.
Pengunjung masih mulai berdatangan, sampai akhirnya kumpulan pria berbadan besar dan satu anak kecil berpakaian serba gelap datang memasuki cafe ini.
"Selamat datang, ah, nona kecil. Maaf ya, ini cafe untuk orang dewasa. Kami tidak mempunyai menu yang cocok untuk anda."
Anak kecil itu hanya terdiam memainkan payung yang di pegang nya.
Sedangkan kumpulan pria yang tadinya berjalan di belakang nya, mulai berbuat kerusuhan, mengobrak abrik meja cafe dan menumpahkan semua yang ada hingga semua pelanggan baik yang baru datang atau yang sedang menikmati hidangan nya berlarian keluar dari cafe dan pergi menembus hujan deras di luar sana—kecuali kumpulan gadis berseragam sekolah yang sedang mabuk di lantai atas cafe.
"HE..HEI, APA YANG—"
"DUDUK DAN DIAM LAH!!" Seketika semua pelayan yang kini tersisa di cafe, duduk berlutut di hadapan anak kecil itu.
"Eh... Kenapa, kenapa kaki ku tidak bisa bergerak?!"
"Liza, siapa dia?!"
"Ughh, aku pun tidak tahu bodoh."
Anak kecil itu menunduk dan mengangkat kepala sang pelayan—yang tadi nya di panggil Liza menggunakan ujung jarinya yang kecil.
"Aku ingin kalian diam untuk saat ini. Atau kalau tidak, kalian akan di makan oleh kumpulan pria berjubah yang berbuat kerusuhan barusan." Ucap nya sambil melempar senyum datar dan tatapan matanya yang kosong membuat semua pelayan bergidik ketakutan.
Kumpulan pria tadi membuka jubah nya dan menampakkan sosok nya yang begitu mengerikan, hampir tidak bisa di katakan mereka ini adalah manusia. Manusia mana yang memiliki raut wajah abstrak dengan mulut menganga lebar di hiasi ribuan gigi manusia dan lidah yang menjulur panjang meneteskan cairan asam hijau keluar dari tengah mulut yang panjang nya sampai ke telinga.
"KYAAAA!!!!" Salah satu pelayan yang tepat di samping pria—setidak nya itu terlihat seperti pria, berteriak keras membuat pria itu mengamuk dan menatap tajam ke arah pelayan yang ada di hadapan nya sekarang. Dalam sekejap, kepala dari pelayan itu di kunyah bulat-bulat oleh nya dan menyisakan badan nya yang jatuh tersungkur bermandikan darah yang keluar dari pangkal lehernya.
"Sayang banget, padahal aku tidak ingin membuat salah satu dari kalian mati sia-sia di sini. Sudah ku bilang, diam lah."
Sisa pelayan yang ada, menutup mulut nya dengan tangan agar suara histeris nya tidak terdengar. Air mata mulai membasahi wajah mereka melihat rekan mereka kehilangan nyawa begitu singkat hanya karena terkejut melihat sosok aneh dan mengerikan itu berdiri di samping nya.
Liza menggigit bibirnya dan berusaha menutup mata.
"A..apa yang kamu inginkan, wahai gadis kecil?"
"Panggil aku *****"
"Hah?"
"Lupakan lah. Aku hanya ingin menghabisi nyawa para gadis yang ada di lantai atas. Mereka sedang mabuk kan? Gak boleh loh, membiarkan anak remaja mabuk di cafe kalian. Aku bisa membuat cafe ini di tutup, kau tau itu. Dasar bodoh!!" Anak kecil itu menampar keras wajah Lisa hingga meninggalkan jejak berwarna merah karena darah rekan nya yang baru saja di sentuh olehnya.
"Kalau kalian membiarkan ku melakukan nya, aku tidak akan melaporkan cafe ini. Kalian bisa kerja seperti biasanya dan melupakan kejadian ini. Untuk rekan kalian yang sudah di santap 'peliharaan' ku tadi, akan ku buat dia seakan terkena kecelakaan dan menguburnya dengan layak. Satu dari kalian menolak, aku akan membakar cafe ini bersama dengan gadis yang ada di lantai atas itu." Mereka buru-buru menganggukkan kepalanya, kecuali Liza. Dia masih menatap ragu ke arah anak kecil itu.
"Liza? Kalau kamu menolak, sama aja dengan mati loh."
"Ba..baik lah, baik. Lakukan, lakukan saja apa yang kamu inginkan asal jangan sakiti kami. Kami akan menutup rapat kejadian ini."
"Kakak pintar. Baiklah. Sebagai hadiah nya, Cafe kalian akan lebih ramai dari biasanya dan tidak akan ada pelanggan yang mengingat kejadian tadi. Oh, untuk memastikan kau tidak melaporkan kami, cafe ini akan ku buat sepi dulu sampai jam kalian tutup." Gadis kecil itu menepuk pundak Liza dan kemudian berjalan ke atas lantai dua, tempat karaoke, bersama dengan 3 pria tadi.
Dua yang lain menjaga para pelayan dan pintu masuk agar tidak di datangi para pelanggan malam yang ingin menghangatkan diri.
.
.
..
.
.
"Hahahaha, kapan kamu mengambil foto itu? Lucu banget ekspresi nya. Terlihat payah."
"Gak sia-sia gue ngambil jepretan itu. Ini bisa jadi kenangan yang indah karena ulah kita."
"Kasian banget, dia sampai nangis dan mengeluarkan ingus, menjijikkan. Hahaha. Lain kali, kita lakukan lagi yuk."
"Gak perlu di tanya lagi, Maria. Kita akan melakukan nya kalau dia macam-macam dengan 'dewi gitar' kita lagi."
Saat mereka terlarut dalam kesenangan nya, tiba-tiba seseorang muncul menghancurkan pintu yang berbahan kaca sangat tebal dengan ornamen besi di atasnya.
"ANJING!!!"
"HEH, ORANG GILA, NGAPAIN LO NGANCURIN PROPERTI CAFE, HAH? MALING YA LO?!" Saat Maria mengumpat dengan nada cempreng nya yang tinggi, seseorang berpakaian serba hitam dengan badan nya yang pendek masuk ke dalam ruangan yang sekarang sudah di penuhi pecahan kaca dari pintu itu.
"Selamat malam—"
"Siapa Lo, cebol?!"
"Ah, mungkin ada baik nya kalian tidak perlu tahu siapa aku." Anak kecil itu, mengeluarkan pistol dari kantung belakang nya dan mengacungkan nya tepat di depan Maria.
Maria berjalan mundur kebelakang dan memeluk teman-teman nya yang lain.
"Ka..kalian mau merampok ya?! Dengar ya, uang ku sudah habis buat membayar uang tutup mulut para pelayan di bawah agar aku bisa mabuk di sini."
"Sayang nya aku sedang ingin merampok nyawa bukan uang kalian, ****** sialan!!!" Gadis itu membuka topeng nya dan mulai menarik pelatuk pistol nya hingga mengenai salah satu teman Maria.
"GABRIELLE!!! HEI, KAU!!!.... KAU INI KAN?!" Gadis itu menarik pelatuk nya sekali lagi dan mengenai mulut Maria.
"Akhhh..." Tiga dari mereka berusaha kabur sambil menangis namun di hadang oleh tiga pria berbadan besar yang sudah bersiap untuk melahap mereka.
"Tunggu, jangan makan kepalanya lagi. Aku ingin menggantung nya, bodoh."
"Ka..kau ini sebenarnya siapa?!" Kini tersisa hanyalah ketua dari kumpulan gadis yang sudah kehilangan nyawanya karena pistol dan gigitan maut dari pria aneh di belakang.
"Aku adalah manusia yang kalian kutuk di sekolah, ketua Sherin. Aku hanya menginginkan kepala kalian semua, jadi, Arrivederci." Gadis itu kembali menarik pelatuk pistol dan mengenai tepat di jantung nya.
"Hahh, pekerjaan ini melelahkan. Tapi, untung saja mereka tidak melawan sama sekali jadi sangat terbantu."
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments