Aku terlalu sibuk mempelajari ponsel yang di berikan Azumi saat jam makan siang hampir berakhir. Aku sudah meminta sister Sofi untuk mengajariku namun aku masih saja tidak mengerti fitur yang ada di dalam nya.
Saat aku melihat daftar telfon, aku melihat 2 nomor berbeda. Aku ingat satu itu pasti milik Azumi, tapi yang satu nya lagi aku tidak tau itu milik siapa.
Saat aku ingin memastikan ini nomor nya Azumi yang lain juga, aku menekan nya dan menghubungi nomor itu.
"Tidak ada jawaban ya."
Karena tidak ada jawaban aku memutuskan buat membatalkan panggilan itu. Namun, beberapa saat kemudian hp ku bergetar. Saat aku melihatnya ada pesan masuk dari nomor tadi, pesan tadi berisi.
'hai, ada yang bisa saya bantu?'
'saat ini saya tidak bisa menanggapi panggilan karena alasan tertentu yang tidak bisa saya katakan.'
'katakan dengan cepat ada perlu apa menghubungi nomor saya?'
'saya adalah utusan kematian.'
Eh?
Apa aku tidak salah baca dengan pesan yang terakhir dikirim nya itu? Apa dia sedang bercanda padaku atau dia sedang mempermainkan ku untuk sesuatu yang di sebut-sebutkan orang jaman sekarang yaitu "konten".
"Kamu siapa, apa kamu sedang bermain-main dengan ku saat ini?" Begitu lah aku ingin membalasnya, sayang nya pesan itu tidak mau terkirim setelah ku tekan berapa kali tetap saja gagal. Padahal aku cek ponsel ini kuota dan pulsa nya sangat banyak. Sudah di isikan langsung sama Azumi saat dia membelinya dan gak tanggung-tanggung jumlah nya. Jadi tidak mungkin pesan ini tidak terkirim karena pulsaku habis, sepeserpun belum terpotong padahal aku sudah puluhan kali menekan tombol kirim.
Lalu muncul pesan baru lagi darinya.
'aku adalah utusan kematian.'
'kamu bisa membalasnya kalau kamu memang sudah di takdirkan mati.'
'hanya saja, lain kali hati-hati dan jangan menghubungi nomor ini atau saya anggap ini undangan buat saya untuk mendatangimu dan mencabut nyawamu sesegera mungkin'
'aku tidak ada di manapun. Tidak perlu repot-repot menghapusnya, nomorku akan terus muncul hingga kematian ini.'
'sekian lagi. Kali ini aku maafkan kamu. Tidak perlu lagi mempedulikan nomor ini.'
'sekian, Vhylen Roberto.'
Dia bahkan tau namaku. Aku mungkin bisa mengabaikan nya tapi ini ada di hp ku dan nomor nya benar-benar tidak bisa terhapus begitu saja. Aku pun memutuskan untuk menghubungi Azumi kenapa bisa ada nomor ini di ponsel yang baru saja dia beli.
"Halo, ada apa?"
Cepat banget di angkatnya. Gimana ini, aku tiba-tiba membisu mengingat kejadian makan siang waktu itu. Bahkan setelah hari itu berlalu aku belum minta maaf malah justru terlena mempelajari ponsel ini.
"A..Ano, itu, Azumi?"
"Iya?"
"Maafkan aku soal kemarin-kemarin. Tapi aku tetap tidak akan berubah pikiran terhadap teman mu itu."
"Vhylen, aku sudah tau."
"Tau soal apa?"
"Yang kamu katakan itu benar. Dan aku sudah tau. Aku sudah melihatnya sendiri, barusan."
"Eh, apa? Apa maksudmu Azumi?"
"Maaf, dia sudah balik. Aku tutup dulu ya nanti aku hubungin kamu lagi kalau aku udah selesai dengan urusan ku." Azumi pun menutup telfon nya terlebih dahulu. Aku masih tidak paham dengan yang dikatakan nya sebelum menutup telfon. Apa maksudnya dia sudah melihatnya sendiri? Bagaimana cara dia melakukan nya dan kenapa tiba-tiba sekali dia berkata demikian?
Kali ini, dia kenapa lagi?
Seingat ku dia itu paling takut hal yang menyeramkan karena trauma masa kecil nya. Aku tidak yakin dia bisa tahan kalau misalnya tiba-tiba dia bisa melihat hal gaib yang menyelimuti teman nya itu.
Ya, untuk itulah aku memutuskan untuk memulai sekolah di sekolah yang sama dengan mu. Pemilik mempunyai koneksi dengan kepala sekolah itu jadi aku bisa memintanya memasukan ku di kelas yang sama dengan Azumi mengingat kelas itu banyak ruang kosong akibat sepeninggalannya lima siswi sekaligus di kelas itu. Aku juga yakin dan sangat percaya kalau Hanakawa lah yang membunuh teman kelasnya sendiri. Azumi pernah bercerita tentang Hanakawa yang di aniaya brutal oleh kelima korban.
"Aku akan pastikan kedok mu akan terungkap, Hanakawa Izumi."
.
.
.
.
.
.
Suasana ramai di dalam sebuah pusat perbelanjaan yang bernuansa putih emas dengan lantai keramik yang terlihat berkilauan di manapun mata memandang. Suasana dingin pun tak luput dari tempat yang selalu di kunjungi umat manusia ini, baik tua maupun muda.
Di salah satu restoran yang berdesakan karena pengunjung datang beramai-ramai ingin melihat sosok populer yang makan bersama anak dari keluarga kaya. Mereka berebut ingin foto bersama di sela-sela jam makan siang.
"Ih gila, gimana kita bisa makan dengan tenang terus pergi belanja kalau kita di kerubungi manusia begini?"
"Maaf kan aku, Izumi. Ini salahku karena merekomendasikan resto ini. Padahal dulu tidak begini."
"Hem, itu udah lain cerita lagi, Chieko. Tenang, aku punya cara." Izumi menepuk sedikit gaun nya dan mengambil nafas panjang. Kemudian dari tangan kanan nya dia mengambil sesuatu di punggung nya. Pistol, pistol hitam ada di tangan nya sekarang.
"Saat ini aku dan Azumi ingin makan siang. Jadi, silahkan pergi atau saya tembak satu persatu dari kalian." Begitu Izumi mengacungkan pistol nya ke para fans, mereka langsung bubar berlarian. Ada yang keluar dari resto dan ada yang tetap di sini untuk memesan makanan juga.
Bahaya banget Izumi, kamu gak mikir apa kita nanti bakal diusir atau senjatanya bakal di sita sama pihak mall.
"Heh, Izumi. Bahaya banget itu. Kenapa kamu bawa gituan heh, nanti kita di usir gimana?!"
"Santai lah, Azumi. Ini tuh gadak pelurunya tau. Lagian mall ini gak bisa melakukan itu ke orang yang populer."
"Tetap aja itu gak boleh, Hanakawa Izumi. Kamu gak bisa menganggap semua orang seperti kita bebas berbuat demikian. Lain kali, kalau kamu keluar bersama ku jangan bawa benda ginian lagi." Aku sedikit meninggikan suaraku, karena ya aku lumayan kesal dengan pernyataan nya barusan. Meskipun kita ada di atas, berarti kita harus berbuat seenak nya apalagi yang mengancam nyawa. Walau tidak ada peluru sekalipun tetap saja itu tidak bisa di maafkan oleh akal sehatku. Aku bahkan terkejut dia punya barang berbahaya seperti pistol itu. Semoga aja dia gak membawa sabit besar di punggung nya saat naik kapal pesiar nanti.
Izumi menunduk cemberut dengan alisnya yang mengerut. Terlihat imut tapi itu tidak akan membuatku gentar untuk menceramahi nya.
"Maafkan aku."
"Yaudah. Lain kali jangan bawa benda kek ginian lagi ya, bahaya loh." Aku mengusap kepala Izumi lembut. Ya, aku sangat berharap penuh dengan nya agar tidak membawanya lagi kemanapun dia pergi bersamaku. Tapi aku akan berterima kasih karena itu menghemat waktu untuk membubarkan kerumunan tadi. Jika tidak, kami tidak bisa melanjutkan makan siang ini.
"Kamu kayak ibu-ibu ya."
"Diem!!" Di sisi lain aku terganggu karena pundak ku diduduki oleh arwah yang katanya telah bersumpah untuk mengikuti seseorang yang membuat tubuh nya di temukan di toko itu untuk melindungi dan menjaga nya dari makhluk jahat. Aku tidak percaya dengan itu, tapi lebih baik aku mengabaikan nya selama dia tidak berbuat aneh-aneh di belakang ku. Misalnya merasuki ku sekali lagi untuk berbicara dengan Izumi.
"Oh iya, Chieko, kamu bakal beli bikini juga gak?"
"Uhh, kayaknya tidak. Aku tidak suka pakai bikini."
"Yah, suasananya gak pantai banget dong."
"Pantai itu gak selalu soal bikini, mesum."
Setelah kami membereskan makan siang, kami pun bergegas menuju toko pakaian dalam dan pakaian renang. Sebenarnya aku ingin kita berpencar dan bertemu lagi di depan resto itu, tapi Izumi keburu menangis ketakutan karena tubuh nya yang kecil itu sangat mudah sekali buat tersesat. Arwah di belakang ku justru mengejek nya sok imut sambil menarik rambut nya walau itu tidak akan terasa sama sekali.
"Aku tau toko yang bagus buat beli bikini, Chieko. Dia toko langganan dan rekomendasi dari kakak ku."
"Baguslah, kalau udah ada rekomendasi seperti ini bisa menghemat waktu juga."
"Benar. Ayo cepat, kita tidak punya banyak waktu lagi soalnya belum packing."
.
.
.
.
.
.
Mungkin karena aku kurang memperhatikan belakangan ini, jadi aku tidak tahu kalau arwah itu masih saja mengikuti Chieko. Bahkan dia merasuki tubuh nya untuk melihat keadaan ku yang sebenarnya. Benar-benar kurang ajar, berani sekali dia merasuki tubuh Chieko tanpa sepengetahuan dariku. Dan untuk apa pula dia memperlihatkan nya pada Chieko, aku kan selama ini tidak berniat jahat sedikitpun padanya.
Saat belanja pakaian pun, aku diam-diam melihat Chieko masih berdiskusi dengan arwah itu soal apa yang baru saja di lihatnya. Hem, kita liat saja, aku akan membuat mu lenyap dan tidak lagi mengusik Chieko. Jangan ganggu semua rencana ku yang sudah susah payah aku susun dengan baik, arwah penasaran!!
"Hei, kak, aku tadi baru saja di pelototin sama dia."
"Makanya jangan keseringan muncul dong, dasar bodoh. Sudahlah, aku mau melihatnya dulu." Bagaimana aku gak melotot ke arah mu, kamu selalu diam-diam curi perhatian ke Chieko dan mengabaikan aku yang sedang mencoba bikini di sini. Seandainya saja aku tidak lupa memakai liontin hari ini, aku sudah menyedot mu masuk kedalam nya.
"Hei, hei, Chieko menurut mu ini bagus gak?"
Chieko melihat ku menggenakan bikini yang di lapisi jaket tembus pandang pula, tapi dia terlihat gugup dan ada sedikit ketakutan di matanya saat melihatku berdiri di hadapan nya. Sial, aku benar-benar tidak akan memaafkan mu kali ini, arwah!
"Chieko? Kok diem, kenapa? Apa kelihatan aneh ya?"
"T...tidak, tidak kok. Ini manis banget, seger di lihat nya. Angkut aja, cocok pake banget." Untung saja Chieko tidak pernah berbohong padaku saat memberikan tanggapan. Baiklah, mungkin biar menghemat waktu aku gak perlu mencoba bikini yang lain kalau misalnya Chieko pun sudah suka dengan yang satu ini. Pilihan ku memang gak pernah salah ya.
"Kamu gak beli juga bikini nya, Chieko?"
"Gak, aku cuma pake kaos putih sama celana pendek aja. Aku gak terlalu suka pake bikini hehe. Aku sudah membelinya barusan jadi kita bisa langsung pulang."
"Benar juga ya. Aku akan membayarnya dulu kalau begitu." Saat aku pergi ke kasir, Chieko tidak mengikuti ku dan berpura-pura melihat yang lain. Padahal aku tau sebenarnya dia mengambil kesempatan ini untuk berbincang lagi dengan arwah itu. Aku tidak suka ada arwah yang terlibat dengan Chieko, Chieko hanya milik ku dan tidak ada yang boleh mengajak nya berbicara di depan mataku. Aku akan memaafkan nya hari ini tapi tunggu saja setibanya kita di pulau itu. Aku tadi mendengarnya mengatakan ingin ikut liburan kali ini dengan dalih ingin melindungi Chieko. Harusnya aku tau, arwah itu tidak ada yang punya niatan mulia seperti melindungi. Dia hanya tidak mau kembali ke alam karena masih ingin hidup berdampingan bersama dengan manusia.
Setelah membayarnya di kasir, aku memutuskan untuk kembali. Sebelumnya aku mengantar Chieko dulu ke apartemen nya.
.
.
.
Bahkan di dalam mobil pun dia masih berani mengajak bicara Chieko. Aku harus mengalihkan perhatian nya agar terus berada dalam genggaman ku.
"Hei Chieko, kamu masih ingat kan soal liontin itu?"
"Ah, ya, tentu. Apa itu sudah siap?"
"Aku rasa sudah. Kita akan mengambil nya saat kita tiba di pulau itu nanti."
"Bagus, aku sangat menantikan nya. Sekarang aku bisa sesakti dirimu." Aku tertawa keras sambil menepuk lengan Chieko. Aku berniat menambah jejak ku padanya bahkan sambil merangkul nya agar menempel dekat padaku. Semakin menempel maka semakin besar jejak nya dan akan jadi sulit di hilangkan oleh apapun bahkan si pendeta sekalipun.
"Sialan kamu, iblis."
Aku bisa mendengar dia mengumpat kesal sebelum akhirnya dia menghilang lagi. Lebih baik kamu pergi dari nya atau kalau tidak aku akan benar-benar membuat mu lenyap sia-sia kali ini. Kamu tidak akan pernah bisa mengalahkan ku. Impian yang kamu inginkan bahkan sesudah mati pun menjadi sirna dan tidak ada yang bisa kamu lindungi kali ini. Chieko cukup dengan ku saja sudah sangat aman ketimbang berada di sisi arwah seperti mu.
Setibanya di apartemen, Chieko berpamitan padaku. Dalam kejauhan aku bisa melihat arwah itu kembali mengikuti nya. Tidak masalah, yang tadi itu hanyalah gertakan. Itu bahkan bukan serangan dariku, makanya aku akan menunggu sampai liburan ini dimulai dan kamu mulai memasuki pulau terlarang yang bisa membuat arwah penasaran terjebak selamanya di mansion yang akan jadi penginapan ku dan Chieko.
"Hei, kamu udah berubah ya dari tadi?!"
"Maaf nona. Karena sudah memasuki waktu nya."
"Ahh, salahku sih karena terlalu lama di dalam mall. Untung aja kamu siaga membawa jubah, jika tidak Chieko bisa melihat wujud menyeramkan mu itu."
"Makasih telah mengkhawatirkan ku, nona muda."
"Ayo kita pulang, soalnya packing ku belum selesai." Mobil pun melaju kencang menuju rumah ku yang besar. Hari ini cukup menguras energi tapi itu tidak bisa jadi alasan buat ku untuk melanjutkan perjalanan. Petang nanti tepat nya pukul 6 sore aku dan Chieko bersama naik di kapal pesiar yang sudah di pesan oleh kakak. Aku tau ini berlebihan tapi tidak ada lagi kapal yang bisa di sewakan selain pesiar yang mewah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments