Like a Doll
Menurutmu apa itu "hal yang paling berharga dalam hidup"? Pasti sebagian orang menjawab keluarga mereka adalah hal yang paling berharga dalam kehidupan mereka. Mungkin hanya aku yang tidak akan bisa menjawab demikian. Hidup sebatang kara, tidak punya saudara ataupun kenalan. Aku hanya di pungut seseorang untuk menjadikan ku sebagai anggota band besar sebagai pemain gitar dan vocalis. Meski sebatang kara, itu jelas-jelas takdir yang sangat langka. Semua yang kulakukan selalu lancar tanpa hambatan, orang-orang pun mulai menyukaiku saat pertama kali manggung. Respon yang sangat jarang terjadi ketika ada anggota yang baru masuk juga.
Saat aku menyadarinya, semua itu mulai terasa membosankan. Aku melakukan semua hal dengan sempurna tanpa ada yang cacat, harusnya aku senang dengan itu. Hanya saja, itu sudah tidak berarti lagi kalau kamu masih sendirian. Aku belum mempunyai hal apapun yang akan menjadi satu-satunya yang berharga dalam hidupku. Terkadang, aku lebih ingin menderita dibanding menjadi yang paling bersinar diantara yang lain. Itu melelahkan, kau tau.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan gadis--tidak, dia lebih seperti boneka hidup timbang manusia. Tubuh nya kecil dan sangat sensitif terhadap cahaya matahari sehingga disekolah pun dia memakai seragam yang khusus di rancang buat seseorang yang punya penyakit demikian. Melihatnya saja membuatku merasa gerah, padahal tidak ikut memakainya sama sekali.
Boneka hidup ini berhasil membuat hidup ku yang membosankan menjadi lebih baik. Tidak ada hal istimewa yang dia lakukan padaku. Hanya ada bisikan kecil yang menandakan dia sedang membuka topik pembicaraan denganku.
.
.
Saat itu tahun ajaran pertama kelas 11, jujur saja kalau bukan karena manager ku, mungkin aku sudah bolos dan pergi ke klub bersama anggota bandku yang lain untuk minum miras bersama. Dengan berat hati, aku masuk, dan aku agak kesal harus berpisah kelas dengan yang lain dan masuk di kelas baru yang bahkan tidak ingin aku masuki.
Mayoritas murid di dalam nya sangat memuja orang-orang populer yang selalu tampil di panggung atau televisi atau berita sosial media manapun. Yah, mungkin ada rasa bangga tersendiri, orang semacam itu berada di antara orang-orang yang menganggap dirinya biasa saja. Mungkin itulah alasan mengapa mereka sangat bahagia saat tahu aku sekelas dengan mereka.
"Lihat, lihat, si gitar sekaligus vocalis tengah band Rox'iz, Azumi Chieko. Keren banget kalau di lihat dari dekat, kyaaa."
"Kyaaa Chie-chan, salaman denganku."
"Azumi-san, bolehkah aku sebangku denganmu?"
"Tidak, aku saja."
"Tidak, tidak, aku!!"
"Azumi, foto bareng yuk."
"Ih, aku juga mau foto bareng."
Ini masih pagi loh, mereka sudah ramai banget mengerumuni meja yang sudah di simpan kan sama seniorku di band ini. Sebenarnya tidak masalah siapa yang akan menjadi teman sebangku di sebelahku, tapi sepertinya mereka semua sudah punya bangku selain aku dan satu orang yang mungkin saja belum datang.
Aku dibuat kesusahan jadi aku putuskan menuruti permintaan mereka satu-persatu kecuali permintaan duduk sebangku. Aku hanya ingin memastikan siapa yang belum hadir dan belum mempunyai tempat. Setidaknya dialah orang beruntung itu.
.
.
Pelajaran pun dimulai, guru sudah masuk kedalam kelas tapi teman sebangku ku belum juga datang. Apa mungkin di sebelah ini tidak akan terisi? Karena hanya satu-satunya bangku ini kosong, di manapun tidak ada lagi. Aku hanya pasrah dan mungkin akan menjadi penyendiri karena tidak ada teman bicara. Bicara dengan yang lain? Tidak. Mereka hanya akan penasaran dengan kehidupanku sebagai gitaris dan vocalis tengah di band Rox'iz. Sungguh pembicaraan yang tidak menyenangkan dan membosankan. Sudah berapa kali aku berbicara dengan orang-orang macam itu dan aku simpulkan mereka hanya tertarik denganmu karena kamu populer, bukan karena ingin menjadi teman atau sahabatmu. Susah juga ya mencari teman di lingkungan lain selain dalam band, mereka sudah aku anggap keluarga.
.
.
15 menit berlalu, pelajaran kali ini tidak terlalu banyak dan memusingkan. Guru hanya menjelaskan singkat pelajaran hari ini dikarenakan akan ada rapat guru setelah jam 9. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 08:15, saat itu pula seseorang berbaju serba hitam dan berbadan besar datang, berdiri di ambang pintu kelas. Seisi kelas mendadak membeku menyadari kedatangan mereka yang misterius.
"Ada yang bisa saya bantu, tuan-tuan sekalian?"
Saat guru kami bertanya, seorang gadis keluar dari kumpulan pria berbadan besar itu dengan payung hitam kecil di tangan kirinya. Gadis kecil dengan pakaian seperti Lolita, tapi desain nya seperti seragam di sekolah ini. Hanya saja, itu terlihat panas untuk di gunakan saat musim panas seperti ini.
"Ahh, nona muda. Maafkan saya. Saya benar-benar tidak menyadari kedatangan anda tadi." Apa barusan guruku memanggil nya nona muda? Aku cukup terkejut melihat si guru yang begitu hormat dan patuh atas kemunculan murid yang harusnya lebih menghormati nya.
"Sisanya, kami serahkan padamu, Midokari-sensei. Nona muda Izumi, kami izin undur diri. Selamat belajar."sekumpulan pria berbadan besar itu pun beranjak pergi dari ambang pintu dan tersisa hanyalah gadis itu.
"Loh?"
"Silahkan kemari, nona muda Izumi." Midokari-sensei mengandeng tangan gadis itu dan kini berdiri dengan jelas di tengah-tengah murid yang lain. Sekilas aku melihat nya mengamati dengan tatapan kosong seisi penghuni kelas ini.
"Mungkin ini bisa di bilang terlambat, tapi ibu maafkan, nona muda. Murid-murid, perkenalkan teman baru kalian, namanya Hanakawa Izumi anak dari perusahaan Butik Izumi dan toko boneka terbesar di kota ini. Dia sangat sensitif dengan cahaya matahari maka dari itu desain seragam sekolah nya beda dari kita. Tapi ini masih desain sekolah dengan tampilan yang berbeda aja. Kalian, berteman lah dengan baik ya. Saya izin beranjak lebih dahulu karena rapat sebentar lagi akan di mulai. Izumi-san, silahkan duduk di bangku kosong dekat Chieko."ucap Midokari-sensei, setelah membereskan barangnya yang ada di atas meja, beliau beranjak pergi meninggalkan kelas. Anak yang bernama Izumi itu berjalan ke arahku dan mulai menyimpan barang-barang nya.
Suasananya sangat beda sekarang, rasanya seperti ada dendam yang menumpuk dikelas ini. Semua menatap tajam kearah Izumi membuatku merasa risih karena aku juga seperti di berikan tatapan yang sama. Ada apa ini, bukan kah Izumi ini juga orang populer dan bisa di bilang semua kostum manggung yang ku kenakan itu di jahit oleh tangan handal yang ada di Butik Izumi, milik orang yang sekarang duduk di sebelahku. Kenapa mereka seolah-olah sangat dendam akan kehadiran nya?
"Mungkin karena mereka tidak bisa duduk di sebelah mu dan aku yang telah mengambil kesempatan itu."sekilas aku mendengar dia berbicara namun tidak jelas karena suaranya yang sangat kecil. Hanya sebaris kata 'mungkin' yang singgah di telingaku, selebihnya tidak dengar sama sekali. Yah, aku tidak peduli lagi sih, aku ingin menemui anggota lain di kelas sebelah.
Belum sempat aku melangkah, Izumi menarik dan memeluk tanganku.
"Ada apa? Aku mau pergi menemui anggota bandku yang lain. Jangan ikuti aku."
"..." Bibir nya seperti mengatakan sesuatu tapi aku benar-benar tidak bisa mendengar suaranya sama sekali. Seolah dia hanya bisa bergumam tanpa suara dengan bibirnya yang bergerak. Saat aku tanya dia bilang apa, suaranya pun tetap tidak sampai ke telinga. Buang-buang waktu saja, lebih baik aku melepas genggaman nya dan mengabaikan apa yang baru saja dia ucapkan.
Tapi itu tidak mengubah pikiran nya dan tetap saja menarik tanganku dengan sekuat tenaga meskipun sebenarnya aku bisa merasakan tangan nya bergetar karena terlalu memaksa menahan ku dalam genggaman nya.
Dia bergerak memberi isyarat padaku agar aku mendekat ke wajah nya. Dengan berat hati aku mendekatkan telinga ku ke wajahnya sedikit agar aku bisa mendengar apa yang dia katakan.
"Aku ingin ikut bersama mu. Aku belum terlalu tau lingkungan sekolah ini."
"Tidak. Maafkan aku, mungkin lain kali. Aku hari ini ada latihan sama anggota yang lain."
Aku menolak mentah-mentah permintaan nya lalu berjalan menjauh keluar dari kelas. Sebelum nya aku mendengar ucapannya bahwa dia akan di kelas saja untuk seharian ini. Aku sudah tidak peduli, aku tidak ingin direpotkan oleh murid yang suaranya tidak bisa terdengar di telingaku. Tidak tau apa alasannya dia berbicara dengan suara kecil, kalau tinggi badan kita sudah beda jauh harus nya dia lebih berusaha untuk menyesuaikan volume dari suara yang keluar dari bibirnya. Apa mungkin ini pengaruh dari ukurannya sendiri, maksudku bibir.
Buat apa di pusingin, aku harus bergegas menghampiri mereka di jam istirahat karena rapat guru ini. Apa aku bisa makan sekarang? entah lah. Mungkin saja bisa
Di atas atap, tempat perkumpulan band Rox'iz berada. Murid lain dilarang karena tempat itu sudah resmi menjadi milik kami dan tidak boleh ada yang menggunakan nya tanpa seizin dari salah satu anggota Rox'iz.
"Lama banget, Chieko-nee."
"Sorry tadi ada hambatan dikit." Aku duduk di samping Sherin, orang yang baru saja mengeluh keterlambatan ku. Semuanya sudah berkumpul dan aku menjadi anggota terakhir yang duduk di kursi.
"Azumi, apa benar ya Hanakawa sekarang sekolah di sini dan kebetulan nya kalian sekelas kan?"aku mengangguk sambil meneguk air mineral yang sudah di siapkan sebelumnya oleh ketua yang sangat Royal. Rikka, sang ketua menatap serius kearah ku lantas bertanya lagi "Apa kamu sebangku dengan nya?"
Aku mengerutkan alisku bingung, apakah semua pertanyaan itu penting untuk di bahas sekarang? Aku pikir mereka ingin membahas latihan buat konser di festival sekolah bulan depan.
"Kamu cenayang ya, ketua?"
"Jadi benar ya. Saran dariku, Mi, kamu sebisa mungkin harus baik sama dia. Turutin apa yang dia mau dan jangan pernah biarkan dia terluka."Rikka menatapku tajam sekali, sepertinya ini memang benar pembicaraan yang sangat serius. Tapi aku masih tidak paham dengan keterkaitan Hanakawa. Kenapa pula aku harus melakukan hal itu hanya karena aku sebangku dengan nya. Aku ingin berkata demikian, tapi aku paling tidak bisa namanya melawan apa yang di perintahkan ketua meski itu kadang aneh dan menjijikkan.
"Aku baru saja mengabaikan permintaannya sebelum aku kemari. Hemmm, apakah aku akan mati setelah ini? Hahaha--" sesaat aku terkekeh sedikit, yang aku pikir itu akan membuat tatapan seriusnya hilang dan bersama kita tertawa. Namun, hanya ada tamparan keras yang mendarat di wajahku. Kali ini Rikka benar-benar marah dan sepertinya pembahasan ini memang bukan lah hal yang sepele. Semua anggota yang lain menatapku dengan tatapan serupa. Aku jadi bertanya-tanya, ada apa sebenarnya ini?
"Jangan mentang-mentang kamu mendapat posisi yang selalu menjadi pusat perhatian, kamu langsung berani sama ketuamu, sialan. Kamu harus ikutin aja apa kataku. Manager juga sudah menyuruhku untuk meyakinkan nya kalau kamu bisa di percaya. Saat bel dan rapat para guru telah usai nanti kamu harus minta maaf dan buat dia semakin yakin kalau kamu ingin menjadi teman nya." Setelah mengatakan semuanya, Rikka dan yang lain bergegas meninggalkan ku dari atap sekolah sendirian. Sangat mustahil bagiku untuk akrab dengan bocah yang bahkan tingginya saja membuatku tidak bisa melihat atau mendengar suaranya saat berbicara. Terlebih lagi, tatapan kebencian teman-teman kelasku yang lain, membuatku semakin tidak ingin terlibat dalam kebencian mereka. Aku tidak ingin di benci.
.
.
Bel kelas berbunyi, aku bergegas turun dari atap sekolah. Kepalaku kini dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal agar bisa meyakinkan Hanakawa bahwa aku tulus minta maaf kepadanya, walau niatnya aku tidak mau minta maaf karena aku tidak merasa bersalah atas apapun yang sudah terjadi. Tapi kalau ketua dan anggota lain saja menjadi keras padaku, sepertinya tidak ada pilihan lain lagi selain melakukannya.
"Hah, anak menyebalkan itu, kenapa sih harus masuk di kelas ku?" Saat melintas di depan ruang guru, aku mendengar suara Midokari-sensei, sedang kesal. Dia kesal kepada siapa dan kenapa?
Aku memutuskan untuk berdiri sebentar di ambang pintu ruang guru yang tertutup, menguping pembicaraan mereka.
"Siapa?"
"Anak sulung Keluarga Izumi itu loh. Asli, aku sebenarnya tidak pernah berharap akan mengajar anak sialan itu."
"Hahahaha, aku sangat beruntung dia tidak masuk di kelasku. Siapa juga yang mau mengajari gadis bisu dengan tatapan kosong."
"Semoga aku tidak dikutuk olehnya."
"Wih seram nya, hahahaha."
Mendengar semua itu membuat telingaku sedikit panas, aku langsung pergi meninggalkan ruang guru. Aku tidak menyangka mendengar semua ujaran kebencian itu dari Midokari-sensei yang baru saja memanggil Hanakawa dengan sebutan 'nona muda'. Lagipula, Hanakawa itu tidak bisu, dia hanya tidak bisa berbicara dengan keras karena bibirnya yang kecil dan tinggi nya yang hanya sebatas pinggang ku saja. Jadi, sebelum aku, ada orang lain yang ternyata sudah membencinya.
Aku hanya tau keluarga Izumi ini terkenal karena butik dan toko boneka nya dan selalu menjadi sponsor kami dalam hal membuat kostum. Selebihnya, aku tidak pernah tau hal jelek apa yang telah mereka perbuat sehingga si sulung ini di anggap iblis.
.
.
Sesampainya dikelas, betapa dikejutkan nya aku dengan kehadiran Hanakawa yang tergeletak di lantai kelas. Lebih parahnya lagi, semua orang hanya melihat dan tidak menolong.
"Izumi..." aku berlari kearahnya dan membantunya berdiri. Astaga, hidungnya mengeluarkan darah dan banyak memar di wajahnya. "Siapa yang telah menghajar mu, Izumi?" dia hanya menggeleng. Raut wajah nya terlihat sangat tersiksa dengan luka-luka yang sepertinya masih baru. Aku yakin dikelas ini ada yang menghajarnya.
"SIAPA, HAH?! SIAPA YANG BERANI MENGHAJAR ANAK ORANG INI, HAH?! NGAKU KALIAN SEMUA." senyap, hanya sepintas kudengar suaraku sendiri yang menggema memenuhi kelas, seolah-olah penghuni lain yang ada disini selain aku dan Hanakawa bisu mendadak. Mereka hanya menunduk, diam, tidak bersuara dan tidak ada yang berani menatap kemari.
serius, sebenarnya apa yang terjadi?
Hanakawa menarik telapak tangan ku. Tatapan nya begitu berat untuk terbuka tapi dia sepertinya berusaha menyampaikan sesuatu sampai akhirnya dia benar-benar pingsan di pangkuanku.
"Chieko, aku minta tolong bawa saja aku ke UKS." aku mengangguk dan menggendong tubuh nya yang kecil itu menuju UKS. Betapa bodohnya aku, dia sedang menahan sakit di sana mungkin dalam waktu yang cukup lama dan tidak ada siapapun yang tergerak hatinya untuk membantu Hanakawa. Aku bersumpah akan menghajar balik orang yang sudah membuatnya seperti ini.
"Permisi, dokter." pintu abu-abu itu terbuka dengan keras, membuat penjaga UKS sekaligus dokter terkejut dan melotot kearah ku.
"Ma..maaf, aku begitu panik." dokter itu hanya menggeleng dan mengizinkan ku masuk kedalam. aku menidurkan Hanakawa yang sudah pingsan dalam dekapan ku di atas ranjang. Dokter tadi menyiapkan beberapa obat dan plaster sambil menanyakan kejadian nya.
"Ini sih perundungan namanya. Apa kamu tahu siapa yang melakukan nya?"
"Tidak, saat itu aku baru saja masuk kelas bersamaan dengan bunyi bel. aku lihat dia sudah di atas lantai dalam keadaan begini." suaraku hampir kacau karena ingin menangis. Rasanya ini seperti karma untuk ku. Karma yang membuat ku merasa bersalah hingga sesak di dada, bersalah karena menolak permintaan nya untuk diajak berkeliling bareng buat melihat sekitaran sekolah. Jika saja aku mengikuti walaupun terpaksa, mungkin dia tidak akan seperti ini.
Aku merasa air mataku mau menetes, tapi ku tahan karena ada orang dewasa di dekatku.
"Lukanya sudah di obati. Saran saya, temani dia sementara di sini sampai dia sadar. Jangan lupa untuk memberinya air hangat." pintanya lalu kemudian pergi keluar untuk mengajar di kelas lain. Kini UKS hanya di tempati olehku dan Hanakawa.
"Maafkan aku, kamu jadi seperti ini." Sial, rasa bersalah ini semakin menumpuk sehingga terasa sangat sakit. Aku ingin mengulang ini dari awal. Bukan karena aku benci dengan nya, aku hanya takut akan berakhir sama seperti dirinya dan aku takut akan dijauhi seluruh teman kelasku sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Yuuzy Haruka
di sini harusnya Hanakawa gak bisa mengeluarkan suaranya dengan jelas, tapi semakin jauh jalan cerita, suara Hanakawa pun kembali normal dan tidak lagi harus berbisik ke orang yang mau di ajak nya bicara.
2022-11-24
3