10 Januari tahun sekian, seperti biasa hawanya masih panas walau di dalam sini sudah memasang AC saat malam tahun baru. Itu adalah hadiah dari para dermawan yang selalu mengunjungi gereja ini. Meskipun belum lama bekerja sebagai pendeta, gereja mulai menunjukkan perubahan yang sangat bagus baik untuk orang yang tinggal di dalam nya, maupun orang yang datang beribadah.
.
.
Saat sedang sibuk mengatur buku di rak belakang, cuaca berubah tak lama kemudian, membuat ruangan ini berangsur-angsur sejuk. Aku mengambil remote AC dan mengurangi sedikit suhu nya, tak ingin membuatnya tambah dingin.
Hari ini, aku akan bertemu seseorang. Dia sebenarnya sudah sering kemari untuk berdoa, tapi kadang sesekali saat aku berada di gereja, dia menantang ku bermain catur dengan perasaan yang amat menggebu—walau aslinya tidak pandai memainkan nya. Tapi cuaca nya menjadi tidak bagus sekarang, hujan makin deras dan terkadang kilat menyambar beberapa tempat dalam sekejap mata. Aku tidak yakin dia bisa datang lebih awal, jadi langsung saja aku memasang set catur dan menunggunya.
Kamu ingin tau seperti apa orang yang akan ku temui ini? Dia lumayan menyeramkan untuk seorang gadis, namun dia sangat populer di bidang vokal dan musik. Membuatku jatuh cinta. Aku mungkin akan menyatakan perasaan ini padanya, hanya saja, sekarang aku belum siap mental—terutama menahan siksaan yang mungkin saja terjadi, yang di lakukan oleh para penggemar gilanya.
"Hemmm, mungkin seharusnya aku melarang—" belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, suara pintu gereja terbuka.
Gadis itu datang. Aku sangat merindukan nya, aku sangat ingin memeluk nya—tapi tidak bisa.
"Ahh, aku jadi lembab gini padahal dah pake payung—haha, pendeta, maaf ya aku lama." Gadis itu melambaikan tangan ke arahku. Dia masih saja kebiasaan memanggilku begitu, padahal, kalau sama aku panggil nama saja. Kita kan bukan orang asing.
"Loh kok kecut gitu mukanya, jadi kamu dah nunggu lama banget? Maaf ya, pendeta."
"Kan sudah pernah ku bilang, panggil nama saja-- ughh, Azumi gak peka." Aku menutupi wajahku dengan buku. Aku sangat malu, kau tau. Jadi aku tidak ingin dia melihat wajah tomat ini dari seorang pria yang lebih pendek darinya.
"Hahahaha, maaf, aku lupa. Vhylen." Azumi melangkahkan kaki nya menuju tempat berdoa, biasanya dia akan berdoa dulu sebelum bermain denganku. Katanya ingin meminta izin sekaligus di mudahkan permainan baginya kali ini. Dia selalu melakukan nya setiap sudah menantang ku. Benar-benar gadis yang menarik bukan?
"Tolong buat aku menang kali ini, Jesus. Amin."
"Hahahaha."
"Apa sih, Vhylen?!"
"Kamu tidak perlu melakukan nya, ini cuma permainan bukan persaingan inter." Aku tidak bisa menahan ketawaku hingga suaranya bergema ke seluruh ruangan. Gereja saat ini hanya ada aku dan Azumi, yang lain sedang sibuk di panti asuhan melakukan pekerjaan sosial, seperti memberi sumbangan. Seperti nya mereka terjebak hujan dan tidak bisa kembali tepat waktu. Hari ini, aku kebetulan di suruh berjaga jadi aku bisa bermain sepuasnya dengan Azumi tanpa ada yang memanggilku.
Setelah melakukan "kebiasaan" nya, Azumi duduk di sebelah ku sambil menjaga jarak untuk papan catur yang berada tepat di tengah-tengah kami. Aku tidak mengerti, kenapa dia sangat terobsesi dengan catur, mengingat kepintaran nya masih di bawah rata-rata. Tapi aku tidak mengerti kenapa di pelajaran sekolah, semua nilainya sangatlah bagus. Bisa dibilang sebesar 89% lah kemampuan belajar dia di banding memainkan catur ini.
"Bagaimana sekolah mu hari ini? Apa menyenangkan?"
"Hahh?! Emang kamu orang tua ku nanya kek gitu hahahaha."
"Cih, kan aku cuma mau tau. Aku tidak bisa merasakan nya karena sudah di takdir kan menjadi pendeta di sini." Azumi menepuk pundak ku, berusaha menghibur dengan senyum yang singkat. "Kau itu punya bakat di bidang ini, jadi bahagia lah." Tambah nya. Itu membuat ku makin menatap nya dengan mata berbinar-binar—namun tidak lama. Aku mulai merasakan ada yang aneh di tubuh Azumi dan aku tidak menyadari nya sejak awal. Hal aneh itu baru nampak saat dia duduk di sebelahku. Terlihat seperti jejak telapak tangan kecil berwarna hitam di kedua pundak Azumi. Ini kelihatan nya sebuah tanda kepemilikan yang hanya bisa di berikan oleh roh yang di kendalikan oleh iblis dari jauh. Aku tidak yakin sebenarnya, tapi auranya sangat mirip. Saking miripnya, aku tidak bisa melepaskan pandangan ku dari tanda nya.
Aku mendekatkan diri kearahnya—sebelum nya ku pindahkan kembali papan catur itu ke belakangku karena menghalangi. Azumi menatap ku aneh, lantas pelan-pelan dia mundur kebelakang. Tanda ini harus ku hilangkan walaupun tidak akan langsung pudar begitu saja, butuh waktu. Semoga saja yang memberi tanda ini tidak menyadarinya.
"Vhylen, kamu kenapa?" aku sedikit menekan kedua pundak nya sambil bergumam, mantra ini gak langsung sih ngeluarin efek nya, maka dari itu aku harus memberi tekanan—yang pasti Azumi akan kesakitan.
"Tu..tunggu, Vhylen, kamu menyakiti ku." sialan, aku sudah duga ini. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Sedikit lagi tanda ini menghilangkan auranya untuk sementara. "Maafkan aku, Azumi." Aku menepuk pundak nya keras di mana tanda itu masih mengeluarkan auranya. Panas, jadi ternyata tanda seperti itu ada benarnya bisa menempel pada orang yang ingin kamu miliki. Tapi, sepengetahuan ku, tanda ini juga buruk. Dia lebih mudah untuk memancing roh lain, dengan hasrat ingin memiliki nya juga.
Setelah melakukan pengusiran aura yang ada pada tanda itu, Azumi terlihat sedikit berkaca-kaca. Aku tau, sepertinya tadi terlalu berlebihan, untung saja, auranya sudah mulai memudar, hanya tinggal tanda itu. Aku hanya bisa menghilang kan aura tersebut agar tidak memancing lebih banyak roh lain menghinggapi jiwa Azumi.
"Cih, Vhylen. Kok kamu nyakitin aku? Pundak ku jadi berat banget." Azumi sempat menarik rambut ku hingga berantakan. Sakit sekali, tapi mau bagaimana lagi. Ini untuk kebaikan teman masa kecil ku—dan juga calon istriku, semoga.
"Maafkan aku, Azumi. Mungkin kamu tidak akan mengerti tapi akan aku katakan setelah kamu menjawab pertanyaan ku. Siapa yang berada di dekat mu sepanjang hari ini di sekolah?" Azumi menaikkan alisnya. "Apa pentingnya buat mu?"
"Jawab saja." Aku mendekatkan wajahku kearah nya dan menatap kedalam matanya. Aku masih tidak mendapatkan petunjuk sendiri walau jaraknya sudah sedekat ini. Biasanya, aku berhasil melakukan nya dengan menatap pupil mata seseorang.
Azumi berpikir sebentar, menjauhkan tatapan nya dariku dan melihat langit-langit gereja. Aku bertaruh banyak yang berada di sekitar nya itu bukan teman-teman satu band nya, melainkan seseorang yang punya niat jahat padanya.
"Oh, selain anggota Rox'iz, aku juga punya teman baru di kelas, teman sebangku juga. Dia sangat manis dan imut. Tingginya seperti anak SD—sepinggang ku malah dan dia harum seperti permen kapas." Dia membuka ponselnya dan menunjukkan gambar dirinya bersama orang yang dia sebutkan barusan.
Hemm, aku seperti nya tidak asing dengan gadis mungil ini. Apa mungkin, orang yang terlihat suci seperti dirinya punya niat jahat ke Azumi?
"Siapa namanya?"
"Oh, namanya—...." Saat Azumi mencoba menyebutkan nama gadis itu, gemuruh petir menyambar sangat keras di luar sana sehingga menghalangi suara Azumi. Malam ini, kemungkinan akan di lanjutkan oleh badai besar. Azumi yang menyadari akan turun hujan lagi, dia bergegas mengambil helm nya dan berjalan keluar meninggalkan aula gereja. Sebelum nya dia berpamitan padaku dan minta maaf tidak bisa melanjutkan permainan karena dia baru ingat lupa membawa jas hujan dan hanya ada sebatas payung yang dia bawa sambil mengendarai motor.
Aku khawatir kalau dia melakukan itu, tapi, dia adalah gadis paling keras kepala yang aku kenal sejak 10 tahun yang lalu.
"Maaf ya, Vhylen. Aku pamit pulang dulu." Azumi melambaikan tangan kemudian menginjak keras gas motornya dan melaju dengan kencang menembus malam. Aku kecewa karena lupa menanyakan ulang nama gadis itu. Ada kemungkinan, dia yang melakukan nya. Semoga Azumi sampai dengan selamat kerumah nya, gadis gereja sepertinya itu pasti di lindungi Jesus di atas sana.
.
.
.
.
.
Rintik hujan perlahan-lahan jatuh membasahi bumi di dalam gelapnya malam. Azumi membawa motor nya dengan kencang menembus angin dingin yang menusuk kulit, hembusan nafasnya membuat pandangan nya terganggu karena kaca helm nya berembun saat dia bernafas.
"Orang tolol mana coba yang bawa motor pake payung? Ughh, dia jadi gak berguna dan terbang di tiup angin sekarang." Azumi makin menancap gas sekuat tenaga dan mencari tempat untuk berteduh sementara.
Pandangan nya melirik sebentar kearah jam tangan nya. Jam 9 malam lewat 45 menit, dia nampak gusar sekarang. Perjalanan dari gereja menuju apartemen nya benar-benar menghabiskan waktu banyak, untung saja hujan belum turun saat Azumi masih melaju di pertengahan kota. Kemungkinan akan sampai tepat pukul 10, tapi hujan semakin mengerikan dan Azumi tidak tahan dengan hujan deras bersama dengan petir itu.
5 menit berlalu, di ujung jalan ada cafe sepi dengan sebuah pohon mangga yang cukup besar tumbuh berjarak 5 meter di samping nya. Azumi bernafas lega, lantas melajukan lagi motornya menuju cafe itu.
"Ahhh, akhirnya." Cafe itu cukup sepi namun lampunya masih menyala, yang berarti dia masih buka. Azumi cepat-cepat melangkah masuk kedalam cafe, mengistirahatkan dirinya di kursi depan. Pelayan cafe saat itu juga datang dan menawarkan menu nya serta handuk.
"Karamel macchiato dengan cheesecake. Oh, aku boleh beli handuk nya, kalau ada?" Pelayan itu mencatat pesanan Azumi dan pergi kembali masuk kedalam cafe untuk menyediakan pesanan nya. Apa ini hanya perasaan ku saja atau pelayan itu tadi gelagatnya aneh sekali. Tatapan nya kosong dan dia berjalan lumayan sempoyongan saat masuk ke dalam cafe tadi, pikir Azumi lantas kembali menatap layar ponselnya.
Hujan masih terus berjatuhan di luar sana, jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat 55 menit, yang berarti 5 menit lagi pukul 10 tepat. Azumi memeras pangkal rok nya yang basah kuyup dan melepaskan stoking serta sepatunya karena sudah sangat lembab dan tidak nyaman untuk di kenakan seterusnya. Lalu dia mengeluarkan sendal jepit yang sudah dibawanya dari apartemen, berjaga-jaga hal ini akan terjadi.
Pelayan pun datang membawakan pesanan nya bersama handuk dan kantong plastik besar—yang sebenarnya Azumi pun tidak meminta benda itu. Azumi berterima kasih dan mulai menyeruput macchiato nya setelah pelayan itu pergi meninggalkan nya sendirian di bangku luar cafe. Jujur, mungkin saja lebih hangat di dalam sana tapi Azumi berpikir tidak ingin merepotkan lebih pelayan-pelayan di dalam untuk mengelap tempat duduk nya yang basah saat akan di tinggalkan nantinya.
Azumi memang suka memberikan perhatian berlebihan terhadap apapun.
"Aku gak ngerti, Vhylen sebenarnya kenapa ya tadi. Dia sempat menanyakan Hanakawa..." Dalam renungan nya, Azumi memikirkan kejadian di gereja, terkadang rasa sakit di pundak nya muncul samar-samar.
Vhylen biasa tidak melakukan hal itu, kecuali dia sedang melihat hal-hal mistis atau yang aneh lain nya. Meski demikian, Azumi tidak pernah percaya dengan apa yang Vhylen liat dari dirinya.
"Masa iya ada iblis yang berani nempel ke aku di dalam gereja? Hahaha, Vhylen mungkin saja ingin mengajak ku berantem waktu itu. Harusnya aku ladenin saja, tapi, seingat ku dia payah kalau berkelahi." Azumi mengunyah habis cheesecake nya lalu kembali merenung. Dia memperhatikan pohon mangga tadi, terlihat ada sesuatu yang aneh menggantung di antara ranting-ranting nya. Seperti bola, tapi tidak terlihat jelas karena tidak ada pencahayaan sedikitpun yang mengenai pohon itu.
Azumi memperhatikan benda—setidak nya itu yang ada di pikiran nya cukup lama, tapi karena hujan tidak kunjung berhenti dia menghentikan niat nya untuk melihat lebih dekat. Seperti ada aura menakutkan yang terpancar di sekitaran pohon mangga itu, setiap melihatnya, sekeliling menjadi lebih dingin dan menusuk ketimbang saat bermandikan hujan dengan hembusan angin saat melaju di atas motor.
"Ah, aku harap cafe ini menjual payung atau jas hujan juga di dalam. Handuk saja dia kasih." Azumi membereskan barang bawaan nya dan dimasukkan nya kedalam tas. Dia masuk ke dalam cafe untuk membayar menu yang di santap, tak lupa dengan handuk nya juga di kasir. Kebetulan mereka juga menjual jas hujan di rak khusus musim hujan, benar-benar cafe rasa toko kelontong.
"Wah, hujan nya makin deras. Jadi males, walau sudah beli jas hujan gini." Dia mengenakan jas hujan nya dan berjalan menuju parkiran. Tetapi, meski sudah memantapkan diri untuk tidak memperdulikan nya, dia masih menaruh perhatian nya pada pohon mangga itu. Semakin tidak ingin melihatnya, semakin besar kemungkinan Azumi nekat untuk menghampiri sesuatu yang entah itu apa.
Setelah menyalakan mesin motornya, diapun akhirnya kalah dengan rasa penasaran yang terus menggebu di dalam hatinya. Bersama dengan motornya, dia mendekati pohon mangga itu.
Agar benda itu terlihat, Azumi menyalakan lampu motornya dan menyoroti pohon mangga itu. Tapi ternyata cahaya nya pun masih tidak menjangkau benda itu, padahal dari cafe benda itu terlihat tidak menggantung di tempat yang cukup tinggi.
Azumi menelan ludah, dengan keberanian nya, dia melangkah sendiri mendekat dengan lampu senter dari ponsel yang dia pegang. Tangan nya menyorot kembali benda itu. Azumi melotot tidak percaya, tatapan nya pucat pasi seketika melihat apa yang ada di atas sana. Satu, tidak, ada lima kepala wanita terikat di ranting-ranting besar, di tumpuk di satu tempat seperti buah kelapa.
"AAAAAAA!!!!!" Azumi lantas jatuh tersungkur ketanah dengan tatapan ngeri. Kepala-kepala itu terlihat masih sangat baru dengan mata yang terbelalak lebar dan mulut menganga dengan darah yang sudah mengering menyelimuti rahangnya. Yang lebih mengerikan nya lagi, sekumpulan kepala tanpa badan yang saat ini ada di hadapan nya terlihat sangat tidak asing. Mereka adalah teman-teman kelas Azumi yang sudah menganiaya Hanakawa di kelas tadi pagi saat jam istirahat. Hari ini, dia melihat mereka sudah kehilangan nyawa, yang menyisakan kepala saja.
Badan Azumi seketika gemetar, perut nya merasa mual dan dingin mulai menusuk lagi setelah hilang sejenak saat berada di dalam cafe. Ternyata benar, menuruti rasa penasaran itu, terkadang bisa membuatmu menyesali nya.
Azumi buru-buru mengambil ponsel nya dan menelfon polisi. Tak butuh berjam-jam sirine mulai menggaung dari ujung jalan menuju ke tempat Azumi yang masih menatap kepala-kepala itu. Hawa mencekam itu ternyata berasal dari jiwa-jiwa pemilik kepala ini, mereka mengeluarkan aura itu untuk memanggil siapapun yang berada di sekitar.
Beberapa polisi mulai menanyai beberapa pertanyaan kepada Azumi, tapi dia masih tertegun. Raut wajah ketakutan nya tetap terlukis bahkan saat polisi tiba di TKP. Bahkan Azumi pun tidak memikirkan kalau dia bisa jadi tersangka dengan kasus kebetulan ini.
Ini membuat Azumi trauma hingga keesokan paginya di sekolah.
.
.
.
.
.
Hari ini sekolah lebih ramai dari biasanya. Semua tengah berkumpul di depan kelas mereka dan melihat halaman depan yang kedatangan sekelompok pria berseragam lengkap dengan senjata di tangan mereka.
Apa akan diadakan simulasi kecelakaan atau mereka sedang menggeledah seseorang yang tertangkap membawa narkoba?
Aku masih tidak bisa menduga apa-apa setibanya aku di kelas.
Di kelas sudah ada Azumi yang duduk tertunduk, dengan mata yang terbuka lebar. Tunggu, apa dia sedang ketakutan?
"Hayo, Chieko-san, masih pagi gini kamu kok bengong?" Aku berlari dan memeluk nya dari belakang. Dia spontan menoleh ke arahku dan melepas kan paksa pelukan ku untuknya. Wajahnya terlihat ketakutan, sedikit marah juga. Terlihat pula keringat membasahi jidat nya yang tertutup sebelah poni nya yang telah berantakan. Chieko terlihat benar-benar kacau pagi ini.
"Bu..bukan aku, bukan..."
"Kamu kenapa, Chieko-san?"
"AKU BILANG, BUKAN AKU PELAKUNYA!!" kali ini dia meninggikan suaranya dan menggebrak meja dengan keras membuat kayu itu sedikit retak karena tangan nya. Padahal aku tidak melakukan apapun selain memeluk nya. 'Pelaku'? Apa maksudnya itu?
"Chieko Azumi, kamu di panggil pak kepala untuk mengatakan kesaksian mu sekali lagi kepada polisi." Tanpa tanggapan, dia berjalan lunglai keluar kelas menuju ruang kepala sekolah.
Setelah kepergian nya, wali kelas pun menjelaskan maksud kedatangan polisi kemari. Seperti yang di beritakan semalam—katanya, soalnya aku tidak punya televisi di rumah jadi aku tidak tahu, semalam telah ditemukan 5 kepala manusia yang dikabarkan merupakan milik dari 5 gadis yang secara kebetulan murid dari kelas ku. Azumi di panggil mereka karena dia yang kebetulan pula menemukan kepala itu saat tengah perjalanan pulang kerumah.
Kasihan sekali Azumi, dia jadi seperti tadi pasti karena telah melihat hal yang mengerikan malam hari di tengah hujan. Mental nya sedang terguncang, pantas saja. Setelah dia selesai memberikan kesaksian nya, terpaksa lagi aku menggunakan liontin ini untuk menyembuhkan traumanya dengan cepat.
Aku tidak ingin Azumi menatap dengan tatapan seperti itu lagi kearah ku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Tayi Kecowa Wangy
"dan juga calon istriku" AAAAaaaAaAA aku yg baper maazzzz 🛐🤲✨
2022-09-23
2