Mas Pasha sudah mengabari keberangkatan pesawat yang akan kami gunakan, lalu katanya,
"Ya udah Cit, sekarang aja ya berangkat, nanti gak usah turun kamu Cit, repot naik tangganya, biar mas langsung ke luar kalau kamu sudah di depan kantor!" ucapnya.
"Oh iya mas, aku berangkat sekarang ya?"
Kami semua langsung masuk mobil, rumah dikunci ibu, garasi juga dikunci Tuti, kemudian kunci dipegang mbak Nina.
"Mang Udin mampir rumah ibu dulu ya mau titip kunci sama Sri, biar nanti Sri bisa bersih-bersih rumah sama ambil makanan sisa di meja makan. Sayang masih banyak sisa lauk pauk tadi kulihat," ucap mbak Nina, sambil sibuk merapihkan kunci rumah ditangannya.
"Siap Nina" suara mang Udin sambil tersenyum.
Mobil sudah parkir di depan rumah ibu. Mbak Nina turun membawa kunci rumah Citra, Melihat Mbak Nina masuk rumah, bapak keluar memandangi mobil ku. Aku membuka jendela mobil, sambil berkata,
"Aku gak turun ya pak! mbak Nina cuma titip kunci rumah," ucap ku.
"Iya Cit, hati-hati ya" jawab bapak, sambil mengangkat satu tangannya melambaikan ke aku.
bapak mendorong kursi rodanya berhenti di teras agar lebih dekat dengan mobil. Di rumah cuma ada Sri dan Nisa, Tono sedang bekerja dan Didik sekolah. Bapak memandangiku terus tanpa berkedip, dari balik jendela mobil, aku melambaikan tangan sambil menatapi bapak, bapak ikut melambaikan tangannya. Ada butiran air mata yang tertahan dari kedua buah mata bapak yang hampir menetes, menahan untuk tidak terlihat sedih di depan ku. Aku memahami kesedihan yang bapak alami. Hampir saja air mataku tumpah, aku mengalihkan berpura-pura menghadap ke mbak Nina yang masuk mobil, buru-buru aku seka air mata ini yang hampir tumpah. Sri keluar berdiri di sebelah bapak ikut melambaikan tangannya. Aku berusaha tersenyum hingga bayangan bapak dan Sri menghilang dari pandangan ku. Mobil melaju kencang ke arah mangga besar, kantor aku dan mas Pasha disana. Setelah aku melihat belokan ke arah kantor, aku mengambil ponsel, kemudian menelepon mas Pasha, telepon diangkat,
“Iya Cit, sudah diaman?” tanya mas Pasha.
"Aku sudah melewati ikan hias, bentar lagi masuk gang ke kantor" ucap ku.
"Ok Cit, mas keluar ya. Ini ada beberapa teman-teman kantor mau ketemu kamu juga ikut turun" ucap mas Pasha.
Baru saja ku tutup telpon. Mobil sudah masuk pintu gerbang kantor dan berhenti di loby kantor. Aku kaget di loby sudah berjejer teman kantor ku dan teman mas Pasha menunggu ku. Sebelum aku buka pintu, Pasha berkata,
"Gak usah turun Cit, nanti kamu capek."
Satu persatu mendekat ke pintu mobil, ada Siti, Tia, teman seruangan ku, dan Vita, Lisa tak lupa pak Bambang manager mas Pasha yang Juda teman ku. Mereka semua menanyakan kabar ku, dan mengucap syukur keadaan ku makin membaik. Dipeluk erat-erat sama Siti dan Tia sahabat ku. Ini mungkin menjadi perpisahan aku dengan teman kerja ku. Mas Pasha langsung duduk di depan sebelah mang Udin. Semua teman merapatkan kedua tangan memberi hormat. Aku melambaikan tangan hingga mobil menjauh dari pandangan.
Di perjalanan aku mengambil ponsel dan mengabari Teguh anak Bu Haji yang di Surabaya,
"Assalamualaikum Teguh,"
"Waalaikumsalam mbak Citra, udah berangkat ke bandara ya?"
"Iya Ini lagi otw, pesawat jam 2 ya?'
"Ok, aku jam 3 udah disana ya jemput mbak Citra."
Tadi pagi sebelum berangkat aku sudah ber wa dengan Teguh kalau pesawat ku berangkat jam 2, makanya saat aku telpon Teguh sudah mengerti maksud ku.
Di bandara mas Pasha meminta kursi roda untuk penumpang disabilitas, semua cek In berjalan lancar. Mas Pasha meminta mang Udin membawa pulang mobilnya, dan diparkir di rumah bapak saja, biar kalau Tono butuh bisa dipake. Ibu sudah memberikan uang ke mang Udin untuk mengisi bensin dan upah untuk mang Udin. Aku mengirim pesan ke WA Sri kalau mang Udin sudah perjalanan pulang untuk titip di mobil di garasi rumah bapak.
Saat di atas pesawat kulihat ibu dan mbak Nina yang duduk di seberang kursi ku terlihat grogi.
"Kenapa mbak? kok keliatan gusar!" ucap ku.
"Gimana sih Cit rasanya kalau pesawat di atas, serem nggak?" tanya nya.
Oh, aku baru sadar kalau mbak Nina dan ibu baru pertama kali terbang. Biasanya kalau pergi keluar kota pasti lewat darat, lalu kataku
"Biasa aja gak kenapa-kenapa kok, nanti dirasakan sendiri ya, tapi jangan lupa berdoa saat mau terbang," kataku.
Ibu ikut menyimak apa yang kukatakan.
Pesawat siap-siap akan terbang, semua ponsel diminta dimatikan, sabuk pengaman digunakan. Tidak berapa lama pesawat sudah di udara. Aku lirik mbak Nina dan ibu yang sedari tadi komat Kamit berdoa sambil menutup kedua matanya. Setelah agak tenang baru mbak Nina membuka kedua matanya, kemudian menoleh ke aku. Aku tersenyum memandangi kelucuan wajah Mbak Nina yang terlihat tegang.
"Gak papa kan?" kata ku.
"Iya, begini ya rasanya!" sambil tersenyum dan menepuk lengan ibu untuk membuka mata,.
“Bu, sudah aman. Buka aja matanya.” Ucap mba Nina.
Tuti yang duduk persis disebelah jendela malah asyik memandangi awan dari kaca jendela pesawat. Ibu duduk diapit sama mbak Nina dan Tuti.
Arya duduk di sebelahku asyik memegang mainannya. Walau masih kecil Arya sudah biasa naik pesawat, jadi saat pesawat take off atau landing, Arya biasa saja, tetap asyik dengan mainannya, gak rewel. Dulu saat Arya masih bayi pramugari meminta aku menyusui Arya saat pesawat mulai naik, agar gendang telinga Arya gak sakit. Tapi setelah terbiasa Arya biasa saja tidak perlu disusui,
Melirik mas Pasha tertidur pules sambil memegangi tangan ku disebelah Arya. Sengaja aku tidak ganggu, biar saja istirahat, tadi pagi mas Pasha bangun pagi-pagi sekali, makanya, sore ini sudah ngantuk.
Satu jam terbang tidak terasa. Pramugari sudah memberikan informasi pesawat akan landing. Aku lihat dari kaca jendela pesawat, kota Surabaya sudah terlihat jelas dari atas. Aku melamun, kota ini akan menjadi tempat aku berteduh, menapaki karier dan kehidupan keluarga ku.
"Mas Pasha, bangun mas, sudah mendarat!" ucap ku, membangunkan mas Pasha.
Aku usah-usap tangan mas Pasha membangunkan.
"Udah sampe ya Cit?"
"Iya pak, tuh liat udah sampel" suara ceria Arya memandangi keluar jendela.
Pramugari menghampiri aku, meminta aku turun dulu, kursi roda sudah menunggu di depan tangga pesawat. Aku berdiri dengan tongkat ku, dibantu mas Pasha, dibelakang ku Tuti menggendong Arya. Kemudian ibu dan mbak Nina.
Sesampai di bawah seseorang petugas membawa kursi roda.
"Dengan ibu Citra ya?” tanya nya.
"Iya pak, ini istri saya Citra?” ucap mas Pasha.
Aku dibantu untuk duduk di kursi roda, Arya sepeti biasa minta duduk dipangkuan ku. Wajah ceria Arya ikut didorong di kursi roda.
"Bapak ada yang jemput?" tanya petugas yang mendorong kursi rodaku.
"Ada pak, di depan sudah menunggu." Ucap mas Pasha.
"Oh baik, nanti diarahkan aja ya pak, mobilnya parkir dimana nya," suara bapak petugas yang ramah, mendorong kursi roda ku dengan hati-hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 438 Episodes
Comments
Aryoseto
seneng nya liat citra bersemangat gitu
2022-10-15
0