Aku sudah berada di dalam taksi, perjalanan pulang ke rumah. Dokter Tavip dan dokter Haris mengijinkan aku untuk pulang. Karena kesehatan ku sudah membaik, tinggal melakukan poengobatan jalan untuk melakukan rangkaian terapi dan proses pembuatan kaki palsu ku. Aku membuka jendela kaca mobil taksi, melambaikan satu tangan ke suster Mia, yang masih memegangi kursi rodah, ucap ku,
“Terima kasih ya sus,” ucap ku.
Suster Mia yang ramah dan baik hati itu langsung membungkuk sambil berkata,
"Sama-sama ibu, hati-hati ya Bu Citra, selamat sampai di rumah!"
Aku ikut menunduk sambil menekan tombol penutup kaca pintu mobil. Melambaikan satu tangan. Mbak Nina yang duduk di depan sebelah sopir juga ikut melambaikan satu tangan untuk suster Mia, hingga pandangan suster menghilang. Baru saja mobil melaju keluar pintu gerbang rumah sakit, ponselku berdering. Ku ambil ponsel di dalam tas. Ku baca siapa yang menelepon,
"Siti, ada apa ya?" batin ku
"Assalamualaikum Sit, ada apa,? Tanyaku.
"mbak, tadi aku email. Ada surat pemindahan tugas untuk mbak dari bos. Tadi pagi rapat mbak, itu hasil keputusan rapatnya."
deg
aku bertanya-tanya ada apakah, apa aku akan dipecat karena sudah menjadi seorang yang cacat, baru saja kemaren bos Hera memberi santunan kecelakaan aku sepuluh juta untuk membantu biaya perawatan ku, dan pak Slamet ikut menyumbang lima belas juta untuk meringankan biaya mas Pasha sebagai suamiku. Sekarang Siti bercerita aku dapat surat dari kantor, aku sudah pasrah untuk keadaan ini, kalau aku diberhentikan karena kondisi aku sekarang. Saat pikiran aku melayang jauh yang semakin memburuk, Siti melanjutkan pembicaraan nya,
"Hasil rapat tadi, mbak ditempatkan di Surabaya, begitu pula Pak Pasha. Perusahaan pak Slamet akan membuka kantor cabang baru di Surabaya, laku mbak Citra dan pak Pasha nanti yang diminta untuk mengelola kantor di Surabaya, sementara Deni dan Riki juga dikirim ke Surabaya untuk membantu kantor cabang di Surabaya." Ucap mbak Siti, menceritakan hasil keputusan rapat hari ini.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Sit, informasi nya!"
“Gitu dulu ya mbak.”
Klik
Telpon ditutup, aku menjadi lega atas informasinya yang aku terima dari Siti. Seharian aku belum dapat kabar dari mas Pasha, WA ku pun belum di balas. Aku tidak tahu apa yang dilakukan mas Pasha di kantor. Mau bertanya ke Deni teman kantor mas Pasha sungkan, takut ganggu. Ponsel yang sudah dipegang berniat untuk menelpon mas Pasha ku masukkan kembali ke dalam tas.
"Tunggu kabar aja deh, gak usah ditelepon takut ganggu" batin ku
Mbak Nina, sibuk bertelepon dengan ibu, mengabarkan kalau kita sudah di jalan menuju rumah. Ibu, setelah mendengar kami sedang perjalanan pulang, Memberitahu keluarga di rumah untuk bersiap ke kontrakan ku. Kemudian, ibu, bapak, Tono, Sri, dan kedua anak Tono, yaitu Didik dan Nisa langsung berjalan kaki menuju rumah ku. Letak rumah ku, ke rumah ibu tidak jauh. Hanya berjarak beberapa rumah saja, masih ada di satu gang. Tono mendorong kursi roda Bapak, Didik dan Nisa ikut memegangi kursi roda bapak. Sementara Sri membawa rantang berisi lauk pauk yang dimasak ibu.
Sampai di rumah ku, ibu segera merapihkan makanan di atas meja makan, dan memasak nasi dengan magic jar. Semua merasa senang menyambut kepulangan ku. Apalagi bapak yang sejak kejadian kecelakaan belum pernah melihat aku. Rasa sedih bapak terhapus dengan kegembiraan mendengan aku sudah di perjalanan menuju pulang ke rumah. Begitu pula ibu, yang sejak kejadian pingsan di rumah sakit, tidak diijinkan bude Sarah dan mbak Nina untuk menjenguk aku ke rumah sakit, sangat ingin melihat kondisi ku.
Saat semua lagi santai di ruang tamu sambil menonton telivisi, menunggu kepulangan ku. Mobil taksi ku berhenti di depan rumah. Ibu langsung berlari ke luar rumah, setelah melihat siapa yang turun dari mobil, ibu terharu katanya,
"Citra, Alhamdulillah kamu sudah pulang nak!" ibu langsung memeluk ku.
Bapak mendorong kursi roda mendekati ku, tidak sabar juga untuk memeluk ku.
"Anak ku Citra sudah pulang," suara bapak bergetar sambil menangis melihat aku berjalan menggunakan tongkat.
Aku berusaha tersenyum, tidak ingin melihat bapak dan ibu bersedih dengan kondisi ku saat ini. Ibu membantu memegangi tangan ku, berjalan dengan tongkat masuk kedalam rumah.
Mba Nina membayar ongkos taksi, kemudian membuka pintu mobil taksi, keluar. Sementara Tuti dan Arya sudah keluar dari taksi duluan. Tuti dan mbak Nina, menurunkan barang-barang dari bagasi mobil. Arya berlari masuk ke rumah.
"Arya sini sama embah Kong, embah kangen."
Arya langsung minta duduk dipangkuan embah Kong, Mbah Kong tak berhenti menciumi Arya, dan bersyukur Arya sehat-sehat saja. Kemudian embah Kong bertanya,
"Arya gak ada yang sakit kan?" suara embah Kong gemetaran sedih mengingat peristiwa kecelakaan itu.
"Arya gak papa Mbah, cuma mama yang berdarah, tapi sekarang darahnya udah ilang embah!" cerita Arya yang polos. Usia Arya yang masih dua tahun merupakan pengalaman yang sangat menakutkan, hal itu yang membuat seluruh keluarga takut Arya mengalami trauma untuk naik mobil lagi. Tapi Arya termasuk anak yang aktif dantahan banting. Saat tadi perjalanan pulang ke rumah dari rumah sakit, Arya masih ceria di mobil, tidak ada rasa takut dan rewel saat di perjalanan.
Sri menggelar karpet di ruang tamu. Aku duduk di sofa depan televisi. Ibu dan Tuti menyiapkan makan di dapur.
"Citra, kamu makan ya, ibu ambilkan makannya?” pinta ibu.
"Iya Bu, aku udah laper nih. Aku udah kangen masakan ibu." Ucap ku.
Sepiring nasi dengan lauk daging rendang dan bakwan jagung disodorkan ke tangan ku, dan segera aku ambil. Tuti juga menyiapkan makan untuk Arya dan segera menyuapi Arya sambil main mobil-mobil kesukaan Arya. Sementara Mbak Nina sudah asyik makan di meja makan. Sambil makan aku cerita tentang berita yang diterima dari Siti mengenai pekerjaan ku.
"Trus nanti kamu jadi pindah ke Surabaya ya Cit?" tanya ibu begitu khawatir.
"Iya Bu, Alhamdulillah Citra masih bisa kerja Bu!" ucap ku.
"Tapi nanti kamu disana siapa yang urus, makin jauh dong ibu kalau mau bantu kamu?" ucap ibu merasa sedih dengan kondisi ku seperti ini harus pisah dengan keluarga.
Bapak juga kurang setuju untuk kepindahan aku ke Surabaya, apalagi dengan kondisi aku yang sudah semakin sulit, keluarga menjadi susah membantu kalau aku butuh pertolongan.
"Tapi Bu, pak, daripada aku gak kerja. Nanti aku gak punya uang, untuk bantu ibu dan adik-adik gimana?" kataku meminta restu.
Sebelum mereka menjawab aku melanjutkan bicaranya,
"Lagian kalau di Surabaya kan juga lebih dekat dengan keluarga malang, nanti embah malang bisa bantu-bantu di rumah sama Tuti" begitu jawab ku menenangkan ibu dan bapak.
Mendengar pembicaraan aku di ruang tamu. Mbak Nina, sambil melangkah ke ruang tamu, dan membawa nasi di piringnya, berkomentar,
"Iya Cit, kamu nanti repot banget disana! siapa yang bantu urus kamu dan Arya. Nanti Tuti repot sendirian urus semuanya, coba deh bicara lagi sama Bu Hera, minta kerjaan apa yang bisa dikerjakan dari rumah!" saran mbak Nina.
"Menurut ku ini keputusan yang terbaik mbak, kalau kerjaan yang dari rumah itu apa pasti nggak ada, kan itu perusahaan perdagangan, kerjaannya ya jualan barang. Kalau kerjaan administrasi pastinya harus ke kantor, aku kan untuk ke kantor susah nantinya." Jelas ku ke mbak Nina.
Apakah kira-kira Citra akan menadapar restu untuk pindah ke surabaya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 438 Episodes
Comments
范妮·廉姆
ak mampir LG ya kak ...
2023-11-04
0