Bentrok
Beberapa hari setelah penyerbuan gerobolan Santo cs, denyut nadi kehidupan warga kembali normal. Tak bisa dipungkiri kejadian itu tidak hanya meninggalkan luka fisik warga, terutama ibu - ibu dan anak anak. Namun yang lebih menyakitkan adalah luka psikis. Trauma yang mendalam. Luka ini akan terakumulasi dan menciptakan amarah dan dendam. Keduanya adalah dua elemen yang sangat ampuh sebagai bahan bakar pembalasan.
Di antara puing - puing yang tersisa, warga mencoba mencari sesuatu yang mungkin masih bisa digunakan. Sebagian warga mendirikan tenda seadanya. Ada pula yang langsung memperbaiki segala kerusakan, bagi mereka yang memiliki cukup tabungan.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Dia harus bertanggung jawab !" seru seorang ibu lantang. Bibirnya bergetar, menahan gemuruh emosi yang memuncak.
"Betul itu, bapak - bapak, ibu - ibu. Kita kasih pelajaran pada si Jhoni !" jawab seorang ibu lainnya. Beberapa orang berkumpul membahas kejadian naas yang mereka alami. Ibu - ibu tampak emosional, namum bapak - bapak dan para pemuda tampak berhati - hati mengambil keputusan.
"Jika memang dia harus bertanggung jawab. Apa yang bisa anak itu lakukan. Kita tahu sendiri keadaanya. Bahkan ibu Warijem ikut terbakar. Rumahnya juga sudah menjadi abu" Ucap seorang lelaki paruh baya yang dituakan. Namun warga tak puas dengan ucapannya. Bahkan mereka semakin tak terkendali. Makin lama semakin ramai yang berkumpul. Rata - rata mereka sependapat dengan dua ibu tadi.
"Usir dia dari kampung kita !"
"Setujuuu....!!"
"Kita semua di sini adalah pendatang. Jangan banyak tingkah !" seru seorang pemuda tak kalah galaknya.
"Ayo kita usir anak itu!" serunya lagi berapi - api.
"Usir.... usirr... usirr... !!!" Teriakan ibu - ibu menggema ke seantero kampung. Mereka bergerak beberapa puluh meter. Dan berhenti tepat di depan kediaman warijem yang sudah tak tersisa lagi. Sementar itu, Jhoni tertidur pulas beralaskan abu sisa bangunannya yang terbakar. Sepotong balok yang ujungnya gosong dia jadikan bantal. Lamat - lamat suara riuh warga memasuki alam bawah sadarnya. Membawanya antara mimpi dan nyata.
"Ada apa ini ?" ucap Jhoni keheranan, saat ia tak bisa lagi mempertahankan mimpi indahnya. Kini yang nampak adalah puluhan warga kampung yang berkumpul mengelilinginya. Ada kaum ibu, bapak - bapak dan para pemuda. Ada juga anak - anak di bawah umur yang ikut meramaikan suasana. Semuanya kompak meneriakan kata - kata makian. Semua kemarahan, kekesalan ditumpahkan sejadi - jadinya.
"Pergi kau, Jhoni !"
"Kami tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi !"
"Kami tidak mau ada penjahat di sini !"
"Cepat angkat kaki dari kampung ini !"
Teriakan dan makian tak henti - hentinya bergema. Jhoni hanya pasrah, saat tak ada lagi yang mau menerimanya. Bahkan tetangganya, kawan - kawan ibunya dan kawan sepermainannya. Semuanya bungkam. Perlahan ia bangkit berdiri. Dipandangi satu per satu warga yang ada di hadapannya. Yang memakinya, yang mengumpatnya bahkan yang mengusirnya. Semuanya tertunduk membisu.
"Baiklah. Aku akan pergi !" seru Jhoni mantap. Sementara suara - suara sumbang sudah tak terdengar lagi. Berganti suara bisik - bisik di antara warga dengan tatapan sinis. Dikuatkan hatinya saat tertatih melangkah. Perlahan tapi pasti ia meninggalkan puing - puing rumahnya dengan tatapan kosong.
"Aku harus kuat melewati ini semua !" serunya dalam hati. Dia terus berjalan, menyusuri kerasnya kehidupan jalanan. Bertahan hidup dengan hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang bertahan. Yang lemah, mati atau tertindas.
Sudah banyak korban berjatuhan ditangannya. Kebanyakan adalah anak - anak jalanan yang di temuinya. Karena persoalan sepele hingga perebutan wilayah menjadi sebab terbunuhnya mereka. Seperti yang terjadi beberapa saat yang lalu. Seonggok tubuh remaja meregang nyawa di tangan Jhoni.
Kemudian dengan santai, Jhoni menguliti jasad pria muda itu. Tak sampai di situ, di belahnya perut korbannya. Dengan senyum kecut, ia keluarkan jantung dan hati korbannya. Ia tak menyadari dua pasang mata sedang mengawasi aktifitasnya.
"Pekerjaan yang bagus, anak muda !" seru seorang pria dengan stelan jas hitam dan topi kodok. Perawakannya tinggi kekar dengan kaca mata hitam.
"Si... siapa kalian ?!" seru Jhoni panik. Spontan ia berdiri dan mengacungkan belati yang penuh darah. Dua pria di hadapannya terlihat tenang.
"Tenang anak muda. Kami tidak bermaksud jahat" ucap lelaki satu lagi. Penampilannya biasa saja, dengan potongan rambut belah tengah. Pakaiannya hanya kaos oblong dan celana bahan. Kedua tangannya diposisikan di depan dada dengan maksud menenangkan.
"Apa yang kalian inginkan ?!" seru jhoni dengan posisi yang belum berubah. Sorot matanya tak berkedip sedikitpun dari dua orang di hadapannya. Pria berjas hitam tersenyum melihat ekspresi pemuda di hadapannya.
"Kau adalah orang yang kucari selama ini."
"Maksudmu apa. Kau ingin menangkapku ?" Jhoni semakin panik. Sorot matanya menakutkan. Belati yang digenggamnya mulai di ayun - ayunkan di depan lawan bicaranya.
"Hei.... ! Kau salah sangka. Kau tidak akan ditangkap oleh siapapun !" lelaki yang berdiri di samping pria berjas, bergerak cepat. Kini ia berada di antara Jhoni dan pria berjas hitam, bermaksud melindungi atasannya.
"Siapa namamu, anak muda ?!" tanya pria berjas hitam.
"Apa urusanmu ?!" hardik Jhoni. Pria berjas hitam berdiri masih dengan ekspresi tenang. Tangannya memberi kode agar anak buahnya menyingkir.
"Apakah kau ingin bekerja denganku ?" ucapnya lagi. Wajahnya tegas menunggu jawaban sang pemuda. Sementara Jhoni mulai melunak. Pisau belati yang tadi mengacung lurus ke depan, kini diturunkan.
"Apa yang akan aku dapatkan ?" tanya Jhoni penuh selidik. Pria berjas hitam menoleh ke arah anak buahnya.
BRUUKKK...
Sebuah kantong kresek berisi puluhan ikat uang kertas dilemparkan ke hadapan Jhoni. Pemuda itu terkesiap, namun ia tak ingin gegabah. Ekspresi mukanya tidak berubah. Dalam benaknya menaksir jumlah uang itu sekitar puluhan juta Rupiah.
"Uang itu sebagai bayaran pembuka, jika kau bersedia bekerja untukku !"
"Apa yang harus aku lakukan ?" tanya Jhoni keheranan dengan bayaran yang begitu besar. Sedangkan itu hanya bayaran pembuka, bagaimana lagi bayaran selanjutnya, fikirnya. Namun Jhoni tetaplah Jhoni, ia tak ingin menunjukan isi hatinya. Ekspresi wajahnya tetap garang, menakutkan. Sorot matanya tajam.
"Carilah Korban sebanyak - banyaknya dan berikan organ dalam mereka kepadaku" ucap pria berjas hitam. Dia melangkah mendekati tubuh yang sudah dibedah oleh Jhoni. Diambilnya jantung yang lepas dari tempatnya.
"Ini adalah uang. Berapapun harganya, akan dibayar oleh para milyader yang sekarat" ucapnya lagi sambil mengangkat jantung yang masih basah oleh darah. Jhoni hanya diam mematung. Dia mulai menyadari sedang berhadapan dengan siapa.
"Baiklah, aku bersedia berkerja denganmu !" seru Jhoni mantap. Tangan yang basah oleh darah itu kini disodorkan ke hadapan pria berjas hitam. Tanpa jijik sedikitpun pria berjas hitam menyambutnya dengan senyum puas. Kedua orang itu kini berjabat tangan . Menandai kerja sama yang akan membawa perubahan drastis dalam kehidupan Jhoni.
Kini keduanya tersenyum lepas. Diikuti tawa anak buah pria berjas hitam. Ketiganya asyik dalam perbincangan di bawah kolong jembatan yang jauh dari keramaian. Redupnya sinar rembulan menjadi saksi betapa kejahatan akan terus menemukan jalannya.
#####
Seperti hari - hari kemarin, Toni dan Riko kembali ke jalan. Satu dua uang receh meraka dapatkan dari setiap pengendara yang berbaik hati. Setelah hari semakin siang, dan sinar mentari semakin menyengat. Mereka beristirahat sejenak. Bercengkerama bersama sesama pejuang rupiah. Tak jarang, tawa renyah membahana di antara mereka.
"Bang Toni, Topan kabarnya bagaimana ?" seru seorang gadis yang merupakan sesama pengamen.
"Aku belum bisa memastikan nasibnya" jawab Toni. Wajahnya tertunduk seolah menyesali diri.
"Maaf. Jadi bikin Bang Toni sedih" ucap gadis itu lagi. Diedarkan pandangannya ke arah lain. Riko yang posisinya tak jauh, masih setia mengamati setiap kendaraan yang lewat.
"Ga apa apa" jawab Toni santai. Seketika raut wajahnya berubah saat melihat Riko bangkit dan mendekati sebuah kendaraan minibus berwarna hitam. Riko memastikan kedua orang yang berada di belakang kemudi. Betapa kagetnya ia saat mendapati Jarot sedang asyik menghirup rokok di kursi sebelah kiri.
"Baanggg....! seru Riko sambil berlari mendekati Toni.
"Itu mereka, bang !" seru Riko lagi. Jari telunjuknya mengarah tepat pada minibus yang sudah meninggalkan lampu merah. Toni bergegas menuju sepeda motornya.
"Naik Ko !" perintah Toni. Secepat kilat Riko melompat ke boncengan motor Toni. Dan merekapun melaju dengan kecepatan tinggi, membuntuti kendaraan kedua penculik.
"Yang mana mobilnya, Ko ?" Tanya Toni dengan suara tinggi. Khawatir lawan bicaranya tidak mendengar.
"Yang warna hitam bang. Minibus warna hitam."
"Oke !"
Sekitar setengah jam mereka terus menjaga jarak. Agar kedua penculik itu tidak menyadari keberadaan mereka.
"Sampai kapan Kita ikuti mereka, bang ?" tanya Riko yang sudah tidak sabar.
"Kita tunggu mereka berhenti dan turun, Ko" jawab Toni. Matanya mengawasi saat kendaraan yang mereka buntuti masuk ke area parkir sebuah mini market. Jalanan yang mereka lalui tampak lancar. Beberapa orang sedang bersantai di teras mini market tersebut.
"Bersiap, Ko !" seru Toni memberi aba - aba saat sepeda motor yang mereka tumpangi berhenti tepat di belakang kendaran kedua penculik yang telah membawa Topan dan Arif.
"Hei..., masih ingat saya ?!" tanya Toni dengan ekspresi mengintimidasi. Jarot terkejut saat melihat wajah pria di hadapannya. Dialihkan pandangannya, telapak tangan kirinya kini menjadi perhatiannya.
"Apa maumu, anak muda ?!" Seru Jarot garang. Sementara Kubil sudah berada di samping kawannya. Dipandangi wajah kawannya menuntut penjelasan.
"Dia yang membuat tanganku dijahit" ucap Jarot pada kawanya.
"Kau bawa kemana adikku dan kawannya ?!" tanya Toni dengan suara menggelegar. Riko berdiri di dekat sepeda motor Toni. Matanya mengawasi keadaan sekitarnya.
"Sudah kubilang, adikmu di neraka" jawab Jarot dengan raut muka meledek. Kubil tersenyum sinis mendengar ucapan kawannya.
BUUUUGH... !
Sebuah pukulan melayang menghantam perut pria gemuk dengan kepala botak. Badannya yang gemuk tak mampu menahan kerasnya pukulan Toni. Tubuhnya terhuyung ke belakang.
"Kurang ajar !" hardik Kubil yang tak terima kawannya dipukul. Dia lancarkan serangan dengan amarah menggebu - gebu. Sebuah tendangan melayang ke arah pinggang Toni. Namun pemuda ini lebih sigap Tangannya menangkap kaki yang melayang, sejurus kemudian kakinya menghantam kaki lawannya yang lain.
BRUUUUUGG.... !
Tubuh tinggi besar itu jatuh tersungkur ke tanah. Wajahnya meringis kesakitan. Jarot tidak tinggal diam.
"Rasakan ini !" maki pria botak. Sebuah pukulan sedikit lagi menghantam wajah Toni, andai saja ia tak siap. Secepat kilat ia berputar menghindari pukulan sambil meraih tangan Jarot. Sejurus kemudian ia bungkukkan badan. Dan dengan kecepatan tinggi ia banting tubuh lawannya.
BRAAKKK.... !
Sebuah meja di teras mini market itu hancur dihantam tubuh gemuk Jarot. Mereka yang tadi sedang asyik bersantai, kini berlarian menyelamatkan diri.
"Kau ingin tanganmu dijahit lagi ?!" seru Toni emosi. Kini pisau belati sudah terhunus di tangannya. Sementara Jarot bagai melihat hantu. Wajahnya ketakutan. Dia berusaha menjauh dari pemuda di hadapannya. Namun tubuhnya terbentur tembok mini market.
"Kau hanya perlu mengatakan dimana adikku berada !" Seru Toni berapi - api. Kemarahannya semakin memuncak dan tak terkendali. Sebuah pukulan kembali ia berikan. Namun sebuah teriakan mengagetkannya.
"Awas banggg.... !" Riko berteriak histeris saat sebuah golok melayang, siap menebas lehernya kawannya.
WUUSSS....
"Mampus kau !" seru seorang lelaki yang datang dengan serangan goloknya. Toni yang tak menyangka mendapat serangan dari belakang, spontan menjatuhkan diri. Namun tebasan demi tebasan golok terus memburunya. Tak memberikan kesempatan sedikitpun kepadanya untuk melancarkan serangan.
"Cepat kalian pergi !" sebuah suara terdengar. Tak lama kemudian Jarot dan kubil bergegas meninggalkan tempat tersebut. Sementara Riko tampak kebingungan. Apakah membuntuti kedua penculik kawannya atau menyelamatkan Toni. Kini posisi pemuda itu semakin terjepit di tembok mini market. Di hadapannya berseliweran tebasan - tebasan golok yang membahayakan jiwanya.
"Mati aku !" Toni membatin. Di sela - sela menghindari tebasan dan sabetan golok, ia masih sempat melancarkan sebuah tendangan.
BUUUK...
"Aaaauuu....!"
Suara kesakitan terdengar jelas saat kaki Toni menghantam lutut salah satu penyerangnya. Namun itu belum mampu menghentikan gelombang sabetan golok yang datang menuntut kematiannya. Bahkan kini gelombang serangan itu semakin ganas dan mematikan. Sejauh ini Toni masih mampu menghindari tebasan - tebasan golok yang mengincar area vital di tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Author15🦋
siapa sih orang itu, ikut campur mulu, pen nyubit ginjalnya sumpah
2023-07-18
1
Author15🦋
arrggh knp gk di lehernya aja sih
2023-07-18
1
Author15🦋
pengabdi negara di lawan
2023-07-18
1