Diamuk Massa

Diamuk Massa

Hari demi hari berlalu tanpa ketenangan. Bayang - bayang kematian siap  datang setiap saat. Wajah - wajah tirus dan badan kurus di balik jeruji besi sontak berhamburan mendekat. Saat seorang wanita muda berhenti di depan sel mereka. Wanita muda yang lebih pantas menjadi kakak mereka. Dengan telaten, diraihnya piring demi piring yang ada di troly besi, kemudian meletakannya di bawah jeruji besi yang bisa diraih dengan tangan.

Brakkk.... braakkk.... brakkk

     Suara piring yang terbuat dari kaleng beradu dengan lantai sel semakin membuat mereka merangsek maju. Satu per satu piring yang  berisi menu harian berpindah ke tangan mereka. 

"Jangan berebut. Semuanya mendapat jatah" ucap Sulis, wanita muda berparas cantik yang menjadi juru masak di tempat itu. Namun tak ada yang menjawab. Mereka fokus dengan  sekepal nasi putih, ikan basah dan sayur bening yang terasa nikmat sekali.

     Ditelisiknya wajah - wajah remaja yang sedang menanti maut. Wajah tirus, mata cekung, dan pipi yang hanya menyisakan kulit yang kempot menjadi tontonan wanita berkulit putih bersih ini. Hatinya trenyuh menyaksikan semua itu. Belum lagi menyaksikan tubuh mereka yang hanya menyisakan tulang dan kulit. Terbersit dalam hatinya untuk menolong mereka, namun bukan perkara mudah baginya. Ia takut, dan belum siap menerima resiko yang akan didapatnya.

     "Bagaimana. Sudah selesai pekerjaanmu Sulis ?" tanya seseorang yang tiba - tiba saja sudah berdiri di belakangnya. Yang ditanya terperanjat, kaget. Segera diraihnya teralis besi untuk menyeimbangkan pijakannya.

     "Aaahhh.... Pak Bowo mengagetkan saja !" seru sulis yang hapir saja terjatuh. 

     "Sudah selesai. Habis ini saya tinggal beberes dapur dan kemudian istirahat"  jawab Sulis dengan senyuman di bibirnya. 

     " Mereka tidak membuatmu takut, kan ?"  tanya pria di hadapannya lagi. Rambut sebahunya dia kuncir seperti buntut kuda. Sesekali matanya mengamati penghuni sel yang berdesak - desakkan. Tak jarang mereka saling sikut hanya untuk memperebutkan sejengkal tempat.

     "Tidak. Mereka baik - baik" sahut  Sulis tersenyum ramah. Tak berselang lama diraihnya troly dan bergegas ia langkahkan kaki menyusuri lorong yang menuju dapur. Bowo, lelaki berbadan gemuk dan rambut sebahu mengernyitkan kening. 

     "Hmmm... mau kemana kamu ? " tanya nya keheranan melihat wanita pujaan hatinya pergi meninggalkannya begitu saja. Segera ia sejajarkan langkahnya dengan wanita berambut panjang yang coba menjauh.

     "Kembali ke dapur. Masih banyak anak - anak yang belum mendapatkan jatah makan" jawab Sulis masih dengan senyum mengembang. Dia tak ingin membuat lelaki yang tegila - gila dengannya itu marah dan melakukan hal - hal yang mengerikan.

     "Baik kalau begitu biar aku antar." 

     "Bang Bowo ada - ada saja. Memangnya aku majikan apa, pakai diantar segala" ucap sulis sedikit jengkel. Bowo, lelaki yang menjadi kepala keamanan di pulau itu hanya tersenyum kecut. 

     Saat keduanya  berjalan menyusuri lorong yang menuju dapur. Beberapa kali Sulis menoleh saat beberapa kali telinganya  mendengar rintihan.

     "Lapaaarrr.... !"

     "Lapaaaarrr .... !" 

     Suara - suara merintih  menahan lapar terus terdengar hingga ke ujung lorong  yang tembus ke dapur. Di kanan kiri lorong tersebut  terdapat ruangan - ruangaan yang sama. Ruangan teralis besi yang berisi puluhan remaja  yang kondisinya sangat  memprihatinkan.

     "Mbak Ratna, tolong antarkan makanan pada  anak - anak itu. Aku ada urusan dengan Sulis sebentar"  ucap Bowo saat memasuki ruangan dapur. Ratna hanya mengangguk pelan.

     "Urusan apa... ?" tanya Sulis keheranan. Dipandangnya wajah Bowo mencari jawaban. Sementara lelaki itu terlihat gugup.

     "Urusan apa, bang... ?" Cecar  Sulis lagi. Wajahnya terlihat kebingungan. Troly yang sedari tadi dipegangnya, tanpa ia sadari kini sudah diambil alih kawannya yang bernama Ratna. Wanita yang usianya tak jauh berbeda dengannya.

     "Begini Sulis..."  ucapnya terhenti. Bingung harus memulai dari mana. Bowo menatap wanita pujaan hatinya dengan nafas memburu. Degup jantungnya semakin cepat. Ditariknya nafas dalam - dalam, memudian dillepaskannya perlahan, Setelah mampu menguasai diri. Barulah ia melanjutkan  ucapannya. 

     "Selama ini aku memendam perasaan padamu, Sulis" ucapnya mantap. Sementara wanita muda itu kebingungan, harus menjawab apa. Selama ini ia selalu berhasil menghindar dari Bowo. Tapi tidak untuk malam ini.

     "Terima kasih atas perhatian Bang Bowo terhadap saya. Tetapi untuk masalah perasaan, saya belum bisa menjawab" ucapnya meyakinkan lelaki yang tak berkedip sedikitpun setiap bertemu dengannya. 

     "Terus sampai kapan aku menunggu ?" desak Bowo kesal.  Dihampirinya Sulis yang melanjutkan pekerjaanya. Dengan Nafsu yang sudah di ubun  - ubun, dipeluknya wanita itu dari belakang.

     "Lepaskan... !" Bentak Sulis dengan suara menggelegar. Namun Bowo sudah dikuasai iblis. Dengan kasar ia berusaha mencumbui wanita itu dengan buas. Kedua tangan kekarnya memeluk erat tubuh sintal Sulis yang terus meronta. Bibir tebalnya dengan susah payah terus mengecup Leher jenjang korbannya. Begitu bernafsunya Bowo, hingga tak menyadari apa yang di raih Sulis.

     PRANNGGG.... ! 

     Sebuah panci kecil menghantam kepala  Bowo. Sulis mendorong tubuh lelaki itu setelah pukulannya mengenai sasaran. 

     "Kamu berani memukul kepalaku ?!" hardik Bowo dengan amarah memuncak. Dia kembali mendekati gadis pujaannya. Sorot matanya tajam bagai ular yang siap memangsa korbanya.  Sementara Sulis terus menghindar. Berkali - kali ia memohon, namun Bowo tidak menggubrisnya.

     "Jangan Bang.... ampunnn...!" 

     "Malam ini kamu harus melayaniku !" ancam Bowo dengan senyum menjijikkan. Sulis ketakutan dan panik hingga ia terpojok di sudut dapur. Wanita itu terisak menangis, bulir - bulir bening membasahi pipinya. Namun Bowo tak perduli. Hingga keduanya dikagetkan sebuah suara.

     "Apa yang kamu lakukan, Bowo ?!" tegur Jhoni yang sudah berdiri di ambang pintu dapur dengan raut muka marah. Sorot matanya tajam menusuk dada Bowo. Sementara Sulis meringkuk di pojok dengan terisak, wajahnya tertunduk layu.

     "Aa.... aku sedang..." jawab Bowo gugup. Dia bingung mencari jawaban yang pas.

     "Kamu ingin melampiaskan nafsu bejatmu, begitu...?!" potong Jhoni berapi - api. Dia sangat marah menyaksikan perlakuan Bowo terhadap Sulis.

     "Bukan begitu boss..." 

     "Sudah, tidak usah cari alasan . Saya sudah lihat sendiri !" ucap Jhoni lagi. Bowo tertunduk malu di hadapan bos Jhoni. Bagai kerbau yang dicokok hidungnya, Lelaki gemuk itu tak berani menatap mata lawan bicaranya. 

Sekali lagi kamu melakukan itu, kamu akan tahu sendiri akibatnya. Sulis dan Ratna sudah kuanggap anakku sendiri. Ingat itu. Tak akan ku biarkan siapapun yang melecehkan mereka berdua !" 

     "Siap boss !" 

     "Bagaimana pencarian dua remaja yang kabur itu ?" Tanya Jhoni lagi. Sorot matanya masih menyiratkan kemarahan.

     "Untuk delapan orang yang sudah kembali, hasilnya mereka tidak menemukan kedua anak itu bos" jawab Bowo.

     "Saya sedang menunggu laporan dari dua orang yang menyusuri area sekitar sungai."

     "Ini sudah hampir tengah malam, kenapa tidak disusul saja. " 

     "Mengingat area hutan masih banyak binatang buas, dan kondisi malam hari. Saya khawatir terjadi apa - apa"

     "lantas ?" 

     "Mungkin besok pagi saya akan kumpulkan lagi anak - anak untuk melakukan pencarian." 

     "Oke kalau begitu. Saya tunggu laporannya !" ucap Jhoni sambil bergegas meninggalkan Bowo sendirian.

"Ingat. Jangan coba - coba mengganggu Sulis dan Ratna !" Seru Jhoni lagi. Dia mengultimatum Bowo sambil berjalan meninggalkan komandan keamanan itu di tempatnya.

     "Baik bos !"  jawab Bowo. Tangannya memberi hormat. Setelah Bos Jhoni menjauh, ia bergegas kembali ke dapur. Namun ia urungkan karena ucapan bosnya masih terngiang di telinga. 

     "Uuhhh... brengsek. Tidak boleh orang senang !" Umpatnya dalam hati. Bergegas ia tinggalkan tempat tersebut. Sementara Ratna sudah kembali dari pekerjaannya. Segera keduanya melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda.

#####

     Malam itu cuaca kota Jakarta tampak cerah. Sinar bulan dan lampu jalan bahu membahu memberikan pencahayaan kota. bertaburnya bintang -bintang dengan aneka formasi di langit menjadi daya tarik tersendiri.

     Jalanan masih terlihat ramai, walau waktu sudah mendekati tengah malam. Diantara ramainya pengendara yang memenuhi jalanan, terlihat Toni dan Riko di antara pengendara roda  dua yang menunggu lampu jalan berubah warna.

     "Sudah hampir dua jam kita keliling, tapi belum ketemu juga" ucap Toni sambil terus memacu motornya. Sementara itu, Riko terus mengamati setiap kendaraan yang mereka jumpai.

     "Kita cari terus bang. Jangan putus asa" jawab Riko. Remaja berbadan kecil itu memberi semangat. Dari kejauhan terdengan suara orang - orang yang saling bersahutan. Suara keributan makin terdengar jelas, seiring makin mendekatnya mereka.

     "Sepertinya ada ribut - ribut Ko, di depan " ucap Toni memandang jauh ke depan. Dipercepat laju kendaraannya agar segera dapat memastikan apa yang terjadi. Telinga keduanya menangkap teriakan dari pengendara lain yang mengejar sebuah mobil box.

     "Berhenti.... !

     "Penculik.....!" 

     "Kejaaarrr. Jangan sampai lolos !"

Teriak seorang pengendara sambil mengacungkan telunjuknya ke arah sebuah mobil box yang melaju dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali mobil tersebut menyerempet kendaraan lain  yang dia salip. 

     Di sebuah tikungan, mobil box tersebut menerobos lampu merah. Dengan kecepatan tinggi sang sopir membanting stir ke kiri. Namun tanpa dia sadari seorang tukang bakso mendorong gerobaknya, hendak menyebrang jalan.

     Pria tinggi besar yang berada di belakang kemudi kaget. Di injaknya pedal rem sekuat tenaga, namun terlambat. Jaraknya sudah sangat dekat dengan gerobak bakso.  Spontan ia banting stir ke kiri.

     CIIIIITTT.....!!

     GEDUBRAKK... !!

     Sontak saja kendaraan mereka menerabas trotoar dan menghajar sebuah warung remang - remang. Sementara itu, dari arah belakang berkerumun puluhan orang yang siap menghajarnya. Keadaan semakin kacau. Dari dalam warung remang - remang yang hancur bagian depannya,  berhamburan wanita - wanita dengan pakaian minim dan make up yang mencolok.

     "cepat keluar, Jarot !" seru Kubil.

     "Iya, tapi lari kemana kita ?!" jawab Jarot kebingungan saat menyadari puluhan orang sudah mengepungnya. Keduanya berpandangan  kebingungan bercampur rasa takut dihakimi massa yang semakin beringas.

     "Habis sudah... !" ucapnya putus asa. Sementara massa semakin tak terkendali. Ada yang menggedor seluruh sisi kendaraan mereka, ada yang mengumpat dan mencaci. Bahkan beberapa orang membuka paksa pintu dan menarik keduanya hingga tersungkur di aspal.

     PRANGG...  PRANGGG....

     Entah siapa yang memulai, kaca depan kendaraan mereka hancur di terjang batu konblok yang diambil dari trotoar jalan. Tendangan dan pukulan bertubi tubi  mendarat di tubuh kedua penculik itu. 

     "Ampun pak.... !"

      "Ampunn... !"

     Jerit kesakitan keduanya terdengar saat pukulan dan tendangan massa datang silih berganti. Jarot dan Kubil memohon belas kasihan, namun massa semakin beringas. Jarot ditarik ke bagian belakang kendaraannya dengan kondisi berlumuran darah. Sesekali pukulan mendarat di mukanya.

     "Buka.. , cepat !" perintah seorang pria dengan amarah yang meledak - ledak.

     "Cepaattt...!" hardik pria itu lagi. Segera Jarot bergerak dengan cekatan membuka bagian belakang kendaraannya. Betapa terkejutnya massa yang berjumlah puluhan orang itu saat seorang gadis muda berlari keluar dengan air mata berderai.

     "Bapaaakk...!" ucap gadis muda itu, bergegas ia melompat ke pelukan orang tuanya.

     "Kamu tidak apa - apa, nak ?" tanya lelaki itu kepada anaknya. Dijawab dengan tangisan yang tersendat

     "Aku takut pak" ucap anak itu di tengah kerumunan massa yang semakin kalap.

     "Kamu aman sekarang" seru sang bapak. Bergegas ia  tinggalkan tempat tersebut dengan menggendong sang anak. 

     "Bakar saja penculik itu !" sebuah suara menggema, diselingi guyuran bensin yang sudah membasahi kedua penculik yang sudah sekarat. Seseorang bersiap dengan korek api ditangan. Namun sebuah suara menghentikan gerakannya.

     "Tunggu !" seru seorang pemuda yang berlari merangsek hingga tepat di hadapan kedua penculik adiknya. Toni dan Riko  dengan jelas dapat melihat pelaku penculik yang sudah tak berdaya itu.

     "Iya bang. Mereka yang membawa Topan dan Arif" ucap Riko yakin.  

     "Kamu yakin, Ko ?" 

     "Sangat yakin bang" 

     Spontan Toni menarik tubuh Si Botak yang sudah babak belur. Mukanya sulit dikenali karena darah menutupi sebagian besar wajahnya. Sementara Massa yang berkerumun bertanya - tanya gerangan apa yang terjadi.

     "Kau bawa kemana adikku ?!" tanya Toni dengan suara melengking tinggi. Dadanya bergemuruh menahan gejoak amarah yang siap berkobar.

     "Aaappaaa .... ?" jawab pria botak asal. 

      PLAAKK.... PLAAKKK...

     Dua buah tamparan berhasil membuat bibir Jarot pecah. Sementara itu, Kubil sudah tak sadarkan diri tak jauh dari kawannya. Massa yang berkerumun sudah tak sabar. Beberapa dari mereka kembali melayangkan pukulan. 

     "Di mana adikku. Kau bawa ke mana mereka ?!" tanya Toni lagi dengan emosi memuncak. 

     "Mereka di neraka" sekali lagi Jarot menjawab asal dan dengan senyuman mengejek. Kemarahan Toni sudah mencapai puncaknya. Diraihnya tangan pria botak dan secepat kilat ia tancapkan pisau belati pada bagian telapak tangan penculik adiknya.

     "Aaauuuu.... !!!" Jarot melolong kesakitan. Sementara massa yang menyaksikan tampak bergidik ngeri saat telapak tangan Jarot bermandikan darah. Toni bersiap mengayunkan pisau belatinya untuk yang kedua kali. 

     "Cepat katakan. Kau bawa ke mana adikku ?" tanya Toni lagi. Jarot bergeming, ia hanya meringis kesakitan.

     "Sudah, bakar saja bang !"

     "Iya bang. Jangan.buang - buang waktu" habis sudah kesabaran Massa  yang  semakin banyak dan tak terkendali. 

Korek api kini sudah dinyalakan, namun tiba - tiba... 

     DOODRRR... DOORRR...

     Dua kali tembakan ke udara membuat panik kerumunan massa yang menyemut. Beberapa di antara mereka langsung berlarian tunggang langgang.

     "Bubar.... bubarrr... !" ucap seorang petugas yang tadi memuntahkan *****.  Dengan sigap beberapa orang kawannya menerobos kerumunan massa dan membawa kedua penculik meninggalkan tempat tersebut. Suara  sirine meraung - raung, memecah keheningan malam. Setelah beberapa lama, kendaraan yang mereka tumpangi masuk ke sebuah Rumah Sakit. Tak jauh di belakang, Toni dan Riko membuntuti rombongan tersebut.

     "Bagaimana bang ?" 

     "Entahlah, Ko. Pasti mereka dikawal sangat ketat." 

     "Iya bang. Ini kan Rumah Sakit Khusus." 

     "Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Besok kita pikirkan lagi cara menemukan Topan dan Arif."

     "Aku setuju bang."

     Segera keduanya meninggalkan tempat itu. Dengan fikiran yang tak menentu,  membayangkan keselamatan adiknya. Toni coba berfikir tenang. Keduanya hanya bisa berdo'a, semoga Topan dan Arif masih bisa diselamatkan.

Terpopuler

Comments

Author15🦋

Author15🦋

rasain

2023-07-01

1

Author15🦋

Author15🦋

baik jg trnyata

2023-07-01

1

Author15🦋

Author15🦋

hm, kalau w di situ bakal w bunuh satu² orangnya tanpa ad yg tahu

2023-07-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!