Berita Duka
Malam itu cuaca cukup terang, cahaya lampu jalan dan cahaya rembulan yang membulat tidak cukup membuat hati seorang remaja untuk tenang. Hatinya gelisah dan khawatir akan keselamatan kedua kawannya.
Riko coba mengejar kendaraan yang membawa Topan dan Arif. Dia terus membuntuti mobil yang membawa kedua rekannya dengan berlari, namun sia - sia. Baru beberapa menit ia berlari sekuat tenaga, kakinya lemas tak mampu lagi digerakkan. Persendiannya goyah bahkan gemeteran. Pandangan matanya terus mengiringi kepergian dua sahabatnya hingga kendaraan tersebut menghilang di tikungan jalan. Dengan terduduk lesu dan raut muka sendu, dia berucap lirih.
"Maafkan aku sobat. Semoga kalian baik - baik saja. Aku akan mencari pertolongan" tak terasa bulir - bulir bening luruh di pipinya dan menetes membasahi aspal jalan yang hitam pekat. Tak berselang lama, ia bangkit. Diusapnya air mata yang menetes dan bergegas meninggalkan tempat tersebut.
Dikumpulkan sisa - sisa tenaga yang ada, ia kembali berlari. Kini tujuannya adalah rumah kedua kawannya. Secepatnya ia ingin mengabarkan apa yang terjadi kepada keluarga Topan dan juga Arif. Riko terus berlari, keluar masuk gang - gang sempit yang berliku - liku seolah sebuah labirin yang tak berujung.
Kemudian ia melewati sebuah jembatan usang yang membentang rapuh. Di bawahnya mengalir air sungai yang keruh berwarna coklat pekat. Tak jauh dari jembatan terlihat beberapa bocah tengah asyik menceburkan dirinya ke aliran sungai yang tampak tenang. Rupanya cahaya bulan purnama yang cukup terang membuat mereka nekad berenang di sungai malam - malam begini. Bocah - bocah tanpa sehelai benang itupun dengan riangnya berenang ditemani aneka macam sampah yang datang dari hulu. Sesekali suara riuh saling bersahut - sahutan berlomba keluar dari mulut mungil mereka.
Setelah berada di seberang sungai, Riko masuk ke sebuah gang sempit. Dia masih saja berlari, tak memperdulikan apapun yang ada di sekitarnya. Hal itu membuat beberapa orang yang tengah asyik bermain catur terheran - heran. Orang - orang tua dan anak - anak muda yang tengah mengitari sebuah papan catur teralihkan perhatian mereka.
"Kenapa Si Riko pulang lari - larian begitu. Seperti dikejar setan saja ?" seru orang tua yang sedang memindahkan pionnya beberapa langkah.
"Iya, tidak seperti biasanya" ucap pemuda yang berdiri di belakang orang tua tadi.
"Biasanya dia pulang bersama Topan sama Arif. Kemana dua anak itu ?" timpal lelaki paruh baya lainnya. Pandangannya diedarkan mencari jawaban. Tak lama kemudian perhatian mereka kembali tertuju kepada papan catur. Kedua orang yang sedang berhadap - hadapan itu kini saling memakan bidak catur lawannya.
Langkah Riko terhenti di depan sebuah rumah dua tingkat. Dengan nafas yang masih memburu, remaja ini mengayunkan jari tangannya yang mengepal. Diketuknya pintu berwarna coklat dengan ragu - ragu. Pandangan matanya menyusuri setiap bagian rumah berwarna krem tersebut. Tak lupa ia ucapkan salam, berharap sang empunya rumah segera keluar.
"Assalamualaikum....!" ucap Riko tergesa dan suara yang tinggi. Namun netranya belum juga mendapati orang tua Topan, pemilik rumah tersebut. Diulangi sekali lagi ucapan salamnya, dan kini terdengar sahutan dari dalam.
"Waalaikumsalam.... siapa.... ?" jawab seorang wanita paruh baya. Bergegas ia membuka pintu dan mendapati kawan anaknya sedang berdiri dengan gelisah.
"Saya Riko, bu"
"Ooo... ada apa nak Riko ?"
"Saya mau kasih kabar bu" jawab Riko sedikit bingung harus memulai dari mana. Ia tak tega melihat orang tua di hadapannya itu bersedih.
"Kabar apa nak Riko ?, apakah tentang anakku Topan ?, di mana dia sekarang ?" Seperti memiliki firasat, wanita tersebut mencecar Riko dengan pertanyaan tentang Topan, anaknya.
"Topan dan Arif diculik bu. Maafkan, saya tidak bisa menyelamatkan mereka" ucap Riko lirih, seperti menyesali diri yang tak bisa berbuat apa - apa.
"Apaa.... !!!" tanya wanita paruh baya di hadapannya dengan suara yang cukup keras. Bagai disambar petir di siang bolong mendengar kabar tersebut. Matanya melotot tak percaya, seketika badannya lemas.
Kakinya tak lagi mampu menopang badan gemuknya. Hampir saja ia terjatuh jika saja suaminya terlambat datang. Segera dipapahnya tubuh sang istri, dibantu oleh Riko yang panik menyaksikan semua itu.
"Ada apa nak Riko" tanya bapaknya Topan sambil menuntun sang istri untuk duduk di sofa. Sementara di luar sudah ramai oleh para tetangga. Mereka datang saat mendengar suara ribut - ribut dari ruang tamu rumah Topan.
"Topan dan Arif diculik pak" jawab Riko lirih.
"Kamu yakin nak Riko ?" tanya orang tua itu lagi, seolah tak percaya akan kebenaran ucapan remaja di hadapannya.
"Sangat yakin pak, karena saya juga hampir saja ikut dibawa penculik itu. Untung saja Topan menyelamatkan saya hingga saya bisa lari" terang Riko panjang lebar. Remaja ini menceritakan semuanya, hingga ia tak menyadari seorang wanita paruh baya mendesak masuk menerobos kerumunan warga yang berhimpitan di depan rumah Topan.
"Arif... anakku .... di mana dia, Riko ?" seru seorang ibu terbata - bata menahan guncangan emosi mendengar kabar yang menggemparkan itu. Wajahnya lekat mencari jawaban di wajah remaja yang ada di hadapannya. Dia adalah ibunda Arif. Ketiga remaja itu tinggal bertetangga, sehingga sudah saling mengenal satu sama lain.
"Arif diculik bu" jawab Riko.
"Apaaa.... !" seru wanita tersebut kaget. Matanya terpejam dan seketika tubuhnya jatuh di lantai dengan tubuh lemas.
#####
Hari sudah beranjak siang saat sepasang suami istri berjalan memasuki pelataran sebuah bangunan yang cukup luas. Di belakang keduanya mengekor seorang ibu yang usianya tak jauh berbeda.
Raut muka ketiganya terlihat murung, sesekali tangan - tangan yang mulai keriput itu mengusap mata mereka yang tampak berair.
"Assalamualaikum" ucap sang lelaki yang mengenakan baju koko dan peci hitam. Dialah bapak Topan. Di hadapannya berdiri seorang petugas dengan tatapan mata awas. Tangannya menggenggam sebuah senapan laras panjang dengan posisi waspada.
"Waalaikumsalam, ada yang bisa kami bantu pak, buk...?" jawab petugas tersebut. Matanya terus menelisik setiap inci tubuh ketiga orang tua di depannya. Kemudian dia mempersilahkan mereka untuk duduk.
"Kami ingin membuat laporan penculikan yang menimpa anak kami" jawab bapak Topan dengan seutas senyuman, berharap laporannya segera ditindak lanjuti. Sementara sang petugas yang duduk berhadapan dengan lawan bicara hanya manggut - manggut. Lama ia termenung. Tangannya membolak balik halaman buku yang ada di hadapannya. Entah apa yang ada di benaknya. Kemudian dia berucap.
"Apakah bapak punya bukti kalau anak bapak diculik ?" tanya sang petugas.
"Buktinya anak kami belum pulang pak. Kawannya menyaksikan sendiri jika anak saya diculik" ucap orang tua topan ragu. Perasaannya mulai tak enak. Di dalam hatinya terbersit usahanya tersebut akan sia - sia.
"Jika anak bapak belum pulang, itu bukan bukti bahwa anak bapak diculik, bisa jadi dia pergi dengan kawannya" jawab petugas itu lagi. Bulir - bulir air mata yang menetes tak mampu menyentuh hati nurani sang petugas. Diacuhkannya laporan orang tua itu dengan alasan yang dibuat - buat dan tak masuk akal. Sang petugas bangkit hendak berdiri, namun dicegah oleh tangan ibunda Arif. Dengan menghiba dan memelas ia coba memohon belas kasihan kepada sang petugas.
"Tolonglah anak kami, pak" ucap sang ibu sambil sesegukan menahan tangis. Namun sia -sia, usahanya tak membuahkan hasil.
"Silahkan bapak dan ibu cari mereka, tugas kami banyak" seru petugas tersebut dengan angkuhnya. Ditepisnya tangan ibunda Arif, bergegas ia beranjak meninggalkan ketiganya.
Tak bisa lagi diungkapkan rasa yang bergemuruh di dada ketiganya. Kecewa, marah, sedih bercampur menjadi satu. Perlahan dan pasti mereka bangkit, hendak pulang kembali kerumah. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari mereka yang digaji oleh negara. Rumah mereka, kendaraan mereka, pakaian mereka, bahkan pulsa untuk merekapun didapat dari pajak rakyat.
#####
Sore itu gerimis turun membasahi bumi. Berbeda dengan siang tadi, panas terik sangat menyiksa. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun masuk ke rumah yang sudah lama tidak ia singgahi.
Setelah mengucap salam, bergegas ia menuju ruang tamu yang juga menjadi satu dengan ruang keluarga. Dipindainya setiap sudut ruangan yang lama ia tinggalkan, tak banyak yang berubah.
Di tembok berwarna krem masih setia menempel tiga buah figura berisi foto dirinya mengenakan seragam tentara, kemudian foto sang adik di gendongan ibunya, dan yang terakhir foto sepasang suami istri dan kedua putranya.
Langkahnya terhenti saat kedua bola matanya mendapati sang ibu sedang menagis pilu. Sementara sang bapak duduk di sebelahnya, tangannya merangkul sang istri untuk menenangkan.
"Assalamualaikum" ucap sang pemuda pelan. Dia tak ingin membuat kedua orangtuanya terkejut.
"Waalaikumsalam, kamu sudah pulang Toni ?" jawab sang bapak saat menyadari kehadiran sang pemuda yang bernama Toni.
"Adikmu diculik, Ton" ucap sang ibu sambil mengulurkan tangannya untuk dicium sang anak. Isak tangisnya kembali menggema. Menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
"Topan diculik siapa buk..., pak... ?" tanya Toni dengan wajah keheranan. Menurutnya untuk apa mereka menculik pengamen jalanan.
"Kami tidak mengetahui siapa yang menculik Topan dan Arif. Dan bapak juga tidak tahu apa alasan mereka menculik adikmu, Ton" jawab bapaknya panjang lebar. Pemuda tersebut sangat marah mendengar kabar tersebut.
Sebagai seorang mantan anggota pasukan elit, ia siap mati untuk menemukan dan menyelamatkan adiknya. Walaupun apapun rintangan yang akan dihadapi, dia sudah siap. Jiwa dan raganya sudah kebal oleh setiap rintangan. Dalamnya lautan, tingginya gunung, terjalnya tebing cadas bahkan terkaman binatang buas sudah biasa ia hadapi.
"Bapak, ibu tenangkan fikiran. Biarkan ini menjadi urusan Toni" ucap pemuda itu mantap.
"Temuilah Riko nak, dia adaah saksi kunci. Siapa tahu dia bisa memberikan informasi penting" ucap sang bapak. Sementara sang ibu masih terus terisak.
"Kalau begitu, Toni berangkat dulu. Do'akan agar Toni berhasil membawa pulang Topan dengan selamat" pemuda itu kembali berdiri. Di ciumnya tangan kedua orang tuanya sebagai bentuk penghormatan dan memohon restu akan kepergiannya.
Belum hilang lelahnya dan belum puas melepas rindu dengan kedua orang tua yang sangat dicintai. Dia harus kembali untuk mencari dan menyelamatkan sang adik. Sebagai seorang kakak, tentu tak ada pilihan baginya. Nyawapun siap ia tukar demi keselamatan sang adik tercinta.
#####
Malam itu, Toni dan Riko nongkrong di perempatan jalan tempat terakhir kali Riko melihat kedua rekannya. Hal itu sengaja ia lakukan untuk memancing sang penculik kembali lagi. Setidaknya Riko bisa mengenali penculik tersebut jika mereka melintas di jalan itu. Sesekali keduanya memainkan gitar dan membawakan lagu saat lampu jalan berwarna merah.
Namun netra mereka tak membiarkan satu kendaraanpun yang luput dari pantauan keduanya. Satu per satu kendaraan ditelisik. Diamati dari bentuknya, warnanya dan nomer di platnya. Yang tak kalah penting adalah pengemudinya.
"Bagaimana Ko. Sudah kelihatan ?" tanya Toni sambil memainkan jari jemarinya di antara senar gitar.
"Belum kelihatan bang" jawab Riko. Tangannya sibuk menghitung uang kertas yang warnanya sudah pudar. Sudah seharian mereka berkelahi dengan debu jalan dan bermandikan teriknya sang surya. Namun yang dicari belum juga kelihatan batang hidungnya.
"Seandainya belum ketemu juga penculik itu, apa rencana abang selanjutnya ?" tanya Riko. Saat ini mereka berteduh di bawah pohon ketapang. Cuaca panas membuat mereka harus pintar - pintar mengakali keadaan.
"Beberapa kawanku yang masih berdinas akan ku pinta bantuan. Begitu juga dengan kawanku di bagian intel. Semoga mereka bisa memberikan gambaran penculik - penculik ini. Siapa mereka dan bekerja untuk siapa" jawab Toni panjang lebar.
Dalam fikirannya dia sudah merencanakan apa yang akan dan harus dilakukan. Jika satu rencana tidak membuahkan hasil, maka beralih ke rencana selanjutnya. Dirogohnya kantong celana dan kemudian tangannya ditempelkan ke telinga dengan posisi memegang benda pipih berwarna silver. Tak lama kemudian ia sudah terlibat obrolan dengan seseorang .
"Halloo..."
"Hallo bro. Kemana saja kawan ?"
"Maaf bro, belum bisa nongkrong lagi. Aku lagi sibuk"
"Sepertinya urusan penting kawan"
"Betul sekali bro. Aku perlu bantuan untuk melacak penculik adikku"
"Bailklah. Kau kirim saja ciri - cirinya"
"Oke bro. Nanti aku info lagi"
"Siap, komandan..... !" kata terakhir dari seseorang di ujung sana. Perlahan Toni memasukan handphonenya kembali. Kini kembali ia edarkan pandangan ke setiap kendaraan yang berhenti saat lampu berwarna merah.
Semua informasi sudah ia dapatkan dari Riko. Kini tinggal menunggu kedua bajingan itu kembali melewati jalan ini. Satu per satu orang - orang yang dianggap bisa membantu dia hubungi.
Dia tak perduli apakah orang itu mau membantu atau tidak. Begitu juga bekas teman - temannya di kesatuan elit sewaktu masih menjadi tentara. Banyak di antara mereka yang kini menjadi warga sipil biasa dengan berbagai alasan.
Dari bawah pohon ketapang yang teduh, ia menyaksikan Riko bermandikan peluh terus mengawasi tiap kendaraan, terutama mobil box yang behenti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Author15🦋
kesel sama polisinya😒
2023-06-23
1
💞Amie🍂🍃
Haduhhh kok iso sehhh
2022-10-05
0
Maya●●●
2 bab dulu
2022-09-28
1