Masa Lalu

Masa Lalu

Jhoni kecil dilahirkan dari rahim seorang ibu bernama Warijem. Bapaknya bernama Tukiman. Keduanya memboyong Jhoni kecil untuk hijrah ke kota. Kehidupan yang sangat sulit di desa mereka, memaksa ketiganya eksodus. Dengan pakaian lusuh dan perbekalan yang seadanya, mereka meninggalkan desa tercinta.

Saat itu, usia Jhoni baru dua tahun. Usia yang sangat belia untuk seorang bocah yang berjuang di jalanan kota metropolitan. Dengan telaten, Tukiman membawa anak istrinya berkeliling dengan gerobak kayu. Sesekali langkahnya terhenti saat netranya melihat botol dan gelas plastik bekas yang teronggok di pinggir jalan. Satu, dua botol bekas ia kumpulkan. Setelah mencapai beberapa kilo, ia jual ke pengepul yang bersedia membayarnya.

Namun semua itu tak mudah. Terkadang mereka harus menahan lapar seharian karena botol bekas yang mereka kumpulkan belum cukup untuk dijual. Seperti sore itu. Mereka duduk lesehan di trotoar jalan. Dengan muka pucat, tatapan sayu dan pakaian compang camping. Ketiganya mengharap belas kasihan dari orang yang lalu lalang.

     "Lapar, mas" ucap warijem dengan lirih. Digendongannya, Jhoni kecil asyik menyusu padanya. Mendengar keluhan sang istri, Tukiman berfikir keras. Di sela - sela asap rokok yang keluar. Kata - kata kasar dan makian ikut menyembur tepat di muka wanita itu.

     "Kamu tidak lihat. Aku juga lapar, seharian belum kena makanan. Dasar perempuan sia**n !" ucapnya penuh amarah. Warijem hanya bisa pasrah, mendengarkan ocehan suaminya.

     "Lepaskan anak itu. Biarkan dia menangis !" perintahnya dengan raut wajah semakin sangar.

     "Kau sudah gila, mas ?" Warijem berucap lirih. Wanita itu tak menyangka perubahan drastis yang terjadi pada suaminya. 

     "Lepaskan dia !!" serunya lagi berapi api. Kali ini tangannya meraih sang bocah dengan kasar. Kemudian, tanpa ekspresi ia  biarkan Jhoni menangis, meraung sejadi jadinya di trotoar jalan. Tentu saja hal tersebut menarik perhatian pengguna jalan yang lewat. Tak jarang mereka melemparkan rupiah. Dari koin dengan nilai terendah hingga kertas berwarna merah.

     "Berhasil ... !" seru Tukiman dengan senyum renyah. Diraupnya uang yang berserakan. Sementara Warijem segera menggendong Jhoni dan menaikkannya ke atas gerobak yang terparkir di pinggir jalan.

     "Begitu caranya mendapatkan uang dengan cepat" ucap Tukiman sambil menarik gerobaknya. Tak henti - hentinya dia menoleh ke arah Warijem dengan bangga. Sementara sang istri hanya terdiam. Sesekali ia melihat ke dalam gerobak, memastikan buah hatinya sudah terlelap. 

Beberapa saat wanita ini termenung, teringat perlakuan suaminya terhadap si kecil yang di luar nalar. Bahkan tak jarang bocah kecil tersebut mendapatkan cubitan, pukulan, bahkan sundutan rokok. Bekas luka di beberapa bagian tubuhnya menjadi saksi kekejaman Tukiman. Sementara Warijem tak bisa berbuat banyak untuk menghentikan itu semua. 

#####

Waktu terus berjalan, Jhoni kini semakin besar. Di usianya yang menginjak tujuh belas tahun, dia menjadi remaja yang urakan. Tinggal di kolong jembatan dan bergaul dengan anak jalanan membentuk pribadi Jhoni menjadi apatis dan temperamental.

     "Ibu sedang memikirkan apa ?" tanya Jhoni, saat mendapati sang ibu termenung.

     "Ibu teringat bapakmu, nak" jawab Warijem, sesekali disekanya wajahnya yang mulai menua.

     "Ibu tidak usah mengingat dia lagi. Biarkan dia pergi. Walaupun dia mati, Jhoni tidak perduli, bu !" 

     "Tapi dia tetap bapakmu, nak."

     "Tidak, bu. Dia bukan bapakku !"

     "Jhoniii....!" 

     "Dia hanya memanfaatkan kita. Sadarlah bu... !" seru Jhoni dengan suara menggelegar. Warijem tak bisa lagi mendebatnya. Hanya suara sesegukan menahan tangis yang terdengar.

     "Setelah bertahun - tahun memanfaatkan kita sebagai pengemis jalanan. Kini dia pergi membawa hasil jerih payah yang kita kumpulkan. Sadarlah, bu !"

Seru Jhoni lagi. Air mata sang ibu tak lagi bisa dibendung. Dipeluknya sang anak, satu - satunya harta yang tersisa.

     "Berjanjilah, Jhoni..., Berjanjilah tidak akan meninggalkan ibumu, nak" 

     "Jhoni berjanji, bu" kini pelukannya semakin erat. Namun kerasnya hidup, membuat air mata remaja ini sulit untuk mengalir. Amarah, dendam dan sakit hati yang lebih dominan menguasai dirinya.

     "Ibu tidurlah. Jangan lagi mengingat orang yang sudah mencampakkan kita" ucap Jhoni lagi. Sorot matanya tajam menembus hati sang ibu. Kedua tangannya memegang kedua pundak ibunya. Sang ibu hanya mengangguk pelan.

     "Jhoni ke luar sebentar, bu. Ada urusan" ditinggalnya sang ibu. Bergegas ia menemui kawan - kawannya yang sudah menunggu. Ada tiga orang kawan sebayanya yang mulai tak sabar. Sambil ngobrol ngalor ngidul, sesekali mata ketiganya mencari sosok yang ditunggu - tunggu. 

     "Kemana saja kamu, Jhoni ?" tanya salah satu di antara mereka. Remaja tinggi kurus itu menatap Jhoni menunggu jawaban.

     "Maaf, kalian menunggu lama" jawab Jhoni singkat. Disalami satu persatu kawannya. Tak lama kemudian mereka berjalan menyusuri jalan raya. Di sisi jalan raya tersebut terdapat perkampungan padat dan kumuh yang menjadi rumah bagi kaum urban kota. Termasuk Jhoni dan warijem. Dan banyak lagi warga pendatang yang pekerjaanya tak jelas. Ada pedagang, sopir, pengamen, psk dan banyak lagi profesi yang tidak biasa.

     "Itu ada mangsa" ucap remaja tinggi kurus. Wajahnya diarahkan pada seorang pemuda yang sedang berdiri di dekat lampu merah. 

     "Oke. Kita beraksi !" seru Jhoni yakin. Dia melangkah mendekati sang pemuda.  Ketiga temannya mengekor di belakang.

     "Bagaimana kondisi jalanan ?" tanya Jhoni lagi. Netranya fokus pada calon mangsanya.

     "Aman, Jhon... !" 

     "Udah sikat  !" 

Ketiga kawannya menyemangati Jhoni sambil mengawasi kondisi sekitar. Sementara ia sudah berada di samping pemuda yang tampak kaget. Raut mukanya berubah pucat saat ia rasakan satu benda tajam menempel di pinggangya.

     "Serahkan dompetmu" ucap Jhoni pelan. Pisau belati semakin menekan dan hampir merobek kulit pinggang korbannya. 

     "Aa.... ampun bang !" seru pemuda tersebut dengan ekspresi ketakutan.

     "Cepaattt.... serahkan dompetmu !" kali ini suara Jhoni menyalak keras. Kesabarannya habis melihat korbannya tak juga menuruti perintahnya. Ditariknya dompet yang ada di saku belakang celana jeans korbannya.

     "Jangan bang, Itu uang buat berobat bang !" ucapnya memelas. Namun Jhoni tak perduli. Setelah isinya dikuras, dia lemparkan dompetnya kepada pemiliknya. 

     "Banyak bacot kau... !" hardik kawan Jhoni dengan potongan ala anak punk. 

     BUUUUKKKK....! BUUUUKKK... !

Dua kali pukulan mendarat di perut sang pemuda yang hanya bisa mengaduh. Remaja tinggi kurus melemparkan pandangan ke sekitar dengan raut muka waspada.

     "Ayo kita pergi !" seru Jhoni sambil beranjak menjauh dari korbannya.

     "Ayo Jhon" jawab kawanya . Langkah mereka tergesa meninggalkan korbannya yang kesakitan. Cukup lama mereka berjalan hingga berhenti di sebuah warung kopi.

     "Enak kalau tiap hari seperti ini" seru Jhoni senang. Senyum puas terpancar dari wajahnya Tanganya menggenggam  uang hasil kejahatan mereka.

     "Iya Jhon. Kita beruntung dapet korban yang gak bisa berbuat apa - apa" jawab remaja punk yang sudah asyik dengan secangkir kopinya.

     "Setiap hari aja, begini. Bisa kaya, kita. Hahaha... !"  lelaki tinggi kurus menimpali.

    "Hahahaha..." 

Keempat remaja itu larut dalam kesenangan sesaat. Tak menyadari bahwa perbuatan jahat yang mereka lakukan  akan kembali kepada mereka. Ada aksi, tentu ada reaksi. Terdengar klise, namun itulah hukum alam yang akan terus terjadi.

#####

Siang itu sang pemuda yang baru saja mengalami musibah, memutuskan kembali pulang. Langkahnya gontai dengan raut muka yang masih menyimpan trauma. Hingga ia sampai di depan gapura yang menjadi pintu masuk wilayah tempat tinggalnya. 

     "Robii... , kamu kenapa. Kok lemes begitu ?" Tanya seorang kawannya yang sedang kerja bakti. Robi, pemuda tersebut ternyata tinggal tak jauh dari lokasi penodongan.

     "Aku habis ditodong, San" jawab Robi dengan ekspresi penyesalan.  

     "Ditodong di mana ?!" seru pemuda yang bernama Santo. Wajahnya kaget. Sementara kawan - kawannya yang sedang kerja bakti menghentikan kegiatannya sejenak. Kini mereka berkumpul mengitari Robi dan Santo.

     "Di lampu merah. Perempatan jalan" jawab Robi lagi. 

     "Barang apa yang diambil ?" tanya salah seorang kawannya. Sementara yang lain mulai emosi. Tak terima salah satu warga lingkungan mereka ditodong.

     "Uangku  untuk berobat, semuanya diambil"

     "Kurang ajar !" 

     "Kamu mengenali mereka, Robi ?" tanya salah satu di antara mereka.

     "Mereka tinggal di perkampungan pinggir jalan raya itu."

     "Mereka itu pendatang semua. Tapi berani bikin masalah dengan kita !" seru Santo geram. Ia merupakan tokoh pemuda di lingkungannya. Ucapannya di dengar dan diikuti oleh pemuda lainnya.

     "Jadi bagaimana bang ? Ini sudah kelewatan." 

     "Kita harus bikin perhitungan. Kumpulkan yang lain. Sekarang juga kita cari mereka !"  seru pemuda yang bernama Santo.

     "Betul. Jangan kasih ampun bang !"

     "Sebelum semakin kurang ajar. Kita habisi mereka !"

Berbagai makian terlontar begitu saja dari jiwa - jiwa muda. Jiwa - jiwa yang mudah tersulut amarah. Tak berselang lama, terkumpul lima puluh orang pemuda yang mempersenjatai diri dengan apa saja. Santo dan Robi berjalan paling depan. Setelah berjalan cukup lama, tibalah mereka di tempat Jhoni cs bersantai.

"Itu mereka, San" ucap Robi. Menunjuk ke arah Jhoni yang tak menyadari bahaya sedang mengintainya.

     "Hei Kalian. Kembalikan uang kawanku yang kalian ambil !" Seru Santo dengan amarah yang siap meledak. Sementara pasukannya sudah tidak sabar ingin menghakimi.

     "Apaaa.... !!!" Jhoni kaget bukan kepalang, saat menyadari situasi yang mencekam di depan mata. Ketiga temannya tak jauh berbeda. Di hadapannya berdiri puluhan orang dengan menghunus senjata tajam. Wajah mereka menggambarkan kemarahan yang begitu besar.

     "Hei jangan lari... !" seru seorang pemuda sambil mengejar kawan Jhoni yang  bertubuh kurus. Namun pria kurus terus saja berlari, hingga sebuah sabetan samurai menggores punggungnya. 

     "AAAUUU.... !"

Jeritan kesakitan membahana bagai lolongan serigala. Remaja tinggi kurus tak ada pilihan. Dicabutnya belati kesayangannya. Dia balas menyerang semampunya. Walaupun kesempatan untuk menang sangat tipis.

Sementara itu, Jhoni dan kedua kawannya tersentak. Menyaksikan kawannya berada di ujung maut. Laripun tak akan menyelamatkan mereka. 

     "Ayo, Kita hadapi mereka !" seru Jhoni pada kedua kawannya. Sebilah golok yang biasa menemaninya menjadi saksi betapa heroiknya dia. Secepat kilat ia menerjang ke depan. Diikuti kedua kawannya dengan nafas memburu.

     Tang.... tangg... tangg...

Beberapa kali golok, samurai dan senjata tajam lainnya saling beradu di udara. Berada dalam posisi terkurung dan terjepit membuat ketiga remaja itu tak lagi memikirkan kematian. Yang terbersit dalam benak mereka adalah melawan dan terus berjuang.

     "Bunuh saja mereka !"

     "Hajar terus ... !" 

     "Mati kau ... !"

Berbagai macam makian ditelan oleh ketiganya. Di antara kondisi warung kopi yang porak poranda, ketiganya terus merangsek maju. Menebas siapapun lawannya.

     Creeesss.... creesss....

     "Aaauuuu.... !"

Jhoni berhasil melukai dua orang pemuda yang mengurungnya. Kesempatan itu tidak disia - siakan. Sekuat tenaga ia terjang pemuda yang sudah terluka itu hingga terjatuh.

     BRUUUGGHHH....

    "Aaauuu... !!" 

Secepat kilat ia berlari meloloskan diri. Dua sabetan samurai dan celurit mampu membuat luka yang cukup parah di punggungnya. Dia terus berlari dan berlari sekuat tenaga. Dari kejauhan terdengar jerit kesakitan dari ketiga kawannya. Suaranya menyayat hati dan sangat membekas di kemudian hari. 

Ternyata kematian tiga orang kawan Jhoni tidak membuat Santo puas. Pria ini yakin Jhoni adalah aktor dari setiap kejahatan di wilayah mereka. 

     "Kejar anak itu !" teriak Santo. Bergegas mereka berlari mengejar Jhoni. Dengan nafsu untuk membunuh, puluhan orang itu merangsek masuk ke perkampungan kumuh yang menjadi tempat tinggal Jhoni dan ibunya. 

     PRANGGG.... PRANGGG....

Suara bom molotov memecah keriuhan penghuni kampung tersebut. Para ibu - ibu dan anak - anak berlarian menyelamatkan diri. Jeritan histeris terdengar bersahut sahutan tiada henti. Tangis bayi bagai meratapi apa yang sedang terjadi. Namun para penyerang terus saja memporak porandakan perkampungan tersebut. Puluhan bom molotov terus terbang dan membakar bangunan - bangunan semi permanen.

Satu demi satu rumah terbakar dan menyisakan abu kepiluan. Hingga seluruh bangunan berubah menjadi kenangan. Tak ada perlawanan, karena para lelaki tidak ada yang di rumah, kecuali kakek - kakek dan anak - anak.

     "Ayo kita tinggalkan tempat ini ! " seru Santo. Tak menunggu lama, mereka balik badan. Meninggalkan kehancuran berbalut air mata. Sementara itu tak lama setelah gerombolan Santo menghilang. Jhoni berlari menuju kediamannya. Diacuhkannya rasa sakit akibat senjata tajam. Dengan wajah cemas ia melihat kondisi rumah yang sudah hangus.  Seketika tangis pilu membahana tiada tara. Tangis akan kehilangan seorang yang sangat ia cintai.

     "Ibuuuu...... ! Jangan tinggalkan Jhoni, buu....  huhuhu... !"  Warijem, wanita tangguh itu telah tiada. Berpulang saat ia terlelap dibuai mimpi. Rupanya Allah tak ingin wanita ini merasakan kesakitan saat sakaratul maut datang menjemput.

Tinggalah Jhoni menyesali semua yang terjadi. Hidupnya menjadi hampa. Tak ada lagi keceriaan terpancar dari wajahnya. Yang tampak adalah pribadi apatis, bengis dan tidak memiliki belas kasih. 

Terpopuler

Comments

Author15🦋

Author15🦋

gk brtnggung jwb bngt mreka

2023-07-16

2

Author15🦋

Author15🦋

balaskan dendammu, aku dukung

2023-07-16

1

💞Amie🍂🍃

💞Amie🍂🍃

Kehidupan yang keras

2023-01-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!