Ampas Kopi
"Untung kita berhasil melarikan diri dari binatang buas itu, Pan" ucap Arif lega. Wajahnya memandang jauh ke lautan lepas. Kedua matanya tak berkedip sedikitpun, saat mengamati gulungan ombak yang datang silih berganti. Di arah yang lain, terlihat puluhan burung camar bercengkerama di antara batu - batu karang yang berserakan tak jauh dari garis pantai. Sesekali beberapa dari mereka terbang rendah, dan kemudian meliuk - liuk indah. Sebelum akhirnya menukik tajam dengan paruh siap menangkap mangsa yang lengah.
"Iya Rif. Jika kita tidak cepat meninggalkan mereka, bisa - bisa kita yang disantapnya" jawab Topan sambil mengarahkan pandangannya ke bawah. Kira - kira lima puluh meter dari pohon yang mereka panjat, terlihat kondisi Budi dan Jaja sangat mengenaskan. Walaupun di kanan kiri mereka terdapat pohon - pohon yang tak kalah tingginya. Namun keduanya masih bisa mengamati keadaan di bawah.
Kini, binatang buas yang tadi menerkam kedua mangsanya sudah selesai dengan santapannya. Tinggalah sisa - sisa Tubuh Budi dan Jaja yang berserakan dan sudah tidak utuh lagi. Hampir seluruh badan mereka terkoyak akibat gigitan harimau. Pakaian yang mereka kenakan sudah tak berbentuk. Dan warnanya berubah menjadi merah darah.
"Tak tega aku melihatnya, Pan."
"Sebenarnya aku juga tak tega, tapi apa boleh buat. Harimau itu lebih memilih mereka daripada kita" ucap Topan tersenyum getir. Arif hanya mengangguk.
"Bagaimana jadinya jika kita terlambat menghindar, tadi Pan ?"
"Ya seperti mereka, Rif."
Keduanya tersenyum kecut saat sang harimau meninggalkan dua mayat korbannya begitu saja. Sementara dua pucuk senapan laras panjang tergeletak tak jauh dari tuannya.
"Kita ambil saja senapan mereka, Pan" ucap Arif dengan sorot mata berbinar. Membayangkan dirinya yang menenteng senapan laras panjang seperti di film - film.
"Apa kau bisa menggunakannya, Rif ?"
"Tidak... !"
PLAAKKK... !
Telapak tangan Topan melayang, menampar ujung topi yang digunakan kawannya.
"Dasar.... !" seru Topan dengan mata sedikit melotot. Sementara Arif juntru tertawa terbahak- bahak. Tak sempat lagi membetulkan posisi topinya yang miring.
"UAHAHAHA.... !"
"Ayo kita turun, perutku sudah terasa lapar" ucap Topan. Dengan cekatan ia berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya. Arif dengan tertatih mengikuti gerakan kawannya. Namun ia tertinggal jauh.
"Tunggu Topan. Jangan tinggalkan aku !" seru Arif dari atas. Sementara Topan sudah menjejakkan kakinya di tanah.
"Ayo cepat. Gerakanmu seperti perempuan !" jawab Topan sambil tertawa menyaksikan kawannya yang kesulitan bergerak turun.
#####
Sementara itu, beberapa orang sedang berjalan menyusuri aliran sungai. Mereka mencari keberadaan kawannya yang tak juga datang melapor. Keduanya tak menghiraukan guyuran hujan yang tiba -tiba datang. Petir menyambar silih berganti menyebabkan beberapa batang pohon patah dan roboh menimpa pohon lainnya. Gemuruh angin ikut meramaikan orkestra alam yang mencekam di pulau misterius itu.
"Bagaimana ini, kita lanjutkan atau kembali ke markas ?" seru salah seorang di antara mereka . Sesekali tanggannya menyeka wajahnya yang basah oleh guyuran air hujan.
"Kita sudah terlalu jauh. Sebaiknya kita jalan terus !" jawab kawannya.
"Baiklah. Ayo Kita lanjutkan."
Keduanya terus berjalan tak jauh dari bibir sungai yang mulai meluap airnya. Mata keduanya terus memindai setiap benda yang mencurigakan.
DUGH...
"Tunggu. Sepertinya kakiku menendang sesuatu !" seru lelaki bertubuh kurus yang bernama Amin. Segera diambilnya benda yang tertutup oleh ilalang yang cukup tinggi. Dari jarak dua meter kawannya terus mengawasi di bawah guyuran hujan.
"Ini Senjata Surip dan Anto !" seru Amin. Tangannya menunjukan dua buah senjata api laras panjang yang tadi sempat ditendangnya.
"Kenapa senapan itu ada di sana ?" tanya kawannya yang bernama Agus. Wajahnya terlihat kebingungan.
"Entahlah. Sebaiknya kita terus mencari. Firasatku mereka tak jauh dari sini" ucap Amin lagi. Keduanya kembali melanjutkan pencarian. Sementara hujan mulai reda. Keadaan di sekitar mereka yang tadi terhalang derasnya air hujan, kita perlahan mulai terlihat jelas.
Seratus meter mereka sudah berjalan, sejak penemuan senapan laras panjang. Amin menghentikan langkahnya saat netranya melihat benda mencurigakan.
"Apa itu, Gus ?" tanya Amin. Sebuah benda yang tersangkut di batang pohon yang melintang di atas sungai menjadi perhatiannya. Agus yang ditanya, bukannya menjawab. Dia justru menghampiri objek tersebut.
"Seperti tubuh manusia, Min" ucapnya yakin. Ditarilknya benda itu ke darat. Alangkah terkejutnya mereka saat keduanya mengenali sosok yang sudah menjadi mayat itu.
"Antooo...!!" seru keduanya kompak. Spontan mereka menutup hidung, menghalau aroma busuk yang menguar. Terlihat jelas raut muka ngeri di wajah mereka. Apalagi alasannya kalau bukan penampakan mayat kawannya yang sudah membengkak dan dikerubungi oleh belatung. Sementara tengkorak kepalanya pecah dan berlubang.
"Apa yang sebenarnya terjadi ?" tanya Agus pelan. Di dalam kepalanya bersliweran berbagai macam asumsi.
"Sulit menjawabnya, Gus. Karena banyak kemungkinan yang bisa terjadi" jawab Amin berdiplomasi. Kedua pria ini saling pandang sejenak dan coba menerka - nerka.
"Kita harus menemukan Surip, agar semuanya bisa terungkap."
"Setuju !"
Mereka kembali melanjutkan pencarian hingga senja datang. Namun Surip yang dicari tidak juga ditemukan. Keduanya memutuskan kembali ke markas dan melaporkan apa yang mereka alami hari itu.
#####
Tok... tok...tok...
"Masuk !" seru Bowo yang sedang menikmati secangkir kopi hitam. Netranya mengamati pintu yang terbuka dan mencari tahu siapa yang datang. Tak lama kemudian masuklah kedua pria yang membawa kabar penting. Sang komandan keamanan tersenyum sejenak, sebelum membuka percakapan.
"Bagaimana hasil dari pencarian kalian ?" tanya Bowo, tak mau bertele - tele. Di hadapannya kini berdiri Amin dan Agus. Dengan wajah lesu karena kelelahan dan pakaian yang belum kering benar. Dan yang pasti, perut mereka terus menuntut untuk diisi.
"Kami menemukan Anto, komandan" jawab Amin lantang.
"Kami juga menemukan senapan mereka." ucap Agus tak mau kalah. Bowo memperhatikan kedua anak buahnya dengan raut wajah yang serius.
"Panggil mereka dan suruh menghadap !" titah komandan Bowo dengan yakin. Sementara itu, kedua pria yang berdiri di hadapannya terlihat gusar.
"Tapi...."
"Tapi apa...?!"
"Anto sudah tak bernyawa, komandan !" jawab keduanya serempak.
"Apaaa... ?!"
"Lantas bagaimana dengan Surip ?" tanya komandan Bowo lagi.
"Surip tidak kami temukan, komandan !" jawab Amin. dialihkan pandangannya kepada kawannya yang sedang mengangguk.
"Baiklah. Kalau begitu, kalian boleh istirahat setelah ini."
"Siap komandan !" keduanya bergegas meninggalkan ruangam Bowo. Raut wajah lelah tak bisa mereka hilangkan walau hanya sesaat. Sementara itu, Bowo berfikir keras. Reflek tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Apa yang sesungguhnya terjadi. Dan apakah kematian Anto ada hubungannya dengan kedua anak itu ?" tanya Bowo dalam hati. Lama dia termenung mencari jawaban. Semakin keras ia mencari jawaban, maka semakin pusing kepalanya.
"Sebenarnya siapa kedua anak ini, kenapa mereka bisa bertahan di hutan yang mengerikan itu ?" Berbagai tanya terus saja terbersit di kepalanya hingga ia tak mampu lagi mencerna dengan akal sehatnya. Tangannya meraih cangkir kopi yang isinya tinggal ampas berwarna hitam. Tanpa sadar ia hisap kopi yang tersisa.
"Puuiihhh...sialan... !"
Umpatan yang keluar menandakan ia begitu kesal dengan keadaan. Ditambah lagi rasa ampas kopi yang membuatnya semakin murka. Dilemparnya cangkir kopi yang terbuat dari kaca tersebut. Hingga pecah berkeping - keping.
Setelah fikirannya sedikit tenang. Ia sandarkan kepalanya di bagian belakang bangku dengan wajah menghadap ke langit - langit ruangannya. Tiba - tiba saja ia teringat Gadis pujaan hatinya yang belum ia dapatkan. Tanpa sadar matanya terpejam dan seutas senyuman terukir di bibirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Author15🦋
mnurutq ampas kopi enak🤣
2023-07-04
1
Author15🦋
plot armornya keren
2023-07-04
1
✨🥀Dhe carissa RCA🥀✨
Menegangkan banget ...
2022-10-20
0