Nyaris Tertangkap
Sorot sinar mentari masuk di sela - sela kelopak mata Topan. Segera ia bangkit dari tidurnya setelah menyadari hari baru sudah datang. Diedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya rimbun tanaman semak dan rumput alang - alang yang ia saksikan.
Pohon - pohon besar bergoyang mengikuti irama hembusan angin yang bertiup. Sesekali kicau burung mengalihkan perhatiannya. Perlahan ia bangun meninggalkan alas tidur yang terbuat dari dedaunan. Kakinya dilangkahkan mengitari area sekitar. Memastikan segala sesuatunya baik - baik saja.
Sementara itu, Arif masih terlelap dibuai mimpi. Sesekali tangannya menepuk tak tentu arah, mengusir nyamuk hutan yang tak henti - hentinya datang mengganggu.
Dari kejauhan terlihat tiga orang bejalan menuju bukit. Dengan tergesa mereka menerabas tumbuh - tumbuhan yang menghalangi langkah ketiganya. Pandangan mata mereka tak henti berputar ke segala arah seperti mencari sesuatu yang sangat penting. Dari bibir mereka yang tebal, sesekali tersembul gelombang asap rokok yang mengganggu penglihatan.
"Aku heran, kemana perginya Si Surip sama Si Anto ?" tanya lelaki yang berjalan di tengah. Budi namanya.
"Apa mungkin mereka pergi ke daratan ?" jawab Maman, lelaki yang di sebelah kanan. Tangannya menebas apa saja yang menghalangi langkahnya.
"Mana mungkin berani. Bisa habis mereka kena hukuman dari bos Jhoni" kali ini lelaki di sebelah kirii yang bicara. Lelaki ini benama Jaja..
"Iya. Lagi pula kapal yang biasa menyeberangkan Jarot dan Kubil belum datang" jawab Budi. Sesekali ia alihkan pandangan ke wajah kedua kawannya. Dan dijawab anggukan keduanya. Ketiganya ditugaskan oleh Bowo untuk menyusuri wilayah sekitar bukit.
"Aku justru khawatir mereka tewas diterkam binatang buas di pulau ini" ucap Budi menambahkan. Asap rokok terus berhembus keluar seiring tarikan nafasnya. Sementara kedua kawannya hanya terdiam. Tak bisa membayangkan, jika hal itu benar - benar terjadi. Ketiganya terus menyusuri hutan belantara tersebut. Tujuan mereka adalah mencari kedua remaja yang melarikan diri. Dan sekaligus mencari tahu keberadaan kedua rekan mereka.
Dari ketinggian yang jaraknya tidak terlalu jauh. Topan terperanjat saat sorot matanya memastikan bahwa yang bergerak semakin mendekat adalah tiga orang manusia. Ketiganya terus menerabas dan sesekali bejalan menanjak. Tak ketinggalan senapan laras panjang selalu siap di pundak mereka.
"Mereka lagi !" gumannya dalam hati. Bergegas ia menghampiri kawannya yang masih terpejam.
"Riifff... Arifff. Bangun Rif !" seru Topan sambil menggoyang goyangkan tubuh kawannya yang belum juga terbangun.
"Rif, bangun !" seru Topan dengan suara meninggi.
"Ada apa Pan ?" tanya Arif yang kebingungan. Dikucek kedua matanya yang baru terbuka. Kemudian ditelisik seluruh bagian tubuh Topan yang panik.
"Mereka lagi Rif. Mereka sedang menuju ke sini."
"Apa yang harus kita lakukan ?"
"Cepat kita tinggalkan tempat ini, Rif !" perintah Topan. Diraihnya sumpit beracun yang siap digunakan. Bergegas mereka berlari di sela - sela semak belukar. Tak jarang langkah mereka terantuk Akar pohon yang mencuat ke permukaan tanah.
Sementara itu Budi, Maman dan Jaja sudah berada tepat di depan tenda yang ditinggalkan Topan dan Arif.
"Rupanya mereka bersembunyi di sini" ucap Budi yakin.
"Iya, sepertinya mereka baru saja meninggalkan tempat ini" Jawab Maman. Netranya terus mencari ke segala arah. Namun hanya jejak tanaman semak yang mereka dapati.
"Mereka mengetahui kedatangan kita dan lebih dulu kabur sebelum kita sampai sini" ucap Budi lagi. Sementara Jaja terus berjalan. Berharap dapat menemukan kedua bocah yang mereka cari.
"Hei tunggu !" seru Budi yang menyadari kini mereka hanya tinggal berdua. Bergegas mereka mempercepat langkah. Mengejar kawannya yang sudah hilang dibalik pepohonan.
"Itu mereka !" seru Jaja yang berdiri paling depan. Jari telunjuk dia arahkan ke arah Topan dan Arif yang terus berlari.
"Ayo cepat. Jangan sampai mereka lepas lagi !" seru Maman penuh semangat. Beberapa puluh meter di depan, kedua remaja yang dikejar tampak kebingungan. Di hadapan mereka terbentang lautan luas. Tak ada jalan keluar. Kini mereka berdiri di atas tebing tinggi yang di bawahnya berserakan batu - batu besar yang selalu dihantam ombak.
"Bagaimana ini, Pan ?" ucap Arif sedikit putus asa.
"Aku juga tidak tahu Rif" jawab Topan pasrah. Sementara ketiga orang yang mengejar mereka sudah berdiri di hadapan keduanya.
"Mau lari kemana kalian ?"
"Sebaiknya kalian menyerah saja."
"Betul kata kawanku. Daripada kalian mati ditembus timah panas " seru ketiganya memberondong mereka dengan ancaman mengerikan.
Maman mengokang senapannya dan bersiap membidik Topan yang kini hanya berjarak dua meter darinya.
"Sebaiknya kita bunuh saja mereka. Bikin susah saja !" ucapnya datar. Topan tampak tenang, matanya awas melihat pelatuk senjata yang siap ditekan. Sementara Arif sangat ketakutan. Keringat dingin mengucur deras. Badannya gemetaran menyaksikan moncong senjata yang membidik kawannya.
"Ampuni kami pak. Kami tidak salah apa - apa" ucap Arif memelas. Badannya membungkuk beberapa kali. Tangannya ditelungkupkan di depan dada. Maman tidak perduli dan bersiap menarik pelatuk.
"Kamu sudah gila, Man ?!" tegur Budi dengan nada emosi. Kawannya yang bernama Jaja hanya terpaku menyaksikan ulah Maman. Dipandangi wajah kedua kawannya secara bergantian.
"Memangnya kenapa ? Lagi pula mereka akan tetap mati ditangan Bos Jhoni !" jawab Maman tak mau kalah.
"Tapi bang, Bowo berpesan agar kita membawa mereka hidup - hidup " jaja coba melerai kedua kawannya. Di hadapan ketiganya, Topan dan Arif saling pandang. Mereka tak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Ketiga orang yang memburu mereka justru saling berdebat.
"Kau ingin menembakku ? Tembaklah !" ucap Topan dengan lantang. Tiba - tiba saja remaja bertubuh tinggi ini bereaksi diluar dugaan.
"Apa yang kau lakukan, Topan ?" tanya Arif kebingungan. Matanya mendelik tak percaya saat menyaksikan Topan maju mendekat. Perlahan dia hampiri moncong senapan laras panjang yang mengarah tepat ke kepalanya.
"Ayooo... tembak aku !" tantang Topan lagi, sorot matanya tajam menghujam ke jantung Maman yang seketika menjadi gugup. Di sebelahnya Budi dan Jaja hanya terpaku. Terkesima dengan apa yang mereka saksikan.
Kini jarak Moncong senjata dan wajah Topan tersisa sekitar dua jengkal saja. Semakin Topan mendekat, semakin gemetaran tubuh Maman. Antara melanjutkan menarik pelatuk senjata atau membatalkannya. Terjadi pergolakan batin dalam dirinya.
"Maa.... maa... mati kau... !" ucap Maman terbata bata. Ditariknya pelatuk dan suara letusan membahana.
DOORRR.....
Namun, Topan lebih dulu berkelit dan menepis moncong senjata ke arah lain. Kemudian secepat kilat dia masukan sumpit beracun di antara kedua bibirnya.
WUUUUSSSS....
"AAAHHHH..... !!"
Duri tajam yang sudah diolesi getah pohon beracun menancap tepat di leher Maman. Seketika ia menjerit dan Jatuh ambruk di hadapan kedua kawannya. Senjatanya jatuh tak jauh dari tubuhnya. Sontak Saja kejadian tersebut membuat Budi dan Jaja panik. Keduanya berusaha menolong Maman. Sejenak mereka lupa akan keberadaan kedua remaja buruannya.
"Sekarang juga lari !" seru Topan. Diraihnya tangan Arif agar segera meninggakan tempat tersebut. Keduanya berlari sekuat tenaga tanpa menoleh ke belakang. Sesekali terdengar suara letusan senjata yang diarahkan kepada mereka.
"Kurang ajar. Kejar mereka, jangan sampai lolos !" Hardik Budi. Dengan wajah penuh amarah, dia terus berlari. Bahkan tak segan lagi untuk melepaskan tembakan.
"Kita harus menangkap mereka hidup - hidup !" jawab Jaja. Nafasnya naik turun, keringatnya mengucur deras di antara langkah kakinya yang terus berlari.
"Perduli setan. Apa kau mau mengalami nasib seperti Maman ?!" seru Budi tegas. Tak tega ia menyaksikan mayat kawannya yang kejang - kejang dan mengeluarkan buih berbusa dari mulutnya. Kemudian sekujur tubuhnya membiru. Diawali dari leher, kemudian menjalar ke seluruh tubuh dengan cepat.
"Iya betul juga. Bocah itu tidak bisa dianggap remeh" jawab Jaja. Tak terasa jarak mereka sudah semakin dekat dengan buruannya.
"Berhenti atau kalian mati diterjang timah panas" seru Budi sambil terus mengejar Topan dan Arif. Tangannya bersiap dengan senapan laras panjang. Begitu juga dengan Jaja. Dia sedikit banyak terpengaruh oleh ucapan Budi. Langkah kaki keduanya berhenti saat kedua buruannya melakukan hal yang sama.
"Kami menyerah !" seru Topan yang berada Dua meter di depan Budi dan Jaja. Tangannya diangkat ke atas kepala sebagai tanda menyerah. Begitu juga dengan Arif.
"Sekarang juga kalian ikut kami !" seru Budi lagi. Sorot matanya tajam mengawasi gerak gerik buruannya. Dia tidak mau kejadian yang menimpa Maman terjadi padanya.
"Baik" jawab Topan singkat. Sementara Arif hanya membisu. Tangan mereka masih berada di atas kepala dengan posisi membelakangi Budi dan Jaja.
"Ayo jalan !" bentak Budi. Mocong senapan digunakan untuk mendorong punggung Topan. Begitu juga yang dilakukan Jaja terhadap Arif.
"Jangan coba - coba untuk lari. Karena aku tak segan - segan menembakmu !" seru Jaja tak kalah garangnya. Mereka berjalan menuruni bukit dengan hati - hati. Setelah berjalan sekitar setengah jam. Keempat orang itu dikagetkan oleh suara yang sangat menyeramkan.
EEERRGGHHHH....!
EEEERRRHHHH... !
Seekor harimau besar berjalan menghampiri mereka. Seringai menakutkan terlihat di antara gigi - gigi tajam. Sorot matanya menyiratkan kemarahan karena wilayah kekuasaanya dimasuki. Sementara kuku - kuku tajam menyembul keluar di antara jari - jari kakinya.
"maaa.... macan !" seru Arif ketakutan.
"Tenang Rif. Kuasai dirimu !" jawab Topan. Sementara harimau besar itu semakin mendekat. Budi bersiap membidik makhluk yang terus menunjukkan seringai menyeramkan itu.
"Aku takut Pan" ucap Arif putus asa. Kini di hadapannya, binatang buas itu bersiap menyerang. Tanpa diduga harimau itu melompat, menerkam Topan dan Arif.
"Awaaassss !" seru Topan. Didorongnya tubuh Arif agar terhindar dari terjangan harimau. Arif terjatuh ke samping. Diwaktu yang bersamaan Topan melompat menghindar.
"AAAAUUUJ.... !"
Jerit kesakitan keluar dari mulut Budi. Tubuhnya dicabik - cabik harimau tersebut hingga tak dapat lagi dikenali.
DOOORRRR.... !
Jaja melepaskan tembakan untuk menyelamatkan kawannya. Namun tindakannya justru memancing kemarahan sang harimau. Tanpa ampun lagi tubuhnya kini yang jadi santapan empuk. Disaat - saat menegangkan itu, Topan dan Arif menyelamatkan diri.
Setelah berada di tempat yang aman, kedua pasang mata terus mengamati binatang buas tersebut menyelesaikan santap siangnya. Di puncak sebuah pohon kapas, kini keduanya menyelamatkan diri.
"Sampai kapan kita di sini, Pan ?"
"Sampai binatang itu kenyang dan meninggalkan tempat ini. Jawab Topan. Kini mereka beristirahat, menikmati pemandangan yang mengagumkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Author15🦋
waduh
2023-07-04
1
💞Amie🍂🍃
Aku ngebayangin thor, sumpah bet tegang bgt, sadis mahhh
2022-12-21
0
anggita
itu pulau di cover novel kya pulau farmosa taiwan🤔,, topan~ arif lnjut trus.
2022-08-16
2