"Ini milik siapa?" tanya Diaz ketika melihat sebuah jas di kamar Joanna.
Joanna yang sibuk melihat anime favoritnya, 'Soul Land' pun menoleh, "seseorang," jawabnya singkat.
"Kenapa kau membawanya?" tanya Diaz lagi dengan menyerahkan segelas minuman hangat untuk Joanna.
"Celanaku kotor, jadi dia memberikannya padaku."
Diaz meraih jas itu, kemudian memeriksanya dengan teliti, "Pastikan kau mencucinya dengan bersih dan segera mengembalikannya!" perintah Diaz.
"Dia bilang tidak perlu mengembalikannya."
"Kenapa dia sangat dermawan padamu, apa dia menyukaimu?" selidik Diaz, menatap Joanna dengan rasa curiga.
"Bi, apa yang bibi bicarakan? Itu bukan tanda cinta," jawab Joanna sambil menyeruput minuman hangat yang disiapkan Diaz.
"Meskipun begitu kau tetap harus mengembalikannya."
Joanna diam saja. Hanya satu jas saja kenapa membuat Bi Diaz bersikeras memintanya untuk mengembalikannya?
"Haruskah?" tanya Joanna.
Sebenarnya bukan masalah mengembalikannya, tapi Joanna enggan untuk bertemu pria itu lagi.
"Dormeuil Vanquish II. Jas ini berasal dari Perancis dan hanya dibuat untuk seorang pelanggan khusus. Terbuat dari enam jenis kain yang langka. Harga setelan jas ini tak kurang dari 1.28 milyar rupiah. Apa kau yakin tak ingin mengembalikannya?" tanya Diaz.
Joanna tersedak minumannya ketika mendengar penuturan Diaz. Hanya selembar jas saja kenapa bisa semahal itu?
"Jika aku memiliki sembilan jas lagi yang seperti ini, bukankah jumlah itu melebihi harga rumah yang baru saja kubeli?" batin Joanna.
"Siapa yang memberikan jas semahal ini hanya untuk membantumu menutupi celana yang kotor?" selidik Diaz.
Joanna tersenyum canggung, "Itu, sebenarnya aku tidak tahu namanya," jawab Joanna.
"Tidak tahu? Apa kau tidak mengucapkan terimakasih padanya?"
"Tentu saja aku mengatakannya, tapi aku lupa tanya siapa namanya. Bi, jangan marah-marah dia memberikan nomornya padaku kok."
"Lalu tunggu apa lagi, cepat hubungi dia dan katakan akan mengembalikan jas ini secepatnya. Lalu, undang atau traktir dia makan malam saat kita selesai pindah rumah," cerocos Diaz.
"Bi?"
"Joanna, jangan mencari masalah dengan orang kaya dan segera kembalikan jasnya."
"Baiklah, aku akan menghubunginya nanti."
"Hubungi dia sekarang juga, kau akan lupa jika mengulur waktu lebih lama."
"Ah, baiklah."
Joanna mengambil tasnya, mencari selembar kertas yang diberikan Louise. Cukup lama dia mencari, sampai akhirnya menemukan kertas kecil itu terselip diantara pembalut cadangan di dalam tas dan hampir berubah menjadi bubur.
Joanna menekan angka demi angka itu. Sempat melirik Bi Diaz, ingin protes lagi tapi Bi Diaz terlihat sangat serius dengan tatapannya.
Setelah menunggu beberapa saat, tidak ada jawaban dari Louise meskipun Joanna sudah meneleponnya sebanyak tiga kali.
"Bi, orang itu tidak menjawab teleponku. Ini bukan salahku, jadi jangan melihatku seperti itu," kata Joanna.
"Berikan ponselmu!" perintah Diaz.
"Untuk apa?" tanya Joanna.
"Mengirim pesan untuknya," jawab Diaz sambil merampas ponsel Joanna.
Tuan,
Ini aku Joanna.
Terimakasih telah meminjamkan jas milikmu, aku akan segera mengembalikannya lain hari. Sebagai ucapan terimakasih, aku ingin mentraktir Anda makan malam.
Itulah pesan yang dikirim oleh Diaz.
"Sudah malam, segera habiskan minumanmu dan pergi tidur!" perintah Diaz sebelum keluar kamar dan menutupnya rapat-rapat.
"Bi, kenapa kau semakin aneh. Sejak kapan bibi tahu rincian jas sampai sedetail itu. Kenapa bibi semakin posesif juga akhir-akhir ini?" batin Joanna.
Joanna bangkit, merenggangkan tubuhnya untuk meredakan nyeri di persendiannya. Menghabiskan sisa minumannya dan pergi ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas sebelum tidur.
Tepat saat Joanna membaringkan tubuhnya ponselnya kembali berdering. Itu adalah panggilan dari Louise. Sedikit ragu untuk menjawab, tapi dia harus menjawabnya karena Bi Diaz sudah mengirimkan pesan untuk mentraktir makan.
"Hallo, ini aku," jawab Joanna.
"Aku tahu," kata Louise dari seberang sana.
"Itu, itu kalau kau tidak keberatan aku ingin mentraktirmu makan malam," kata Joanna.
"Kapan?" tanya Louise.
"Aku bisa kapan saja. Bagaimana denganmu?" tanya Joanna.
Louise berpikir sejenak, melihat kalender dan memeriksa kapan dirinya tidak sibuk, "Baiklah, akhir pekan aku akan menjemputmu."
"T-tunggu!" tahan Joanna.
"Hm?" tanya Louise.
"Kau, siapa?" tanya Joanna.
"Louise," jawab Louise singkat.
"Oh, baiklah. Selamat malam!" kata Joanna.
"Joanna!" panggil Louise ketika Joanna akan menutup teleponnya.
"Iya?"
"Apa kau tahu arti Eu te amo?" tanya Louise.
"Tentu saja aku tahu," jawab Joanna.
"Apa itu?" tanya Louise pura-pura tidak mengerti.
"Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu. Baiklah, mulai sekarang kau jadi milikku. Selamat malam, sayang!" goda Louise kemudian menutup teleponnya.
"Ah, bajingan ini. Apa yang dia lakukan barusan. Apa dia menganggap aku sedang menyatakan perasaan kepadanya? Tunggu, kenapa aku harus dijemput. Aku bisa pergi sendiri," kata Joanna uring-uringan.
Dengan cepat, Joanna mengirimkan pesan kepada Louise bahwa dia tidak perlu dijemput. Tapi Louise juga membalas dengan cepat bahwa dia akan tetap menjemputnya dan dia tidak akan membiarkan seorang wanita mentraktirnya.
.
.
.
Hari ini William sangat sibuk, teleponnya tidak berhenti berdering sejak diaktifkan tadi pagi.
"Kurasa Louise benar, aku harus mencari seseorang yang bisa diandalkan dan di percaya untuk membantuku," keluh William lesu.
William mengusap-usap wajahnya sendiri, mencari sisa-sisa kekuatan untuk mengembalikan semangatnya. Hari masih setengah siang tapi kenapa dia sudah selelah ini.
William akhirnya meraih gagang telepon di meja kerjanya, menekan tombol-tombol yang akan menyambungkannya dengan orang yang ditugaskan berjaga di pantry khusus hanya untuk karyawan dengan jabatan khusus seperti William.
Setelah Louise merekrut karyawan besar-besaran tempo hari, Louise sengaja menyediakan fasilitas tambahan untuk karyawan. Sebelumnya karyawan harus membayar jika ingin makan di kantin, kali ini sudah tidak lagi karena Louise sudah mempekerjakan puluhan koki untuk menyediakan makan siang untuk seluruh karyawan secara gratis.
Louise juga sudah membuat kebijakan baru, seluruh karyawan mendapatkan kenaikan gaji berdasarkan lama mereka bekerja di perusahaan. Selain itu, masih ada bonus khusus untuk karyawan yang berdedikasi tinggi dan masih banyak bonus-bonus khusus lainnya.
Tentu saja kebijakan ini seperti angin segar bagi para pekerja, sehingga membuat mereka lebih semangat.
Iya, semuanya semangat, tapi tidak dengan William. Gaji dan bonusnya memang sangat melimpah, lebih dari cukup untuk menghidupinya yang belum melepas masa lajang. Dia juga bisa berfoya-foya dengan uang itu. Tapi terlepas dari itu, pekerjaan yang diterimanya juga jauh lebih melimpah.
"Tolong bawakan aku segelas minum," pinta William ketika teleponnya terangkat.
"Minuman apa yang anda inginkan, Tuan William?" tanya si penerima telepon.
"Apapun boleh," jawab William malas.
"Bagaimana dengan teh?"
"Boleh."
"Tuan William ingin teh merah, teh hijau atau teh hitam?"
"Ku rasa teh hijau lebih baik."
"Bagaimana dengan rasanya? Manis, sedikit manis atau tawar?"
"Sedikit manis."
"Panas atau dingin?"
"Dingin."
"Baiklah, suhu berapa yang Anda inginkan?"
"Aku sudah tidak ingin minum," jawab William akhirnya.
William meletakkan gagang teleponnya dengan kasar. Dia hanya ingin minum segelas teh, tapi kenapa harus serumit itu?
William bukanlah tipe orang yang pemilih sampai harus meminta teh dengan takaran serinci itu. Tidak seperti Louise yang super detail dan menyebalkan. Ya, hari ini Louise dan orang pantry itu sama-sama menyebalkan.
Wajah William kusut, sangat kusut meskipun masih terlihat tampan. Dengan sedikit gontai dia bangkit, berjalan menuju ruangan Louise yang terletak tepat berada di sebelah ruangan miliknya. Belum juga meraih gagang pintu, Louise sudah terlebih dulu membuka pintu itu dari luar.
"Kau mau kemana?" tanya William begitu melihat dandanan Louise yang sudah berubah.
Louise sudah tidak mengenakan setelan jas seperti saat dia datang tadi pagi.
"Menemui Oskar," jawab Louise singkat.
"Lagi?" tanya William.
"Iya, dia baru saja kembali dari liburannya. Kali ini kau juga ikut," perintah Louise.
"Kenapa aku juga ikut?"
"Ini perintah dari atasanmu. Jangan buang-buang waktu, kau harus sampai di bawah dalam waktu 5 menit," titah Louise sambil berlalu, meninggalkan William yang masih mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menyusul Louise.
.
.
.
"Paman Louise," teriak Oskar dan Ebra bersamaan, meninggalkan ayunan yang mereka mainkan bersama.
Dua bocah itu berlarian dengan kaki-kaki mereka yang mungil, menyambut paman Louise yang sudah mereka tunggu sejak tadi. Sementara itu, Diaz yang hari itu membawa Oskar dan Ebra hanya tersenyum di tempatnya.
Louise dengan telaten mengangkat mereka satu persatu secara bergiliran, memastikan mereka tidak iri satu sama lain.
"Lihat, coba tebak siapa yang paman bawa hari ini?" tanya Louise kepada Oskar dan Ebra.
"Hallo, anak-anak!" sapa William ramah dan mendekat.
"Hallo Paman, namaku Oskar!"
"Hallo Paman, namaku Ebra!"
Dua bocah itu menyapa William dengan semangat dan mata yang berbinar. William seperti telah menemukan oase di gersang jiwanya ketika melihat mereka yang lucu dan menggemaskan. Melupakan beban dan pekerjaan yang menumpuk di perusahaan.
"Sialan, mereka jauh lebih imut saat dilihat secara langsung. Pantas saja Louise seringkali tersenyum sendiri seperti orang gila ketika menceritakan mereka. Seandainya aku tahu bertemu mereka semenyenangkan ini, aku pasti akan pergi lebih awal untuk menemui mereka," jerit William dalam hati.
"Kau kenapa?" tanya Louise kepada William.
"Tidak apa-apa, hanya saja aku merasa tiba-tiba suasana hatiku menjadi lebih baik," jawab William sambil mengelus rambut bocah-bocah yang masih berdiri dihadapannya.
"Ayo, kita menemui Nenek Diaz terlebih dulu," ajak Louise sambil menggenggam tangan Oskar dan Ebra.
"Paman Louise, aku memegang tangan Paman William saja boleh?" tanya Ebra.
Louise terkejut, kemudian menoleh ke arah William.
"Tentu saja, sini berikan tanganmu!" pinta William senang.
Mereka pun berjalan kearah Diaz. Louise yang sudah pernah bertemu dengan Diaz langsung menyapanya tanpa ragu, kemudian memperkenalkan William kepadanya.
Diaz merespon kembali dengan baik. Oskar dan Ebra menyukai Louise dan William, begitu pula sebaliknya. Jadi tidak ada alasan untuk melarang mereka bermain bersama.
Setelah menyapa dan mengobrol sebentar, Louise dan William mengajak dua bocah itu bermain di sekitaran taman. Mereka berlari bersama, saling kejar-kejaran, tertawa bersama, berteriak bersama.
Diaz sangat bahagia melihatnya. Louise dan William, mereka berdua nampak seperti dua orang ayah yang sedang bermain dengan anak-anak mereka.
Entah bagaimana awalnya, tapi ibu-ibu lain yang berada di sekitar sana mulai tertarik dengan keseruan Oskar dan Ebra sehingga meminta izin agar anak-anak mereka boleh bergabung untuk bermain bersama.
Louise dan William tak keberatan, mereka membiarkan Oskar dan Ebra bermain sepuasnya dengan teman-teman barunya. Sementara mereka duduk di kursi pinggir taman untuk istirahat sejenak.
"Menyenangkan bukan?" tanya Louise sambil mengusap keringatnya.
"Benar, aku tidak menyangka akan sebahagia ini setelah bermain dengan mereka," tutur William.
"Ngomong-ngomong, apa kau sudah melakukan pekerjaanmu?" tanya Louise mengingatkan.
"Yang mana?" tanya William bingung. Louise memberinya begitu banyak pekerjaan akhir-akhir ini, jadi pekerjaan mana yang dimaksud Louise?
"Permintaan Oskar tempo hari, apa kau sudah menyebarkan selebarannya?" tanya Louise mengingatkan.
"I-itu, sudah tapi belum semuanya. Nanti aku akan menyuruh orang untuk menyelesaikannya," jawab William asal.
Masih ingat dengan kejutan yang Oskar siapkan untuk Joanna?
Kejutan itu adalah, Oskar berencana mengadakan kencan buta untuk sang mommy. Jadi Oskar menyebarkan ratusan foto mommynya lengkap dengan profilnya.
Melihat usaha Oskar yang sungguh-sungguh, tentu saja Louise berinisiatif untuk membantu. Jadi Louise meminta semua selebaran itu beserta tasnya dan berjanji untuk menyebarkannya nanti.
Bodohnya, Louise tidak memeriksa selebaran yang dia terima dari Oskar. Dia langsung menyerahkan begitu saja kepada William beserta tas kecil itu, sementara William yang akhir-akhir ini sibuk dengan setumpuk pekerjaan langsung menyerahkan tas berisi selebaran itu kepada bawahannya.
Jadi, kalau begini kapan Louise tahu bahwa Joanna adalah mommy kesayangan yang sangat Oskar banggakan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
@Kristin
mahal banget sih 😱
2022-11-11
1
Dehan
louise 😂😂
receh 😂😂
2022-09-13
0
Dehan
wkwkwk
2022-09-13
0