"Apa yang sedang mereka lakukan?" keluh Louise saat menyadari begitu banyak pekerja kantornya, terutama wanita muda yang berlalu-lalang di sekitarnya.
William, pria melankolis yang sejak tadi bersamanya mengerutkan dahi begitu mendengar keluhan Louise, "Tentu saja menyambutmu, memangnya apalagi yang menarik selain itu?" jawab William.
Apa yang dikatakan William memang benar. Sejak Louise dan William menginjakkan kaki mereka, semua pandangan tertuju padanya.
Sekumpulan pekerja kantoran itu siap untuk menyapa dua pangeran tampan di perusahaan tempat mereka bekerja.
Jika Louise tampak tidak senang, berbeda halnya dengan William. Dia terlihat biasa saja, mau bagaimana lagi hal seperti ini kan sudah biasa terjadi sejak dulu.
Saat ini, William berjalan sedikit di belakang Louise. Sepertinya dia tahu dimana harus memposisikan dirinya. Sepanjang jalan, sapaan terus mereka dapatkan.
"Selamat pagi, Presdir Louise!"
"Selamat pagi, Tuan William!"
"Selamat pagi, Bos!"
"Ck," dengus Louise pelan.
Menyapa ya menyapa saja, kenapa harus sedekat itu, juga kenapa menunjukkan senyum selebar itu. Apa ingin memperlihatkan senyum yang tidak ada manis-manisnya sama sekali di mata Louise?
"Selamat pagi semuanya! Maaf, Presdir Louise sedang sariawan jadi tidak bisa menjawab salam kalian. Silahkan kembali ke tempat kalian masing-masing dan mulai bekerja," ujar William meredam keributan.
William sibuk mengusir karyawan itu secara halus, sementara Louise terus berjalan secepat mungkin tanpa menghiraukan mereka sedikitpun.
"Menyebalkan," batin Louise.
Louise tidak masalah dengan sapaan, yang bermasalah adalah jarak juga dandanan menor lengkap dengan pakaian mereka yang terlihat kurang bahan sangking ketatnya.
Tidak lama kemudian, Louise dan William sudah berada di depan lift khusus yang hanya bisa di akses oleh orang-orang tertentu. Terutama untuk mereka berdua. Mereka akan selalu di dahulukan mengingat keduanya adalah orang nomor satu dan dua di perusahaan ini.
Akan sangat menyebalkan jika harus berada di dalam satu lift dengan salah satu dari wanita-wanita itu bukan?
Ting.
Pintu lift terbuka. Louise dan William telah sampai di lantai ruangan mereka.
"Will, aku ada pekerjaan untukmu," ucap Louise sesampainya mereka memasuki ruangan Louise.
"Apa itu?" tanya William sambil menutup pintu. William adalah orang yang patuh dan sangat bisa diandalkan. Jadi, ketika Louise sudah menyampaikan permintaan maka William akan segera menurutinya.
"Pecat gadis-gadis itu!" perintah Louise datar.
"Gadis-gadis. Gadis yang mana?" tanya William tak mengerti. Ada banyak gadis di sepanjang jalan tadi. Jadi mana yang harus dipecat?
"Semuanya, aku tidak butuh karyawan seperti mereka. Bukannya segera masuk ke ruangan dan bekerja dengan baik tapi malah berdandan menor dan bertingkah aneh seperti itu," jelas Louise
"Tapi,-"
"Tidak ada tapi-tapian. Ingat, lebih cepat lebih baik."
Louise memotong pembicaraan William yang masih memproses perintah Louise. Karyawan sebanyak itu, dipecat sekaligus? Itulah yang sebenarnya ingin William tanyakan.
"Louise, mereka akan demo jika dipecat tanpa alasan yang jelas dan masuk akal," cegah William.
"Katakan saja pada mereka bahwa mereka telah mengganggu kenyamananku. Itu membuat moodku menjadi buruk dan mempengaruhi performa kerjaku. Itu bisa mempengaruhi keuntungan perusahaan dan itu adalah sebuah kejahatan. Apa mereka bisa ganti rugi jika aku mengalami kerugian besar? Agar mereka diam, beri saja mereka pesangon 10 kali lipat dari biasanya, kemudian rekrut karyawan baru untuk menggantikan posisi mereka dan utamakan yang sudah berkeluarga. Satu lagi, besok pagi aku ingin data lengkap seluruh karyawan di Matthews Group. Jangan lupa memisahkan mereka berdasarkan gender juga durasi mereka bekerja disini. Juga lampirkan top karyawan dengan kinerja yang bagus, aku ingin memberikan reward untuk mereka," jelas Louise.
"Baiklah, sesuai keinginanmu," jawab William mengalah dan berbalik arah.
"Kau mau kemana?" tanya Louise ketika melihat William akan keluar dari ruangannya.
"Tentu saja memproses pemecatan masal mereka dan mengurus apa yang kau minta."
"Serahkan saja kepada HRD untuk mengurusnya. Aku membawamu bersamaku tidak untuk mengurus hal sepele semacam itu," tegur Louise.
"Sepele katamu, ini akan mengakibatkan keributan besar tahu?"
"Maka biarkan saja, pada akhirnya mereka akan diam setelah lelah," kata Louise menyepelekan.
"Baiklah, terserah kau saja."
Lagi-lagi William mengalah. Dengan cekatan William mengambil ponselnya dan menghubungi HRD untuk menyampaikan perintah Louise. Biasanya William tidak seperti ini, dia akan berjalan menuju HRD sekalian mampir ke pantry mengambil kopi. Tapi jika Louise mencegahnya untuk pergi, maka dia tidak akan pergi.
"Apa kau sudah selesai?" tanya Louise lima menit kemudian.
"Hanya menelepon saja, tidak butuh sampai 5 menit bukan?" jawab William singkat.
Iya, bagi William menelepon seperti ini hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit. Tapi, mendengar pertanyaan Louise membuat perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak.
"Ada apa, kenapa melihatku seperti itu?" tanya William ketika melihat Louise tersenyum licik di hadapannya.
Louise tidak menjawab apapun, tapi satu tangannya dengan cepat mendorong William mundur sampai terduduk di sofa.
"Hei-hei apa yang sedang kau lakukan?" tanya William kaget.
Tiba-tiba saja Louise mendorongnya hingga terjatuh, adegan seperti ini sangat familiar. Mirip-mirip dengan adegan pemeran pria dan wanita di sebuah film dewasa.
"Louise masih normal bukan? Dia tidak berubah menjadi seorang gay meskipun pernah di tolak wanita bukan?" batin William panik.
"Will, apa yang sedang kau pikirkan? Tidak perlu memasang wajah seperti itu. Aku tidak tertarik dengan manusia berdada rata sepertimu," cibir Louise.
"Sialan! Aku ini seorang pria, sudah pasti aku berdada rata!" umpat William kesal.
Louise kembali tersenyum, entah kenapa dia sangat senang membuat William marah-marah seperti ini. Terlihat imut dan menggemaskan meskipun William sudah bukan anak kecil lagi seperti dua puluh lima tahun yang lalu.
"Kau gantikanlah aku dulu, aku akan pergi sebentar," pamit Louise santai.
"Pergi katamu? Apa kau mau pergi sebelum melakukan apa-apa?" tanya William dengan posisi masih duduk di sofa.
"Memangnya aku harus melakukan apa?" respon Louise dingin.
"Tentu saja bekerja!" jawab William emosi.
"Bukankah aku sudah memerintahkan untuk memecat semua karyawan menyebalkan itu dan mencari penggantinya segera? Aku juga sudah menyuruh untuk mengumpulkan data-data karyawan secepat mungkin, bukankah aku sudah bekerja?" tanya Louise mengingatkan
"Apa kau pikir kau senganggur itu? Lihatlah apa yang sudah aku siapkan di mejamu!" jawab William kesal. Tangannya menunjuk ke meja dimana berkas-berkas menumpuk tinggi, mereka sudah menunggu Louise sejak kemarin, berkas itu tidak akan berguna selama Louise tidak membubuhkan tanda tangannya disana.
"Aku sedang tidak mood. Aku akan pergi sebentar untuk mencari udara segar," jawab Louise sambil berjalan kearah pintu, mengabaikan William yang sudah dikejar deadline.
"Louise, kau membuatku sakit kepala. Katakan, kau mau kemana?" tanya William. Sekarang dia sudah berdiri, berdiri sambil menunjuk-nunjuk dada Louise.
"Perpustakaan," jawab Louise singkat.
"Perpustakaan? Mencari udara segar disana, apa kau sudah gila?"
"Setidaknya disana tidak akan ada gadis aneh dengan dandanan menor yang melintas di hadapanku," jawab Louise sinis.
"Baiklah, tapi setidaknya uruslah pekerjaanmu dulu," pinta William lagi.
"Tenang saja, aku akan menyelesaikannya setelah kembali nanti. Aku pergi sekarang," jawab Louise cepat bersamaan dengan tertutupnya pintu ruangan. Menyisakan William yang masih berdiri mematung sendirian, membayangkan kekacauan yang akan dihadapinya setelah kepergian Louise.
.
.
.
Louise mungkin benar, di perpustakaan mungkin tidak akan ada gadis aneh dengan dandanan yang menor dan menyebalkan. Tapi, disini dia akan diijinkan untuk melihat satu bunganya yang indah. Satu bunga yang tidak bisa dia beli dengan uang tapi kata Oskar bisa dia dapatkan dengan ciuman.
Iya, di tempat ini sekali lagi Louise bertemu dengan Joanna. Joanna yang kembali sukses mencuri perhatiannya untuk yang kedua kalinya.
Perpustakaan adalah salah satu tempat yang disukai Louise. Di jaman sekarang, akan sangat sedikit orang yang pergi ke perpustakaan, mereka lebih suka menghabiskan waktu mereka di pusat-pusat perbelanjaan atau tempat wisata untuk melepas penat.
Sangat berbeda dengan Louise, dia merasa tempat ini adalah tempat yang cukup aman. Dia bisa tenang tanpa seorangpun yang mengganggunya karena mereka akan fokus dengan bukunya masing-masing. Saat ini, tidak banyak orang pengunjung yang hadir. Kalau Louise tidak salah hitung mungkin hanya sekitar sembilan orang saja termasuk dirinya juga seorang petugas.
Louise berjalan lurus ke ujung terjauh, melihat-lihat buku di salah satu rak yang ada disana. Memilah buku mana yang dirasa cocok untuk menemani menghabiskan waktunya.
Tap.
Tap.
Tap.
Louise menghentikan aktivitasnya begitu mendengar suara langkah kaki. Instingnya mengatakan sesuatu yang menyenangkan akan terjadi hari ini.
"Aku tidak mencarimu, tapi kau terus-terusan mendekat. Jadi jangan salahkan aku jika aku menganggap kau adalah seseorang yang sengaja dikirim Tuhan untukku," batin Louise dengan senyuman tipis.
"Selamat siang!"
Louise mendengar suara seorang perempuan yang tidak asing di telinganya. Sapaan yang sepertinya ditujukan kepada seorang penjaga perpustakaan. Sungguh keterlaluan, karena Louise bisa mendengar semuanya dengan sangat jelas meskipun jarak mereka cukup jauh.
Di ruangan yang hening itu, Louise bisa mendengar langkah kaki yang semakin mendekat kearahnya dan berhenti tepat di rak yang berada di sisi yang berbeda.
Louise mendekati sumber suara, mulai mengintip gadis manis yang beberapa hari terakhir berkeliaran di otaknya. Gadis itu berjalan santai sebelum membelakangi Louise, memilah-milah buku dengan cekatan di rak yang berseberangan dengan rak yang digunakan Louise untuk mengintip.
Joanna berbalik arah, sepertinya buku yang diinginkannya tidak ada disana. Sekarang Joanna mendekati rak dimana Louise berada, hanya saja berlainan sisi. Dari tempat Louise berdiri sekarang, dia bisa memperhatikan Joanna dengan jarak yang sangat dekat dari celah-celah buku yang menghalangi mereka.
Matanya yang besar dan hitam, bibirnya yang tipis kemerahan, senyumnya yang manis seperti madu, Louise bisa melihat semuanya. Louise bahkan bisa melihat bulu-bulu halus yang tumbuh di tangan Joanna.
Louise menutup separuh wajahnya dengan buku yang diambilnya secara acak. Menutupi senyum tipis yang tidak bisa dia tahan. Mungkin Louise sudah gila, dia membuka bukunya tapi tidak membaca isinya.
Seperti tersihir, langkah kakinya terus mengikuti Joanna yang berjalan dari satu ujung ke ujung yang lain.
Louise baru berhenti ketika akhirnya mereka sampai di ujung rak. Di persimpangan itu, Louise sengaja berdiri membelakangi rak buku, berpura-pura membaca buku miliknya dengan tenang disana. Dengan begitu, Joanna tidak akan tahu bahwa diam-diam dia sudah memperhatikannya sejak awal.
"Ah, Joanna ya. Sebaiknya aku pura-pura tidak tahu siapa namanya," batin Louise.
"Tidak ada disini juga, apa mungkin di sebelah?" tanya Joanna kepada dirinya sendiri ketika tidak menemukan buku yang dia cari.
"Baiklah, mungkin ada di sebelah," ucap Joanna lagi.
Joanna mengembalikan beberapa buku yang sempat diambilnya ke tempat semula, kemudian bergegas menuju rak berikutnya.
BRUK. .
Yang Louise inginkan benar-benar terjadi, karena Joanna menabraknya dan membuat buku yang dipegangnya terjatuh ke lantai.
"Astaga," batin Joanna.
Joanna menunduk, berinisiatif untuk mengambil buku yang terjatuh, tapi disaat yang sama Louise juga melakukan hal yang sama.
"Maaf," ucap mereka berbarengan.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Mereka saling menatap untuk beberapa saat. Joanna tidak percaya, apa dunia sesempit ini. Kenapa dia bisa bertemu dengan pria ini lagi. Pria yang menawarkan pernikahan di pertemuan pertama mereka?
"Maaf!" kata Joanna.
"Untuk?" tanya Louise.
"Karena lagi-lagi aku mengganggumu," jawab Joanna.
"Aku tidak merasa kau menggangguku," kata Louise tulus.
"Ini bukumu."
Joanna mengembalikan buku milik Louise yang terjatuh.
"Terimakasih."
Louise segera berdiri, memindahkan bukunya ke tangan kirinya, kemudian mengulurkan tangan kanannya kepada Joanna untuk membantunya berdiri. Kali ini, Louise yang lebih dulu memulainya dan memberikan tangannya untuk Joanna.
"Terimakasih!" ujar Joanna. Menerima uluran tangan Louise dan bangkit.
"Kau sudah lama disini?" tanya Louise basa-basi. Dia tahu kapan Joanna datang, tapi bertanya ulang karena ingin berbicara lebih lama dengan Joanna.
"Baru saja, bagaimana denganmu?" tanya Joanna balik.
"Mungkin, lima belas menit yang lalu."
"Oh, begitu. Kalau begitu aku permisi dulu," pamit Joanna.
"Apa kau sudah menemukan buku yang kau cari?" tanya Louise.
Otomatis pertanyaannya membuat Joanna berhenti untuk melangkah.
"Belum, aku akan mencarinya sekarang, eh-" jawaban Joanna terputus begitu melihat sesuatu di balik Louise.
"Ada apa?" tanya Louise.
"Sepertinya buku yang kucari ada di rak yang ada belakangmu," jawab Joanna sopan.
"Kalau begitu silahkan!"
Louise minggir mempersilahkan Joanna mendekati rak yang ada di belakangnya, membiarkannya mengambil buku yang diinginkannya. Tapi, buku itu disimpan di rak tertinggi yang tidak bisa Joanna raih meskipun dia sudah berjinjit.
"Biarkan aku membantumu," ujar Louise menawarkan bantuan.
Mata Joanna membesar ketika tiba-tiba Louise sudah berada di belakangnya dan itu sangat dekat. Joanna tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya banyak kupu-kupu yang beterbangan disekitarnya, terlebih ketika Joanna menengok kebelakang dan melihat Louise dengan sangat keren menggapai buku itu dengan mudah.
"Ah, kenapa pria itu tiba-tiba terlihat sangat keren?" batin Joanna.
Sungguh, ini seperti adegan di sebuah drama yang sering Joanna tonton ketika Oskar sedang tertidur pulas. Setelah kehilangan ingatannya, sepertinya ini adalah pertama kalinya Joanna terpesona dan merasa gugup berada di dekat seorang pria.
"Nona, ada apa denganmu?" tanya Louise ketika menyadari Joanna tidak bergerak sama sekali di depannya dan masih berdiri membelakanginya.
Pertanyaan Louise membuyarkan lamunan Joanna, membuatnya kikuk untuk sementara.
"Ah, tidak! Tadi, ada debu yang masuk ke mataku," jawab Joanna sembarangan sembari berbalik arah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
@Kristin
Aku kirim bunga 🌹 utk mu Thor semangat trus...
2022-11-05
1
@Kristin
mampir Thor 🤗 baca nyicil
2022-11-05
0
Dani irwandi
mampir jga ya kak
2022-10-04
0