Joanna memarkirkan mobilnya tepat di depan toko bunga langganannya. Pengunjung sangat ramai, terlebih di hari-hari spesial seperti hari ini. Bunga-bunga yang dijual juga lebih beraneka ragam dari hari biasanya. Setelah mengunci mobilnya secara otomatis, Joanna pun bergegas masuk bersama beberapa pelanggan yang lain.
"Jo, kau datang?" sapa seorang wanita paruh baya ketika Joanna baru saja masuk.
Di toko ini, mereka terbiasa memanggil Joanna dengan sebutan Jo saja. Tidak ada alasan yang spesial sebenarnya, hanya saja sewaktu Oskar masih kecil lidahnya masih belum bisa menyebut kata Joanna, dia hanya bisa menyebut 'Ommy Jo' kala itu. Jadi mereka ikut-ikutan memanggil dengan sebutan itu tanpa embel-embel 'Ommy'.
"Iya, Bibi!" jawab Joanna sambil memberikan pelukan untuk pelayan berumur setengah abad yang menyambutnya.
Bibi itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Joanna yang membuatnya pangling, "Suamimu pasti tidak akan membiarkanmu berkeliaran jika tahu kau merubah penampilanmu menjadi secantik ini," katanya pelan dengan memegangi tangan Joanna.
"Bi, jangan berbicara seperti itu. Aku bahkan tidak tahu apakah aku punya suami," kata Joanna pelan. Memasang wajah pura-pura memelas di hadapannya.
"Pasti ada, hanya saja belum menemukanmu. Bibi yakin, dia pasti sedang mencarimu mati-matian saat ini."
"Kalau benar seperti itu, maka aku akan sangat bersyukur," kata Joanna sumringah.
"Sudahlah, jangan membahasnya lagi. Bibi tidak ingin kau sedih. Kemarilah, bunga apa yang kau inginkan hari ini?" tanya bibi itu mengalihkan pembicaraan.
Bibi pelayan itu sangat akrab dengan Joanna karena dia lah yang paling sering melayani Joanna saat Joanna berkunjung. Terkadang, saat Joanna membawa Oskar dia juga menyempatkan diri untuk sekedar membawanya untuk bermain-main sebentar.
"Aku ingin memberikan sebuket bunga kepada seorang nenek. Dia sedang berulang tahun hari ini. Bisakah bibi memilihkannya untukku?" tanya Joanna.
"Bunga apa yang dia suka?"
"Aku tidak tahu, tapi dia sangat menyukai warna putih."
"Kemari, ikutlah denganku dan pilihlah manapun yang kau suka," ajak bibi pelayan. Dia membawa Joanna pergi ketempat dimana bunga-bunga yang di dominasi warna putih berada.
Joanna melihat sekeliling, pandangan pertamanya langsung jatuh kepada mawar putih. Mawar adalah bunga favoritnya, dan kebanyakan wanita pasti menyukainya. Jadi Joanna memutuskan untuk mengambilnya beberapa tangkai. Joanna terus berjalan, tapi belum menemukan bunga apa lagi yang akan dia sandingkan dengan mawar miliknya.
"Apa hanya ini?" tanya bibi pelayan ramah.
"Tidak, aku ingin menambah beberapa tangkai bunga yang lain sebagai pendamping. Tapi aku belum menemukan yang cocok," jawab Joanna.
"Baiklah, tidak perlu tergesa-gesa. Pilihlah dengan santai. Oh iya Jo, kalau kau tak keberatan, bibi akan melayani pengunjung itu dulu, bagaimana?" ijin bibi pelayan sambil menunjuk ke arah seorang pengunjung yang baru datang.
"Tidak masalah," jawab Joanna. Tidak lupa menganggukkan kepalanya dan tersenyum sebagai tanda persetujuannya.
"Cari bibi ketika kau sudah selesai, bibi akan merangkainya spesial untukmu," pesan bibi itu sebelum pergi dengan mengusap punggung Joanna.
Kebetulan pengunjung yang baru datang itu berada tidak jauh dari tempat Joanna berdiri sekarang. Toko sedang ramai-ramainya pengunjung, jadi bibi itu harus pintar-pintar membagi waktunya untuk melayani tamu-tamunya dengan baik agar tidak mengecewakan mereka.
Setelah mondar-mandir sendirian di tengah keramaian, akhirnya Joanna memutuskan untuk mengambil bunga lilac sebagai pendamping mawar putihnya.
Bunga lilac, bunga itu dilambangkan sebagai bunga untuk mengungkapkan cinta, biasanya digunakan saat upacara pernikahan. Tapi bunga lilac juga bisa untuk melambangkan kekuatan cinta antara ibu dan anak. Sangat cocok diberikan kepada Nyonya Anne yang kebetulan sedang berulang tahun tepat di hari ibu hari ini.
"Sepertinya ini cukup," kata Joanna pada dirinya sendiri.
Joanna mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok bibi pelayan tadi, berniat menyerahkan bunga-bunga pilihannya untuk di kemas kedalam buket.
Joanna melihat bibi itu sedang berdiri beberapa langkah darinya diantara kerumunan orang. Masih berbincang dengan seorang pria yang sepertinya sudah menentukan bunga pilihannya.
Joanna melangkah kakinya perlahan, mendekat kearah bibi itu, tapi seorang pengunjung yang lain tidak sengaja menabrak bahu Joanna ketika Joanna sudah sangat dekat dengan bibi pelayan yang dia cari.
"Maaf, Nona cantik. Aku tidak sengaja, apa kau terluka?" tanya orang itu.
Seorang ibu paruh baya bertubuh besar menabraknya. Dia terlihat cemas saat melihat Joanna sedikit terpental.
"Aku tidak apa-apa, tidak perlu cemas," jawab Joanna ramah.
"Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Sungguh maaf, ibu tidak sengaja. Kalau begitu ibu permisi," pamit ibu penabrak itu dengan sopan.
"Silahkan, berhati-hatilah!"
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Joanna merapikan gaunnya yang sedikit berantakan. Juga memeriksa bunga yang ada di tangan kirinya, untung saja bunga-bunga itu tidak rusak akibat dorongan yang ia terima.
Joanna menarik nafasnya dengan lega. Sekarang, tidak akan ada lagi pengganggu yang akan menghalanginya.
"Bi, aku mau yang ini. Tolong bantu aku merangkainya," pinta Joanna dengan senyuman termanisnya.
"Lihatlah, bagaimana menurut Bibi. Bukankah aku memilih bunga yang cantik?" cecar Joanna lagi. Seolah sedang memamerkan bunga pilihannya pada bibi pelayan yang dia cari.
Sialnya Joanna tidak melihat terlebih dahulu apakah bibi itu masih berdiri di tempat yang sama seperti sebelum dia terpental. Dan yang lebih parah lagi, Joanna langsung melingkarkan tangannya di lengan seseorang yang dia kira bibi pelayan. Menggandeng erat tangan seseorang yang kini menggantikan tempat bibi pelayan tadi berdiri.
Joanna masih belum sadar, tapi lengan yang dia pegang sepertinya sedikit aneh. Joanna masih mencium aroma bunganya ketika tangannya meraba-raba lengan itu, terasa kekar meskipun dibungkus kain yang sepertinya sebuah jas. Joanna masih belum puas, jari-jarinya semakin turun kebawah sampai menggenggam tangan yang kekar, hangat dan nyaman. Sebuah jam tangan juga terpasang di pergelangan tangan orang itu.
"Mungkinkah, aku salah memegang tangan orang?" batin Joanna.
"Jo, apa kau kenal dengan Tuan ini. Maaf jika lancang, tapi kalian terlihat sangat serasi," tegur bibi pelayan yang baru saja datang dengan sebuket bunga di tangannya. Sepertinya dia telah selesai merangkai bunga milik pelanggan pria yang saat ini sedang digandeng Joanna.
Joanna akhirnya tersadar meskipun sangat terlambat, kemudian menoleh ke sisi sebelah kanan. Dia bisa melihat dengan sangat jelas seseorang yang sejak tadi diam saja meskipun mendapatkan perlakuan tak senonoh darinya. Joanna melihat sebuah dada yang bidang tepat di depan matanya. Joanna menelan ludahnya, dan memberanikan diri untuk melihat wajah pemilik tangan yang masih dia pegang.
Di atas sana, Joanna bisa melihat wajah seorang pria luar biasa tampan yang ternyata juga sedang menunduk dan melihat kearahnya dengan lekat.
DEG.
DEG.
"Sial, seandainya saja ada Xiao O. Dia pasti bisa mencairkan suasana canggung ini," batin Joanna.
"Maaf, aku salah orang!" kata Joanna menjelaskan. Tak lupa memberikan senyuman indahnya meskipun terlihat sangat canggung.
"Tidak masalah, Nona!" jawab pria itu disertai senyum tipis di bibirnya. Juga dengan tidak mengalihkan pandangannya dari wajah Joanna yang mulai merah.
"Terimakasih," imbuh Joanna.
"Jo, bibi akan merangkai bunga pilihanmu. Bibi akan segera kembali," ujar bibi pelayan sambil mengambil bunga yang masih berada di tangan kiri Joanna dan memberikan bunga milik pria itu sebelum berlalu pergi.
"Itu cantik," kata pria itu tiba-tiba.
"Eh, apa?" tanya Joanna tidak mengerti.
"Bukankah kau tadi meminta pendapatku atas bunga pilihanmu?" lanjut pria itu.
"Oh, itu. Ehm, apakah itu terlihat bagus?" tanya Joanna mencoba mencairkan suasana.
"Tentu. Tidak, maksudku itu tidak hanya bagus, tapi sangat sempurna karena kau yang memilihnya," gombal pria itu dengan memberikan tatapan mata yang mematikan.
"Oh, t-terimakasih," jawab Joanna semakin tersipu.
"Nona, bisakah aku pergi sekarang? Ibuku sedang menungguku," tanya pria itu kepada Joanna.
"Tentu saja, silahkan!" jawab Joanna dengan cepat.
Joanna merasa aneh. Kalau mau pergi, ya pergi saja. Kenapa harus meminta ijin padanya. Joanna tahu dia tampan, tapi memangnya kenapa kalau dia tampan. Apa dia pikir dirinya akan melarangnya pergi dan membuatnya tetap tinggal?
"Nona, apa kau ingin pergi bersamaku?" tanya pria itu lagi.
"Ah, kenapa aku harus pergi bersamamu?" tanya Joanna tidak mengerti.
Pria itu tersenyum melihat ekspresi tak bersalah di wajah Joanna. "Maaf, kupikir kau jatuh cinta padaku dan ingin bersamaku."
"Tuan, apa yang sedang Anda bicarakan. Jangan bercanda!" kata Joanna.
"Nona, aku tidak bercanda. Apa kau ingin bukti bahwa kau ingin ikut denganku?" tantangnya.
"Bukti?" tanya Joanna tak mengerti.
Pria maskulin itu pun memberikan bukti yang dia katakan, yaitu menggenggam balik tangan Joanna yang ternyata masih belum melepaskan tangan pria itu sampai sekarang. Saat ini, keduanya malah saling menggenggam tangan dengan erat.
"Oh, sial. Kenapa aku tidak menyadari belum melepaskan tangannya sejak tadi!" batin Joanna.
"Sekali lagi maafkan aku, Tuan. Aku tidak sengaja."
Joanna melepaskan tangan pria itu secepat mungkin dengan senyum yang semakin canggung. Dia juga menunduk sedalam mungkin untuk menyembunyikan wajahnya yang merah padam karena menahan malu.
"Nona, tidak masalah jika kau masih ingin memegangnya. Tapi syaratnya kau harus menikah denganku, bagaimana menurutmu?"
"Tuan, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Jadi jangan salah paham," jawab Joanna.
"Tapi aku tidak keberatan menjadikan kesalahpahaman ini sebagai landasan hubungan kita selanjutnya."
"Kenapa bisa seperti itu?"
"Karena sepertinya aku menyukaimu."
"Maafkan aku, aku harus segera pergi. Sekali lagi maaf!" kata Joanna dengan membungkukkan badannya sejenak. Kemudian pergi secepat mungkin untuk mengambil bunga miliknya. Meninggalkan Louise yang masih berdiri dan mencium sisa-sisa aroma Joanna di tangannya.
.
.
.
Beberapa jam sebelumnya di Matthews Group.
Satu bulan telah berlalu sejak kedatangannya kembali, tapi Louise masih belum menemukan jejak seseorang yang dia cari. Tidak ada petunjuk sedikit pun, yang dia tahu hanyalah bahwa orang itu pernah tinggal di kota ini. Louise memijit keningnya, tanpa menemukan keberadaan orang itu, bagaimana cara Louise bisa menyibak misteri yang selama ini dia cari kebenarannya?
"Kenapa kau pergi begitu cepat, adikku? Jika kau masih disini, mungkin semuanya jauh lebih mudah," batin Louise.
Louise memandangi foto milik adiknya yang dia letakkan di meja kerja. Ada sebersit kerinduan yang datang mendera, tapi apa yang bisa dia lakukan untuk melihat seseorang yang sudah pergi ke surga. Haruskah dia juga mati agar bisa menemuinya?
Tidak.
Louise tidak segila itu. Louise harus tetap hidup, setidaknya sampai keinginan terbesarnya tercapai, yaitu menemukan orang itu. Orang asing yang membuat hidup orang disekitarnya menjadi sangat berantakan.
Tok. .
Tok. .
Tok. .
Suara pintu diketuk dari luar.
"Masuklah," jawab Louise.
Itu adalah William, orang yang memiliki begitu banyak jabatan disisinya, dan yang pasti dia adalah orang yang setia.
William adalah anak yang dipungut orangtua Louise sewaktu bayi. Usianya kurang lebih sama dengan usia adiknya, Juan Matthew. Tapi meskipun begitu, sekalipun William tidak pernah memanggil Louise dengan sebutan kakak begitu pula dengan Louise, dia tidak pernah menyebut William dengan sebutan adik.
Di perusahaan ini, William menjadi orang nomor dua terpenting setelah Louise dengan jabatan COO ditangannya. Itu sangat cukup untuk membuat ribuan wanita berlomba untuk mendapatkan cintanya, terlebih dengan parasnya yang tidak bisa disebut hanya dengan kata tampan.
"Mama bilang ponselmu tidak bisa dihubungi," kata William langsung pada intinya.
"Aku lupa menyalakan ponselku," jawab Louise sekenanya.
"Mama ingin kau mengunjungi Nyonya Tua. Karena sejak kita kembali, kau belum menemuinya sekalipun," jelas William.
"Jangan memanggilnya seperti itu, dia itu juga nenekmu," protes Louise.
"Aku tahu," jawab William.
"Tolong suruh orang untuk menyiapkan mobil untukku, aku akan pergi sendiri," pinta Louise.
"Tapi,-"
"Kau tetaplah disini. Aku percaya padamu," ujar Louise dengan melemparkan senyum.
"Saat bekerja dan berada di perusahaan, aku adalah asistenmu," balas William.
"Terserah kau saja!"
"Aku akan segera menghubungimu ketika mobilnya siap, segera aktifkan kembali ponselmu. Satu lagi, mama ingin kau membeli bunga untuk diberikan kepada nenek, aku pergi sekarang!" jawab William dengan cepat sambil melambaikan tangan.
"Hey Will! Siapa yang bos disini? Kenapa kau memerintahku seenak jidatmu?" canda Louise, tapi tak digubris oleh William.
Sebenarnya, William sedang tersenyum ketika berjalan membelakangi Louise. Sudah sangat lama mereka tinggal bersama tapi William tidak pernah melihat Louise menjadi seperti sekarang ini. Sepertinya ada hal baik yang terjadi padanya. Karena Louise menjadi sedikit lebih terbuka, sedikit lebih santai dan lebih mudah mematuhi perintahnya. Louise yang dulu, mana mungkin akan tunduk kepadanya?
"Mungkinkah Louise berubah karena pertemuannya dengan bocah laki-laki yang dia ceritakan beberapa hari yang lalu?" batin William.
William sangat ingat, bagaimana semangatnya Louise ketika menceritakan pertemuannya dengan Oskar. Louise juga berencana mengajak William saat dia akan menemui Oskar suatu hari nanti.
Seberapa imutnya anak itu sampai dia berhasil membawa kembali senyum milik Louise yang hilang sejak bertahun-tahun yang lalu?
Louise bahkan sampai membingkai foto Oskar dan dirinya sendiri. Menyimpannya di laci meja kerjanya. Sesuatu yang tidak pernah Louise lakukan sebelumnya.
"Baiklah, begini juga bagus," gumam William sendirian.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Ngadi2 kayaknya nih
2022-12-08
0
Dani irwandi
mampir juga ya kak kalo suka ceritaku
2022-09-21
1
auliasiamatir
kok bisa... Louise lupa sama Jo sih
2022-09-16
0