"Ada debu yang masuk ke mataku," jawab Joanna asal. Kemudian mengalihkan pandangannya kearah yang lain.
"Kemarilah, aku akan memeriksanya untukmu!"
Louise memang meminta Joanna mendekat, tapi kenyataannya dialah yang melangkah maju kearah Joanna yang semakin menempel di rak. Louise bahkan berani mengangkat wajah Joanna dengan satu tangannya. Membuat Joanna mendongak dan hanya melihat wajah Louise seorang.
Jika Louise bisa melihat wajah ayu yang ingin dia simpan untuk dilihat olehnya sendiri, maka Joanna bisa melihat dengan jelas garis rahang yang tegas milik Louise. Dan, kumis tipis yang menghiasi filtrumnya yang membuatnya terlihat seksi.
DEG.
Joanna terdiam, posisinya saat ini sepertinya tidak benar. Kenapa dia harus berdiri sedekat ini dan menerima bantuan dari pria asing ini. Dia kan hanya berbohong soal debu di matanya?
Lagipula, seharusnya mereka tidak sedekat ini mengingat ini adalah pertemuan kedua mereka yang tidak disengaja.
"Itu tidak perlu," tolak Joanna dengan menepis tangan Louise.
"Jangan menolakku!" cegah Louise.
"Fuuu!"
Louise memberikan tiupan pelan. Kemudian memegang wajah Joanna dengan dua tangannya. Seharusnya adegan seperti ini sudah berakhir, tapi lagi-lagi Louise semakin mendekatkan wajahnya untuk melihat mata Joanna yang bening bagaikan embun pagi.
Dan, yang lebih penting dari itu adalah sebenarnya dia baru mengingat satu hal yang penting. Bahwa kata Oskar, bunganya bisa dimiliki dengan ciuman. Jadi, haruskah dia memulainya sekarang?
Joanna mengernyitkan dahi saat menyadari pria dihadapannya semakin mendekat, "Dia tidak akan menciumku kan?" batinnya.
"Tuan, tidakkah Anda terlalu dekat?" tanya Joanna.
"Ah, aku pikir juga begitu," jawab Louise tanpa dosa.
"Kalau begitu mundurlah!" pinta Joanna.
"Kenapa aku harus mundur. Nona, aku baru saja membantumu mengusir debu di matamu. Sebelum ini, aku juga membantumu mengambil buku untukmu. Apa begini caramu berterimakasih?" tanya Louise.
"Lalu aku harus bagaimana, haruskah aku melahirkan anak untukmu sebagai ucapan terimakasih?" jawab Joanna.
Joanna sengaja mengatakan hal itu. Karena kemarin pria itu memberikan tawaran pernikahan di pertemuan pertama, maka kali ini biarkan Joanna memberikan tawaran untuk melahirkan anak di pertemuan kedua.
Seharusnya tawarannya ini bisa membuat pria itu menjauh kan?
Tapi, Joanna sepenuhnya telah salah. Karena Louise menyambut tawarannya dengan suka cita.
"Nona, kurasa kau berpikir terlalu jauh. Tentu saja bukan seperti itu maksudku. Tapi, kalau kau menginginkannya aku tidak punya pilihan selain menerimanya bukan. Lalu, haruskah kita melakukannya sekarang juga? Kebetulan aku sedang tidak sibuk hari ini."
DEG.
Joanna keder juga. Awalnya dia ingin menyerang, tapi kenapa malah terkena serangan balik yang mematikan?
"Tuan, maaf tapi aku hanya bercanda."
"Sayang sekali, padahal aku sangat serius ingin mewujudkan tawaranmu barusan. Nona, sebaiknya kau berhati-hati. Karena lain kali jika kau memberikan tawaran seperti itu lagi aku tidak akan segan untuk melakukannya," ucap Louise.
Joanna tidak bisa berekspresi, kenapa harus ada lain kali. Pria ini berbicara seolah tahu mereka akan bertemu lagi saja.
"Kalau begitu, ayo!" ajak Louise sambil mengedipkan matanya.
Tanpa persetujuan Joanna, Louise sudah menarik Joanna untuk mengikuti langkahnya. Setelah beberapa langkah, Joanna baru menyadari apa yang terjadi dan menarik kembali tangannya.
Louise yang menyadari itu segera menoleh dan mendapatkan kembali tangan Joanna, "Nona, kenapa mukamu sangat merah setiap memegang tanganku?"
"Aku, tidak terbiasa."
"Kalau begitu kau harus membiasakan diri mulai sekarang, ayo!"
"Tunggu, kenapa menarikku seperti ini? Apa yang kau lakukan?" tanya Joanna.
Joanna sudah melupakan sopan santunnya dengan memanggil Louise dengan sebutan kau.
"Tentu saja membawamu membaca buku. Apalagi? Atau kau ingin yang lain. Misalnya, mengawali proses pembuahan di rahimmu?"
"Kau, kau?" Joanna tidak bisa berkata-kata lagi di hadapan pria mesum yang masih memegang tangannya dengan kuat.
Mereka berjalan beriringan, menuju tempat yang disediakan di dalam perpustakaan untuk membaca buku.
Di tempat itu mereka duduk berhadapan, saling diam meskipun sedang berduaan. Sementara Joanna, dia mencoba tenang meskipun jantungnya berlarian.
Menit-menit awal, sesekali Joanna akan melihat kearah Louise. Pria itu sudah sibuk dengan dunianya, tidak memperhatikan Joanna lagi. Beberapa waktu kemudian, Joanna pun juga tenggelam dengan bukunya.
Detik berganti menit, menit berlalu menjadi jam. Tak terasa sudah dua jam lamanya mereka ditempat yang sama tanpa bersuara. Joanna bahkan tidak sadar hari sudah semakin larut, yang lebih parah adalah Joanna tidak menyadari kehadiran penjaga perpustakaan yang menghampirinya sekitar satu jam yang lalu.
Penjaga itu berniat menyuruh Louise dan Joanna pulang dan kembali lagi besok. Melihat Joanna yang masih membaca, Louise memutuskan untuk meminta izin kepada petugas untuk membiarkan mereka tinggal lebih lama hanya untuk hari itu.
Untungnya petugas itu tidak keberatan memenuhi permintaan Louise. Selain itu, petugas juga mempertimbangkan Joanna yang notabene adalah pengunjung setia di perpustakaan itu. Bisa dibilang mereka kenalan yang cukup dekat mengingat Joanna sering membantunya bahkan sering membawakan sekedar makan siang untuknya.
Drrt. .
Tiba-tiba telepon Joanna berdering. Louise melirik, ingin sekali melihat siapa yang menelepon Joanna.
"Hallo?" jawab Joanna.
"Kau dimana?" tanya Bibi Diaz dari seberang sana.
"Aku, masih di perpustakaan," jawab Joanna.
"Segeralah pulang! Hari sudah larut!"
"Astaga," pekik Joanna kaget.
Joanna segera melihat jam yang melingkar di tangannya, benar saja waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, "Baiklah Bi, aku akan segera pulang."
Sambungan telepon terputus. Joanna memeriksa sekitar, lampu-lampu sudah mulai dinyalakan. Di dalam juga sudah tidak ada orang lain lagi kecuali dirinya dan pria yang belum Joanna tahu namanya.
"Kau juga belum pulang?" tanya Joanna sambil membereskan barang-barangnya.
"Aku menunggumu," jawab Louise.
"Dasar aneh," gerutu Joanna.
Joanna segera bangkit, mengambil tasnya dan bersiap pergi tapi Louise menahannya.
"Apalagi ini?" batin Joanna.
"Kau tidak bisa pergi dengan keadaan seperti itu," kata Louise.
"Kenapa tidak bisa?" tanya Joanna tak mengerti.
Louise tidak menjawab, tapi dia membuang nafasnya dan bangkit. Melepaskan jas milikinya, kemudian mengikatnya ke pinggang Joanna untuk menutupi sesuatu, "Celanamu kotor."
"Apa jangan-jangan aku tembus?" batin Joanna.
Sial, kenapa selalu saja terjadi hal memalukan seperti ini di hadapan pria ini.
"Nona, ada apa denganmu. Apa kau malu?" tanya Louise.
"Tidak."
"Tapi kenapa sekarang bukan hanya celanamu yang merah tapi wajahmu juga?"
"Tuan yang terhormat, bisakah menyimpan pertanyaan itu untukmu sendiri? Bagaimana kau bisa bertanya seperti itu kepada seorang wanita?"
Bukannya menanggapi, Louise malah tersenyum melihat Joanna yang memprotesnya, "Ingatlah untuk minum sesuatu yang hangat agar kau tetap sehat," lanjut Louise.
"Berikan alamatmu, aku akan mengembalikan jas ini setelah aku mencucinya."
"Apa aku terlihat sangat perhitungan? Hanya sebuah jas saja, kau tidak perlu mengembalikannya."
"Kalau begitu, terimakasih. Aku pergi sekarang," pamit Joanna.
"Nona, ada sesuatu yang kau lupakan."
"Apa?"
"Ini nomor teleponku. Hubungi aku jika kau rindu," jawab Louise dengan menyerahkan nomor teleponnya yang dia tulis di secarik kertas. Bukan dengan kartu namanya.
Joanna menerima kertas itu, meletakkannya ke tas dan segera pergi. Dia tidak bisa berlama-lama bersama pria aneh ini.
"Apa Joanna sering datang kemari?" tanya Louise kepada penjaga.
"Benar, Tuan! Dia kemari setidaknya dua kali dalam seminggu," jawab penjaga itu sopan.
"Baiklah, aku mengerti. Ini untukmu, terimakasih telah mengijinkan kami tinggal lebih lama," ujar Louise sambil memberikan amplop berisikan beberapa lembar uang pecahan ratusan ribu.
"Ini, tidak perlu. Saya sudah mendapatkan gaji dari menjaga perpustakaan ini," tolak petugas itu sopan.
"Maaf, tadi aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu, cucumu sedang sakit bukan? Paman bisa menggunakannya untuk berobat."
Petugas merasa terharu oleh kebaikan Louise, dia tidak menyangka perbuatan kecilnya memberikannya berkah luar biasa hari ini.
"Terimakasih," ucap petugas bertubuh renta itu sopan.
Louise segera mengambil ponselnya, menelepon seseorang yang saat ini pasti sedang uring-uringan dengan tumpukan pekerjaan yang Louise tinggalkan.
"Kau dimana?" tanya William begitu mengangkat telepon dari seberang sana.
Louise tidak menjawab pertanyaan William, tapi malah memberikan setumpuk pekerjaan baru untuknya, "Will, dengarkan aku baik-baik. Perpustakaan umum di dekat pantai yang ku kunjungi hari ini, aku menginginkannya. Aku menginginkan daerah disekitarnya juga. Segera hubungi arsitek terbaik untuk merancang perpustakaan yang nyaman dengan taman dan pemandangan yang indah. Aku ingin perpustakaan ini di bangun ulang dengan ukuran yang lebih besar, juga dilengkapi dengan buku-buku yang lebih banyak. Jangan lupa membuka beberapa kedai makanan disekitarnya dan rekrut beberapa pekerja. Tak peduli bagaimanapun caranya, aku ingin pembangunan ulang perpustakaan ini selesai dalam waktu satu bulan," pinta Louise panjang lebar.
"Louise, kau gila!" jawab William di seberang sana dengan memukul meja.
"Sudahlah, cepatlah urus itu semua secepat mungkin, sudah tidak banyak waktu yang tersisa. Jangan marah-marah lagi, aku sedang dalam perjalanan menuju kantor sekarang," kata Louise kemudian menutup panggilannya.
"Paman, setelah perpustakaan yang baru selesai dibangun kuharap paman bersedia tetap menjaganya untukku. Tentu saja dengan gaji yang lebih besar dari yang sekarang. Apa paman tidak keberatan?" tanya Louise lagi.
"Tentu saja, tapi kenapa sampai harus membeli perpustakaan dan daerah di sekitarnya?"
"Karena wanitaku menyukainya," jawab Louise tanpa ragu kemudian tersenyum.
.
.
.
William melipat kedua tangannya, duduk tepat di hadapan Louise yang kini sudah bersamanya.
Baru tadi siang Louise ogah-ogahan memeriksa tumpukan laporan itu, tapi sekembalinya dari perpustakaan Louise langsung bekerja dengan maksimal seolah tidak akan ada hari esok.
Ratusan tanda tangan beserta stempel telah dibubuhkan, puluhan proposal juga sudah di cek dan disetujui dengan mudah.
Malam ini, bukan hanya Louise yang lembur, tapi William pun juga kena imbasnya karena harus mengurus segala perintilan tentang perpustakaan.
Louise hanya membutuhkan waktu 2 jam untuk menyelesaikan semuanya. Muka William ditekuk dengan bentuk bibir yang mengerucut dengan sempurna. Jika Louise bisa menyelesaikan semua pekerjaannya secepat ini, lalu kenapa tidak melakukannya sejak pagi? Setidaknya mereka tidak harus lembur seperti ini agar bisa pulang lebih awal untuk beristirahat.
"Pulanglah duluan, aku tahu kau lelah!" kata Louise memulai obrolan.
"Ada apa denganmu?" tanya William.
"Kenapa?"
"Belakangan ini kau semakin aneh."
"Will, apa kau sangat menganggur sampai punya waktu untuk memprotesku?"
"Tidak. Aku sangat sibuk," jawab William cepat.
"Carilah seseorang yang bisa dipercaya untuk membantumu. Kau terlalu sibuk belakangan ini," pinta Louise.
"Apa kau meremehkanku?" protes William.
"Tidak. Hanya saja kau tidak bisa terus bekerja. Sesekali kau bisa mengambil cuti mencari wanita lalu menikah dan melahirkan anak untuk mama dan nenekmu."
"Apa kau sedang memperdulikanku?"
"Sepertinya begitu," jawab Louise sambil menutup lembar terakhir proposalnya.
"Jangan pedulikan aku. Bukankah kau sebaiknya juga melakukan hal yang sama?" tanya William.
"Aku sedang melakukannya sekarang kok," jawab Louise.
William memasang wajah tak percaya. Sejak kapan Louise dekat dengan seseorang? Tapi, begitu juga bagus.
"Kudengar Arthur akan segera menikah, apa kau sudah tahu?" tanya William mengalihkan pembicaraan.
Louise, Arthur dan William adalah sahabat lama. Saat Louise dan William pergi ke luar negeri, Arthur memilih untuk tetap tinggal dan meneruskan bisnis orangtuanya.
Arthur cukup kompeten menjalankan bisnisnya meskipun beberapa kali terkena musibah. Salah satu musibah terbesar yang menghebohkan publik saat itu adalah kebakaran yang terjadi di hotel bintang lima terbaik miliknya. Saat itu Arthur baru saja terjun di dunia bisnis dan dia merugi dengan jumlah yang sangat fantastis.
Berbagai kemungkinan penyebab kebakaran mencuat ke publik, termasuk kemungkinan bahwa pelaku pembakaran adalah pihak dari lawan bisnisnya.
Tapi setelah penyelidikan yang begitu lama, petugas memastikan penyebab kebakaran saat itu dikarenakan konsleting arus listrik. Kasus pun di tutup tidak lama setelah itu. Walaupun tidak puas dengan hasil akhirnya, tapi Arthur tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima kenyataan.
Untunglah ada Louise yang membantu disaat keuangannya sedang pailit sehingga Arthur bisa kembali membangun bisnisnya. Berkat kerja kerasnya, bisnis miliknya kini berkembang dengan sangat baik, bahkan hampir sejajar dengan bisnis perhotelan milik Louise Matthew.
"Sudah lama aku tidak menemui Arthur bagaimana denganmu, Will?" tanya Louise.
"Aku akan mengatur waktu untuk bertemu dengannya."
"Baiklah!"
Terimakasih untuk pembaca yang bersedia mampir ❤️
Jangan lupa jaga kesehatan ya😚😚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
@Kristin
iklan sama bunga 🌹 sudah mendarat Thor 🤗 ttp semangat 💪
2022-11-11
1
Dehan
hadehhh kalau sultan mah bebas.. mau beli tinggal tunjuk aja, bkn beli jajan loh beli perpustakaan.. 😂😂
2022-09-13
0
tintakering
tiga sekawan rupanya😁
2022-08-21
0