Joanna membalas lambaian tangan putranya, menatap kepergian Oskar sampai tak terlihat dari pelupuk mata. Langkah-langkah kecil itu membawa Oskar memasuki halaman sekolah meninggalkan Joanna yang masih berdiri di tempatnya.
"Xiao O, tidakkah kau tumbuh terlalu cepat. Entah kenapa mommy takut kau akan segera dewasa kemudian meninggalkan mommy sendirian," keluh Joanna.
"Jangan berpikir terlalu jauh ke depan Joanna. Dia baru berusia lima tahun sekarang, dia bahkan belum di sunat," tegur Bibi Diaz yang ikut bersamanya.
"Tapi aku sudah mulai mengkhawatirkannya, Bi?"
"Sudahlah, jangan berpikiran aneh-aneh. Ayo, sebaiknya kita segera pergi," pinta Bibi Diaz.
Pagi ini sebenarnya Oskar bersikeras berangkat sendiri karena Joanna dan Bibi Diaz berencana pergi ke swalayan untuk membeli belanja bulanan. Tapi Joanna memaksa untuk mengantarkannya dulu karena takut kejadian seperti tempo hari terulang lagi.
Waktu itu, pegawai yang Joanna suruh untuk mengikuti Oskar tidak henti-hentinya meminta maaf ketika dia kehilangan Oskar di tengah jalan. Orang itu bahkan sampai mengusulkan untuk segera melapor ke polisi.
Joanna sangat pening. Bukan karena kelalaian pegawainya, tapi karena tingkah Oskar yang semakin hari semakin tak terduga. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi Joanna takut Oskar terlalu mandiri di usia sedini itu. Joanna tidak tahu apakah hal itu bagus untuk putranya.
.
.
.
"Oskar!" panggil seorang bocah perempuan dengan rambut yang dikuncir kuda.
"Lily, ada apa?" jawab Oskar.
Bocah cantik yang dipanggil Lily itu mendekat ke arah Oskar dengan nafas ngos-ngosan, kemudian memberikan sebuah undangan kecil, "Besok lusa adalah hari ulang tahunku. Kau harus datang. Jangan sampai lupa, sampai jumpa di kelas!" Lily berlari ke kelasnya setelah memberikan undangan ulang tahun miliknya. Tidak memperdulikan Oskar yang ingin menolak untuk menghadirinya.
"Oskar, apa kau sudah menerima undangannya?" tanya Ebra, teman Oskar yang bangkunya berada tepat di belakangnya.
"Ini?" jawab Oskar.
"Oskar, hadiah apa yang akan kau berikan nanti?" tanya Ebra lagi.
"Tidak tahu, aku akan meminta bantuan mommy untuk mencarinya."
"Tolong pikirkan aku juga!" sahut Ebra memelas.
"Kenapa tidak bertanya kepada mamamu?"
"Kau sendiri kan tahu, mamaku tidak punya waktu untuk itu. Bekal ku saja sering Bibi Joanna yang menyiapkannya," jawab Ebra sambil mecucu di hadapan Oskar.
"Baiklah, aku akan bilang kepada mommy untuk mencari hadiah denganmu juga, bagaimana?"
"Janji ya, Jangan berbohong!" kata Ebra sambil memberikan jari kelingkingnya.
"Iya," balas Oskar.
Ebra adalah sahabat baik Oskar. Mereka sangat akrab setelah pertemuan pertama mereka di sebuah taman secara tidak sengaja.
Setelah berkenalan, rupanya jarak rumah keduanya tidak terlalu jauh. Mereka juga akan memasuki sekolah yang sama waktu itu.
Ebra adalah anak dari seorang single mom sama seperti Joanna, namanya Marissa. Marissa sangatlah sibuk untuk itulah Ebra seringkali harus tinggal sendiri bersama dengan bibi yang merawatnya sejak bayi. Sementara nenek dan kakeknya tinggal di kota yang berbeda.
Jika bosan sendirian Ebra akan segera berkunjung ke rumah Oskar untuk bermain, belajar atau apapun. Bagi Ebra asalkan bersama Oskar hari-harinya akan jadi menyenangkan. Karena pertemuannya dengan Oskar dia tidak kesepian seperti sebelumnya. Dia juga lebih bersemangat dan ceria.
Terlebih Joanna dan Diaz selalu menyambut kedatangannya dengan hangat. Tak jarang pula Joanna meminta Ebra untuk menginap atau makan malam bersama. Begitu pun sebaliknya saat Marissa dirumah, Ebra dengan senang hati mengajak Oskar menghabiskan waktu dirumahnya. Bahkan Marissa membeli banyak mainan yang masing-masing item berjumlah dua. Satu item untuk Ebra, dan satu item lagi untuk Oskar tentunya.
Marissa, orangtua tunggal Ebra itu juga sering mengunjungi Joanna. Dia sangat berterimakasih karena telah memperlakukan Ebra seperti anak Joanna sendiri. Dia juga membantu Joanna mempromosikan toko kue milik Joanna. Dia memiliki koneksi yang cukup luas mengingat jabatannya yang sangat menjanjikan jadi tidak sulit baginya hanya untuk sekedar membantu berpromosi. Sejak saat itulah hubungan diantara mereka semakin baik. Begitu juga dengan Oskar dan Ebra.
.
.
.
Pelajaran telah usai. Murid kanak-kanak berhamburan menuju bus sekolah. Beda halnya dengan Oskar dan Ebra, mereka berdua sedang menunggu jemputan seorang paman. Dua bocah itu kini sedang berbincang-bincang di sebuah ruangan di dekat pos satpam yang digunakan untuk menunggu jemputan walinya.
"Oskar, Nenek Diaz bilang Paman Arthur akan segera menikah. Apa kau tidak ingin mengajakku kesana?" tanya Ebra berapi-api.
"Kenapa aku harus mengajakmu?" jawab Oskar datar.
"Karena aku ingin pergi,"
"Bukankah kau bisa langsung pergi, kenapa harus menunggu aku mengajakmu?"
"Itu karena mamaku belum mendapatkan undangannya, hehehe!"
"Benar-benar merepotkan. Kita tidak memerlukan undangan untuk kesana tahu," kata Oskar menjelaskan.
"Terserah, pokoknya nanti saat Paman Arthur datang aku akan meminta ijin padanya untuk menghadiri pernikahannya," kata Ebra.
"Apa Paman Arthur akan datang kemari?" tanya Oskar dengan wajah super polos.
"Oskar, bukankah Paman Arthur sedang dalam perjalanan kemari untuk menjemput kita sekarang?" jawab Ebra kaget.
"Maaf, tapi bukan Paman Arthur yang akan menjemput kita," jawab Oskar.
"Kalau bukan Paman Arthur, l-lalu siapa?" tanya Ebra mulai panik.
"Itu, itu paman yang lain. Aku baru mengenalnya beberapa hari yang lalu, he he he!" jawab Oskar sambil garuk-garuk kepala. Apakah dia terlalu terlambat memberitahu Ebra?
"Hahh?" respon Ebra tak percaya.
"Kenapa?" tanya Oskar kaget.
"Kenapa kau tidak mengatakannya sejak awal?" tanya Ebra setengah berteriak. Ebra yang awalnya duduk kini sudah berdiri dengan tegak seperti sedang upacara.
Ebra terkejut begitu tahu bahwa yang akan menjemput mereka bukanlah Arthur. Mukanya pucat pasi, dia takut Joanna akan memarahi mereka habis-habisan setelah ini.
Tadi, Oskar sempat menelepon ibunya. Dia bilang akan pulang dijemput paman. Oskar juga bilang dia akan pulang sedikit terlambat karena akan jalan-jalan sebentar. Ebra sangat tahu Joanna tidak akan mungkin mengijinkan Oskar pergi jika saja Joanna tahu yang dimaksud paman adalah paman yang lain bukan Paman Arthur seperti yang Joanna dan Ebra bayangkan.
"Oskar, kau membawaku dalam masalah besar," rengek Ebra.
Ditengah percakapan mereka, seorang satpam menghampiri mereka. "Yoo, anak-anak jemputan kalian sudah datang!"
"Ayo!" Oskar menarik tangan Ebra.
Mau tak mau Ebra ikut berlari juga karena tidak mungkin membiarkan Oskar pergi sendirian. Bagaimana kalau paman itu jahat kemudian menculik Oskar dan meminta tebusan?
Setidaknya, jika dirinya ikut bersama Oskar, mereka akan diculik bersamaan dan ibu mereka bisa patungan untuk membayar tebusannya. Itulah yang terpikirkan di otak Ebra saat ini.
Dua bocah itu pun berlari kecil menghampiri seorang paman yang menjemputnya. Paman dengan wajah super tampan, bertubuh atletis dan baik hati, Louise Matthew.
Setelah pertemuan pertama mereka tempo hari. Louise dan Oskar sempat saling bertukar nomor telepon. Oskar juga memberitahu Louise dimana rumah dan sekolahnya. Hampir setiap hari mereka saling bertukar pesan, tentu saja itu tanpa sepengetahuan Joanna. Louise sebenarnya juga tidak habis pikir kenapa dia bisa menyukai Oskar. Sehari saja tidak mendengar suaranya akan membuatnya rindu.
"Hallo, pria kecil! Bagaimana kabarmu?" sapa Louise ramah begitu melihat Oskar.
Oskar berlari menyambutnya seperti anjing kecil yang sedang diberi tulang.
"Baik," jawab Oskar dengan senyum yang dihiasi lesung pipi. Tangannya yang mungil langsung menggandeng tangan kekar milik Louise tanpa ragu.
"Kau temannya Oskar. Siapa namamu?" Louise beralih bertanya kepada Ebra.
Ebra sempat mundur kebelakang, menggaruk kepalanya dan bertanya, "Paman bukan penculik anak-anak kan?"
"Penculik?" tanya Louise kaget.
Apakah wajahnya terlihat seperti seorang penculik?
"Menurutmu?" tanya Louise balik.
"He he he. Sepertinya tidak," jawab Ebra salah tingkah.
"Siapa namamu hm?" tanya Louise lagi.
"Namaku Ebra, senang berkenalan dengan Paman!" Ebra menjulurkan tangannya, disambut hangat oleh Louise.
"Senang berkenalan denganmu juga. Ebra bisa memanggil paman dengan Paman Louise,"
"Baiklah! Wah, nama paman keren sekali," jawab Ebra menganggukkan kepala.
"Tentu saja. Tapi bukankah wajah paman jauh lebih keren?" canda Louise.
"Astaga! Paman ini kenapa sangat percaya diri sama seperti Oskar," batin Ebra.
"Baiklah, ayo kita jalan-jalan sebentar sebelum pulang!" seru Louise. Dia menggandeng Oskar dan Ebra berjalan menuju mobilnya.
"Wahhh," teriak Ebra berdecak kagum ketika melihat mobil yang akan segera dia tumpangi.
Dengan cepat Oskar meletakkan satu jari telunjuknya di mulut Ebra, "Sstt."
"Ops," respon Ebra sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Apa kalian suka?" tanya Louise.
"Suka, paman!" jawab Oskar dan Ebra bersamaan.
Louise membawa Oskar dan Ebra ke sebuah pusat perbelanjaan. Disana Louise mengajak anak-anak menuju time zone, sebuah wahana untuk bermain anak-anak.
Oskar dan Ebra terlihat sangat menikmati waktunya, sementara Louise siaga menjaga mereka. Sesekali Louise mengambil foto atau video saat keduanya sedang asyik bermain.
Tak terasa, waktu cepat berlalu. Hari sudah semakin sore, Louise mengajak Oskar dan Ebra memesan beberapa makanan ringan di salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan itu.
"Paman, lain kali bawa Oskar dan Ebra main lagi ya?" rajuk Ebra dengan manja.
"Apa kalian suka?" tanya Louise.
"Tentu saja. Iya kan, Oskar?" jawab Ebra.
"Em" jawab Oskar sambil menikmati ice cream favoritnya.
Melihat ice cream yang menempel di sekitar mulut Oskar, dengan telaten Louise membantu membersihkannya dengan tissue, "Kau memang masih anak kecil."
"Papanya perhatian sekali ya, anak-anaknya juga sangat nurut dan menggemaskan. Ngomong-ngomong dimana ibunya?" celetuk seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat dan melihat perlakuan manis antara Louise kepada Oskar.
Mendengar celetukan ibu-ibu itu, membuat mereka bertiga saling tatap. Dengan refleks Louise pun menjawab, "Mamanya sedang perawatan di salon, jadi anak-anak ikut papanya."
Mendengar jawaban Louise, ada sebuah perasaan yang menyentuh hati Oskar. Itu terasa sangat nyaman dan menyenangkan sampai membuat Oskar menunduk dan tersenyum lebar.
"Papa ya?" batin Oskar.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
@Kristin
jangan panggil aku anak kecil Paman
2022-10-26
1
💞Amie🍂🍃
Mau diculik juga dong akunya louise
2022-10-05
0
Syhr Syhr
Tapi pikiran aku sudah dewasa Paman. 🤭🤭
2022-09-07
0