"Louise, a-apa yang kau katakan. Apa kau serius?" tanya Rose dengan mata lebar.
"Menurut mama?" tanya Louise balik.
GLEK.
Apalagi ini. Bagaimana cara ketiga leluhur itu menanggapi pengakuan Louise sekarang. Ini sungguh tak terduga. Kapan mereka bertemu, tidak yang lebih membuat mereka pusing adalah Louise baru kembali sebulan yang lalu. Dengan waktu sesingkat itu, bagaimana mungkin Louise yang dingin itu bisa membuka hatinya dan luluh pada Joanna?
"Kalau papa tidak mempercayai ucapanmu, apakah itu boleh?" tanya Jordan.
"Pa, berapa kali aku harus mengatakannya?" jawab Louise santai, masih menikmati nyamannya pangkuan neneknya.
"S-sejak kapan?" tanya Nenek Anne tergagap. Dia tidak gagap awalnya, tapi menjadi gagap tiba-tiba karena kejadian tak terduga ini.
"Apanya?" tanya Louise.
"Sejak kapan kau menyukainya?" ulang Nenek Anne.
"Mungkin, tiga jam yang lalu," jawab Louise.
"T-tiga jam?" tanya mereka bersamaan.
"Tunggu! Lalu, sejak kapan kau kenal dengannya?" kini giliran Rose yang bertanya.
"Itu, seharusnya sama karena aku baru melihatnya hari ini."
"A-apa, hari ini dan itu tiga jam yang lalu? Louise, apa maksudmu kau jatuh cinta pada pandangan pertama?" tanya Rose tak percaya.
Louise hanya tersenyum kemudian mengatakan, "Aku melihatnya membeli bunga itu dan dia memegang tanganku seperti ini. Kupikir dia menyukaiku jadi aku menawarkan pernikahan untuknya tapi dia pergi begitu saja."
Meskipun ketiga orang itu sangat tidak percaya dengan apa yang mereka dengar, tapi mereka berada di pihak Louise sekarang. Ini adalah pertama kalinya mereka memiliki harapan untuk segera mempunyai menantu, jadi mereka tidak akan membiarkan Joanna mengabaikan Louise meskipun mereka tahu cara Louise itu sangat tidak dibenarkan.
Baru bertemu dan menawarkan pernikahan, meskipun Louise tampan tapi sudah pasti Joanna akan menganggapnya sebagai pria gila.
"Anak itu, aku akan memberikan penjelasan yang masuk akal untuknya. Bagaimana dia bisa menolak cinta putraku yang tampan. Aku sudah menunggu sangat lama untuk kabar baik ini, dan dia berani menghancurkan satu-satunya harapan terbesarku. Tidak bisa dimaafkan!" kata Rose bersemangat.
Dengan cekatan, Rose mencari ponselnya ingin segera mengomeli Joanna. Tapi Louise sudah lebih dulu menyita ponselnya.
"Ma, aku ini seorang pria. Aku tidak akan membiarkan mama ikut campur."
"Louise!"
"Mom, please. Jangan lakukan itu, Louise tahu apa yang harus Louise lakukan, oke?"
"Louise, kalau kau tidak berhasil membuatnya jadi menantu mama, sebaiknya jangan jadi anakku," ancam Rose.
"Ma, apa mama hanya ingin memiliki anak seperti William?" protes Louise.
"Bukan seperti itu, hanya-"
"Ma, tidak ada yang bisa lari dariku. Jadi tenanglah, dia pasti akan menjadi menantumu dan melahirkan cucumu. Aku akan beristirahat sekarang dan turun saat makan malam," pamit Louise kemudian bangkit dan pergi ke kamar yang biasa dia pakai di rumah ini.
"Tunggu, apa aku sedang bermimpi. Kepalaku pusing sekarang," kata Nenek Anne.
"Ma, aku hampir menangis karena bahagia," lanjut Rose.
"Daripada menangis, lebih baik segera hubungi Oskar. Biar dia yang mendekatkan mereka berdua," kata Jordan memberi saran.
"Pa, Louise melarang kita menghubunginya. Apa kau lupa?" tanya Rose.
"Louise hanya melarang kita menghubungi Joanna, bukan Oskar," jawab Jordan.
"Ah benar juga."
"Cepat, cepat telepon anak manis itu!" perintah Nenek Anne tak sabar.
Setelah beberapa saat, terdengar jawaban dari Oskar di seberang sana.
"Kakek Jordan?" jawabnya riang.
"Oskar, kau dimana?" tanya Jordan berbasa-basi.
"Aku sedang pergi liburan."
"Oh, apa kau pergi dengan bibimu?"
"Em."
"Apa kau bersenang-senang?"
"Tentu."
"Oskar, itu ada hal yang ingin kakek tanyakan padamu."
"Apa itu?" jawab Oskar polos.
"Itu, apa mommymu punya pacar?"
"Pacar?" tanya Oskar bingung.
"Bukan begitu caranya Pa!" protes Rose dan secepat kilat mengambil alih ponsel Jordan.
"Oskar, itu anak nenek baru saja kembali dari luar negeri. Apa Oskar ingin bertemu dengannya?" tanya Rose.
"Kenapa Oskar harus bertemu dengannya?" tanya Oskar.
"Itu, ehm. Mungkin saja Oskar ingin anak nenek jadi daddymu," jawab Rose berterus-terang.
"Tidak mau," tolak Oskar.
"Eh, kenapa?" tanya Rose.
"Oskar sudah punya daddy pilihan Oskar sendiri."
"Su-sudah punya?" tanya Rose panik.
"Em," jawab Oskar singkat. Dia menganggukkan kepalanya di seberang sana.
"Oskar, dengarkan nenek. Anak nenek sangat tampan lo. Oskar pasti akan menyukainya," rayu Rose.
"Tapi daddy pilihanku tidak hanya tampan. Dia sangat keren, baik, tidak pelit, banyak uang, dia juga menyuapi Oskar makan dan mengajak Oskar jalan-jalan," jawab Oskar menjelaskan.
"Apa? Kalian sudah sedekat itu?" tanya Rose sekali lagi.
"Nenek, aku akan menutup teleponnya. Daddy impianku meneleponku sekarang, bye!"
"Oskar, tunggu. Oskar!"
Rose hampir menangis mendengar jawaban dari Oskar. Dia mencoba menghubunginya lagi tapi tidak bisa karena Oskar lebih memilih berbicara dengan daddy impiannya via telepon.
"Rose, bagaimana?" tanya Nenek Anne.
"Apa yang Oskar katakan?" tanya Jordan tak kalah penasaran.
"Jelas saja Joanna menolak tawaran Louise. Oskar sudah punya daddy pilihannya sendiri. Mereka sudah sangat dekat, makan bersama, jalan-jalan bersama. Bahkan daddy pilihannya itu menyuapi Oskar juga. Kalau terus begini, tentu saja Louise akan kalah. Louise itu, mana mungkin akan melakukan hal-hal manis seperti itu," jawab Rose panjang lebar.
Ketiga orang itu memijit kening mereka masing-masing. Mereka harus mencari cara untuk mengambil hati Oskar. Joanna adalah seorang ibu, jadi meskipun pada akhirnya Louise berhasil mendapatkan hati Joanna tapi sudah pasti Joanna akan lebih memilih pria yang disukai anaknya. Tidak boleh, mereka harus mencari cara untuk mendapatkan keduanya, Oskar dan Joanna.
Ketiga manusia itu menjadi bodoh. Karena tidak tahu, bahwa pria yang mereka kira saingan Louise adalah putra mereka sendiri.
Putra mereka yang saat ini sedang rebahan di kasur dan sibuk berbincang dengan Oskar. Karena sebenarnya, daddy impian yang Oskar katakan tidak lain dan tidak bukan adalah Louise.
"Anak nakal, kenapa sangat lambat menjawab telepon dari paman?" protes Louise sesaat setelah Oskar mengangkat teleponnya.
"Maaf, seseorang menelepon barusan," jawab Oskar.
"Siapa?"
"Seorang nenek dan kakek yang aneh," jawab Oskar.
"Oh!"
"Paman, apa paman sudah mendapatkan bunganya?" tanya Oskar.
"Tentu saja, paman juga menemukan bunga lain yang sangat cantik tadi," beritahu Louise.
"Apa paman membelinya?"
"Tidak."
"Kenapa?" tanya Oskar.
"Karena bunga yang paman temukan tadi tidak bisa dibeli dengan uang. Kau akan mengerti saat dewasa nanti."
"Oh," respons Oskar singkat.
"Kau kenapa, kenapa jawabanmu begitu?" tanya Louise.
"Paman, apa paman ingin memiliki bunga itu?" tanya Oskar.
"Tentu saja,"
"Aku tahu bagaimana cara mendapatkannya tanpa uang," kata Oskar dengan senang.
"Tahu?"
Louise tertawa. Anak kecil itu memangnya tahu apa. Tapi, menanggapinya juga tidak buruk.
"Bagaimana caranya, tolong beritahu paman!" kata Louise kemudian.
"Berikan saja sebuah ciuman," jawab Oskar.
"C-ciuman?" tanya Louise. Louise yang awalnya rebahan kini langsung bangkit dan duduk dengan tegak.
Ah, ingin sekali Louise memukul pantat Oskar. Darimana anak kecil itu tahu soal ciuman.
"Oskar, apa yang kau bicarakan. Kau ini masih kecil, siapa yang mengajarimu begitu?"
"Mommy yang mengajariku," jawab Oskar.
"Mommy?" tanya Louise tak percaya.
"Iya, mommy. Saat aku tidak bisa membeli sesuatu karena uangku tidak cukup, mommy selalu bilang 'berikan ciuman untuk mommy dengan begitu kau akan mendapatkannya' begitu."
Lagi-lagi Louise memukul kepalanya sendiri. Sepertinya sudah waktunya untuk memberikan pelajaran tambahan yang lain untuk Oskar.
"Oskar, ini tidak sama. Lain kali, paman akan mengajarimu bahwa ada hal-hal yang berbeda saat kau tumbuh semakin dewasa."
"Baiklah. Paman, apa paman mau menemaniku tumbuh dewasa?"
"Tentu saja."
"Janji?"
"Janji."
Setelah berbincang beberapa saat, mereka pun menyudahinya. Louise menutup teleponnya dan tertawa ketika mengingat cara yang Oskar katakan.
Haruskah dia mendapatkan Joanna dengan ciuman? Menarik, mungkin dia harus mencobanya lain kali.
"Ah, anak itu kenapa sangat lucu. Tunggu, seandainya Joanna jadi istriku lalu Oskar jadi anakku pasti akan sangat menyenangkan. Haruskah aku mengadopsi Oskar?" batin Louise.
.
.
.
Diaz berjalan pelan di sela-sela gerimis yang mengguyur kota. Sepanjang jalan matanya begitu awas, menoleh ke kiri dan kanan memastikan bahwa tak ada seorang pun yang mengenalinya. Diaz masih khawatir dikenali seseorang meskipun dia sudah mengenakan pakaian tertutup.
Setelah dirasa aman, dia segera berjalan mendekati sebuah mobil mewah yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Seorang pria berkepala pelontos dan bertubuh kekar segera membukakan pintu untuknya dan memberikan kode agar segera masuk kedalam. Tidak berselang lama, mobil itu membawanya pergi, berjalan terus menuju salah satu tempat pertemuan rahasia di Kota Utara.
Ujung Utara, disana adalah tempat dimana manusia pemilik kasta tertinggi berkumpul. Di utara, adalah tempat dimana kata leluhur adalah sebuah perintah yang dijunjung tinggi. Di sebelah utara juga, di sanalah tempat dimana yang bersalah akan diturunkan statusnya dari seorang bangsawan menjadi seorang manusia biasa, di buang ke jalanan tanpa bekal, tanpa persiapan dan tanpa acara perpisahan.
"Maafkan atas keterlambatan saya, Tuan!" ucap Diaz takzim kepada seorang pria paruh baya yang dia panggil sebagai Tuan.
Pria itu duduk memandangi hamparan hutan hijau yang tepat berada di sampingnya. Dari ketinggian itu, dia bisa melihat semuanya dengan jelas. Lautan yang berbatasan langsung dengan langit, rumah-rumah penduduk berukuran kecil yang sederhana, jalanan yang sedikit lengang, juga burung-burung yang berterbangan di atas dahan.
Sang Tuan tak segera menjawab, dia masih berada di dunianya sendiri, mengaduk teh miliknya dan menyesapnya perlahan. Sementara Bibi Diaz tidak berani, dia hanya menundukkan kepalanya semakin dalam berharap sang tuan segera menyampaikan titahnya.
Di sebuah bangunan tua yang masih terawat itu, tidak banyak manusia yang cukup bodoh untuk pergi kesana, terlebih bangunan itu berdiri kokoh di atas tebing yang curam dengan dikelilingi ilalang dan pohon-pohon berukuran besar.
Tanpa hawa manusia, tanpa sinar matahari yang cukup, itu sangat cukup untuk membuat suasana menjadi lebih mencekam.
"Bagaimana keadaan Josephine ku?" tanya pria itu memecahkan keheningan.
"Keadaan nona sangat baik. Dia merubah penampilannya baru-baru ini," jawab Diaz masih dengan menundukkan kepala.
"Merubah?"
"Benar, Tuan."
"Kalau begitu, aku akan menambah jumlah pengawal disekitarnya."
"Apa ada hal yang mungkin membahayakan Nona, Tuan?"
"Aku hanya ingin memastikan putriku aman dari kumbang liar."
"Saya mengerti, Tuan."
"Apa dia masih sering kesakitan?"
"Hanya sesekali, disaat nona mencoba mengingat masa lalunya."
"Jangan biarkan dia mencoba mengingat kembali masa lalunya!"
"Apa?" tanya Diaz tidak mengerti. Kepalanya yang terus menunduk sedikit terangkat sehingga membuatnya melihat dengan jelas wajah lelah milik tuannya
"Aku ingin dia tetap seperti ini, menjalani kehidupannya yang baru dan menyenangkan," jawab pria itu sendu.
Sekilas, terlihat bahwa pria itu sedang menyembunyikan kesedihan di balik senyumannya. Senyuman kerinduan terhadap putrinya yang terbuang.
"Saya mengerti, Tuan!"
"Seperti biasa, sejumlah uang sudah di kirimkan. Gunakan itu untuk mencukupi kebutuhan putriku. Pastikan semua keinginannya terpenuhi."
"Saya mengerti, Tuan!"
"Aku berterimakasih untukmu, karena telah menjaga putriku di luar sana."
"Ini sudah kewajiban saya sebagai pengasuh Nona Josephine, Tuan!"
"Apa masih ada yang ingin kau sampaikan?"
"Maafkan saya Tuan. Apakah Anda tidak ingin bertemu dengan nona?" tanya Diaz memberanikan diri.
"Tidak. Aku belum mempunyai keberanian untuk itu."
"Dengan kondisi nona yang sekarang, bukankah Tuan bisa menemuinya dengan identitas sebagai orang lain?"
"Aku sudah bersusah payah mendapatkan kesempatan untuk mengantarkannya keluar dari neraka, aku tidak ingin mengacaukan semuanya demi keinginan pribadiku dan membuat pengorbanan itu menjadi sia-sia," jawab pria itu.
Terlihat aliran bening menetes dari dua sudut matanya yang semakin menua, tetesan yang menggambarkan kerinduan juga jutaan kasih sayang yang tersimpan untuk satu-satunya harta yang paling berharga untuknya.
"Maafkan saya, Tuan!" jawab Diaz pelan, dia tahu tuannya sangat ingin tapi tidak bisa karena suatu alasan.
"Lalu, bagaimana keadaan cucuku?"
"Dia tumbuh menjadi anak yang cerdas, ceria dan baik hati. Dia semakin aktif dan selalu penasaran dengan hal-hal baru. Nona sering kewalahan karena tingkah lakunya."
"Syukurlah, aku senang Josephine membesarkannya dengan baik."
"Tuan, apakah tidak apa-apa jika tetap seperti ini?"
"Saat ini, itulah yang terbaik untuk mereka," jawab pria tua.
Suasana kembali hening. Diaz tidak berani berkata apa-apa lagi di hadapan Sir Alex.
Pria yang duduk di hadapannya adalah ayah Joanna yang sesungguhnya. Seorang keluarga bangsawan yang tega menyetujui untuk mengusir anaknya sendiri karena sebuah kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan. Iya, Josephine, atau Joanna adalah putri bangsawan yang meninggalkan kastil mereka lima tahun yang lalu tanpa tahu apa yang dia langgar dan dikeluarkan dari silsilah keluarganya.
"Pergilah!" titah Sir Alex kemudian.
Diaz meninggalkan tempat itu dengan perasaannya yang tak menentu. Sungguh kasihan, melihat bagaimana seorang ayah harus mengusir putrinya sendiri untuk kebaikan sang putri. Tapi disaat yang sama juga memastikan putrinya tetap aman meskipun dia melakukannya secara diam-diam.
Jika ada kesempatan, semoga saja akan ada hari esok yang lebih baik dan mempertemukan mereka kembali dengan keadaan yang lebih baik. Tanpa kesedihan, tanpa airmata, yang ada hanyalah kebahagiaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Aku kasih bunga ya thor
2022-12-08
0
Syhr Syhr
Amiin....☺️
2022-11-21
0
@Kristin
Louis
2022-11-04
1