"Oskar, bekal buatan mommymu hari ini sungguh lezat. Masakan Bibi Joanna tidak pernah mengecewakan selera lidahku," seru Ebra membuka obrolan.
Bocah dengan tubuh yang lebih berisi daripada Oskar itu mengelus perutnya yang sedikit buncit, padahal saat ini mereka sedang tidak makan apapun juga.
Bekal mereka udah habis tak tersisa sejak mereka melewati istirahat keduanya selepas siang tadi.
"Tentu saja, mommy kan yang paling hebat," puji Oskar senang.
"Tapi kenapa kau selalu mengatai masakan Bibi Joanna asin ketika dia berada di depanmu?" tanya Ebra heran.
"Aku hanya menggodanya. Tapi serius, terkadang masakan mommy benar-benar asin," bela Oskar.
"Ha, yang benar? Tapi sepertinya aku tidak pernah merasa begitu!" kata Ebra dengan mengingat semua rasa masakan Joanna yang sudah masuk ke perutnya selama dua tahun ini.
"Itu karena kau terlalu buru-buru memakannya," jawab Oskar beralasan.
"Tapi sepertinya semuanya enak. Rasanya sangat pas dan membuat lidahku ketagihan," bela Ebra.
"Tidak bisa, pokoknya terkadang masakan mommy asin!"
"Tidak, aku tidak merasa begitu!"
"Ebra, kau ini di pihak siapa. Kau ini temanku, jadi kalau aku bilang asin ya asin!" ketus Oskar.
"Tentu saja aku dipihakmu. Tapi, ah sudahlah," jawab Ebra pada akhirnya.
Seperti biasa dua bocah itu sekarang sedang menunggu jemputan. Bedanya kali ini yang menjemput mereka adalah Joanna. Bukan Arthur, apalagi Louise. Rencananya, mereka akan langsung pergi membeli hadiah untuk diberikan kepada Lily yang akan merayakan ulang tahunnya.
"Oskar, apa paman yang kemarin itu daddymu?" tanya Ebra tiba-tiba.
Setelah duduk begitu lama, akhirnya dia baru mengingat sosok Louise yang kemarin menjemput mereka. Sepertinya, dimata Ebra rasa masakan Joanna lebih membekas di ingatannya daripada seorang Louise yang terhormat itu.
"Bukan," jawab Oskar santai.
"Kau pasti berbohong!" bantah Ebra cengengesan.
Dia pikir Oskar pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting. Misalnya saja, mungkin bisa jadi paman yang kemarin itu sebenarnya adalah calon daddy nya Oskar.
"Sudah kubilang bukan!" sanggah Oskar lagi.
"Tapi,-" Ebra belum selesai berbicara, tetapi terhenti karena tidak yakin akan mengatakannya.
"Tapi apa?" tanya Oskar. Dia terlanjur penasaran dengan apa yang akan Ebra katakan.
"Sepertinya, kalian sangat akrab dan sedikit mirip."
"Kau benar, kami sangat mirip karena kami sama-sama tampan. Bukankah seperti itu?" jawab Oskar dengan mengedipkan dua matanya secara bergiliran tepat di hadapan Ebra.
"Oskar, darimana kau mendapatkan kepercayaan diri yang setinggi itu?" tanya Ebra hampir menangis. Dia merasa tersakiti ketika menyadari sifat Oskar semakin aneh dan hampir tidak lagi Ebra kenali akhir-akhir ini.
"Tentu saja dari mommy, aku kan tidak punya daddy," jawab Oskar.
"Oskar, jangan bilang begitu. Itu melukai hatiku. Itu mengingatkanku bahwa aku juga tidak punya papa," protes Ebra.
Ditengah obrolan santai itu, Joanna yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Tanpa banyak bicara mereka langsung berlarian menuju pelukan Joanna.
"Mommy!"
"Bibi!"
"Hallo, sayang-sayangku! Bagaimana sekolah kalian hari ini?" tanya Joanna dengan ceria.
"Aku mendapat nilai A+," jawab Oskar pamer.
"Bibi, aku juga dapat nilai A+," jawab Ebra tak mau kalah.
"Wah kalian berdua hebat! Tapi ingat, mommy atau Bibi Joanna tidak peduli berapapun nilai kalian. Asal kalian jujur, baik, sopan, menghargai orang lain dan memiliki sifat-sifat yang mulia itu sudah lebih dari cukup," terang Joanna.
"Iya mommy!"
"Iya bibi!"
"Baiklah, let's go. Mari pergi membeli hadiah untuk Lily!" ajak Joanna semangat.
Joanna menggandeng tangan kedua anak-anak itu menuju mobilnya. Kemudian langsung membawanya menuju toserba yang tersedia di kota.
Oskar dan Ebra sangat antusias memilih kado mereka masing-masing. Setelah mengitari rak demi rak begitu lama, akhirnya mereka mendapatkan kado apa yang sepertinya Lily sukai. Kedua bocah itu pun meninggalkan toserba dengan perasaan suka cita setelah membayar tagihannya di kasir. Benar, mereka membayar tagihan itu dengan uang tabungan mereka sendiri yang mereka simpan dari uang jajan mereka.
.
.
.
Joanna duduk termenung di meja rias, memandangi wajahnya sendiri di cermin. Dia bisa mengingat dengan samar, dulu seseorang pernah menyisir rambutnya ketika Joanna duduk seperti sekarang ini. Entah siapa, tapi sepertinya orang itu sangat berharga untuknya.
Sesekali, Joanna sangat ingin mengingat kembali siapa dia sebenarnya. Siapa namanya, siapa keluarganya, siapa ayah dari anaknya.
Apakah dia sudah menikah. Apakah dia menikah dengan pria yang dicintainya. Apakah dia bahagia. Tapi sepertinya semuanya hanya sebatas angan Joanna, karena semakin Joanna berusaha mengingat, kesakitan yang luar biasa yang dia dapat.
"Hhhh," desah Joanna muram.
Seandainya dia bisa mendapatkan petunjuk sedikit saja, mungkin semuanya akan jauh lebih mudah.
"Kenapa?" tanya Bibi Diaz begitu memasuki kamar Joanna.
Ternyata suara nafas Joanna bisa didengar oleh Bibi Diaz dan Oskar yang baru saja kembali dari acara ulang tahun Lily.
"Tidak apa-apa, Bibi!" jawab Joanna.
Bibi Diaz geleng-geleng kepala, dia tahu Joanna pasti sedang mencoba mengingat masa lalunya, seperti hari-hari sebelumnya saat dia termenung sendirian.
"Mommy," teriak Oskar berapi-api. Dengan wajah yang sedikit cemberut, dia segera berlari dan berhenti tepat di samping Joanna.
Mata Oskar yang bulat dan hitam kini berkaca-kaca. Tidak berkedip memandangi wajah mommynya. Joanna tahu, sepertinya Oskar akan mulai mengadu.
"Aigo, Xiao O sayangku! Kenapa cemberut begini, hmm? Sini, cerita sama mommy," sambut Joanna dengan penuh kasih sayang. Dia menarik tangan anaknya, dan membawa Oskar duduk di pangkuannya.
Joanna melirik sebentar kearah Bibi Diaz yang tertawa ringan, sebelum akhirnya duduk di sisi ranjang.
"Mommy, seseorang menciumku," kata Oskar mulai mengadu.
"Siapa, siapa orang itu. Beraninya dia mencuri pipi Xiao O kesayangan mommy, hm?" tanya Joanna gemas.
"Lily," jawab Oskar tanpa menutupi kebenaran.
"Lily?" tanya Joanna memperjelas indera pendengarannya.
Oskar mengangguk, mengiyakan pertanyaan Joanna barusan, "Dia bilang terimakasih telah datang di acara ulang tahunnya tapi Xiao O kan tidak suka di cium jadi Oskar mendorongnya," ucap Oskar. Sepertinya dia mulai ngambek, tapi juga merasa bersalah disaat yang sama karena menyakiti temannya.
Joanna menahan tawanya, bagaimanapun juga dia sangat paham bahwa Oskar tidak pernah suka jika seorang anak perempuan seusia dirinya menciumnya. Joanna tidak tahu pasti apa alasannya, tapi sepertinya itu bawaan lahir. Setiap orang tentu memiliki kecenderungan tertentu terhadap sesuatu secara berbeda bukan?
Atau jika bukan karena itu, mungkin saja itu juga sifat turunan dari ayahnya yang sampai saat ini masih tidak jelas siapa orangnya.
Joanna membelai rambut lebat nan halus milik Oskar, lalu mencium dahinya dengan lembut, "Tidak apa-apa. Lily tidak tahu Xiao O tidak menyukai hal seperti itu. Itu hanya ungkapan bahagia dari Lily karena Xiao O bersedia hadir di acara ulang tahunnya. Dia tidak sengaja membuat Xiao O marah, dia pasti sedih sekarang."
"Terus bagaimana kalau lain kali dia mencium Xiao O lagi?"
"Begini saja, besok mommy akan membawa Xiao O menemui Lily dan ibunya. Mommy akan menjelaskan kepada mereka bahwa Xiao O tidak suka perlakuan Lily hari ini. Dengan begitu, Lily akan tahu apa yang Xiao O tidak suka jadi dia tidak akan mencium Xiao O lagi, bagaimana?" tawar Joanna.
"Mommy, apa Xiao O bisa minta maaf sekarang? Lily pasti sedih karena Xiao O mendorongnya tadi."
"Tentu, tapi sepertinya sekarang akan turun hujan. Sebaiknya Xiao O meminta maaf lewat telepon saja, lalu besok baru Xiao O minta maaf lagi kepada Lily," terang Joanna.
"Em, baiklah." jawab Oskar.
"Jadi, mana senyumannya?" goda Joanna sambil menyentil hidung Oskar.
Oskar pun tersenyum manis, sangat manis dimata Joanna. Bibi Diaz yang sedari tadi melihat mereka akhirnya keluar, setidaknya dia sudah tahu Oskar sudah menyelesaikan masalahnya dengan Lily.
"Xiao O. Saat dewasa nanti, barangkali Xiao O sendiri yang ingin mencium Lily," goda Joanna.
"Kenapa Xiao O mau mencium Lily?" tanya Oskar.
"Mungkin saja Xiao O menyukai Lily suatu saat nanti. Saat kalian sudah semakin besar," jawab Joanna.
"Begitu?"
"Iya."
"Apa mommy tidak cemburu?"
"Xiao O kan anak mommy. Kalau Lily menjadi menantu mommy juga tidak masalah. Dia kan baik dan cantik seperti mommy."
"Tapi dia pintar, tidak seperti mommy," seloroh Oskar.
"Apa maksudmu mommy ini bodoh?" tanya Joanna.
"Tidak, hanya saja mommy sering membuat sesuatu yang seharusnya mudah menjadi lebih rumit," jawab Oskar sembari meletakkan tangannya di pinggang.
"Bicaramu seperti orang dewasa saja," ucap Joanna sambil mengacak-acak rambut Oskar.
"Aku kan sudah dewasa," bela Oskar.
"Dewasa apanya, sudah mommy bilang Xiao O baru berusia lima tahun," sentil Joanna.
"Mommy, apa mommy pernah mencium seseorang?" tanya Oskar tiba-tiba.
"Pernah," jawab Joanna langsung.
"Siapa?" tanya Oskar penasaran. Matanya yang bulat semakin membesar saat sedang penasaran.
"Tentu saja Xiao O," jawab Joanna lagi.
Joanna tertawa dengan sangat puas karena berhasil membuat Oskar kesal.
"Maksudku pria dewasa, mungkin saja mommy punya pacar tapi menyembunyikannya dari Xiao O, iya kan?" selidik Oskar.
"Pacar apanya. Mommy ini sangat sibuk. Tidak ada waktu untuk itu. Tapi lain kali, kalau mommy punya pacar mommy akan memberitahumu," kata Joanna.
"Janji?"
"Janji! Oh iya, Paman Arthur dan Bibi Alexa ingin membawamu pergi liburan bersama mereka minggu depan. Xiao O mau pergi kan?" tanya Joanna.
"Mommy tidak ikut?"
"Mommy ingin pergi tapi ada sesuatu yang harus mommy urus," jawab Joanna sambil merapatkan tangannya sebagai permohonan maaf.
"Kalau begitu setelah urusan mommy selesai mommy harus membawa Xiao O pergi berlibur ya?" pinta Oskar.
"Baiklah," jawab Joanna sambil memeluk erat putra tunggalnya.
"Lalu setelah itu, mommy mencari daddy baru untuk Xiao O ya?"
"Itu, mommy akan memikirkannya," jawab Joanna asal.
"Atau Xiao O yang mencarikannya untuk mommy saja?" tawar Oskar.
"Siapa yang mengajarimu seperti ini sayang. Kenapa mulutmu yang manis ini semakin nakal?" tanya Joanna sambil memeluk Oskar.
"Mommy, aku serius. Aku punya satu paman yang baik dan tampan sepertiku lho, kalau mommy tidak mau mommy pasti akan menyesal seumur hidup!"
"Baiklah, lain kali kita bicarakan ini lagi. Sekarang waktunya Xiao O mandi kemudian belajar, oke?" bujuk Joanna.
"Okey, mommy. Ingat janji mommy untuk memikirkannya ya?"
"Mommy janji."
Oskar segera bangkit, sementara Joanna geleng-geleng kepala. Sejak kapan Oskar mulai membiarkan dirinya didekati seorang pria?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 186 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
wahai emak, udah jadi emak kok gitu sihh😇
2022-11-23
0
@Kristin
aku mampir Thor 🖐️
2022-11-03
1
Syhr Syhr
Kasihan Ebra jadi bingung. Aku bantu kamu deh, bilang aja manis. 🤭🤭
2022-09-11
1