Jadilah pacar untuk diri ini.
“Maafkan saya,” aku menarik nafas, “Satu kali pun saya tidak memikirkan untuk mendapatkan hubungan lebih dengan seseorang.”
Lelaki itu tersenyum sendu seakan ingin menangis.
Apakah saya tidak punya kesempatan?
“Tolong, jangan memaksa saya. Saat ini pun, saya sedang menahan diri,” aku genggam tumpukan kertas di tanganku lebih erat sambil mengeluarkan ekspresi tertekan, “Jangan jadikan saya halangan untuk mimpi anda.”
A ha ha ha... cringe juga nih dialog. Lelah juga lama kelamaan.
Semangat sekali teman-teman satu kelompokku ini ya~ Bisa saja mereka buat naskah yang lebih garing dari sinetron.
Mau bagaimana lagi? Teater pada dasarnya fokus ke pementasan peran, bukan ke pembuatan naskahnya⏤walaupun memang harus bisa juga. Jadinya ya seperti inilah hasil naskah buatan anak-anak awam.
Padahal, mudahnya, senior hanya perlu meminjamkan naskah teater yang lama. Ini kan hanya keperluan latihan.
Yah, aku sih bisa lebih luwes kalau aku yang membuat. Masukku ke ekskul berbarengan dengan adik kelas. Jadinya aku sungkan untuk mendahului karena aku juga tidak tahu apa-apa. Akhirnya aku memilih untuk pasif.
Lain kali aku mau lebih kasih masukkan. Setidaknya untuk cerita yang bertemakan populer seperti ini, bisa aku kurangi ketegangan batin dan membuatnya lebih mudah untuk keluar dari mulut yang kadang malu-malu. Terutama mulutku.
Apa dialog selanjutnya?
Mimpi? Hahaha! Adira, kamu itu mimpiku.
Oke. Setelah itu aku. Langsung aku hayati saja semampuku.
“Anda jahat!” ...hah? “Saya kan jadi tidak bisa... menolak. Baiklah, saya akan jadi pacar anda!”
...
Kenapa ya aku mau masih ekskul ini?
Iiih, sungguh!
Tidak ada lain kali! Aku harus turun tangan untuk merombak naskah ini!! Saat ini juga!
“Saya mau berpacaran dengan anda~” aku menyuarakan kalimatnya dengan suara cempreng mengejek, “Gampangan banget nih cewek!”
“Hehe!”
Hmm?
...
...
...
“Kak Fares?!” kenapa dia sudah ada di depan pintu kamarku?! Yang terbuka?!
“Maaf. Rasyi serius banget, jadi kakak tidak mau ganggu,” Fares memasuki kamar lebih dekat. Ia mengangkat kedua tangannya, “Kakak tidak akan cerita ke siapa-siapa kok.”
Gimana? Aku harus gimana?
Kakiku terjinjit di depannya. Ingin meraih wajahnya yang masih tersenyum...
...
Sial! Kenapa aku begitu pendek! Malu malahan bertambah deh!
“Rasyi mau apa⏤?”
Diam kau! “Kakak nunduk!”
Terdiam Fares kebingungan. Namun tampaknya Fares tidak begitu mempermasalahkan. Ia menunduk ke arahku dan mendekatkankan kepalanya padaku.
Dua tanganku tanpa tanda-tanda mendarat ke kedua pipinya, mencubit kesal. Memanfaatkan dengan lebih baik saat ia sengaja sejajarkan tingginya. Wajah itu tampak jelas dengan rasa terkejutnya.
“Jangan bilang ke siapa-siapa!” aku memanyunkan mulutku sambil masih menahan malu.
Fares terdiam dalam kejutnya, “Ya kan tadi sudah kakak bilang.”
...
Aaaaa....aaa! Aaaaaargh!!
Kenapa sih denganku?! Kelakukan apa sih yang terlintas di otakku?! Semalu itukah aku sampai salah tingkah?! Ini bukannya memperbaiki keadaan tapi yang ada malah semakin malu!!
Jangan tersenyum di keadaan seperti ini dong! “Iya, kakak ingat kok~ Sekarang, bisa lepas cubitannya Rasyi? Sakit nih.”
Oh iya! Langsung aku melepaskannya dan mundur beberapa langkah.
Gila! Aku jadi tidak tahu mau melakukan apa!
“Ya sudah, makan malam yuk,” Fares masih saja mengelus kepalaku.
Bisu aku karena malu yang masih merajalela. Aku hanya mengikuti langkahnya. Dengan wajah yang memerah tentu semakin malu dengan kelakuanku tadi.
“Rasyi? Kenapa, sayang?” tante Sari yang menyambutku di salah satu sisi meja. Ia mendekat ke arahku, “Kamu sakit?”
“Sakit hati,” aargh! Aku bicara apa lagi sih?!
“Hah?”
“Bukan! Bukan kenapa-napa! Rasyi tidak kenapa-napa kok,” aku melambaikan kedua tanganku.
Sari tampak khawatir. Namun aku rasa aku tahu darimana sikap Fares yang tidak mau ikut campur masalah orang itu. Sari pun sepertinya memilih untuk ikuti alur.
“Duduk yuk. Makan dulu, tidur juga jangan malam-malam kayak kemarin loh,” Sari mendorongku pelan mendekati kursi kosong.
Udahlah! Aku ambil duduk saja!
“Oh iya, Rasyi,” paman Hendra yang sudah melahap sesendok nasi akhirnya mengunyah habis apa yang ada di mulutnya, “Papamu sudah balik.”
Hmm? “Kok? Papa tidak ada kabar-kabar ke aku?”
“Rizki langsung sibuk sama urusan rumah sakit. Urgent katanya. Jadi masih belum bisa ke sini. Menginap saja dulu di sini sampai Rizki jemput,” Hendra kembali menyantap makan malamnya.
Masalah apa sampai bisa se-darurat itu? Padahal papa pun tidak bertanggung jawab atas semuanya yang ada di rumah sakit. Benar-benar seperti orang yang paling penting ya~
Yah, itu kan bukan sekali dua kali. Wajar saja.
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
“Ucu cu cu~ Puspus unyu~” kambuh lagi si Firna.
Firna selalu lemah sama kucing. Lebih-lebih kalau kucing sekampungan mengelilinginya.
Sekolah ini memang cocok dengan Firna. Tidak ada waktu sekalipun dimana murid sekolah tidak bertemu dengan kucing. Namun untuk Firna, semua itu tidak cukup kalau tidak mengunjungi ke komplek mereka.
“Lihat Rasyi~ Dia imut banget~!” Firna yang kambuh ini mengangkat satu dari anak kucing itu dan menunjukkan di depan wajahku.
“Iya, iya...,” aku juga suka kucing tapi tidak sampai seperti Firna.
Tidak ada yang bisa sampai se-fanatik Firna. Aku? Ya pastinya iya iya saja dan tidak ada alasan untuk menolak di setiap kali aku diajak kemari.
“Aaa! Jangan~” aku mendapati satu kucing menarik-narik ujung gelangku, “Jangan dimainin~”
Kuangkat satu kucing yang iseng itu dan meletakkannya di pangkuanku. Menjauhkan gelang dari tanah rerumputan yang aku duduki saat ini. Tampaknya aku harus melepas dan menyembunyikannya dulu sebelum semakin dirusak oleh kucing yang lain.
Gelang ini tidak boleh sampai rusak! Ini adalah salah satu dari banyaknya hadiah dari Jagad. Kalau rusak satu saja, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri.
Bukan karena aku tidak bisa membelinya. Hadiah ini, kenyataannya, tidak mungkin aku terima lagi dari orang yang sama.
Ia mendengar atau tidak, aku sudah berjanji untuk menjaga semua ini. Baik yang aku bawa sekarang sampai benda yang cukup besar berkumpul di rumah.
“Itu yang dari kak Jagad kan?” Firna ternyata masih ingat.
Aku tersenyum, “Iya. Waa!” kucing ini masih saja berusaha menangkap gelangku.
Rasa takutku akan lepasnya tali rajutan gelang itu. Manik-manik kecil yang manis bisa saja berceceran nanti apalagi manisnya gantungan bunga kecil di satu sisi.
Semakin menjadi-jadi ketakutan ini dengan lebih banyaknya kucing yang menyerangku.
“Hahaha, Rasyi jadi dikepung.”
“Firna! Tolong~!” dengan kecepatan yang aku bisa, tanganku memasukkan gelang itu ke dalam kantong seragam putihku.
“Hahahahaha, iya sabar~” ia mendekatiku, dengan sangat pelan.
“Aauw! Dicakarin nih~!” aku mengulurkan tanganku ke arahnya, “Fir~ na~!”
“Iya, ayo!” dia akhirnya sungguh-sungguh berdiri dan mengambil langkah untuk membantuku lepas dari para genggaman kucing yang kepo, “Dadah meong meong ucuu~”
Bibirku yang tidak terbuka untuk komen apapun. Kupeluk tangan Firna dan menariknya pelan menjauhi kawanan para keimutan ini. Membawanya masuk ke peradaban sekolah yang lebih ramai.
Waktu istirahat ini selalu saja penuh dengan setiap putih abu-abu yang beraktivitas bebas.
Firna tidak mengelak sama sekali saat aku masuk ke jalanan sekolah sambil memeluk tangannya, “Eh? Itu di Sagara kan?”
Oh, benar. Dia berjalan ke arah sini!!
Huuuh! Padahal pagi sampai sekarang aku bisa tenang-tenang saja. Tidak bisa ya aku bebas sebentar saja dari kreatifitas jahil si kembar?!
Tarik nafas~ dan bersiaplah!
Eh?
Heh?
“Loh? Kalian bertengkar ya?” Firna sama terkejutnya denganku.
“Tidak...,” secara teknis memang tidak ada perkelahian.
Keributan dan kekacauan yang selalu diberikan oleh mulut hewan liar itu hanya sekedar bagaimana ia berteman. Kemarahanku hanya sekedar reaksi wajar. Lebih dari itu, aku tidak berniat untuk sungguh-sungguh bertengkar dengannya.
Sebentar, kenapa Sagara sendirian? Dimana Sovian?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments