Reinkarnasi. Kata ini sekilas menjadi harapan, untuk orang yang tahu ia tidak punya waktu banyak atau mereka yang tidak puas dengan apa yang dia miliki di kehidupannya.
Di sisi lain, ini bisa jadi kutukan untuk orang yang mencintai kehidupannya.
Sisi lain pun mengatakan ini merupakan jebakan manis untuk orang yang tidak terlalu membenci dan tidak terlalu menyayangi kehidupannya.
Ya, kasusku adalah yang terakhir. Kehidupan membosankan tapi penuh dengan perjuangan dari wanita 25 tahun yang menyebut dirinya Sekar.
Wah, sudah lama sekali aku tidak mendengar nama itu. Itu karena aku sudah ada di dalam keberuntungan sekaligus kesialan yang bernama Rasyiqa.
Disebut sebagai keberuntungan, tentu karena Rizki yang merupakan papa kaya dan tampan. Ia bahkan siap menyerahkan warisan yang bisa menghidupiku seumur hidup tanpa perlu bekerja.
Kesialan, itu tentu kembali lagi ke warisan. Tidak mungkin tidak ada yang mengincar jumlah yang sebesar itu. Faktanya, ayahnya sendiri yang mengincar Rizki dan diriku dari aku bayi.
Aku yang tidak bisa bicara waktu itu, tentu hanya bisa mengamankan diri dengan mendekati sang papa. Hanya itu hubungan kami yang ada di pikiranku... awalnya.
“Papa?” aku mengintip ke dalam ruangan yang terang dari balik pintu.
Dia menatapku dari ujung ruang belajarnya, “Masuk saja.”
Aku membawa diriku sendiri untuk mendekatinya. Ia yang tampaknya paham akan keadaanku. Berdiri ia dari duduknya dan mendekati satu set sofa dan meja di tengah ruang.
Ruang penuh dengan rak dan buku ini sungguh membosankan untuk dilihat. Terlebih karena aku selalu belajar disini.
Setidaknya pemandangan taman penuh lampu di malam hari terpampang jelas di dinding kacanya. Kududuki satu sofa itu, menyambutnya untuk duduk di sampingku sambil membawa sebuah buku.
Sentuhan yang hangat. Aku sangat ingin memeluknya.
“Ada apa di sekolah?” ia memelukku tanpa aku meminta, “Sampai jadi kecapekan begini.”
Kubalas pelukan hangatnya. Papa, satu-satunya keluargaku yang pernah kumiliki. Mengatur nafas dan kembali meringankan kepala yang harus aku bawa mengingat kembali.
Itu dia penjelasannya. Aku selalu bermimpi buruk seperti ini kalau aku sedang kelelahan.
Busuknya aku bermimpi si pria laknat. Sungguh tidak lucu menerima mimpi tentang pria jahat yang sudah memberikan banyak penderitaan.
Bukan masalah kecil yang bisa dilupakan hanya dengan waktu berlalu. Lebih-lebih, kehidupan Sekar direnggut oleh orang itu juga. Bukan hal aneh kalau papa yang mengalami penderitaan itu di seumur hidupnya, tidak bisa mengobati insomnia-nya.
Meskipun orang yang dimaksud sudah tidak ada.
“Papa sendiri tidak bisa tidur?” aku masih saja memeluknya, “Papa kan dokter, malah begadang. Nanti di rumah sakit salah diagnosa gimana?”
“Yang jadi masalah itu, kamu bisa cerewet kalau mengantuk,” ia membuang tubuhnya ke sandaran sofa walau masih memelukku di samping kanannya.
“Aku tidak begitu!”
Bisa aku dengar tawa kecilnya. Didorongnya tubuhku perlahan dan melepaskan pelukanku. Ia merapikan rambutku yang baru saja bangun dari mimpi burukku.
“Masalah apa di sekolah?”
Ya, cepat atau lambat aku harus mengeluhkan akan hal ini, “Memangnya untuk apa sih aku diminta berteman dengan duo pembuat onar?”
Walaupun Rizki terdiam, aku tahu dia akan menangkap apa yang aku maksud, “Oh, Sovian Sagara. Mereka ngapain?”
“Mereka selalu mengejekku kalau kami bertemu.”
Dia terdiam. Sepertinya tidak tertarik. Menyebalkan seperti biasa ya nih papa tampanku satu-satunya!
“Mereka bilang aku kerdil. Tebar pesona. Kurang kerjaan. Punya pacar tapi cari selingkuhan. Aneh. Nenek lampir⏤”
“Ppfh!”
Kenapa dia malah ikut tertawa?!
“Ternyata sama Rasyi mereka jadi begitu ya?” dia masih menahan senyumnya.
“Jadi mereka sopan dan baik hati kalau ada di depan papa?” aku menatapnya kesal.
“Tidak awalnya,” hmm? “Tapi lama kelamaan mereka jadi nurut.”
Kok bisa?!
No, jangan beritahu. Aku tidak mau tahu metode apa yang papa satu ini lakukan.
“Kalau tentang berteman, itu terserah Rasyi. Papa tidak ada maksa,” dia menyisir lembut rambut hitamku dengan jari jemarinya.
Walau dingin dan seakan tidak memiliki hati, dia merupakan sosok pria yang layak disebut ayah.
Padahal secara jiwa, kami bukan keluarga dan tidak mungkin aku adalah anaknya. Namun aku sungguh dibuat luluh dengan kata-kata lembutnya.
“Tapi pa, papa kok bisa kenal mereka?”
Rizki lagi-lagi menatapku. Berpikir dan merangkai kata-katanya, “Karena papa kenal dengan ayah mereka.”
Ah… iya… tentu. Kenapa tadi aku menanyakannya?
Mendadak tangannya mengelus pipiku. Lembut di kulitnya itu meraba dengan hangatnya, “Ada hal yang perlu kamu ketahui dari subjeknya sendiri.”
Hmm? Lagi-lagi apa yang dia maksud?
“Iya ya,” papa sedikit melakukan peregangan di tengkuk lehernya, “Papa ada penelitian akhir bulan nanti. Jadi papa bisa tidak di rumah lima hari sampai seminggu.”
Bekerja di luar lagi? Aku harus sendirian di rumah yang besar ini lagi. Ya, secara teknis para bibi pasti akan menemaniku. Bahkan mereka menginap kalau memang perlu, jadi aku tidak perlu khawatir dengan apapun yang ada di rumah. Namun kan….
“Rasyi tidak mau di sini?” oh, pekanya papa memang tidak bisa disepelekan.
Memanyunkan kedua bibirku berusaha imut, “Ada papa di sini saja sudah sepi, apalagi kalau tidak ada.”
Dia tersenyum tipis, “Gimana kalau menginap di Hendra?”
Oh! Ide bagus tuh!
“Bisa?”
“Kalau tidak ditanya, mana tahu?” ia mengambil kembali buku yang sedari tadi ia letakkan di sampingnya, “Besok papa tanyakan. Sekarang Rasyi tidur.”
Sedangkan itu adalah ide yang buruk.
Diri ini tahu tahu betul kebencian akan mimpi dimana aku harus melihat lagi wajahnya. Lebih lagi dia tidak lepas dengan… darah. Ketakutanku muncul meskipun aku tidak punya fobia akan hal itu.
Papa menelengkan kepalanya, “Masih mau tidur sama papa? Sudah besar begitu.”
“Rasyi memang penakut, mau gimana?!”
Tertawa saja sesukamu. Dia saja masih belum bisa lepas dari mimpi buruk itu. Luka dari ‘kecelakaan’ tidak akan sembuh hanya dengan menghancurkan puing-puing dari ‘kendaraan’ yang menyebabkan mala petakanya.
Sang papa ini berdiri dari duduknya, “Ayo, papa tungguin Rasyi sampai tidur.”
Aku terdiam. Kututup mulutku dan mulai tertawa, “Hihihi, iya.”
Mulai tegak kakiku berdiri. Tubuhnya yang tampak segar walaupun tak memiliki otot yang didambakan para wanita, tak menghentikannya mengeluarkan pesona walau dari belakang. Langkah itu aku kejar sedikit demi sedikit dan memulai percakapan ringan.
“Papa, kapan-kapan ajak Rasyi ke tempat yang jauh dong~ Luar negeri gitu~”
“Ribet,” lagi-lagi bapak ini menjawab tanpa memikirkan perasaan putrinya.
Kami melewati ruang kerja. Melewati satu lagi ruangan koleksi mama yang terhubung dengan satu-satunya ruangan papa dan dapur. Remang-remang lampu dapur di malam hari pun menyambut kami.
Bersandar kepalaku di pundaknya sambil menyinkronkan langkahku dengannya, “Please~ Sekali-sekali~ Rasyi bakal dapat nilai tinggi di sekolah kok~”
“Kamu mau membolos?”
“Iiih! Waktu libur sekolah saja~”
“Tidak.”
“Rasyi bakal temani si duo itu kok. Masa Rasyi tidak diberi imbalan?”
Dia menghela nafasnya, “Uang sangu tidak dihitung?”
“Papa pelit!!”
“Heh.”
Jangan tertawa!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments