Cepat kilat aku mengikat tali running shoes merah terang manis. Sengaja aku bawa kemarin dari rumah papa yang besar nan jauh disana. Tidak ketinggalan dengan baju olahraga setelan shorts and skort yang hangat serta dingin sekaligus.
Pagi ini akan penuh dengan keringat!
“Tunggu, kak Fares! Rasyi mau ikut!” berlari kecil aku keluar kamar tamu dan mendekati si sosok pria.
Hari ini aku akan lebih produktif dengan mengikuti jadwal pagi Fares yang jogging beberapa puluh menit sebelum bersiap. Pastinya ini agenda yang sehat. Dan tentu bukan karena berat badanku yang bertambah.
“Ada apa kok mau ikut olahraga?” Fares memulai perenggangannya walau belum ke luar rumah.
“Mau saja~” senyumin saja deh.
Bukan karena aku terlalu banyak diberi camilan makanan coklat yang manis. Ini tidak ada hubungannya dengan berat badanku. Bukan karena itu!
Fares terdiam. Wajahnya yang sering berekspresi kalem itu tampak mengkilapkan rasa tidak percaya. Tanda-tanda yang selalu dipancarkan oleh papa. Ekspresi yang paling aku benci!
“Tidak boleh?” aku masih senang saja memanyunkan bibir.
Dia tersenyum seperti biasa, “Boleh~” ia menegakkan tubuhnya, “Pemanasan dulu baru kita mulai.”
Iya, ayo mulai~ Alasan itu tidak penting untuk dibahas.
Peregangan ringan yang selalu ada di setiap olahraga. Fares juga menambahkan beberapa gerakan yang difokuskan untuk kakiku.
Sampai akhirnya kami memulai lari ke perkomplekan yang hanya sekedar aku tahu saja. Tanpa banyak bicara, aku menyamakan lari dengan nafasku. Kesalnya sepertinya kak Fares melihatiku tanpa rasa lelah.
Iya deh, yang pola kesehariannya sangat menyehatkan.
“Fares, rajin kayak biasa ya~” hmm? siapa?
“Iya, tante. Saya permisi,” Fares sempat memelankan larinya dan dipercepat lagi setelah wanita itu mempersilahkan.
“Jaya! Jangan main keluar, bentar lagi sekolah. Makan dulu!” seorang wanita tiba-tiba keluar dari pintu rumah, “Eh, Fares toh.”
Fares kembali berlari di tempat, “Pagi, tante. Ayo Jaya makan dulu baru boleh main keluar.”
“Jaya bosan makan terus!”
Alasan apaan itu? Kamu juga bosan hidup ya sampai makan pun bosan?
Fares tersenyum, “Nanti tidak bisa tinggi kayak kakak loh. Mau?”
Si bocah kecil ini terdiam, “Ummi! Makan!”
Kepancing. Gampang banget.
“Makasih ya, Fares.”
“Iya, duluan tante,” Fares melanjutkan larinya, “Ayo Rasyi, usahakan jangan berhenti.”
Baiklah...⏤
“Wah, Fares! Ayah ada di rumah, gak?” seorang bapak-bapak bersuara kencang dari balik pagar.
Fares lagi-lagi berlari di tempat, “Ada kok om. Berangkatnya nanti siangan.”
“Oh Fares, nanti bilangin ke ibu ya. Bantu-bantu di rumah tante.”
“Ada Fares! Mau coba kue om tidak?”
Tunggu! Tunggu! Tunggu! Kenapa pagi-pagi buta malah seketika jadi pasar?!
“Mau beli sayur, Fares? Mumpung murah!” kenapa juga nih paman sayur keliling ikut merumpi?!
Aku tahu Fares itu memang baik dan sopan walau tak jarang aku melihatnya dengan poker face. Termasuk dalam kategori yang tidak bisa dibenci. Namun kalau dilihat dari sini, memangnya Fares itu artis?! Seolah semua orang dalam rumah ditarik keluar kalau Fares lewat.
“Bang Fares~ Pagi~” bahkan ada anak baru gede ikut tersesat.
Se-absurd apapun ini di kepalaku, bisa dilihat kalau ini sudah biasa bagi Fares. Lihat tuh, dia menanggapinya satu persatu dengan sangat baik walau badannya masih bergerak
“Rasyi?”
Hmm?
“Masih kuat?” Fares sepertinya sadar kalau tenagaku terkuras karena menanggapi situasi yang seketika menjadi karnaval berjalan.
“Huh... tidak tahu...,” batinku sudah capek duluan, tapi aku belum berkeringat.
Senyum Fares masih saja tidak lelah, “Ayo. Kalau tidak berusaha nanti tidak bakal bisa loh.”
Ha ha ha, bisa apa ya~? “Kan Rasyi cuma mau ikut saja.”
“Walaupun ikut-ikutan kalau mau ada hasilnya, usahanya juga jangan setengah-setengah.”
“Huuh.. Rasyi tidak bisa sekuat kakak, tahu.”
Fares terlihat sedikit kecewa walau kami masih menelusuri jalan yang lurus, “Kalau cuma segini kalorinya tidak bisa kebakar loh.”
Ha? Aaaaa?! Aaaaaargh! “Iya-iya! Rasyi duluan!!” berlari aku melewati Fares.
Bukan karena termotivasi untuk menurunkan kalori dalam tubuh. Namun karena malu karena rajin-ku ada saat ada keperluan, itupun dengan setengah hati. Aku pun paham kalau Fares tidak mungkin menyinggung kalau bukan memang untukku.
Tetap saja, malu!!
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
Otot, jantungku, kaki, dan batinku. Lelah dan malu itu benar-benar tidak nyaman. Kalau ini tidak menghasilkan apapun, aku akan balas dendam dengan makan seloyang kue coklat!
“Setelah ini pendinginan sebentar. Istirahat dulu sampai baru bisa mandi,” Fares memulai gerak pendinginannya di beberapa langkah terakhir menuju rumahnya.
Aku harus melakukan semua ini setiap hari? Ini akan melelahkan.
“Loh, Harun kok...?”
Hmm? Aa, Harun? Dia sudah ada di halaman depan rumah Fares. Untuk apa dia datang di sini pagi-pagi? Seharusnya ini pun belum sampai jam enam pagi.
Rumah Harun memang hanya beda beberapa blok saja dari sini. Tidak mustahil datang kemari lebih cepat daripada matahari. Namun selama aku menginap disini, kalau bukan paman Hendra, kak Fares yang mengantar. Aku hanya bertemu Harun langsung di kelas.
Pria manis itu mengeluarkan sinar menyilaukan dari senyumnya. Seakan sambutan hangat dari sebuah pelukan walaupun jarak kami masih beberapa meter, “Rasyi.”
Aku mendekatinya lebih cepat dari langkah Fares, “Harun kok pagi-pagi ke sini?”
“Mau berangkat sekolah bareng sama Rasyi,” dia... apa?
Harun, aku senang saja kamu mau menjemputku dan mengajakku berangkat bersama. Namun jam dinding di rumah Harun tidak rusak kan? Ini masih satu jam lebih sebelum bel pertama berbunyi.
Sekolah dengan di sini kan hanya tinggal lima menit jalan. Bukan rumahku yang butuh sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit.
Aku juga belum mandi!!
“Ini kan masih terlalu pagi, Harun,” Fares akhirnya sampai di depanku.
Senyum Harun seakan luntur, “Aku cuma mau pastikan Rasyi belum berangkat.”
Ya tidak mungkin lah! Mati aku kalau menunggu satu jam di sekolah! Kelas saja belum tentu sudah dibuka!
“Oh ya, kak. Ke depannya, aku yang antar jemput Rasyi,” Harun tersenyum ke arah Fares, “Tidak masalah kan?”
Heh?
Fares terdiam sejenak. Dia membalas simpul manis Harun dengan simpulan baru yang tampak lega entah kenapa, “Itu yang kamu masalahkan sampai ke sini kepagian begini?”
Ya kan? Benar kan, kak? Terkadang Harun memang rada aneh.
“Kenapa tanya kakak? Yang kamu antar jemput kan Rasyi,” Fares melangkah ke sisi kiri dimana teras berada. Ia duduk di ujungnya dan membuka ikatan sepatunya.
Tidak pernah khawatir dengan reaksi dan jawaban Fares yang tidak melewatkan rasa tanggung jawab.
Disaat yang sama aku disadarkan dengan getaran tegang di depanku. Fares menanggapinya dengan senyum seorang kakak layaknya sehari-hari. Akan tetapi Harun kehilangan keindahan di garis mulutnya itu. Seakan tidak senang.
Bicara, Rasyi. Bicara dan alihkan lelaki di depanmu itu! “Kan kamu tinggal chat saja.”
Fuuh, Harun akhirnya senyum lagi, “Aku kan lebih suka lihat mukanya Rasyi.”
Oooh...⏤eh?!
Duh! Nih anak sudah tidak ada saringannya sama sekali!! Kak Fares kan bisa dengar! Malu tahu!!
“Ya sudah,” Fares sudah kembali berdiri sambil membawa sepasang sepatunya, “Harun ikut tunggu di dalam saja. Rasyi masih harus mandi sama sarapan. Harun mau ikut sarapan juga boleh⏤”
“Tidak, aku tunggu di sini saja,” hah? Harun bilang apa tadi?
Anak satu ini benar-benar deh! Bikin pusing sampai ke hati!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments