“Masuk saja langsung,” pria berotot yang tidak pernah aku bosan memandangnya membukakan pintu walau dia memang sudah sedari tadi di luar, “Jangan kayak orang tidak kenal begitu.”
“Paman Hendra~” aku mendekatinya selagi aku membawa tas ransel penuh yang baru saja tertinggal di mobil.
Ia membawa tangannya mengambil tas ranselku, “Apa saja yang dibawa? Kalau perlu kan bisa saja pulang lagi.”
Mau bagaimana lagi? Aku akan menginap di rumah selama satu minggu, mungkin lebih. Sulit bila aku harus bolak-balik ke rumah paman Hendra, ke rumahku dan ke sekolah.
Papa membawa tas koperku masuk saat paman Hendra membantu membawakan tas ranselku yang berat. Langkahku mengikuti mereka.
Rizki meninggalkan koperku di ruang tamu, “Titip Rasyi. Kalau dia cerewet tidak perlu didengarin.”
Kumohon berikan aku kesabaran dalam beberapa menit untuk berdiri di tengah pesan manis papa. Hanya untuk mengatakan selamat tinggal kepada papa yang akan pergi yang sayangnya untuk sementara.
Mungkinkah akan lebih baik aku marah saja?
“Sama anak sendiri kok begitu,” setidaknya paman Hendra paham.
“Ya kan, paman!” aku mendekat dengan kesalnya, “Rasyi menderita terus kalau sama papa, hiks.”
“Oh, gitu,” Rizki menyeka keningnya yang ditutupi rambut hitamnya, “Nanti papa bikin makin menderita.”
“Iih!” dasar ambekan!
“Udah sana urus bawaanmu. Jangan harap dibantu terus,” papa membelokkan kepalaku ke arah koperku.
“Iya-iya!” kesal aku membawa pergi koperku.
Pergi aku ke kamar yang biasa aku tempati saat menginap. Rumah besar paman Hendra dan keluarga kecilnya ini sudah ada di luar kepalaku.
Hubungan kami bukan sekedar dari papa dan Hendra yang sudah jadi senior-junior semasa SMA. Sejak aku lahir, karena papa sempat masuk rumah sakit, akhirnya aku dirawat selama delapan bulan penuh oleh Hendra dan istrinya.
Mereka sama saja seperti keluargaku walau tidak berhubungan darah.
Aku berhasil membawa koperku ke sisi ranjang yang tampaknya baru dibersihkan itu, “Oh iya, tas ranselku di paman Hendra.”
Yakin aku kalau benda itu ada di ruang tamu. Kembali aku melangkahkan kakiku menuju tempat yang aku maksud.
Wow.
“Kakak~!” Daffa tampak sangat manis berlari dan memeluk kakiku.
Setelan kaos putih bergambar kece dengan jogger pants kotak-kotak coklat. Jangan lupa ada topi model bucket hat hitam yang tampak nyaman ia kenakan. Bahkan ada kacamata hitam yang bertengger di kerah kaos depannya.
Korean style sekali. Orang yang suka korea di rumah ini melebihi siapapun….
“Kak Rasyi sudah datang ya~” masih belum terbiasa juga aku mendengar panggilan dari mulut wanita muda ini.
Mau bagaimanapun ia hanya mencoba mencontohkan panggilan yang benar untuk Daffa. Kalau tidak, anaknya yang masih dua tahun ini akan sembarangan memanggil aku dengan nama.
“Tante Ira~” aku tersenyum manis dengan sang wanita ini, “Dari mana?” aku menyadari kalau ia, anaknya dan kakak iparnya itu baru memasuki pintu rumah.
“Baru dari pasar,” sang kakak ipar, tante Sari, sambil membawa tas belanjaan yang sudah punya roda sendiri itu, “Rasyi sudah sarapan?”
“Maaf, aku harus kejar pesawat. Jadi tidak sempat,” papa mengecek jam tangannya, “Aku langsung saja. Tolong aku titip Rasyi.”
Loh? Daffa? Ia sudah memegangi celana papa Rizki dan memandang ke wajah itu dengan penuh harap.
“Endong!” Daffa tampaknya tidak tahu kalau papa ingin pergi.
“Daffa, paman Rizki mau pergi,” Ira tampak bingung.
“Kemanya?”
Rizki langsung duduk berlutut di depan Daffa, “Paman mau kerja. Nanti kalau paman sudah pulang, kita main sama-sama lagi,” Ia akhirnya tersenyum, “Hmm?”
Daffa masih tidak senang, “Iya….”
“Terima kasih,” ucapan simpel papa membuat si kecil kembali tersenyum.
Hal kecil ini membuat kami tersenyum gemas.
Kami berjalan ke depan pintu melepas papa untuk pergi. Canda-canda kecil akhirnya pudar dengan salam jumpa nanti.
“Jangan buat repot orang,” papa dingin sekali ih!
Kubuka kedua tanganku ke arahnya. Aku yakin papaku yang berotak encer itu paham dengan apa yang aku mau.
“Heh… hehehehe…,” dasar! Aku mencoba sweet dan papa itu malah asyik tertawa.
Aku masih membuka kedua tanganku meski aku merengut kesal dan malu dengan reaksinya.
“Sudah SMA tapi masih manja saja,” dia masih tertawa kecil di sela ia berbicara.
“Cepat!” aku masih menunggu pelukannya membalas sambutanku.
Dia menghela nafas membiarkan senyumnya merekah sehabis tertawa.
Satu tangannya tampak maju terlebih dahulu ke arah kepalaku dan disusul ia mendekat beberapa langkah sampai ia cukup untuk memelukku. Wajahku didekatkan ke pundaknya. Yang satu lagi mengelus punggungku dan mendekapkan kami erat.
Tubuh yang sebenarnya tidak sebanding dengan tubuh besar paman Hendra itu masih terasa besar bagiku. Hangat dan nyaman.
“Belajar keras tidak papa, tapi tidak boleh sampai sakit lagi,” bisiknya lembut terdengar sangat khawatir.
Sendu itu selalu muncul setiap kali, “Papa juga jangan terlalu rajin kerjanya. Dokter tidak boleh sakit loh~”
“Heh, iya…,” dia menahan wajah dan pipiku, menunjukkannya ke arah matanya, “Coba curhat saja ke Farres tentang Sovian Sagara.”
Eh? Kenapa ke kak Fares?
“Loh? Paman langsung berangkat?”
Rizki memandang asal suara itu, “Pesawatnya pagi.”
Ia memainkan rambutnya yang basah sehabis jogging paginya, “Hmm….”
Yang diomongin langsung datang, tapi kenapa aku harus ceritakan ke kak Fares ini?
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
Aku hanya duduk dan menyantap sepiring makan siang. Makanan yang biasanya kuambil dari kantin sekolah itu hari ini harus aku ambil setelah aku pulang di rumah.
Pada awalnya aku memang terkejut dengan sekolah yang ternyata bisa juga pulang lebih cepat. Pikiranku selalu tertanam kalau SMA tempat aku belajar itu adalah sekolah yang tidak mungkin meninggalkan luang waktu belajarnya begitu saja.
Rapat bisa juga ya jadi pengecualian. Hasilnya aku bisa makan sambil memandangi kak Fares yang sibuk mengetik di atas meja makan.
“Kenapa, Rasyi?” ya pasti dong dia sadar kalau aku memandangnya terus seperti ini, “Mau ngomong sesuatu?”
“Tidak~ Lanjutkan saja dulu kerjaannya,” aku tidak boleh mengganggu.
Semua orang selalu menggambarkan rutinitas Fares yang padat. Apa lagi Fares itu ketua BEM*, aku sudah pernah punya teman yang seperti dia di kehidupanku yang dulu. Dan aku pun tahu kalau itu sangat menyibukkan dan melelahkan.
Fares menahan dagunya di kedua tangan yang saling berkaitan dan menyikut ujung meja, “Gimana kakak bisa fokus kalau Rasyi lihatin kakak terus?”
“Hmmm,” aku membuang mataku darinya.
“Kenapa~?”
Ya sudah deh. Aku tanya saja!
Kumulai dengan pertanyaan ‘seandainya’, “Bagaimana kalau kakak ketemu adik kelas yang suka gangguin kakak?”
“Rasyi dikerjain sama adik-adik kelas?”
A ha ha ha, mudah ditebak ya~?
“Se, an, dai, nya,” kutekan setiap suku kata itu.
“Kalau kakak… tidak kakak hiraukan sih…,” wah. Jawaban Fares sekali ya~
“Tapi mereka itu tidak bisa cuma didiamkan begitu saja. Mereka malah tambah menjadi-jadi,” suaraku bahkan bisa aku dengar rasa kesalnya, “Yah, beberapa hari ini mereka tenang sih. Tadi pagi juga tidak terjadi apapun. Tapi mereka tidak bisa dipercaya!”
Fares terdiam, dan aku menunggu responnya.
“Oh! Sovian Sagara?”
Giliran aku yang terdiam sekarang. Fares kenal si kembar tidak tahu sopan santun itu?
Kok bisa? “Kakak kok bisa kenal?”
Pria yang sudah menginjak usia 21 tahun itu tersenyum kalem, “Ayah, ibu, tante Ira juga kenal.”
…
“Ayahnya Vian Saga itu teman sekelas ayah ibu waktu SMA. Terus Vian Saga sama kakak itu satu padepokan**,” Fares menelengkan kepalanya, “Rasyi tidak tahu?”
…
Kenapa duniaku sempit sekali sih?!!
...Notes:...
^^^*BEM -> Badan Eksklusif Mahasiswa, mirip OSIS tapi badan ini berada di tingkat universitas dan institut (perkuliahan).^^^
^^^**Padepokan -> sebutan untuk tempat belajar dalam dunia persilatan.^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments