Hari ulang tahunku yang keempat belas. Tidak pernah aku bisa melupakan hari itu. Selain akhirnya lepas dari drama keluarga, aku juga mendapatkan scene yang manis.
Di acara sederhana antara teman dan kerabat dekat, sehabis meniup lilin angka itu, ada tamu yang datang terlambat. Lelaki yang aku kenal akrab ini masuk dengan menutup wajahnya. Bukan karena apa, tapi karena hadiah yang dia bawa. Megah dan besarnya buket bunga Aster merah muda.
Lelaki ini memunculkan wajahnya di sudut buket itu. Senyum yang kalem dan segar itu membuatku terpesona dari awal kami bertemu sampai sekarang.
Semua terdiam di tengah-tengah lelaki ini melangkahkan kakinya mendekat.
“Aku tidak akan meminta untuk punya hubungan lebih. Belum,” dia meraih tanganku dan membimbingnya memeluk buket itu, “Aku mau kamu menunggu. Sampai aku bisa jadi pasangan yang sempurna untukmu.”
Mata coklat lelaki yang aku suka itu menghipnotisku.
“Jangan lupa, aku menyukaimu.”
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
Hari yang terik menyilaukan mata terus berlanjut. Di usiaku yang ke sudah enam belas tahun, matahari masih saja menjadi misteri. Siapa yang tahu hari ini ia akan bersinar, atau tertutupi kapas-kapas kelabu yang menangis. Ramalan cuaca pun tidak bisa sepenuhnya benar.
Pemikiran apa ini? Bukannya kedamaian ini yang aku mau?
Ya~ Aku akan mengikuti saja arah angin yang menentukan mendung atau hari cerah itu.
Sekarang….
Wanita ‘berpunuk’ di kepalanya ini mengambil satu persatu lembar kertas yang sudah didiskusikan.
Guru ini merapikan tumpukan kertas penting, mengetukkan ujung bawahnya ke meja yang diletakkan di antara aku dan beliau, “Nah. Sudah selesai, pak. Rasyiqa-nya sudah bisa langsung ke kelas.”
Ha, ha…, kembali lagi aku di posisi ini.
“Kalau bapak punya pertanyaan langsung saja hubungi saya di nomor sebelumnya,” ia berdiri dari duduknya, “Ayo, biar Rasyiqa ibu antar.”
Hah. Apakah memang dua tahun rehabilitasi penuh, untuk menangani Agoraphobia yang aku alami, tidak akan cukup? Sepertinya otakku sudah di program sedemikian rupa untuk takut akan hal itu.
Tidak! Masa kamu termakan gemetar ini, sih?! Nanti tidak ada habisnya! Jangan terpedaya… tapi~!
Pria ini mengarahkan bola matanya ke arahku, “Kenapa? Mau papa antar juga⏤”
“Tidak~” aku langsung berdiri mengaitkan tali tas ransel di kedua pundakku, “Sampai jumpa nanti, papa~”
Dia pasti mau membuatku malu. Bukan hanya karena seakan aku perlu pengawal walau cuma pergi ke kelas, tapi aku seperti membawa megaphone dan mengumumkan kehadiranku pada orang-orang. Wajahnya itu, bagaimana bisa tidak menarik perhatian?
No no no! Aku hanya mau sekolah yang tenang tanpa gosip! Lagi pula, walau fisikku belum dewasa tapi aku sudah kepala empat….
Kenapa aku harus mengingat hal itu lagi? Aku masih muda! Muda!!
Yang terpenting bukan itu! Ini kehidupanku yang kedua kalinya. Diriku diberkati dengan kesempatan bereinkarnasi. Tidak ada yang perlu aku takuti!
“Selamat bersenang-senang,” pria ini hanya memiringkan kepala sambil tersenyum tipis dan manis.
Papa malahan mengatakan hal yang sama dengan debutku di SMP dulu.
Rizki memang mengatakan kalau sudah waktunya aku mulai menormalkan keseharianku. Belakangan ini memang diriku dan lingkungan terasa tenang. Layaknya dia memang ingin sekali aku merasa senang dan damai di dunia yang sering kali kejam ini.
“Rasyiqa pernah sekolah di sebelah kan? Berarti pernah dong sekali dua kali kemari.”
Ups! Seharusnya aku tidak melamun begini! Aku kan sedang berjalan ke kelas bersama guru tadi.
“Iya, bu. Sekali-sekali saya ke kelasnya kak Fares,” atau hanya sekedar mengganggu para kucing.
“Gimana kabar Fares?”
Basa-basi ini pasti akan berkutak disana-sana saja. Hanya karena papa menghubungi sekolah atas nama Fares, semua guru disini jadi tahunya aku kenalan Fares. Kepribadianku terkikis.
“Kak Fares masih kuliah di dekat sini. Ambil jurusan hukum,” aku tersenyum seramah mungkin.
“Kalau Rasyiqa? Sudah ada rencana mau lanjut ke mana?”
Aduh bu~ Rasyiqa ini masih kelas sebelas alias kelas dua SMA. Belum juga masuk kelas. Sudah ke sana saja basa-basinya.
“Saya masih belum yakin bu. Maunya sih jadi akuntan,” ya, seperti di kehidupanku yang pertama dulu, “Tapi belakangan ini saya juga tertarik sama DKV*,” itu mungkin karena aku dapat bakat menggambar entah dari mana. Padahal di kehidupanku dulu aku tidak bisa.
“Wah, semoga bisa pilih yang paling cocok ya,” Iya bu, iya…, “Nah, ini kelasnya Rasyiqa. Langsung masuk saja.”
“Iya bu, terima kasih,” aku melepas pergi guru ini.
Hah, sekarang aku harus bisa menghadapi sendiri.
Memang sangat menguntungkan datang di tengah jam pelajaran pertama. Semua murid pasti sedang disibukkan dengan kelas mereka.
Walaupun ada jam kosong, aku yakin sistemnya sama dengan SMP-ku dulu. Guru lain akan masuk atau sekedar diberi latihan. Kurasa itulah yang menguntungkan di sekolah unggulan. Terlalu baik di sisi pendidikannya sampai aku yakin ada sebagian murid yang mengeluh.
Ayolah, Rasyi! Jangan memikirkan hal lain! Fokus pada apa yang ada di depan!
“Rasyi?” hmm? “Kok tidak masuk-masuk?”
Harun?
Duh! Jangan melamun! Bukan saatnya berfantasi ria!
“Tidak~ Aku cuma tegang,” kaku gerak tubuhku melepaskan sepatu di barisan penuh sepatu.
“Jangan takut,” senyumnya lagi-lagi mencerahkan hari kemarau yang terik, “Yuk, masuk bareng aku,” dia keluar dan mendekatiku.
Baik!
Aku mulai melangkah mendekat dengan kaos kaki putih beralas hitam yang aku kenakan, “Tapi di kelas tidak ada pelajaran?”
“Gurunya tidak datang hari ini. Jadi kami disuruh kerjakan latihan soal.”
“Hmm~” seperti yang baru saja aku pikirkan.
Aku berhasil menyamakan langkahnya yang menemaniku untuk masuk ke dalam kelas.
Oh iya, “Harun, katanya kan kelas kita⏤”
“SURPRISE!!!”
Waaa! Apa?! Kenapa?!!
“Rasyi~”
Loh? “Firna?” aku membalas pelukan tiba-tiba perempuan ini.
Mulutku terbuka lebar. Tercengang. Entah berapa orang banyaknya sudah berkumpul mengitari aku yang baru saja masuk ke kelas bersama Harun. Salah satunya membawa…, kue coklat?!
Tunggu! Ada angin apa sih?! Ulang tahunku kan sudah lewat!
“Wi~ Akhirnya bisa sekelas sama Rasyi lagi~”
“Rasyi makin cantik ya, hahaha.”
“Rasyi~!”
Mereka kan…. Benar juga! Mereka semua teman-temanku yang sekelas denganku di SMP dulu. Walaupun hanya sebagian kecil saja dari seluruh kelas yang penuh, tapi mereka di sini.
“Ini kue selamat datangnya~”
Eh?
Salah satu dari mereka menyalakan korek dan mendekatkannya ke ujung lilin spiral yang tertancap di cake penuh lapisan coklat.
“Tiup! Tiup!” senang wajah Firna masih memeluk pinggang di samping aku berdiri.
Mereka semua sweet sekali~
Benar-benar aku dibuat tidak bisa berkata apapun. Malu dan bersemangat menjalar begitu saja. Tidak bisa aku tahan keinginanku untuk meniupnya. Walaupun lucu meniup lilin di hari yang bukan ulang tahunku, hihihi.
“Fuuh!” kutiup satu lilin itu disusul sorak-sorai semua yang berkumpul, “BTW, kok kalian tahu aku masuk kelas sini?”
“Siapa lagi? Pacarmu yang beritahu~”
Pa, pa pa, pacar?! “Kami tidak pacaran!!” duh! Aku yakin mukaku memerah sekarang!
“Belum saja~”
“Dia malu.”
“Sudah ah!” Firna akhirnya bisa peka, “Ayo potong kuenya!”
Keributan mereka setidaknya beralih ke kue coklat yang tampak mahal tadi.
Aku menggerakkan bola mataku, melirik ke arah lelaki yang sempat dibahas⏤mata kami saling bertemu?!
Malu rasanya sampai aku menghempas pandanganku berlawanan. Saat-saat jantungku berlari seperti ini kembali mengingatkanku akan perayaan ulang tahunku waktu itu. Tentu saja mereka yang sudah tahu kejadian itu akan menganggap kami berpacaran.
Padahal Harun tidak pernah menembak.
Oh?
Lagi pandanganku menatapnya, tak peduli lagi dengan tatapannya lelaki yang masih menatapku itu. Diri ini masih disibukkan dengan pikiranku yang baru saja terpintas.
Kenapa waktu itu Harun hanya mengatakan perasaannya padaku? Kenapa dia tidak mau langsung punya hubungan lebih?
Apa yang dia tunggu?
^^^*DKV (Desain Komunikasi Visual) : cabang ilmu desain yang mempelajari penyampaian komunikasi dengan cara yang visual atau rupa.^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
Tiana
mampir
2023-09-05
0