Aku mengenal papa sebagai dokter yang jenius. Bahkan saat aku berumur delapan bulan dengan lidah berbahasa indonesia ala dinosaurus, ia bisa paham apa yang aku bicarakan.
Ia bisa duga kalau aku suka dengan Harun tanpa kuberitahu.
Tragedi itu sudah lama terjadi. Aku yakin, Harun pun masih ingat dengan pernyataanku yang tidak langsung itu.
Ya, papa terang-terangan bilang kalau aku menyukai Harun.
“Rasyi~ PR biologi sini.”
Tanganku sibuk menyikut meja menahan dagu. Buku yang sudah aku siapkan sedari tadi langsung kuserahkan ke arah siapapun itu.
“Mikirin apa, si princess?”
“Serius amat.”
Huh, para lelaki baru gede ini malah mendatangiku dengan gombalannya.
Bicara aku tanpa melihat sumber suara, “Pikirin Harun.”
Aku tidak bisa berhenti menggalau. Otakku berputar-putar pada pertanyaan kenapa dan kenapa.
Harun sudah mengatakan perasaannya padaku. Ia juga sudah tahu kalau aku juga menyukainya. Namun, semuanya seakan bukan apa-apa. Kami menjalani kebersamaan selama dua tahun ini layaknya kami teman biasa.
Lelaki itu bukan sedang ragu denganku atau apapun, bukan? Bila dia ragu, dia akan berpikir dua kali untuk menyatakan perasaan pada perempuan yang suka dengannya.
Katanya waktu itu, ia ingin menyiakan diri untuk menjadi pasangan yang sempurna.
Akan tetapi, butuh waktu sepanjang ini? Sempurna seperti apa yang ia maksud untuk capai?
“Cie~”
“Rasyi bisa begitu ternyata!”
“Tidak ada harapan buat aku ya?”
Apa? Kenapa?
Sesaat aku merasakan kedua ujung besi bertegangan tinggi saling bertemu, menunjukkan aliran listrik yang jelas di saraf kesadaranku.
(“Pikirin Harun.”)
Aku berdiri dengan wajah yang aku yakini memerah, “I, itu, maksudnya, aku⏤bukan begitu.”
Bagaimana bisa tadi aku gamblang sekali?! Harun dan aku kan tidak punya hubungan apapun!
“Jangan malu~ Kamu sama Harun cocok kok!”
“Huh, aku tidak restui.”
“Menyerah saja kamu. Rasyi udah sama Harun.”
Jantungku, kacau! “Bukan, Harun itu…!”
“Kenapa denganku?” suara ini… aku menatapnya selagi matanya berkedip, “Rasyi panggil aku?”
Aaaaargh! “Itu aku, tuh…,” Muka ini pasti sudah terpanggang sekarang! “Jangan dibahas~!”
Puaskan saja tawa kalian! Tahu kok, saat salah tingkah pun aku masih manis dan menggemaskan.
Mulutku sudah memanjang dengan kesalnya. Sabarlah jantungku, mereka hanya mau iseng denganmu.
“Ya sudah. Kalian mau ke kantin? Mumpung masih sepi,” untunglah Harun berhati baik mengalihkan gangguan mereka, “Atau mau titip?”
“Traktir?”
Harun tersenyum lebih lebar, “Ogah~”
“Pelitnya~”
Suasana akhirnya kembali normal. Namun aku tidak tahu seberapa merah masih pipiku. Aku hanya berharap Harun tidak tahu dan tidak bertanya apapun.
Harun kembali menatapku, “Rasyi mau titip juga?”
“Oh? Emm…,” Rasyi, berpikirlah normal!
“Cie, salting~”
“Harun tidak gigit, Rasyi.”
“Berisik!” aku memanyunkan kembali bibirku.
Siapa yang aku bohongi?! Tentu Harun sudah tahu kalau seisi kelas menjodohkan aku dengannya. Rasanya seperti dikelilingi puluhan orang papa yang sengaja keceplosan di depan Harun! Aaaaaa!
“Roti coklat gimana?” Harun kembali menenangkan suasana.
Aku harus menjawabnya! Tenang, jantung! “Iya.”
“Oke~” lelaki ramah ini melangkah pergi setelah menerima banyak titipan.
Mengingat wajah yang tersenyum itu… kebingunganku merajalela! Rasa galau ini menerkamku semakin dalam!
Sudahlah!
Daripada menggalau tanpa ujung, aku fokus pada rencana kehidupan normal anak sekolahan saja! Mana kita tahu apa yang akan terjadi kan?
Namun, Rasyi adalah kurungan rumah. Bertemu matahari hanya untuk berangkat, belajar dan pulang. Sebelum ini justru aku sekolah privat. Pengalaman sekolah sekedar taman kanak-kanak dan satu semester di SMP.
Memang mencari teman hidup yang ideal itu penting, tapi aku kan juga harus memuaskan hidupku!
Lalu apa yang bisa aku lakukan? Tiga hari berlalu dan aku masih ‘kasat mata’.
“Dengar tidak, ekskul basket? Si duo pembuat onar buat rusuh lagi!”
“Ekskul kamu sendiri dong.”
“Kenapa lagi, senior tim basket~?”
“Mereka ya diminta tolong baik-baik. Malah nyolot!”
“Oh iya,” Firna bertanya dan memecahkan lamunanku, “Rasyi tidak ikut ekskul?”
Ekskul?
“Kalau Rasyi pasti ikut ekskul gambar tidak sih?”
“Tapi kan Harun ikut sains. Tidak ke sana?”
Ekskul? Benar juga.
Rasyi maupun diriku di kehidupanku sebelumnya tidak pernah ikut ekskul. Kerjaanku itu belajar, belajar, belajar.
Apalagi waktu itu aku harus fokus mempertahankan nilai yang pas-pasan untuk beasiswa. Mana ada namanya orang penanggung biaya ke sekolah yang populer. Hanya dariku dan untukku.
Sekarang, aku bisa lebih santai. Papa kan jenius yang kaya. Tentu saja aku akan membebaskan diri!
“Ekskul di sini apa saja?” aku mulai mengintrogasi.
“Banyak sih. Aku juga gak ingat.”
Oh, sepertinya aku tidak perlu khawatir tidak bisa menemukan apa yang mau aku ikuti. Aku memang mendengar kalau sekolah ini difavoritkan karena tidak hanya akademik, tapi juga minat masing-masing murid dikembangkan dengan baik.
Kak Fares bilang sekolah ini dapat dukungan banyak dari para alumni. Mereka kebanyakan sudah sukses di bidang-bidang ekskul di sekolah ini. Jadi lebih mudah untuk mendapatkan sarana dan prasarana yang memadai.
Ya, tetap saja nilai itu penting untuk masuk ke sekolah full day* ini. Untungnya papa adalah guru privat yang baik.
“Hmm…,” salah satu temanku ini memainkan jarinya dan menghitung, “Paskibra, PMR, paduan suara, teater, dance, tari tradisional, english debate, menggambar, Sains club…, apa lagi?”
“Musik! Aku dari sana wee.”
Firna ikut mencoba mengingat, “Yang baru, fotografi.”
Ternyata masih berkembang ya. Kebanyakan yang kudengar, ekskul banyak yang dihentikan dan bisa jadi digabungkan dengan lainnya. Namun disini malah semakin banyak.
“Yang olahraga. Basket, bulu tangkis, atletik, sepak bola.”
“Ekskulnya Tiara, yang keterampilan itu.”
“Baru-baru juga ada club matematika kan? Katanya kalau itu jadi, bu Sarah juga mau rekomen buat ekskul bahasa Jerman.”
“Coba ada bahasa korea. Pasti aku ikut!”
Duh. Banyaknya tidak ketolongan. Kalau seperti ini sih, bisa kembung.
Firna kembali memandang ke arah aku yang masih kebingungan, “Rasyi mau ikut apa?”
Ya sudah! Aku akan pilih banyak!!
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
“Terus aku juga mau coba ikut paduan suara. Kata Firna itu asyik walau tidak bisa menyanyi,” aku memainkan bando manis yang ingin kupakai.
“Hmm,” papa masih sibuk memainkan rambutku sesuai permintaanku.
Kudekatkan bando itu ke bibirku, seakan menciumnya, “Rasyi juga mau ikut teater,” aktingku kan lumayan~
Papa tidak berkata apapun selain gerakan tangannya yang masih cekatan. Apa jangan-jangan akhirnya dia bisa bersikap overprotective layaknya sang ayah pada putri tunggalnya?
Kubuka lagi mulutku, “Tidak boleh?”
Nafas papa seakan berat, “Jadi papa jemput jam berapa?”
Oh iya ya. Karena aku mau ikut banyak ekskul, berarti aku sering pulang lebih sore. Biasanya sekolah pulang jam dua. Lalu ada dua jam yang disediakan untuk ekskul.
Berarti, “Selasa jam dua. Senin paduan suara. Rabu english debate. Kamis juga ekskul gambar… bisa jadi jam empat. Jumat ada kelas habis jumatan, pulang jam tiga. Terus ada teater dan Sains club di Sabtu sore jam tiga-an, selesainya jam enam.”
Tangan papa meraih bandoku. Ia memakaikan bando itu di atas rambutku yang sudah dibuat ekor kuda.
“Selesai.”
“Makasih papa~” aku menatapnya, berpikir sejenak, “Tidak boleh ya Rasyi ikut banyak ekskul?”
“Asalkan jangan menyesal kalau sampai sakit nanti.”
Iya! Aku tidak akan merepotkanmu, papaku tercinta yang jahat. Rasyi paham kamu tidak peduli akan apapun selama tidak diimbaskan.
Yah, kusyukuri jalan pikiran papa ini, “Tenang~ Rasyi tidak sakit semudah itu.”
^^^*Full day: sistem *** (Kegiatan Belajar Mengajar) sekolah dengan 8 jam per hari dari Senin sampai Jum’at, dengan berbagai ketentuan dan keputusan di masing-masing sekolah.^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments
A̳̿y̳̿y̳̿a̳̿ C̳̿a̳̿h̳̿y̳̿a̳̿
aku mampir thor💙
2022-10-18
0