Satu orang digenggam kerahnya oleh kakak kelas dan satu orang lagi berusaha melindungi temannya. Orang-orang di sekitar tak tahu menahu bermain mata layaknya di bioskop.
Aku hanya ingat dua nama. Sagara Sovian. Dua dari tiga pelaku perkelahian itu.
Diri ini hanya punya satu harapan. Harapan agar aku tidak pernah mendengar nama mereka. Menganggapnya hanya plat nomor kendaraan yang lalu dari jalan yang bernama 'pembicaraan orang tua'.
[“Sudah! Selesai bertengkarnya! Bubar semua!”]
Pengeras suara?
“Oh, mulai kondusif,” Firna mengingatkanku pada situasi.
Guru-guru sepertinya sudah turun tangan membereskan kerusuhan yang sekiranya membiarkan lebih dari setengah sekolah teralihkan. Syukurlah mereka berhasil menenangkan ketiga orang rusuh itu. Aku bisa melanjutkan aktingku dalam ketidaktahuan.
Tidak kenal~ Tidak tahu~ Tidak peduli~
[“Yang masih ngumpul, jalan ke lapangan! Upacara mau dimulai!”]
Wah, guru sampai harus bawa-bawa pengeras suara kelas seperti ini~
Harun menepuk pundakku, “Kita juga pergi yuk.”
“Iya, oh!” aku lupa topiku, “Aku ambil topi dulu. Topi kalian dimana? Biar aku ambilkan.”
“Aku sudah bawa kok,” Firna menunjukkan topinya.
Harun menunjukkan topinya, “Aku juga~”
Mereka ini ya. Seharusnya suruh aku bawa juga sebelum aku diajak menjauhi kelas, “Aku ambil punyaku dulu. Tunggu~” aku kembali melangkah ke dalam kelas dan mengambil apa yang perlu aku ambil.
Beberapa puluh langkah aku berhasil mencapai pintu itu. Terlihat banyak orang yang sudah mulai menginjakkan kakinya keluar. Langkahku yang berlawanan dengan mereka beberapa kali dipertanyakan oleh mereka.
Kelas yang sepi dan tanganku akhirnya bisa sampai di mejaku.
Lemasnya topi abu-abu itu aku tapikan lagi. Menyiapkannya untuk dikenakan. Selagi kaki masih tidak berhenti, mengambil langkah ke jalan sebelumnya seperti memutar mundur jejakku sendiri.
Aku membawa turun lebih dalam cape depan topi itu.
“Haah?”
Hmm? Loh? Ada orang di depanku. Untung saja tidak tertabrak... loh?! Bukannya mereka si Sagara dan Sovian?!
“Kenapa nih cewek?”
Ingat Rasyi, kau tidak kenal mereka~ “Maaf, itu...”
Mereka berdua terlihat mirip dengan paman kemarin. Bahkan, mereka berdua terlihat sangat mirip satu sama lain. Ya, mereka saudaraan sih. Namun, wajah mereka. Tidak. Bukan layaknya tampan yang aku maksud, lebih ke arah imut? Keduanya?
“Apa, hah?!”
Gila! Keras banget! “Hmm, tidak⏤” Eh?! “Kamu tidak apa? Muka kamu, luka.”
Benar juga. Mereka kan habis berkelahi.
Ini nih! Kelemahanku. Di zaman Sekar dulu, saat aku bertemu papa pertama kali, kekhawatiran inilah yang membawaku terikut dalam masalah.
Tetap saja!!
Aku mendekati kedua lelaki yang lebih tinggi ini, “Kita ke UKS saja bagaimana? Temanku ada di sana kok, jadi aku bisa antar⏤”
“Jangan tebar pesona deh.”
Hah?
“Tidak perlu susah-susah. Kami tidak akan mau kok.”
“Dia tertarik sama kamu, kali~”
“Yang kelahi kan kamu, berarti tertariknya sama kamu dong.”
Aaah…, apa?
“Tidak ada yang tertarik dengan kalian berdua!” hmm? Harun?
Ia mendekat kemari. Firna juga sepertinya ikut. Apa jangan-jangan mereka mendengar apa pembicaraan kami?
Salah satu dari mereka memainkan alisnya, “Eh, sudah punya pacar tuh.”
“Punya pacar kok malah godain orang.”
Pa, pa, pacar?! Mereka kok tiba\=tiba membahas itu sih?! “Bukan!!”
Kenapa jadinya seperti ini? Anak-anak kurang ajar ini malah meludahi kebaikanku. Salah apa sih aku sampai dikerjai seperti ini. Tidak enaknya mereka memakai bahasan yang masih sensitif untuk hatiku. Wajahku sampai memanas seperti ini kan!
“Abang~ Yang duluan ajak kenalan itu pacar kamu. Kami tidak apa-apain.”
Mananya?! Kita kan tidak sengaja bertemu di depan kelas!
Sabar, Rasyi. Kamu yang dewasa di sini. Mungkin saja anak-anak manis ini sedang emosian sehabis berkelahi. Tentu saja mereka sedang darah tinggi. Aku yang harus mengalah.
“Pantas saja kalau kakak tadi marah, sama kakak kelas saja begini,” Harun sampai tampak jijik begitu.
“Sudah, Harun,” aku menahan satu pergelangan tangan Harun, “Mereka cuma merasa terganggu soalnya aku tiba-tiba keluar kelas.”
Harun menatapku sedih. Dia tahu kan kalau memang yang kita lakukan saat ini bisa saja membuat mood mereka bertambah buruk? Tentu saja senior harus bisa mengalah juga dong.
“Elaah~ Pacarnya sudah tidak bisa melawan~”
“Diam deh dia jadinya~”
Aduh. Mereka memang tidak berteriak-teriak dan langsung melemparkan sarung tangan mereka*, tapi Harun juga punya tali kesabaran yang pendek.
Iiih!! Ini masalah!
“Wah,” Firna mendekat ke arahku dan berbisik, “Si kembar ini lebih menjengkelkan daripada yang aku dengar.”
Kembar? Mereka kembar? Itu menjelaskan kemiripan kedua orang ini.
Tunggu! Bukan itu yang penting sekarang!
“Harun, kamu ke lapangan dulu saja ya. Aku bareng Firna saja dulu ke UKS antarin mereka,” aku tersenyum berharap Firna paham, “Ya kan, Fir?”
Dia terdiam sejenak. Ayolah Firna! “Oh, iya. Tenang saja, aku temani kok.” Nice!
“Tidak bisa!” dia sudah terlanjur marah, “Walau paman Rizki meminta langsung ke Rasyi untuk temani mereka, maaf saja aku harus menentang papamu.”
“Paman Rizki?”
“Rasyi?”
Kenapa? Mereka seakan tertarik akan sesuatu.
“Mau apa kalian?” duh, Harun sudah tidak bisa lembut sama sekali.
Ada apa lagi nih satu anak? Kenapa dia malah mendekatiku?
Harun menahan pundaknya, “Hei⏤”
“Kamu, anaknya dokter Rizki Wirandi?”
Hm? Dia kenal papa?
“Pantas saja kayak pernah lihat mukamu.”
“Cantik sih. Sama kayak dokter Rizki, ya?”
Duh, duh. Tolong jangan dekat-dekat.
“Jangan belagu,” Harun dengan kesalnya mendorong mereka menjauh dariku.
Aku menahan Harun dengan mencubit kecil kemeja seragamnya. Sesaat aku punya harapan walau hanya sebesar biji jagung. Sangat memudahkan kalau mereka salah satu dari banyaknya orang yang selalu sungkan dengan papa.
Heh? Mereka tersenyum. Bukan hal yang menyenangkan. Senyum mereka itu disebut sebagai senyum licik penjahat.
Aku kok jadi merinding?!
“Menarik nih~”
“Menurutmu dia bisa sabar sampai kapan? Mau taruhan?”
Kenapa mereka malah diskusi sendiri?! Apanya yang menarik?! Taruhan apa?!!
“Oi! Pendek!”
Eh?!
“Otakmu encer kayak dokter Rizki, tidak?”
“Kayaknya tidak deh. Badannya saja cebol begitu. Otaknya bisa saja menyusup.”
“Tapi kan gampang kalau mau operasi gara-gara ‘papanya~’ itu dokter.”
“Mana ada operasi otak. Yang ada tambah pendek.”
Mereka… mau apa sih?
“Kalian!” tidak! Jangan Harun! Stop!
Tuh kan! Seharusnya aku tidak berurusan dengan mereka dan menganggap mereka orang asing! Diriku di beberapa detik yang lalu seharusnya paham dan tidak mencoba-coba untuk simpati!
Di keterlambatan ini Harun tidak akan bertahan. Bahkan dengan menahan tubuh Harun seperti ini tidak akan memperbaiki keadaan.
Sungguh ini masalah!
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
Bagaimana bisa dia berdiri di depanku sekarang?
(“Rasyiqa-ku yang manis~”)
Tidak. Dia kan sudah dipidana. Mustahil sudah untuk bisa bertatap muka dengannya lagi.
(“Cucuku memang lucu ya~”)
Papa sudah memastikannya untuk dua tahun ini! Sisa-sisa mereka sudah punah!
Kamu tidak seharusnya ada di sini!
Tolong jangan lempar aku kembali ke saat i... itu... lagi-lagi aku berpindah tempat? Rumah ini, aku di rumah antik itu kan?
Jangan….
Langsung aku merikuk dan menyembunyikan wajahku. Menghalangi kedua telingaku dan menutup tirai kelopak mataku. Aku tidak mau menyaksikannya lagi! Tolong bawa aku keluar dari tempat ini.
(“Kamu masih berani di depanku ya?”)
Tidak!
(“Berisik!”)
Jangan!!
(“Rasyiqa pasti menurut ke kakek kan?”)
(“Rasyiqa!”)
(“Dengarkan kakek, paham?”)
Jangan bawa aku!
PERGI⏤
“Hah!” air mataku yang basah menyeruak saat aku membukanya.
Nafasku yang tidak karuan padahal aku tidak sedang berolahraga atau semacamnya.
Bahkan aku merasakan permukaan lembut yang menyangga tubuhku di posisi berbaring. Gelap ruangan yang sempat membuatku lupa aku ada dimana, jelas kalau ini sedang bukan siang hari.
Mimpi itu lagi.
^^^*Melempar sarung tangan ke seseorang dianggap menantang^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments