(“Tenang~ Rasyi tidak sakit semudah itu.”)
Wah, mulutku lebar sekali ya~
“Huk uhuk!”
Kalau aku bisa kembalikan waktu untuk satu minggu ke tempat aku mengatakan itu, aku akan mencubit ginjal diriku sendiri. Memastikan aku akan pergi ke toilet sebelum kalimat itu keluar dari mulutku.
“Menyesal sekarang?” papa ini semakin mendesakku sampai menghindari tatapannya saja tidak sanggup.
Iya deh, pa. Papa selalu benar. Jadi tolong bicaralah lebih lembut pada putri yang sedang sakit ini!
Papa meremas kain basah dan meletakkannya kembali ke keningku, “Habis sembuh, minta izin sama guru pembimbing ekskul-nya.”
“Kenapa?”
“Karena tidak bisa ikuti lagi.”
Lah?! “Kenapa⏤uhuk huk!”
“Hmm, siapa suruh juga teriak-teriak.”
Iih! Iblis ini!
Bibirku memanyun panjang, “Tapi Rasyi tetap mau ikut.”
Papa menghela nafas, “Ikut saja semua ekskul-nya, biar tidak sekolah sekalian.”
Aku tahu aku menjadi anak durhaka yang tidak mau mendengarkan… peringatannya orang tua. Begitulah bentuk kekhawatiran Rizki.
Ia tahu aku tidak akan baik-baik saja kalau aku menekan diriku lebih padat. Seumur hidupku habis di dalam rumah tanpa perlu bekerja keras. Plus kondisi tubuh ini yang terbilang lebih lemah karena prematur dua bule lebih cepat.
Aku tahu.
Namun tetap saja, tidak bisakah anda tidak mengomeli aku seperti ini?!
Lebih merengut aku dibuatnya, “Masa Rasyi menganggur di sekolah?”
Ia memandangku dengan lekad. Terdiam seakan memikirkan sesuatu sebelum membuka mulutnya.
“Dua. Maksimal,” mata itu menyipit sendu, “Hari ini izin saja. Yang penting sembuh dulu.”
“Ya…, Rasyi tidak bisa ikut paduan suara dong.”
“Telinga orang bisa sakit dengerin suara Rasyi sekarang,” gila! Mukanya mengesalkan sekali!! “Rasyi sekolah untuk tambah ilmu, bukan tambah sakit.”
Iya papa. Wahai dinosaurus penjaga gunung es! Rasyi paham!
“Nih,” papa mengulurkan sebuah buku.
Kalau aku ingat-ingat, dia juga membawa buku ini selagi dia membawa obat untukku. Aku berusaha duduk meski dengan bantalan yang menumpuk empuk di belakang punggung. Rizki dengan tanggapnya mengambil kain dari keningku.
Tanganku meraihnya dengan rasa ingin tahuku, “Album foto?”
“Ini buku album Nisa,” Mama? “Sekarang jangan merengek bilang bosan.”
Wah. Setidaknya papa tahu betul seperti apa anak putrinya ini.
“Lihat-lihat saja itu sambil istirahat⏤”
Kaget!
“Papa tinggal.”
Aku menyentuh keningku yang baru saja diberi kecupan oleh sang papa ini, “Iya.”
Senyum manis yang masih saja jarang terlihat itu mengantarkannya keluar kamarku. Tidak sejarang itu. Meski waktunya acak, dia tidak ragu untuk mendekatkan bibirnya di keningku.
Hihi, kurasa bagian itulah darinya yang bisa dilihat sebagai seorang ayah.
Baiklah! Apa yang mama pajang di buku album ini?
Oh! “Manisnya~”
Foto papa dan mama sedang bercanda. Papa⏤eh?! Papa habis didandani mama! Aku berusaha untuk menahan tawa sekuat mungkin, sebelum papa itu masuk dan menghilangkan bukti memalukan ini.
Lembar-lembar foto ini menggambarkan keseharian yang sederhana. Namun pengalaman ini sangat indah. Hal yang tidak teratur dijadikan satu dalam satu buku kenangan. Jangan sampai basah atau apapun, buku album ini pasti sangat berharga untuk papa.
Oh! Ini foto kelahiran! Ada tanggal dan tahunnya… berarti ini kelahirannya Riza!
Mereka terlihat bahagia sekali.
Kusandarkan kepalaku lebih ke dalam tumpukan bantalan di belakangku, “Apa jadinya ya kalau mereka masih di sini?”
Yang pasti rumah ini tidak akan pernah sunyi. Dibandingkan dipenuhi oleh asisten rumah tangga, rasanya pasti berbeda kalau satu rumah dipenuhi keluarga sendiri.
Kakak laki-laki yang pasti akan melindungiku. Sosok mama yang selalu menemani dan mengajariku berbagai hal feminim.
Dan mungkin papa bisa tersenyum lebih banyak.
Tidak! “Papa sih pasti begitu-begitu saja,” aku menggerutu kesal.
Hah, sungguh. Tragedi itu banyak sekali yang harus dikorbankan.
Kalau kamarku yang sempat terbakar kemarin sih tidak masalah. Bahkan bisa dibuat lebih baik dengan ditambah jendela. Uang papa kan banyak. Namun, uang tidak bisa mengembalikan semuanya.
Jangan! Jangan pikirkan yang aneh-aneh!
Dirimu sendiri kan tahu betul apa yang terjadi. Semua itu yang terbaik dan memang tidak ada cara lain sebaik ini.
Tindakan yang diambil Rizki tidak salah.
“Aaa!” kaget lagi! Tolong ponselku tercinta! Rasyi ini sedang sakit!
Chat masuk? Harun?
[Rasyi dimana? Sudah mulai upacara nih.]
Oh iya, aku belum bilang Harun karena aku sudah mulai sakit kemarin malam.
“Aku… demam. Mungkin nanti… papa antar… suratnya….” jariku mengetik kalimat sesuai dengan yang aku katakan.
Hiks. Sedihnya aku tidak bisa sekolah. Bukan karena tidak bisa belajar, tapi aku tidak bisa bertemu pasangan idamanku itu. Mau bagaimana lagi kalau sikap lembutnya seperti narkoba. Terlalu mudah untuk dirindukan.
Dia jawab!
[Parah tidak? Kata paman Rizki gimana?]
Khawatir ya? Jawabanku harus membuatnya tenang, “Panasnya sudah mulai turun kok. Cuma papa suruh untuk istirahat saja hari ini.”
[Kan sudah aku bilang kalau kamu kebanyakan ambil ekskul.]
Harun mau mengomeli aku juga hari ini? “Yang Harun bilang mirip banget sama papa, iih!” kuketik lagi dengan kesalnya.
[Rasyi kalau tidak dimarahi, tidak mau mendengar kan?]
Dia membuatku speechless! Bukan karena tepat sasaran, tapi karena aku baru sadar seperti itulah Harun memandangku.
Malu-maluin!
[Tidak papa kan? Minum obat dulu terus langsung tidur lagi.]
Sepertinya wajahku kembali panas. Ini benar-benar membuatku malu. Dalam hal lain tentunya.
Aku kembali mengetik, “Iya~ Sudah minum obat kok. Tapi aku sedih tidak bisa makan kue coklat, hihihi.”
Rasyi ih! Bercanda saja!
Hmm? Langsung dijawab.
[Nanti aku jenguk deh. Bawa kue coklat. Tapi Rasyi harus istirahat banyak dulu, ya? :D]
Aduh… bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta dengan lelaki ini?
Kapan sih dia akan menembak aku? Sampai kapan aku harus menunggu? Jangan bilang dia yang menungguku untuk menembaknya duluan?!
Hah, sudah kangen saja rasanya. Mungkin ini karena aku semakin sering bertemu dengannya. Apalagi aku sudah lekat dengannya sejak umur tiga tahun.
Chat dari Harun lagi?
[Rasyi harus beneran tidur loh. Aku takut kamu tambah sakit. Jangan buat aku sedih :( ]
Aaaaaa!!
Kenapa dia bisa mengatakan⏤bukan…, mengetik kalimat yang segamblang ini?! Sweet sih, tapi aku kan malu!
Aaaaaaaaaaaaaaaa!!
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
“Rasyi tidak perlu bantuin kok,” Harun menahan tanganku yang ingin menyibukkan diri dengan kertas-kertas di depanku.
“Kan aku yang mau bantu. Aku juga sudah sembuh. Tidak perlu khawatir banget begitu.”
“Tapi setelah ini kamu ada ekskul gambar. Nanti kamu kecapekan.”
Aku memandang teman dari kecilku itu, “Lalu aku tidak boleh melakukan apapun, begitu maksudnya?”
“Itu lebih baik.”
Jangan dong!
Memangnya apa salahnya membantu Harun, yang banyak dipercayakan oleh guru, untuk mem-fotocopy beberapa dokumen? Tuh, hanya bolak-balik kertas yang sudah ada. Bukan menyalin satu persatu kok.
“Nanti aku marah loh,” aku merengut dan memamerkannya ke depan pandangannya.
Harun terkejut, “Hahahaha….”
“Jangan ketawa!”
“Maaf,” dia menutupi mulutnya dengan tangannya yang mengenyamping, “Ya sudah, aku kalah~”
Senyuman jahil itu sangat berbahaya untuk jantungku. Duh, tanganku jadi bergetar kan⏤aaa!!
“Rasyi!”
Tanganku berhasil mengamankan tumpukan kertas yang tersenggol karena aku. Kakiku sanggup menahan beban tubuhku sebelum jatuh.
“Aaa!” namun kipas anginnya… kipas angin?!
BHUS!!
Wah… salju kertas yang menambah kerjaan. Satu ruangan tata usaha yang khusus dikosongkan untuk para murid atau guru untuk menggandakan dokumen, penuh dengan kertas yang bertebangan. Rasa syukur yang muncul tidak tahu diri menyadari pintu yang tertutup.
Salah tingkah, aku menyalahkanmu⏤
“Hahahaha,” Harun? Tertawa.
Kalau dipikir pun, aku memang bertingkah lucu, “Hihihihi.”
Sudahlah. Yang seperti ini juga normal. Apapun yang terjadi, malu atau menjengkelkan, itu semua akan kuhargai seperti album foto mama.
Kekhawatiranku pada Harun juga bagian dari itu. Nikmati saja~!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments