“Kak Fares~!” aku melewati pintu sambil memberikan sentuhan akhir untuk rambut yang diikat ekor kuda, “Rasyi ikut kakak dong. Mau cepat, ada piket.”
“Boleh,” Fares sudah siap dengan ranselnya yang tampak ringan.
Sari mengulurkan aku kantong dengan kotak makan yang tidak aku duga, “Hati-hati ya.”
Padahal tidak perlu sebegininya juga. Tuh, papa juga tidak pernah pelit masalah uang pegangan sekolahku. Aku sampai bisa membeli makan untuk lima kali sehari.
“Ya sudah, yuk,” Fares mengelus kepalaku.
Iya, aku juga tidak tahu bagaimana cara menolaknya, “Makasih tante.”
Waktu tentu berjalan dan aku harus mengejarnya sebelum mereka melampaui yang bisa aku capai.
Aku hanya mengikuti langkah Fares yang tampak ahli dengan kendaraan laki berwarna cerah itu. Menungganginya sambil menyatukan dua tali pengaman helm. Kendaraan itu mulai melaju.
Waah. Sungguh rasanya rindu dengan suasana angin kencang di ujung telingaku. Papa tidak pernah berniat membeli kendaraan bermotor. Ia sudah cukup puas dengan mobilnya. Alhasil, angin yang menderu kencang di kulit wajah terasa sangat istimewa.
Uuuh! Jalan yang seharusnya lumayan panjang malahan seakan pendek saat aku ingin menikmatinya lebih lama.
“Helmnya sini,” Fares menangkap uluran tanganku yang memberikan pengaman kepala yang berat itu, “Rasyi butuh jemputan juga?”
“kakak tidak repot?” aku berniat untuk meminta anak kelas yang bersedia mengantarku. Mereka itu tipe orang yang mau saja kalau ditraktir minum. Namun kalau ada cara gratis....
“Ya kakak tidak mungkin sibuk 24/7*. Mungkin hari minggu baru repotnya.”
Kalau begitu, kak Fares saja deh, “Boleh deh, dijemput kakak.”
Ia tersenyum manis dengan wibawanya sebagai pria dewasa, “Oke.”
“Kak Fares!”
Suara ini. Mau atau tidak mau mengenal suara itu. Tubuhku langsung berada di posisi siaga. Ya, bersiap untuk berbagai serangan.
“Eh, kak Ra~syi~ ada di sini juga toh,” Sagara mulai lagi dengan akting bintang satu.
Bagaimana bisa bukan akting?! Lihat matanya yang kedutan itu. Anda sudah menahan stress anda dengan baik ya~
“Kita bareng ke kelas yuk, kak~” Sagara malah main pegang pundak.
“Mau kami bawain juga tasnya?” Sovian malah ikutan.
Tak mungkin ada orang yang percaya dengan akting kalian, tapi justru karena aneh akhirnya jadi terasa tidak bisa bereaksi apapun. Mereka berdua menyiapkan keadaan memang seperti ini ya?!
“Kalian mulai lagi kan?” hmm? Harun juga sudah sampai?
Dia tidak membawa tas. Berarti dia sudah datang dari tadi dong! Padahal serajin-rajinnya Harun, dia tidak pernah repot datang sepagi ini.
Plus, aku membiarkan macan tutul bertemu dengan hiu!
Harun muncul dengan wajah kesal yang tidak seharusnya menyambutku pagi ini, “Berhenti mengerjai Rasyi!”
“Mereka hanya menyapa kok, Harun,” Fares tampaknya paham akan situasi dan menuruni kendaraannya. Sepertinya ia ingin memulai kebiasaannya untuk mengelus kepala Harun, “Jangan terlalu tegang⏤”
PAK!
... kenapa Harun memukul tangan Fares lagi?
“Tidak kuliah?” Harun, memandang Fares dengan marah.
Kenapa situasi mereka berdua belakangan ini tegang? Bahkan aku sudah lama sekali dari terakhir kali aku melihat Harun menerima elusan kepala dari tangan Fares. Itu kan hanya sambutan kecil yang biasa dilakukan Fares sejak kami kecil.
“Aaa, kak Harun~” senyum apaan itu Sagara?!
Sovian merangkul Harun tanpa aba-aba⏤mereka mau apa?!
Harun dibuat tidak bernafas dengan gerakan tarik Sovian menjauh, “Mau kami antar ke kelas juga, kak?”
“Tidak⏤aaarg!” Harun tidak punya kesempatan untuk menolak.
Eee… mereka pergi...
Sampai jumpa di kelas Harun.
Hening kembali walau tidak hanya aku dan Fares saja yang berkeliaran di depan sekolah ini. Aku mulai sedikit khawatir dengannya.
Kukembalikan pandangan ke Fares. Rasa sakit seakan dia lemparkan bukan dari poker face itu, tapi dari ia memandangi tangan yang baru saja Harun pukul.
“Hmm, kak,” aku memanggilnya lembut.
Pundaknya tersentak. Ia akhirnya bisa memandangku, dan senyuman itu kembali diberikan padaku.
“Kenapa?” dia, bertingkah layaknya itu bukan apa-apa.
Aku yakin dia berbohong apalagi aku dan Harun sudah bagaikan adiknya sejak kami bahkan belum bisa membaca. Dari kebiasaannya selama ini saja aku tahu dia suka bertingkah seperti seorang kakak.
Sepertinya aku harus campur tangan akan sebelum masalahnya terkubur lebih lama.
Tubuhku mencondong ke arahnya, “Kak, kakak sama Harun ada kenapa sih?”
“Apanya?”
Sebenarnya apa sih yang kak Fares sembunyikan?
Tipis simpul di wajah itu mulai semakin mengganggu, “Harun cuma tidak suka lagi kakak anggap anak-anak. Itu reaksi wajar kan?” dia kembali lagi menaiki kendaraannya, “Biarin saja.”
Iya sih…. Aku rasa aku tidak pernah menduga Harun akan punya sisi yang pembangkang.
...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...
“Jadi, mohon kerja sama semuanya ya,” Firna melotot, “Jangan sok sibuk!”
Agustus ya? Tentu saja ada yang namanya 17-an. Padahal masih tanggal dua agustus, tapi anak-anak sudah mulai merapat dengan segala diskusinya.
Sekar dulu telah berkali-kali merayakan hari kemerdekaan nasional ini, tapi tidak pernah sampai terlalu ramai layaknya sekarang.
Membuat atribut handmade khas merah putih atau membagi⏤maksudnya menunjukku orang yang akan jadi perwakilan lomba. Itu semua hal biasa, tapi ternyata sekolah ini bahkan membuat festival dua hari penuh. Bahkan stand-stand dipersiapkan untuk saling menjual dagangan.
Ya pasti persiapannya panjang sekali dan butuh dana.
“Lokasi gimana?!”
“Rumah siapa lagi nih yang jadi korban?”
“Rumah Qun!!”
“Ogah!”
Wah. Jadi ribut. Pada akhirnya kericuhan sehabis sekolah tidak terhindari. Topik lokasi sangat menjadi masalah ya~
Yuk kita ber-kepo ria, “Memang di rumahnya si Qun ada apa? Kok dia marah-marah?”
Harun tersenyum aneh, “Dulu kami bikin cindramata gelang tali yang diikat-ikat. Ujungnya kan perlu dibakar pakai lilin. Ada kejadian lilinnya dimainin sama adeknya dan...,”
Maksudnya..., “Kebakaran? Adiknya kena?!”
“Nggak...,” Harun menggeleng pelan, “Tanaman ibunya Qun yang kebakar.”
Eh?
“Terus aku dengar katanya dia juga kena marah soalnya biarin adeknya main lilin. Ibunya Qun, ehem... tegas banget,” wajah Harun kembali asam.
Oke....
“Rumah Rasyi gimana?”
Hmm?
“Iya, Rasyi kan orang kaya~”
Situasi apa ini?
“Rasyi lagi tidak ada di rumah, sih...,” Firna tampak ragu.
“Rumahnya juga mayan jauh kan?”
“Gak papa kalau cuma di situ doang! Paling ngebut cuma tiga puluh menit.”
“Yang penting luas!”
Hmmmm..., “Seharusnya tidak masalah sih asal tidak rusuh....” tuh, papa dan dana tidak pernah menghalangi. Apalagi para bibi pasti akan standby di rumah, “Tapi aku harus izin papa dulu.”
“Nice!”
“Ya, sudah. Telpon!”
Hah? “Hari ini?”
“Kita mau mulai design-design dulu, Rasyi!”
Mereka kenapa semangat sekali sih?
Aku tahu secara tidak langsung diri ini menunjukkan hidupku sangat berkecukupan dari barang-barang kecil yang aku miliki. Namun, orang-orang ini semangat 45 atau hanya kepo dengan hal-hal milikku selain yang sudah kutunjukkan?
Lihat muka-muka itu. Semangat sekali~
Fuuuh..., agak susah juga ya.
Aku mengangkat ponselku dan mencari nama papa. Suara berdering itu terngiang dengan kelas yang saling terdiam hanya untuk menunggu konfirmasi sang pemilik rumah.
[“Halo?”]
Sepertinya papa sedang ada di jalan. Suara sibuk di perjalanan itu sangat terdengar, “Papa.”
[“Kenapa?”]
“Pa, kalau aku pakai rumah papa untuk kerja kelompok satu kelas gimana?”
[“Hmm?”]
“Kan ada 17-an. Bikin atribut segala macam. Buat basecamp~”
[“Kapan?”]
“Hari ini. Boleh tidak~?”
[“Iya, yang penting dibersihkan lagi. Kumpul di halaman belakang saja.”]
Wah, gampang sekali~ “Makasih papa~”
Panggilan tertutup dan aku menyadari semakin sepi dan fokusnya kelas ke arahku.
Nafas berat terhela panjang dari mulutku, “Dibolehin.”
“Yuk! Pergi guys!”
“Yang bawa kendaraan, kasih tebengan!!”
Tunggu, sekarang?!
“Aku mau pulang dulu! Share Loc ya!”
“Qun! Nebeng!!”
Harus kukabari dulu kak Fares kalau aku pindah lokasi jemputan.
^^^*24/7 -> 24 jam dalam 7 hari atau seminggu. Artinya terus menerus tanpa henti^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments