“Huh!” aku masih saja kesal.
Bagaimana aku tenang sekarang? Padahal kantin ini super ramai. Saat aku sudah menyiapkan diri, tidak ada tanda-tanda kambuh seperti di rumah sakit kemarin.
Lucu juga. Seharusnya aku senang kalau aku tidak kambuh. Kenapa aku malah mencari kesengsaraan?
“Nih,” Harun datang dari kerumunan dan membawakan segelas teh dengan rasa unik yang tertutup plastik di atasnya.
Kuterima dengan senang hati, “Terima kasih~”
Dia… tidak benar-benar memberikannya padaku. Tangannya masih saja menahan alas gelas yang basah karena es walau sudah kutahan dengan kedua tanganku.
Aku tidak berkata apapun saat dia mengulurkan sedotan plastik bening. Ia langsung menusuknya di plastik atas itu. Menekukkan leher sedotan itu dan mengarahkannya lurus ke mulutku.
Hah…, aku tidak kambuh, dia yang malah kambuh.
Rasyi sudah suka denganmu kok. Tidak perlu muluk-muluk semacam ini juga.
“Benar Rasyi tidak apa? Di sini ramai sekali nih,” wajah sedihnya terpampang jelas walau banyak orang lalu lalang yang menghalangi cahaya matahari.
Jari telunjuk mengarah ke wajahku sendiri, “Aku kelihatan kenapa-napa tidak?”
Dia tersenyum manis seperti biasanya, “Tidak.”
“Ya sudah~” entah kenapa aku ingin menyombongkannya lewat ekspresiku, “Ada lagi yang mau dibeli?”
“Tidak ada, ayo kita balik saja.”
Kalau dipikir-pikir, ada alasan kenapa aku bisa tenang walau layak mau diserang buldoser. Aku tahu kalau Harun ada dimana, dan dia akan kembali.
Di rumah sakit kemarin hanya aku yang harus mengangkut diriku sendiri.
Oh! Baru ingat! “Harun, kemarin papaku titip makasih sudah antarin aku.”
“Kalau begitu, aku titip salam juga. Anytime, paman.”
“Jangan begitu, nanti kamu beneran jadi ojekku setiap hari loh. Jadwal kerja papa dan jadwal aku pulang kan tidak selalu sama.”
Harun tertawa kecil, “Memangnya kenapa? It’s a pleasure~”
Lagi-lagi dia membuatku tidak bisa berkata-kata. Serangannya itu headshot dan mengurangi jangka hidupku! Malu dan senang yang mempermainkan jantungku.
Tenang, Rasyi~ Jalan saja pelan-pelan. Nikmati teh segarnya.
Eh? “Itu bukannya kak Ilham ya?”
Harun ikut melihat ke arah yang aku pandangi, “Iya.”
Aku melangkah mendekati sosok yang aku kenal itu.
Memang aku tidak begitu dekat dengannya dan aku tidak tahu apa yang dia lakukan sekarang. Yang aku tahu betul, dia sudah lama lulus. Urusan apa yang membawanya kemari?
“Kak Ilham!” aku menyapanya dari jarak yang cukup jauh.
Pria dewasa ini melemparkan wajah cerahnya padaku, “Oh, Rasyiqa. Ada Harun juga.”
Berhenti langkahku di depannya, “Kakak kenapa ke sini? Ada yang diurus?”
“Tidak, kakak cuma datangi pak Darma. Katanya sih nanti kakak diminta untuk ikut bimbing anak-anak OSIS.”
“Sudah dekat sama waktu latihan kepemimpinan ya?” Harun ikut ke percakapan, “Kukira kak Fares yang diminta jadi perwakilan.”
“Fares sih sudah sibuk sama yang di kampus. Mana sempat.”
Masih banyak juga ya yang aku tidak tahu dari tradisi sekolah, “Latihan kepemimpinan kok undang kak Ilham?”
“Biasanya sih yang diundang ketua OSIS sebelum-sebelumnya. Ya buat ikutan ospek senior-nya,” kak Ilham malah tertawa.
Ketua OSIS sebelum-sebelumnya berarti yang termasuk yang sudah kerja kan? Wah~ Kejam juga ya mereka semua. Semangat deh yang terkena ospek.
“Rasyiqa masih pakai itu.” Kak Ilham, dia melihat ke arah mana? Tanganku? “Terima kasih.”
Benar juga, “Aku sering pakai ini kok. Dari semua hadiah yang dikasih Jagad, cuma ini sih yang bisa aku pakai keluar.”
“Itu dari Jagad?” Harun tampak terkejut.
“Aku belum beritahu ya?” kutunjukkan lebih jelas gelang sederhana nan manis itu ke arah Harun, “Iya, ini Jagad yang kasih. Walau aku yakin yang pilihkan kak Ilham.”
“Ya mau bagaimana lagi,” kak Ilham tersenyum aneh, “Adikku itu memang seleranya aneh.”
“Iya ya, hihihi,” kalau dia disini, tuh anak pasti teriak-teriak protes.
“Jangan terlalu dipikirkan, Rasyiqa,” hmm? Kak Ilham bilang apa tadi? “Ya sudah. kakak duluan ya, Rasyiqa, Harun.”
Anak kuliahan pasti sibuk ya, “Iya kak, hati-hati~”
Selagi pria itu melangkah pergi, aku kembali mencerna apa yang dia maksud dari kata-katanya.
Memang itulah maksudnya. Padahal aku tidak memikirkannya lagi. Nampaknya lagi-lagi wajahku berkata lain.
“Yuk balik, Harun,” langkahku mendahuluinya. Yakin ia akan mengikutiku.
Sudah… tiga tahun kan? Lubuk hatiku yang sudah terlalu lembut sepertinya masih terganggu.
Jangan, Rasyi. Jangan membawa beban lama itu terus menerus. Biarkan Jagad beristirahat dengan tenang. Teman dari kecil yang berisik itu bisa jadi marah-marah kalau tahu akan hal ini.
Hihihi, ada-ada saja. Sakit juga menahan tawa sambil berjalan begini, sampai akhirnya aku dan Harun sampai di depan rak sepatu kelas⏤
“Aaw!” ada yang menabrak dari belakang! “Harun!”
“Ma, maaf,” dia menahan pundak kananku.
Dibuat wajahku mengkerut, “Sepatuku keinjak~!” aku meraba-raba belakang sepatu kananku yang jadi sasaran sepatu Harun.
“Sakit ya?”
Aku memanyunkan bibir. Dia bercanda atau apa sih~?!
Kenapa dia malah ketawa?! “Mau kuantar ke UKS?”
Sepatu itu aku lepas meski satu tanganku menggenggam gelas minum, “Tidak mau!”
Cukup sudah aku sering ke rumah sakit. Tolong jangan menambah waktu kunjunganku!!
“Aku bantuin lepas sepatunya deh.”
Teriakan kesal membuang wajah darinya, “Tidak!”
“Jangan marah dong.”
“Iih!” gerutuku kesal sambil meletakkan sepasang sepatuku di salah satu tempat kosong di rak sepatu.
Harun malah tertawa.
Ya, dia tahu kalau ini hanya marah-marah bercandaan saja. Lembutnya kepribadian itu tidak menghentikannya untuk bertingkah jahil. Aku pastinya tidak bisa marah setiap kali dia bercanda, tapi aku kan tetap saja kesal.
Oh? Aku bertemu mata dengan salah satu temanku yang keluar kelas. Dia… si sekretaris… Gista kan?
Eh?
“Harun~” Gista ini tersenyum dan mendekati Harun.
Gerakan lembut Harun sedang melepas sepatunya, “Kenapa?”
“Tidak papa, panggil saja.”
Aku tidak tahu kalau Harun dekat dengan Gista.
“Oh iya, terima kasih ya bukunya. Sudah ada di meja kok,” Gista semakin mendekati Harun, “Jangan kapok ya, aku pinjam terus~ Hehehehe~”
“Santai,” Harun tersenyum ramah.
Kedua orang itu… punya hubungan apa selain sekedar teman sekelas?
Gista dan aku kembali saling manatap. Dia melakukannya lagi? Masalah apa sih, tuh perempuan?! Kedua matanya saat melihat orang lain biasa saja tuh. Bahkan ke Harun kelihatan manis banget.
Aku kok malahan dipelototin?!
Sebodoh itu dirimu, Rasyi? DNA papa kan tercampur dalam diriku. Pekanya diri ini tentu bisa mengajarkanmu apa yang terjadi. Enigma yang sudah jelas.
“Rasyi?” Harun tampak menatapku yang merengut.
Aku hanya diam memandang lelaki di depanku ini. Mata kecoklatan dan kilap sehat hitam rambut lurusnya. Sekilas kalau aku pikirkan hanya dengan kalimat itu saja, mirip dengan papa. Tentu saja kesan itu tidak bisa hanya digambarkan dengan kata-kata.
Kurasa memang sulit untuk menemukan pria yang pesonanya lebih dari papa. Namun Harun juga tidak kalah. Jika perlu digambarkan dalam satu kata, mungkinkah bisa dikatakan ‘pangeran’?
Ya pasti orang seperti Gista ada banyak.
Hmmm, Harun tiba-tiba menusuk pipiku dengan jari telunjuknya, “Kenapa merengut terus sih? Jangan marah terus dong….”
Kamu tuh yang jangan senyum terus! Hati cewek itu rentan dengan yang seperti itu tahu!
Kupencet hidungnya kesal, “Jangan tusuk-tusuk!”
Harun menjauhkan telunjuknya. Tertawa manis yang tidak bisa hilang dari otak dalam satu minggu penuh.
“Cie~ Pacaran kok depan pintu~?”
Heh?!
“Sudah official nih?”
Langsung aku jauhkan jariku. Bersalah tingkah seperti biasa, “Bukan begitu!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments