“Rasyi yakin tidak mau ditemani?” wajahnya terus saja tampak khawatir.
“Tidak papa kok. Harun kan ada bimbel, masa mau temani terus,” kuulurkan helm merah yang khusus ia bawa untukku.
Dia menerima helm itu, “Masih ada waktu kok untuk temani sebentar.”
Senyumku merekah, “Dua jam di sini?”
Hihihi, dia diam.
“Aku tidak papa. Kan banyak juga orang yang aku kenal. Ini bukan pertama kali. Harun juga tahu kan?”
Wajah sedihnya digunakannya lagi. Ekspresi itu memang sering aku lihat, tapi aku selalu tidak mengerti alasan apa yang membuat dia mengeluarkannya. Sedalam apapun hatiku tertusuk, aku tidak paham harus seperti apa menenangkannya.
“Kalau begitu aku duluan ya,” dia meletakkan helm itu di dalam jok, “Sampai jumpa besok.”
“Hati-hati di jalan~”
Dia naik kembali ke kendaraan yang baru secara resmi sudah legal untuk digunakan itu. Kendaraan itu mengeluarkan suara mesin lembut dan meluncur pergi. Ia menyatu dengan para pengendara yang ada di jalan.
Sekarang, aku harus jalan sedikit untuk masuk ke gedung yang luar biasa besar ini. Ya, rumah sakit.
Biasanya memang taman depan ini terbilang sepi. Alasan satu tentu karena jalan harus dikosongkan untuk para kendaraan yang sudah membayar parkir. Kedua, harinya bersinar sangat panas.
Untungnya pedestrian ini dilindungi banyak pohon rimbun yang berjejer.
Pintu masuk utama berhasil aku lewat. Semua orang tahu kalau jalan ini menuju ruang tunggu dan resepsionis yang megah⏤
“Waah!”
“Sabar sayang.”
TING! TING TING!
[“Nomor 145 tolong ke meja 3.”]
“Bentar, ambil dulu kursi roda.”
BRUK!
“Permisi!!”
“Ada yang bisa dibantu pak?”
Ra, ramai sekali….
Aku harus pergi sekarang. Tenang di dalam diriku masih sangat terbatas. Mustahil aku bisa menangani keributan yang besar seperti ini dalam waktu lama.
Harus pergi sekarang!
“Auw!” aku hanya bisa menjerit saat ada orang yang menabrakku.
“Hati-hati dong!!”
Suaraku semakin kecil dengan nafasku yang terpotong, “Ma, ma, maaf.”
“Perhatikan sekitar dong!”
(“Perhatikan sekitar!”)
Heh?
(“Itu dia!”)
Jangan mulai!
(“Rasyiqa tidak akan jadi gitu kok.”)
(“Iya, Rasyiqa. Cepat lari.”)
Suara-suara yang berisik di kepalaku… pergi kalian!
(“Kemari!”)
(“Kamu masih berani di depanku ya?”)
(“Jadilah berguna sedikit saja.”)
Tenang… tenang Rasyi. Bernafas… bernafas…
Bernafas!
PAK!
Berhasil. Suaranya hilang kan? Menampar kedua pipiku seperti ini, sudah cukup kan?
Tidak! Jangan lengah! Kalau nafasku kacau seperti sekarang, aku hanya akan menjebak diriku sendiri. Suara itu bisa saja kembali kapan saja dengan kerumunan setebal ini di sekitarku.
Aku harus keluar dari sini.
Harus bernafas lebih tenang. Sepanjang berjalannya kakiku ke daerah rawat inap, bisa dirasakan ketenangan yang jauh lebih baik. Tidak masalah dengan beberapa kelompok yang menyebar, yang penting tidak berdesakan seperti di depan tadi.
“Fuuuh…,” bagus, nafasku sudah mulai normal.
Sungguh menjengkelkan! Padahal selama ini, khususnya di sekolah, aku tidak pernah kambuh lagi. Haruskah aku mulai terapi lagi?
Aw! Pipiku perih. Kututupi saja deh dengan masker.
“Rasyiqa mau cari papa?”
Ah, ada perawat yang mengenaliku, “Iya~ Papa di ruangannya kan?”
“Iya,” perawat di sampingnya menjawab dengan ramah, “Langsung saja datangi.”
“Terima kasih,” sebisa mungkin aku melayangkan senyuman.
Hmm… nafasku sudah bisa terasa normal, begitu juga kerja tubuhku yang lain. Bisa tenang aku sekarang.
Sampai akhirnya aku mencapai di depan pintu dokter yang akrab bernama Rizki ini.
Tok! Tok! Tok!
“Papa~?” ada dia di dalam?
“Masuk!” suara familier yang terpendam pintu itu memberikanku arahan.
Gagang pintu kutekan perlahan dan membuka ruangan. Aku mengintip ke dalam sebelum benar-benar masuk.
Loh? Papa sedang ada pasien ya?
“Masuk saja,” papa masih menyuruhku walau dia tampak berbicara dengan orang-orang di depannya.
Aku hanya bisa mengikutinya. Masuk dan menutup pintu di belakangku. Rizki sepertinya masih perlu aku tunggu lebih lama. Habiskan waktu dengan apa lagi ya kali ini? Corat-coret sketsa di pojokan?
“Oh~ Ini anakmu? Mirip banget sama kamu.”
“Cantik~”
Eh? Mereka ini sepertinya lebih akrab dengan papa.
“Hmm mm,” wow, jawaban biasa yang keluar dari mulut papa yang masih tertutup.
“Siapa namamu, sayang~?” wanita dengan rasa penuh keibuan menatapku berbinar-binar, “Berapa umurnya?”
Kedua orang ini seakan semangat akan sesuatu. Sebingung-bingungnya aku, aku harus setidaknya sopan dan menjawab.
Aku membuka maskerku dan tersenyum, “Rasyiqa, tante. Baru saja ultah ke-16.”
“Kok rasanya anak kita sudah pada tua semua?”
“Kayaknya kita kawinnya kecepatan, haha.”
Duh, keramahan yang asing.
Mereka, yang ternyata sepasang suami istri ini, seperti punya dunia lain. Walau aku yakin mereka memasukkan aku dan papa ke suasana candaan mereka. Namun aku tidak bisa mengatakan apapun terhadap kebingungan ini.
Papa? Jangan ditanya. Dia kan tidak tertarik dengan yang seperti itu. Yap, tentu saja papa tidak akan berkomentar.
“Hmm,” papa menyambutnya dengans sederhana.
“Sudah lama tidak ketemu temen sekelas SMA-nya, kamu tetap saja jutek.”
Anaknya saja suka dicuekin, apalagi teman sekelas yang lama tidak ketemu….
…
⏤teman sekelas? Tunggu, mereka ini seumuran dengan papa?!
Bukan, aku saja yang bodoh.
Wajah tampan papa yang awet muda itu memang kelewat abnormal. Tentu saja kalau sudah lima puluh tahun, wajah mereka akan seperti ini. Justru ada yang sudah punya cucu.
“Loh? Rasyi?” papa berdiri mendekatiku, “Kenapa pipinya?”
Pipiku? Apa karena aku tampar tadi? Kalau aku mengingatnya lagi, rasa perihnya juga teringat sih. Namun ini kan hanya tamparan biasa. Tak mungkin juga aku bisa menampar sekeras itu.
“Ti, tidak apa kok…,” kututupi lagi mereka dengan masker.
Papa seakan berpikir sejenak, “Duduk dulu, biar papa obati.”
Kursi papa tadi menjadi tempat dudukku walau teman papa masih ada di seberang mejanya.
Wanita ini, tersenyum? “Jarang-jarang bisa lihat sisi lembutmu begini.”
“Ada lagi yang mau diomongin?” papa tanpa hati, menyerang lagi.
“Jutek amat,” Pria ini tampak marah.
“Sudah, dokter jangan diganggu,” wanita tadi berdiri.
Pria ini ikut berdiri dengan kesal, “Tapi kami tungguin kabar baiknya!”
Rizki menggunakan beberapa detik yang ia dapat dalam sunyi, “Iya.”
Sepertinya pembicaraan serius. Entahlah. Mereka hanya bercanda saja selama yang kulihat.
Kedua teman sekelas masa SMA papa itu pergi melewati pintu. Suara keheningan menenggelamkan keseriusan papa untuk mengobati kedua pipiku yang sudah ditampakkan masker yang terbuka.
“Kenapa Rasyi masih pakai cara ini? Tidak sakit?”
Seperti biasa. Papa pasti paham kalau aku kambuh lagi dan aku memilih untuk menerapkan rasa sakit biar cepat sadar. Namun kan ini cara paling efektif.
“Pikirin lagi kalau mau masuk. Kalau kira-kira ramai, telepon papa.”
“Oh iya, bisa begitu juga ya,” sepertinya aku terlalu semangat untuk pergi keluar sendiri.
Jari jemari yang membawa olesan obat itu terhenti di pipiku. Wajahnya menatapku lekat tanpa ekspresi sama sekali. Aku tahu maksudnya apa tatapannya itu.
Merengut lagi aku dibuatnya, “Iya, Rasyi bodoh. Rasyi bakal lebih hati-hati lagi.”
Sekarang dia tersenyum. Entah apa pemikiran pria yang seharusnya sudah tua ini.
Ia menarik salah satu dari dua kursi yang diduduki temannya tadi. Menyamankan duduknya di depanku yang masih duduk menyamping dari kursi kerjanya. Wajahnya lebih nyaman untuk aku lihat.
Lagi-lagi senyumnya di sela telengan kepalanya membuatku tidak bisa berkomentar apapun. Mau sebesar apa rasa menjengkelkan untuk sang ayah ini, dia tetap saja punya wajah yang tidak bisa ditolak. Apalagi kalau dia mengeluarkan sikap hangatnya di pipiku layaknya sekarang.
“Sabtu malam mau temani papa, tidak?”
Sabtu malam? Kemana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 164 Episodes
Comments