Selama tiga hari dirawat dirumah sakit, keempat sahabatnya Satria, Haikal, Andre dan Adam bergantian menemani Langit.
Karena mereka tahu, tiga tahun terakhir ini Langit memilih hidup sendiri, sementara kelima kakaknya sudah menikah dan ikut suaminya.
"Sore ini Lo udah dibolehin pulang, tapi ingat! jaga kesehatan, jangan sampai telat makan kayak kemarin-kemarin lagi, makan yang teratur mulai sekarang." ucap Satria memperingati.
"Sorry Sat, gue udah banyak ngerepotin kalian, elo terutama." balas Langit.
"CK, Lo ngomongnya kayak udah kesiapa aja, Lo lupa kita ini sahabat, harus saling bantu dalam keadaan apapun." Satria membantu Langit untuk duduk bersender dipapan brankar.
Sore ini Satria datang sendiri, karena tiga sahabatnya yang lain masih harus menyelesaikan pekerjaannya yang tidak bisa mereka tinggal begitu saja.
"Oh iya Sat, Lo udah sampaikan rasa terimakasih gue sama Cantika."
"Udah kok,"
"Dia jawab apa.?"
"Dia bilang semoga elo cepat sembuh."
Ada yang berdesir didalam sana, namun seketika menghilang, saat rasa marah atas kebersamaan Cantika dan Aslan tiba-tiba melintas dalam ingatannya.
"Tunggu bentar, gue panggilin perawatnya dulu, soalnya tadi disuruh nunggu sepuluh atau lima belas menitan lagi, dan gue rasa sekarang udah lebih dari lima belas menit." ucap Satria seraya melangkah keluar ruangan.
*
*
Cantika merebahkan tubuhnya diatas ranjang menatap langit-langit kamar dengan perasaan gelisah, hingga tanpa sadar meneteskan air mata saat mengingat kejadian tiga hari yang lalu.
#Flashback on..
Cantika menghela napas lega, ketika puluhan pelanggan telah berlalu beberapa menit yang lalu.
Rupanya memiliki karyawan yang sangat minim jumlahnya membuatnya keteteran dan kelelahan, pasalnya ia ikut serta melakukan pekerjaan sama halnya dengan karyawan nya yang berjumlah tiga orang.
Sebuah keberuntungan untuknya, karena sekitar pukul sepuluh siang Aslan datang ke Cafe dan ikut membantu.
"Lagi sepi bang, abang makan duluan gih, belum makan siang kan?" ucap Cantika.
"Terus Tika mau kemana?" tanya Aslan, karena siang ini ia berencana mengajak Cantika untuk makan bersama.
"Mau ketoilet sebentar bang, mau cuci muka."
"Ya sudah."
Sembari menunggu Cantika kembali dari toilet, Aslan memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang berada diruang istirahat, namun baru saja ia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku kemejanya, tiba-tiba terdengar sebuah dering ponsel lain yang cukup nyaring.
Menoleh kesebelah kiri dimana suara bunyi ponsel berasal, disana sebuah ponsel yang tentu sangat ia kenali itu terdapat panggilan masuk dengan sederet nomor yang tak dikenal.
Tak mau dianggap lancang, Aslan pun membiarkannya tanpa berniat untuk mengangkat atau mematikan nya.
Satu kali
Dua kali
Untuk yang ketiga kalinya ia memutuskan untuk mengangkatnya khawatir jika itu ada kabar penting untuk Cantika.
"Hallo!"
Hening tak ada jawaban dari sebrang sana.
"Hallo, ini siapa ya, Cantika sedang ketoilet."
"Kal_"
Ucapannya terhenti, saat menyadari sambungan telpon tersebut telah terputus, dan disaat bersamaan bunyi ponsel kembali berdering, namun kali ini miliknya yang berbunyi.
Sang pemilik bangunan ruko yang saat ini tengah ditangani nya meminta agar Aslan segera datang ketempat tersebut.
"Lho Abang mau kemana?" tanya Cantika yang baru saja kembali saat melihat Aslan yang tengah memakai jaketnya dan terlihat sangat terburu-buru.
"Maaf, Abang harus kelapangan sekarang."
"Lho abang kan belum makan."
"Nanti aja disana, kamu hati-hati ya disini, Abang pergi dulu."
"Iya, Abang juga hati-hati."
Cantika mengantar Aslan hingga kedepan Cafe, melambaikan tangan saat laki-laki itu mulai melajukan motornya meninggalkan area Cafe.
Cantika menunduk, mengambil gelangnya yang tiba-tiba terlepas, kemudian ia kembali berdiri setelah berhasil mengambil gelang tersebut, tanpa sengaja matanya teralihkan pada sosok yang hampir satu bulan ini tak pernah ia lihat keberadaannya.
Deg!
Disana, dibawah pancaran teriknya sinar matahari wajah pucat pasi dengan mata sayu, tengah berdiri disamping mobilnya.
Satu langkah
Dua langkah
Brukkk!
Tubuh itu terjatuh dengan posisi tengkurap, repleks Cantika pun menjatuhkan kembali gelangnya, berlari menghampiri Langit yang sudah tak sadarkan diri.
"Abang!" pekiknya, dengan suara tertahan, memangku kepala Langit diatas pahanya.
Kemudian berteriak memanggil Amar, Siska, dan Salsa karyawan nya.
"Yaampun, mbak Tika ini siapa, kenapa bisa tergeletak disini?" Salsa yang baru saja tiba, tak kalah panik melihat laki-laki tak berdaya dipangkuan Cantika.
"Salsa, Salsa_ tolong.. tolong kamu ambilkan ponsel saya di tempat biasa, sekalian panggilkan Ammar, tolong Sa." pintanya dengan wajah yang dipenuhi air mata dan kekhawatiran.
"B-baik mbak, saya_ saya ambilkan." ucap Salsa gugup, berlari memasuki Cafe, tak berselang lama ia kembali membawa ponsel Cantika bersama dengan Ammar dan juga Siska.
"Ammar, tolong bantu angkat dia kedalam mobilnya, Ammar tolong!" pinta Cantika dengan tubuh yang sedikit gemetar.
"Ini mbak ponselnya." Salsa menyerahkan ponsel Cantika, begitu Langit sudah dimasukkan kedalam mobil.
"Terimakasih ya, tolong kalian bertiga jaga Cafe, saya harus kerumah sakit sekarang."
"Baik mbak," balas ketiganya sopan, dengan raut wajah yang masih penasaran, dengan sosok yang baru saja dimasukkan kedalam mobil tersebut.
"Abang bertahan," ucapnya lirih, sesekali menoleh kearah Langit yang tampak semakin pucat, berulang kali ia menghela napasnya yang terasa sesak, menguatkan dirinya sendiri agar ia mampu menjaga keseimbangan dirinya yang saat ini tengah memegang kemudi.
Begitu sampai rumah sakit, Cantika segera memarkirkan mobil milik Langit, kemudian turun berjalan dengan sedikit berlari memanggil para petugas medis, agar membantunya membawa Langit yang masih berada didalam mobil, karena tubuh mungilnya tak cukup kuat memapah tubuh Langit seorang diri.
Dua orang petugas rumah sakitpun dengan sigap, mendorong Brankar, menggotong tubuh Langit kemudian meletakkan diatasnya.
"Abang bertahan abang." Cantika tak berhenti menangis, menggenggam sebelah tangan Langit yang terasa begitu dingin.
Usai menyelesaikan administrasi, di depan pintu ruangan yang bertuliskan IGD, Cantika menunduk rapuh dengan tubuh bergetar, menerka-nerka hal apa yang telah terjadi dengan Langit yang merupakan cinta pertamanya, sekaligus laki-laki yang sampai saat ini masih setia memenuhi hatinya.
Setengah jam berlalu, laki-laki paruh baya bersetelan jas putih yang mengenakan kaca mata bening yang bertengger diatas hidungnya keluar dari dalam ruangan, dan dengan sigap Cantika pun menghampirinya.
"Keluarga pasien?" seru Dokter.
"Saya_ saya adiknya Dok, apa yang terjadi dengan Abang saya?"
"Mari ikut saya."
Dengan patuh Cantika mengikuti Dokter tersebut hingga sampai diruangannya, dan duduk di salah satu kursi yang berhadapan langsung dengan sang Dokter.
"Jadi, apa yang terjadi sama abang saya Dok?" tanyanya tak sabaran.
"Pasien mengalami kenaikan asam lambung, kurang cairan, dan tensi darahnya yang cukup rendah, hal itulah yang menyebabkan pasien tak sadarkan diri." jelas Dokter, membuat kedua mata Cantika seketika kembali memanas.
"Lalu, lalu bagaimana caranya agar dia cepat sembuh Dok?" tanyanya, sembari menyusut kasar air matanya yang terjatuh tanpa ijin.
"Langkah pertama pasien harus dirawat inap, kemudian setelah membaik, pola makannya harus benar-benar dijaga, beristirahat yang cukup, dan jangan melakukan aktifitas berat dulu, sampai pasien benar-benar sembuh total."
*
Setelah mendengarkan penjelasan dari Dokter, Cantika pun memutuskan untuk menemui Langit yang kini sudah dipindahkan keruang rawat inap.
Pelan ia membuka pintu, melangkah masuk kemudian mendudukkan dirinya dikursi pelastik di samping Langit.
Menatap nanar wajah pucat Langit, dengan kedua matanya yang terpejam rapat.
"Abang, apa yang terjadi? abang kenapa?" ucapnya dengan suara terisak seraya menggenggam sebelah tangan Langit yang ia letakkan disisi wajahnya.
"Abang tahu, aku akan lebih bahagia jika abang hidup bersama wanita lain, asalkan abang selalu sehat dan bahagia, karena melihat senyum abang dari jauh pun aku udah sangat senang bang."
"Apakah abang tahu betapa tersiksanya aku selama enam tahun ini karena jauh dari abang."
"Apakah abang tahu, kalau sampai saat ini hanya abang yang ada disini." Cantika mengarahkan ujung jemari Langit tepat di dadanya.
"Apakah abang bisa merasakannya?" lanjut Cantika dengan isakan yang semakin kuat, "Aku sayang abang."
"Apakah abang tahu, bahwa sedikitpun aku tidak bisa membenci abang, meskipun abang telah menyakiti ku berulang kali."
Cantika mengusap air matanya yang sudah menganak sungai, saat mendengar bunyi dari ponselnya yang cukup nyaring.
Menarik napas dalam, untuk menetralkan suaranya terlebih dulu, yang tentunya akan terdengar serak karena habis menangis.
"Hallo abang?" ucapnya, begitu ia mendial ikon hijau dilayar ponselnya.
"Dek benar, kalau kamu lagi di rumah sakit sekarang, kamu bawa laki-laki yang pingsan katanya, kasih tahu abang siapa dia?" sergah sang abang yang tak lain adalah Satria.
"I-iya, Abang tahu dari mana?"
"Barusan si Ammar yang bilang, ini abang lagi di Cafe lho, karena barusan ayah nyuruh abang buat jemput kamu, katanya ayah sama bunda mau ajak kamu keacara ulang tahun anak sahabatnya."
"Tapi bagaimana dengan bang Langit bang."
"Langit?" disebrang sana, suara Satria terdengar memekik kaget.
"Iya, laki-laki yang pingsan yang dibilang Ammar itu bang Langit."
"Kok bisa, kenapa?"
"Dokter bilang, bang Langit kekurangan cairan, asam lambungnya naik, tensi darahnya juga rendah."
"Ok, kamu tenang ya, Abang segera kesana."
Flashback of.
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Vino Alfarizqi
ah nyampek part ini akhirnyaaa ikutan mewek 😢😢
2023-11-24
0
Dyra
Oooh Cantika.. 😢😢
Semoga pengorbanan mu tak sia2.. padahal Langit jg sekarang udah bilang terang2n mau dketin kamu sama Ayah.. hmm
2022-08-03
2
Pa'tam
masih tetap cinta walaupun sering di sakiti, itulah cinta sejati. hanya saja kita tak tau sampai di mana bisa bertahan dengan keegoisan.
2022-08-02
0