Sepenggal masa lalu

Sang fajar mulai menyingsing halus dari ufuk timur sana, kabut tipis yang semula melahap hamparan kebun mulai menghilang, diantara rimbunan pohon jagung.

Langit berdiri kaku, memeluk tubuhnya sendiri yang terasa menggigil, namun ia sama sekali tidak berniat meninggalkan keindahan alam yang menyejukkan mata tersebut.

"Ini sudah waktunya panen om?" tanyanya pada Haris yang tengah berjalan diantara petakan pohon jagung, memilih yang pas untuk dipetik hari itu juga.

"Sebenarnya belum sih, menurut perkiraan lima atau enam hari lagi, tapi berhubung kamu sedang ada disini, jadi om ambilkan saja seadanya."

"Tapi apa nggak sayang om, masih sangat muda pasti."

"Lebih muda lebih enak Lang." balasnya yang disertai kekehan kecil, kemudian menghampiri Langit dan mengajaknya untuk duduk di sisi kebun beralaskan karung bekas urea yang sudah di cuci bersih.

"Bagaimana pekerjaan mu disini, lancar?" tanyanya seraya melirik Langit yang terlihat tak bersemangat.

"Lumayan om."

"Kamu sedang ada masalah Lang?"

"Nggak ada om."

"Kamu tidak perlu berbohong sama om, kamu dan ayahmu tidak berbeda jauh, sama-sama tidak bisa menyembunyikan masalah yang sedang kalian hadapi, berceritalah jika ingin merasa lega, apapun itu om siap mendengarkan."

Terlihat Langit menghela napasnya, sangat ragu untuk memulai bercerita, namun disisi lain ia juga ingin merasakan kelegaan, dan berharap jika sang om bisa memberikan sedikit nasehat.

"Oh iya, pacar kamu gimana kabarnya?" tanya Haris tanpa mengalihkan pandangannya dari beberapa jagung yang sedang di kupasnya.

"Nggak punya pacar om."

Seketika Haris menghentikan aktifitas nya menoleh kearah Langit yang menatap jalan setapak yang dipenuhi lalu lalang anak-anak sekolah dengan seragam berbeda dihadapannya dengan tatapan kosong.

"Pacarmu yang jauh itu belum kembali memangnya?"

lanjut Haris, ia masih mengingat dengan jelas ketika Langit pernah berkunjung kerumahnya tepat Empat tahun yang lalu, dan mengatakan jika untuk pertama kalinya Langit memutuskan seorang wanita hanya demi gadis kecil yang jauh disana.

Langit menoleh kearah sang om dengan senyum terpaksa, kemudian kembali menatap lurus kedepan. "Sepertinya sekarang saya sudah tidak diharapkan lagi om."

"Jadi dia sudah kembali?"

Langit mengangguk kecil.

"Kamu sudah mengatakan langsung padanya, jika saat itu kamu menjauhinya karena suatu hal."

Langit menunduk dengan gelengan kecil, "dia tidak akan mudah percaya seperti itu om, dan saya rasa mungkin kesalahan saya di masa lalu sudah banyak menyakitinya, sekarang dia sudah dewasa om." jawabnya lirih, saat mengingat sepenggal dari banyaknya masa lalu yang ia ingat.

Haris tampak manggut-manggut, sebelah tangannya terangkat mengelus bahu anak laki-laki tampan yang menjadi keponakannya tersebut.

Untuk saat ini ia cukup mengerti dengan suasana hati Langit, dan ia tak akan meminta keponakannya itu untuk bercerita lebih dari ini.

"Baiklah, kamu sudah dewasa Lang, dan om yakin kamu bisa mengatasi masalah mu sendiri." Haris menepuk pundak Langit sekali lagi.

"Ajak dia kesini, jika suatu saat kamu sudah mendapatkan hatinya kembali."

Langit menoleh kearah Haris, dengan senyuman yang terlihat tulus, "Doakan om."

Haris balas tersenyum, "Pasti."

"Ayok, sebelum kamu kembali ke Jakarta, kita bakar-bakar jagung dirumah om, kamu harus cobain, bahwa jagung yang ditanam langsung dengan tangan om itu rasanya beda." ucapnya dengan kekehan kecil, memangku beberapa biji jagung, dengan dibantu Langit.

Berjalan meninggalkan area perkebunan jagung tersebut menuju rumahnya yang tidak jauh dari sana.

"Welehh, sudah panen saja kamu Ris," menatap jagung yang berada dipangkuannya, "Jangan lupa langsung kau dagangkan ke kompleks ku besok ya, aku tunggu." ujar seseorang saat bertemu dengannya dijalan.

"Eh pak Hasyim, belum pak! ini belum dipanen, hanya saja keponakan saya dari Jakarta sedang berkunjung, dan akan kembali sore nanti, jadi saya ambilkan beberapa biji untuk dibakar pagi ini." jelas Haris.

"Begitu rupanya." ada raut kecewa yang terdengar dibalik nada suara yang disapa pak Hasyim tersebut.

"Ah ini," menyerahkan tiga buah jagung kearah pak Hasyim, yang terlihat mengerutkan keningnya, "Saya tidak akan menyuruh pak Hasyim untuk membayarnya." ucap Haris saat menyadari raut bingung diwajah pak Hasyim.

"Ini geratis?"

"Iya sekarang geratis, tapi kalau bertemu lagi pak Hasyim harus membayarnya."

"Dasar kau ini."

Haris tergelak, "Tidak, tidak! saya hanya bercanda pak, baiklah saya duluan ya pak."

"Iya iya, terimakasih Ris jagungnya, oh iya itu ponakan yang kau bilang tadi?" melirik kearah Langit yang tampak mengangguk sopan.

"Betul pak."

"Tampan sekali dia, sudah punya pasangan kah, kalau belum cobalah jodohkan dengan Putri bungsuku si Ipeh, Ris."

Haris tersenyum kecil, "Sudah punya calon dia pak."

"Yah, sayang kali ya, yasudahlah!" pak Hasyim mengibaskan tangannya mengisyaratkan agar mereka melanjutkan perjalanan nya yang sempat tertunda.

*

Sesampainya di rumah Haris, mereka langsung membakar jagung yang mereka bawa dari kebun tadi, di depan pembakaran sederhana yang biasa disebut tungku, untuk merebus air sekaligus memasak nasi, yang kini sudah jarang ditemukan di kota-kota.

"Makan Lang, mumpung masih hangat." Ratna meletakkan tiga buah jagung yang sudah dibakar matang, diatas piring yang diberi alas daun pisang.

"Terimakasih Tan."

"Sama-sama, jadi benar kamu sudah mau kembali ke kota nanti sore Lang?"

"Iya tan, pekerjaan disana sudah menumpuk." jawab Langit seraya menggigit jagung yang baru saja ia ambil.

"Sering-sering datang kesini ya, jangan lupa nanti bawa calonnya sekalian."

Uhukkk!

"Kamu ini, pelan-pelan dong makannya." Ratna buru-buru mengambil segelas air putih dan menyerahkannya pada Langit yang masih terbatuk-batuk

"Dia kalau bahas pasangan suka sensitif." ucap Haris, yang sudah menghabiskan satu buah jagung, dan melemparkannya ke tong sampah.

"Tan, nanti siang senggang kan?" Langit berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa memangnya?"

"Mau minta antar tante, beli sesuatu."

"Sebenarnya ada sih, tapi tante bisa batalkan."

"Eh jangan kalau begitu! biar aku pergi sendiri saja Tan."

"Tidak apa-apa, ini kan hari terakhir kamu disini, lagi pula acara tante tidak terlalu penting kok, hanya membahas iuran membeli perlengkapan hajatan buat bu Darmasih tetangga disebrang sana, nanti tinggal tanya saja ke ibu-ibu yang lain hasil rundingannya."

"Yasudah, kalau begitu kita berangkat sekarang saja Tan, om juga ikut sekalian ya!" melirik sang om yang kini tengah mengasah cangkul di pojok dapur.

"Kalian pergi berdua saja, om ada bakti perbaikan jalan depan, banyak genangan air dari selokan yang merembes ke jalan-jalan." sahut Haris, beranjak meletakkan batu asahan ketempatnya semula.

"Beneran tidak mau ikut?"

"Iya, ini om sudah mau berangkat juga, berhati-hatilah saat berkendara, jalanan disekitaran pasar cukup berlubang dan licin."

"Baik om."

*

Langit mengendarai mobilnya melewati gang kumuh sesuai yang diintruksikan oleh Ratna, menuju sebuah pasar yang dimana disekitar nya terdapat banyak toko-toko besar yang menjual aneka barang, dimulai dari prabot rumah tangga, elektronik, baju-baju dan lain-lain.

Jika orang luar yang berkunjung mungkin tidak akan menyangka, jika gang kumuh dan sedikit sempit itu ternyata terdapat pasar yang lumayan besar didalamnya.

"Lho kamu mau beli apa Lang, kenapa masuk kesini?" tanya Ratna bingung, pasalnya saat ini keduanya berada di sebuah toko yang menjual berbagai macam model sofa dan juga lemari pajangan.

"Menurut tante dari semua model sofa ini mana yang paling bagus?"

Ratna menggeleng, "Tante nggak bisa milih Lang, soalnya ini menurut tante bagus semua." ucapnya, mengingat sofa dirumahnya yang sudah nyaris tak berbentuk.

"Yasudah biar saya yang pilihkan ya Tan." tanpa menunggu jawaban dari sang tante yang tentu kebingungan, Langit bergegas menghampiri si pemilik toko, menunjuk satu set model sofa dan satu lemari pajangan, setelah nya ia menuliskan sebuah alamat diatas selembar kertas berwarna putih, berikut mentransfer pembayaran nya.

Beralih ketoko prabot membeli satu set kompor, dan sebuah rice kooker, dan selanjutnya membeli berbagai macam model baju dan makanan.

"Lang, jadi kamu meminta tante mengantarmu buat ini, maaf tante nggak bisa terima Lang." Protes Ratna begitu sampai dirumahnya, diikuti beberapa pekerja toko yang memasukkan barang-barang yang Langit pesan tadi.

"Saya ikhlas Tan, karena hanya ini yang bisa saya kasih buat om dan Tante."

"Lalu bagaimana cara tante dan om membalasnya Lang?"

"Cukup selalu sehat, dan panjang umur saja itu sudah cukup buat saya Tan."

"Itu keinginan semua orang Lang," ucap Ratna mencebik, dengan mata yang memerah.

Langit terkekeh, "Ya, salah satunya saya Tan."

Setelah memastikan semua barang yang dipesannya masuk kedalam rumah Haris dan Ratna, Langitpun berpamitan untuk mengemasi barang-barang nya yang berada dirumah tua sang nenek.

Sekaligus berpamitan pada Ratna, dan Haris yang masih melakukan kerja bakti dijalan depan, karena rencananya siang ini ia akan langsung pulang ke Jakarta.

*

*

Terpopuler

Comments

Ris Andika Pujiono

Ris Andika Pujiono

ceritanya beda. keren

2022-10-16

0

Uthe Uut

Uthe Uut

Kasihan langit kak.. Udahan aja ya Hukumannya deketin lagi sama cantika

2022-08-02

1

Tri Sudarso

Tri Sudarso

kayaknya udahin aja dech hukuman langit...dulu dia nolak cantik kayaknya karena minder karena bukan orang kaya srkarang kan dia sdh jadi bos...aslan maaf yah aq ambil lg dah cantiknya buat langit...secara hati cantik blm kebuka buat yg lain...😀

2022-07-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!