Aslan

Malam itu suasana Ibukota terasa dingin dibandingkan malam-malam biasanya, namun Langit memilih untuk tetap diam berdiri dengan kedua tangan bertumpu diatas besi pembatas balkon kamarnya, menatap kearah jalanan yang tampak ramai dengan lalu lalang kendaraan, meski dengan pikirannya yang melanglang entah kemana.

Pertemuannya dengan Cantika, kemudian melihat sikapnya Cantika yang sekarang membuat perasaan Langit berkecamuk tak karuan.

Langit men desah pelan, memundurkan tubuhnya untuk kemudian bersandar ditembok kamarnya, menunduk menatap kedua ujung kakinya yang mulai terasa kebas akibat suasana malam yang semakin terasa dingin.

Entah mengapa bayangan senyum ceria Cantika dulu kini memenuhi isi kepalanya.

Lagi-lagi Langit men desah, mengusap kasar wajah dengan kedua tangannya, kemudian melirik jam dipergelangan tangan yang menunjukkan pukul sembilan malam.

Bergegas ia memasuki kamarnya, mengambil sesuatu yang selalu menjadi teman baiknya selama ini, sebuah ponsel yang terbilang cukup baru karena ia membelinya enam bulan yang lalu.

Cukup ragu saat tangannya bergerak pada salah satu menu aplikasi sosial media, karena beberapa tahun ini ia sudah tak lagi menggunakan nya.

Namun, dengan didorong rasa penasarannya yang besar, akhirnya Langitpun melanjutkan untuk membuka aplikasi tersebut, mengetikan nama seseorang disana didalam kolom pencarian, usai melakukan login terlebih dahulu.

Tersenyum saat menemukan akun seseorang yang ia cari, dan untuk beberapa menit lamanya ia seolah terhipnotis, dan tak merasa bosan saat memandangi salah satu foto si pemilik akun tersebut.

"Emily Cantika Putri." gumamnya lirih, dengan perasaan yang mendadak gusar.

*

*

Sesuai rencana, pagi ini Cantika mendatangi langsung lokasi ArsenioCafe yang terletak disamping bangunan tempat kakak pertamanya menimba ilmu dulu.

Para pekerja disana, tampak cekatan dengan didampingi seorang mandor yang cukup tegas mengarahkan mereka.

Bangunan yang kembali dibangun dari nol itu kini sudah mulai berdiri empat puluh lima persen dalam waktu satu minggu saja.

Sangat singkat bukan?

Bagaimana tidak, karena Ando sang ayah mengerahkan sejumlah pekerja lebih banyak dari biasanya, dan hal tersebut ia lakukan tentu karena ingin jika bangunan tersebut segera selesai, agar putrinya tidak lagi merasa sendirian dan mengurung diri didalam rumah berteman dengan sepi.

"Kira-kira butuh waktu berapa lama bang, sampai Cafenya selesai dibangun?" ujar Cantika memberanikan diri bertanya pada Aslan yang merupakan mandor muda dari proyek pembangunan Cafe tersebut.

"Mungkin sekitar dua minggu, ya kurang lebih segitu non." jawab Aslan seadanya.

"Panggil Cantika saja bang, nggak usah pakai embel-embel non segala." keluhnya, dengan nada tak suka saat Aslan memanggilnya dengan sebutan non.

Aslan yang semula fokus menatap kedepan, kini menoleh kearah Cantika yang tampak kepanasan, terlihat dari tangannya yang beberapa kali bergerak mengipasi wajah putihnya yang memerah, serta keringat yang mulai mengucur di dahinya.

"Tidak bisa non, nanti kesannya saya tidak sopan."

"CK, Abang formal sekali! aku kan bukan bos Abang, lagi pula aku nggak suka dipanggil non." balas Cantika dengan bibir sedikit mengerucut, membuat Aslan diam-diam mengulum senyum.

"Terus saya harus panggil apa?"

"Cantika aja, cukup!"

Aslan mengangguk, "Baik non_ eh Cantika."

"Nah gitu baru benar."

Kembali Aslan mengulum senyum, kemudian mengajak Cantika untuk menunggu di tenda saja, karena matahari semakin meninggi dengan teriknya yang menyengat menembus kulit.

"Minum dulu Tika." Aslan mengeluarkan sebotol air mineral yang memang disediakan didalam tenda, untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu para pekerja kekurangan air.

"Makasih bang."

"Sama-sama."

"Terus abang mau kemana?" tanyanya saat melihat Aslan hendak beranjak dari kursi kayu yang sama yang saat ini sedang di dudukinya.

"Mau melanjutkan mengecek kedepan."

"Terus saya bagaimana?!" Cantika menunjuk dirinya sendiri.

"Euhmz itu, Tika istirahat saja disini."

"Tapi ada banyak hal yang ingin saya tanyakan sama abang, ini mengenai pembangunan Cafe ini bang."

Terlihat Aslan mengangguk ragu, kemudian kembali duduk disamping Cantika.

Keduanya mulai larut dalam obrolan membahas tentang seputar bangunan yang setengah jadi tersebut.

Aslan dengan sabar menjawab pertanyaan apapun yang dilontarkan Cantika padanya, sedikit tidak menyangka bahwa gadis cantik yang merupakan putri bungsu dari seorang Alby Orlando Arsenio itu ternyata sangat asik saat mengobrol seperti ini.

"Oh iya bang, abang umur berapa?"

"Mau tahu."

"Ya, nggak mau ngasih tahu juga nggak apa-apa sih."

"Dua puluh delapan." jawab Aslan, yang sontak membuat Cantika memekik kaget.

"Ih abang serius,?"

"Memangnya kelihatan seperti orang yang sedang bercanda." ada kekehan kecil yang keluar dari mulutnya.

"Serius, saya kira abang seumuran sama bang Twins tahu, eh ternyata malah seumuran sama bang El ya."

"Siapa?"

"Kakak ku."

"Memang umur berapa kakaknya?"

"Bang Satria sama bang Satya dua puluh lima, kalau bang El ya dua puluh delapan."

Aslan tergelak tanpa sadar, "memangnya saya terlihat semuda itu?"

Cantika mengangguk sebagai jawaban.

"Masa sih?"

Cantika terdiam memandangi wajah Aslan yang memang cukup tampan dibandingkan kebanyakan mandor pada umumnya, jika di lihat-lihat kadar ketampanan nya tidak jauh berbeda dari Langit, hanya saja Aslan memiliki kulit yang sedikit gelap karena pekerjaannya memang berada diluar ruangan.

Mendadak ia sedikit salah tingkah, saat membayangkan orang yang duduk dihadapannya ini adalah Langitnya.

Laki-laki yang enam tahun ini berusaha mati-matian untuk ia lupakan, walaupun pada kenyataannya ia tak mampu.

"Kamu bisa saja, oh Iya ngomong-ngomong ini hari Selasa lho, kamu bolos sekolah?" tanya Aslan dengan mata memicing, membuat Cantika menatapnya jengah.

"Abang ngeledek ya, saya sudah lulus kuliah, sudah sarjana, bukan lagi anak sekolahan seperti yang abang kira."

Kini gantian Aslan yang terbelalak, dengan raut wajah tak percaya.

"Kamu_"

"Iya, memangnya abang nggak bisa membedakan antara anak sekolah dan perempuan yang sudah dewasa."

Aslan menggeleng, dengan mata mengerjap, meneliti wajah dan penampilan Cantika yang sama sekali tidak terlihat seperti gadis dewasa pada umumnya.

Tubuh mungil, wajah chubby, rambut panjang hitam sepunggung dengan ujungnya yang sedikit bergelombang membuatnya malah terlihat seperti Barbie, lucu dan menggemaskan.

"Kenapa?!"

"Kalau saya bilang saya tidak percaya bagaimana?"

"Ya harus."

"Slan, coumpoundnya habis!" teriak salah seorang pekerja dibagian pengadukan.

"Iya."

"Maaf Tika, sepertinya saya harus kembali bekerja."

"Baiklah, sebentar lagi saya juga mau pulang kok bang."

Dengan perasaan tak enak, Aslan bergegas kembali kelapangan, sementara Cantika memesan Taxi online untuk menjemputnya disana.

Tak langsung pulang, ia mampir kerumah Satya dan Stela untuk bertemu putri kecil mereka, Nafisa hingga siang tiba.

Dan setelahnya ia mampir ke pondok sate yang menjadi tempat langganannya bersama sang abang dari mereka kecil.

Namun, belum sempat kakinya menggapai teras pondok, sepasang mata milik seseorang yang berulang kali ingin ia hindari, tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit terbaca.

*

*

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus sehat

2023-04-17

0

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Cuekin aja Tika,,anggap aja dia makhluk gak nyata🤣🤣🤣

2023-01-12

0

Rosmi Yanti Yanti

Rosmi Yanti Yanti

zzw3

2022-12-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!