Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, tapi panasnya sinar mentari sudah terasa begitu menyengat. Di dalam konter, Bunga sudah menunggu kepulangan Putri dengan was-was. Bukan tanpa alasan, kesehatan putrinya memang tidak sebaik anak-anak lainnya. Hal itu yang terkadang membuat Bunga sedikit protektif padanya. Ia takut, sangat takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada Putri satu-satunya itu. Cukup sekali ia merasa kehilangan dan ia tak ingin kembali merasakan kehilangan. Batinnya bagai dihujam beribu belati. Sakit, sangat-sangat sakit. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini selain putrinya itu.
Pernah Bunga berpikir, akankah orang tuanya merindukan dirinya? Apakah ayahnya menyesal mengusir dirinya? Hingga saat kandungannya menginjak usia 5 bulan, ia memberanikan diri mengunjungi orang tuanya. Berharap mendapatkan rengkuhan penuh kerinduan. Tapi ... kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Ayah dan kakaknya justru menghardik dan mengusirnya tanpa rasa bersalah. Sejak itu, ia tak pernah menginjakkan kakinya di rumah itu lagi. Rumah tempat ia lahir dan dibesarkan. Rumah yang menyimpan berjuta kenangan yang takkan mungkin bisa terulang kembali.
"Mama," panggil Putri pelan membuat Bunga yang melamun seketika tersentak.
Wajahnya mendadak panik saat melihat darah segar mengalir dari hidung Putri. Sesuatu yang selalu ia takutkan dan benar dugaannya, Putri akan kembali mengalami mimisan akibat cuaca terlalu terik.
"Putri! Ya Allah, nak!" seru Bunga panik.
Bunga pun segera merengkuh tubuh mungil Putri dan mendudukkannya di kursi tempat ia tadi duduk. Lalu ia mencabut beberapa helai tisu untuk menyeka darah segar itu.
Setiap mengusap darah itu, tangan Bunga bergetar. Siapa sangka sebenarnya ia phobia terhadap darah. Ia takut melihat darah. Namun keadaan putrinya membuatnya mau tak mau harus memberanikan diri menghadapi ketakutannya. Ia selalu mendoktrin diirinya, ia harus kuat. Harus kuat. Tak boleh takut. Tak boleh lemah.
"Sejak kapan darahnya keluar sayang?" tanya Bunga.
Lalu Bunga mendongakkan kepala Putri untuk mencegah darah makin banyak keluar.
"Baru aja, ma. Waktu masuk lorong tiba-tiba aja darahnya keluar," ujar Putri benar-benar pelan. Ia tahu, putrinya itu sudah kelelahan dan merasa pusing.
"Sebentar ya, mama ambil air hangat dulu ya, sayang!" ujar Bunga yang sambil menahan isakannya.
Matanya sudah merah menahan tangis. Hati ibu mana yang tak sedih melihat buah hatinya menahan sakit seperti itu. Bunga ingin sekali pergi berobat ke rumah sakit, tapi ia tak punya uang. Ia tahu, pemeriksaan di rumah sakit itu membutuhkan biaya yang banyak. Belum lagi rasa ketakutannya saat mengetahui apa yang tengah di derita sang putri, membuatnya tak kuasa untuk menghadapinya.
Seandainya ia memiliki kartu jaminan kesehatan dari pemerintah, mungkin ia akan memberanikan diri ke rumah sakit, tapi ia juga tak punya. Bahkan kartu keluarga pun ia tak punya. Putri pun sampai sekarang tidak memiliki akta kelahiran. Mereka sudah seperti penduduk ilegal. Tidak memiliki identitas. Hanya ada kartu tanda penduduk yang telah mati setahun yang lalu. Saat ia membuatnya, masa berlakunya belum seperti sekarang yang seumur hidup. Bunga meringis pilu, mengapa semesta sepertinya belum puas menghukum semua dosa-dosanya. Bukankah di luar sana banyak orang-orang seperti dirinya, tapi mengapa mereka tetap bisa bahagia dan dirinya tidak? Hanya yang Kuasa-lah yang tahu.
Pernah juga Bunga berpikir untuk mencari pekerjaan dengan penghasilan yang lebih besar, tapi rata-rata pekerjaan itu tentu dilarang membawa anak-anak. Ia tak mungkin meninggalkan Putri seorang diri. Ia tak mungkin meninggalkannya seperti itu. Ia takut dan khawatir. Rasa cemasnya lebih besar pada Putri. Bersyukur ia mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan konter yang lokasinya tak begitu jauh dari sekolah Putri, jadi sepulang sekolah Putri bisa ke tempatnya bekerja. Jadi ia tidak harus meninggalkan Putri seorang diri.
"Minum ini, sayang! Terus minum parasetamolnya ya biar nggak pusing lagi!" ujar Bunga lembut seraya mengulurkan air minum ke mulut mungil Putri lalu memasukkan sebutir Paracetamol khusus anak-anak kemudian kembali menyodorkan air minum agar Putri dapat menelan obatnya dengan mudah.
Kemudian Bunga membantu Putri membuka pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian sehari-hari. Setelah itu ia mengambil waslap yang telah ia celupkan ke dalam air hangat dan mengusapnya ke wajah, leher, tangan, dan kaki Putri agar ia bisa beristirahat dengan nyaman.
"Putri mau makan buah? Tadi Om Niko bawain pisang Ambon buat Putri, Putri mau?" tawar Bunga seraya mengusap wajah Putri yang tampak mulai mengantuk.
"Nanti aja, Ma. Putri ngantuk. Mau bobok dulu," cicit Putri dengan mata sayunya. Lalu perlahan-lahan, mata Putri tertutup dan tertidur pulas.
Saat mata Putri telah terpejam sempurna, runtuhlah pertahanan yang sejak tadi Bunga bangun. Ia tergugu sambil menatap wajah Putri yang menyalin wajah Nathan itu. Hanya matanya saja yang membedakannya. Mata Putri dengan iris kecoklatan merupakan copy'an mata dirinya.
"Nak, mama mohon, kuatlah! Bertahanlah! Mama takkan sanggup bertahan bila sesuatu terjadi padamu," lirih Bunga sambil mengusap surai Putri yang hitam dan sedikit bergelombang.
"Ekhem... " Tiba-tiba suara dehaman seseorang menyentak Bunga dari isakannya. Ia lupa kalau sekarang ia sedang berada di tempatnya bekerja.
Bunga pun bergegas berdiri sambil mengusap kasar bulir-bulir bening yang tadi bergelimang di pipinya.
Setelah ia rasa sudah merasa lebih baik, barulah ia menghampiri seorang lelaki yang tengah berdiri di depan konter tempatnya bekerja.
"Maaf, kak! Ada yang bisa saya bantu? Mau beli pulsa, token, atau ... "
"Benar konter ini milik Niko?" potong laki-laki yang Bunga perkirakan usianya beberapa tahun di atasnya itu.
"Iya, benar. Kakak ini siapa ya? Ada perlu apa mencari Niko? Dia sedang nggak berada di sini," ujar Bunga menjelaskan.
"Apa dia masih kuliah?" tanya laki-laki itu lagi. Bunga mengernyit bingung, siapa sebenarnya laki-laki ini, pikirnya? Sepertinya ia tahu tentang Niko tapi mengapa justru mencari kemari? Bunga menelisik penampilan laki-laki itu, terlihat santai tapi elegan dengan kemeja berwarna biru dan celana bahan hitam. Tak lupa sepatu pantofel membalut telapak kakinya. Apa yang dikenakannya Bunga tahu merupakan barang yang cukup mahal. Ternyata laki-laki itu juga membawa mobil yang Bunga yakini cukup mahal.
"Iya. Kalau nggak salah dia pulang sore hari ini," sahut Bunga apa adanya.
"Oh," jawabnya singkat.
Bunga terdiam. Ia tidak tahu ingin mengatakan apalagi. Apalagi ia tidak mengenal siapa laki-laki itu.
"Perkenalkan, aku Edgar. Kakak sulung Niko," ujar laki-laki itu seraya mengulurkan telapak tangannya.
"Hah!" seru Bunga menganga tak percaya ternyata yang menghampirinya itu adalah kakak sulung Niko.
"Hei, kok bengong!" panggil laki-laki bernama Edgar itu sambil mengulum senyum membuat Bunga salah tingkah.
"Oh, jadi Anda kakaknya Niko. Saya pikir Anda debt colector mau nagih hutang," ejek Bunga seraya bercanda untuk memecah kecanggungan.
"Apa ada debt colector yang setampan saya?" tanyanya menyombongkan diri.
Bunga menggeleng tak percaya, ternyata kakak dan adik sama saja. Sama-sama narsis pikirnya.
"Kenapa menggeleng seperti itu?"
"Oh, tidak apa-apa. Hanya saja, ternyata Anda sama saja seperti Niko, sama-sama narsis," ujarnya dengan bibir tersenyum mengejek membuat Edgar tergelak.
"Pantas saja Niko lebih suka nongkrong di konternya dari pada di rumah. Ternyata di sini dia memiliki teman yang menyenangkan."
"Oh ya? Ah, perasaan tidak juga! Kan dia kuliah. Sebagian waktunya kadang lebih sering ia habiskan di kampus. Apalagi dia sedang tahap menyelesaikan skripsinya. Duh, hampir saja lupa! Silahkan masuk, kak!" ujar Bunga seraya menarik sebuah kursi untuk Edgar duduk.
Edgar pun mengikuti langkah Bunga. Tak lama kemudian, satu persatu pembeli muncul. Bunga pun melayani para pembeli secara bergantian dengan gesit namun tetap ramah. Edgar memperhatikan segala gerak-gerik Bunga, pun Putri yang masih tertidur pulas. Edgar sebenarnya iseng saja menyambangi konter Niko. Ia ada pekerjaan tak jauh dari konter itu jadi ia iseng ingin melihat konter yang menurut Niko ada bidadari tak bersayap di dalamnya.
"Apakah maksud Niko bidadari tak bersayap itu perempuan itu? Atau anak kecil itu?" gumam Edgar pelan sambil memandangi wajah Bunga yang masih terlihat sedikit sembab.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Pisces97
Edgar asisten nya Calvin itu ya Thor 🤭😁
2024-07-10
0
Widi Widurai
tp kl menyangkal terus, kl penyakit parah tambah parah
2022-10-24
1
Yuli Purwati
lanjut.😭😭😭semoga putri bisa sembuh ya sayang.thor,,,please jangan ambil putri ya thor
2022-09-01
0