Bab. XIV Kekhawatiran seorang ibu

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, tapi panasnya sinar mentari sudah terasa begitu menyengat. Di dalam konter, Bunga sudah menunggu kepulangan Putri dengan was-was. Bukan tanpa alasan, kesehatan putrinya memang tidak sebaik anak-anak lainnya. Hal itu yang terkadang membuat Bunga sedikit protektif padanya. Ia takut, sangat takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada Putri satu-satunya itu. Cukup sekali ia merasa kehilangan dan ia tak ingin kembali merasakan kehilangan. Batinnya bagai dihujam beribu belati. Sakit, sangat-sangat sakit. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini selain putrinya itu.

Pernah Bunga berpikir, akankah orang tuanya merindukan dirinya? Apakah ayahnya menyesal mengusir dirinya? Hingga saat kandungannya menginjak usia 5 bulan, ia memberanikan diri mengunjungi orang tuanya. Berharap mendapatkan rengkuhan penuh kerinduan. Tapi ... kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Ayah dan kakaknya justru menghardik dan mengusirnya tanpa rasa bersalah. Sejak itu, ia tak pernah menginjakkan kakinya di rumah itu lagi. Rumah tempat ia lahir dan dibesarkan. Rumah yang menyimpan berjuta kenangan yang takkan mungkin bisa terulang kembali.

"Mama," panggil Putri pelan membuat Bunga yang melamun seketika tersentak.

Wajahnya mendadak panik saat melihat darah segar mengalir dari hidung Putri. Sesuatu yang selalu ia takutkan dan benar dugaannya, Putri akan kembali mengalami mimisan akibat cuaca terlalu terik.

"Putri! Ya Allah, nak!" seru Bunga panik.

Bunga pun segera merengkuh tubuh mungil Putri dan mendudukkannya di kursi tempat ia tadi duduk. Lalu ia mencabut beberapa helai tisu untuk menyeka darah segar itu.

Setiap mengusap darah itu, tangan Bunga bergetar. Siapa sangka sebenarnya ia phobia terhadap darah. Ia takut melihat darah. Namun keadaan putrinya membuatnya mau tak mau harus memberanikan diri menghadapi ketakutannya. Ia selalu mendoktrin diirinya, ia harus kuat. Harus kuat. Tak boleh takut. Tak boleh lemah.

"Sejak kapan darahnya keluar sayang?" tanya Bunga.

Lalu Bunga mendongakkan kepala Putri untuk mencegah darah makin banyak keluar.

"Baru aja, ma. Waktu masuk lorong tiba-tiba aja darahnya keluar," ujar Putri benar-benar pelan. Ia tahu, putrinya itu sudah kelelahan dan merasa pusing.

"Sebentar ya, mama ambil air hangat dulu ya, sayang!" ujar Bunga yang sambil menahan isakannya.

Matanya sudah merah menahan tangis. Hati ibu mana yang tak sedih melihat buah hatinya menahan sakit seperti itu. Bunga ingin sekali pergi berobat ke rumah sakit, tapi ia tak punya uang. Ia tahu, pemeriksaan di rumah sakit itu membutuhkan biaya yang banyak. Belum lagi rasa ketakutannya saat mengetahui apa yang tengah di derita sang putri, membuatnya tak kuasa untuk menghadapinya.

Seandainya ia memiliki kartu jaminan kesehatan dari pemerintah, mungkin ia akan memberanikan diri ke rumah sakit, tapi ia juga tak punya. Bahkan kartu keluarga pun ia tak punya. Putri pun sampai sekarang tidak memiliki akta kelahiran. Mereka sudah seperti penduduk ilegal. Tidak memiliki identitas. Hanya ada kartu tanda penduduk yang telah mati setahun yang lalu. Saat ia membuatnya, masa berlakunya belum seperti sekarang yang seumur hidup. Bunga meringis pilu, mengapa semesta sepertinya belum puas menghukum semua dosa-dosanya. Bukankah di luar sana banyak orang-orang seperti dirinya, tapi mengapa mereka tetap bisa bahagia dan dirinya tidak? Hanya yang Kuasa-lah yang tahu.

Pernah juga Bunga berpikir untuk mencari pekerjaan dengan penghasilan yang lebih besar, tapi rata-rata pekerjaan itu tentu dilarang membawa anak-anak. Ia tak mungkin meninggalkan Putri seorang diri. Ia tak mungkin meninggalkannya seperti itu. Ia takut dan khawatir. Rasa cemasnya lebih besar pada Putri. Bersyukur ia mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan konter yang lokasinya tak begitu jauh dari sekolah Putri, jadi sepulang sekolah Putri bisa ke tempatnya bekerja. Jadi ia tidak harus meninggalkan Putri seorang diri.

"Minum ini, sayang! Terus minum parasetamolnya ya biar nggak pusing lagi!" ujar Bunga lembut seraya mengulurkan air minum ke mulut mungil Putri lalu memasukkan sebutir Paracetamol khusus anak-anak kemudian kembali menyodorkan air minum agar Putri dapat menelan obatnya dengan mudah.

Kemudian Bunga membantu Putri membuka pakaiannya dan menggantinya dengan pakaian sehari-hari. Setelah itu ia mengambil waslap yang telah ia celupkan ke dalam air hangat dan mengusapnya ke wajah, leher, tangan, dan kaki Putri agar ia bisa beristirahat dengan nyaman.

"Putri mau makan buah? Tadi Om Niko bawain pisang Ambon buat Putri, Putri mau?" tawar Bunga seraya mengusap wajah Putri yang tampak mulai mengantuk.

"Nanti aja, Ma. Putri ngantuk. Mau bobok dulu," cicit Putri dengan mata sayunya. Lalu perlahan-lahan, mata Putri tertutup dan tertidur pulas.

Saat mata Putri telah terpejam sempurna, runtuhlah pertahanan yang sejak tadi Bunga bangun. Ia tergugu sambil menatap wajah Putri yang menyalin wajah Nathan itu. Hanya matanya saja yang membedakannya. Mata Putri dengan iris kecoklatan merupakan copy'an mata dirinya.

"Nak, mama mohon, kuatlah! Bertahanlah! Mama takkan sanggup bertahan bila sesuatu terjadi padamu," lirih Bunga sambil mengusap surai Putri yang hitam dan sedikit bergelombang.

"Ekhem... " Tiba-tiba suara dehaman seseorang menyentak Bunga dari isakannya. Ia lupa kalau sekarang ia sedang berada di tempatnya bekerja.

Bunga pun bergegas berdiri sambil mengusap kasar bulir-bulir bening yang tadi bergelimang di pipinya.

Setelah ia rasa sudah merasa lebih baik, barulah ia menghampiri seorang lelaki yang tengah berdiri di depan konter tempatnya bekerja.

"Maaf, kak! Ada yang bisa saya bantu? Mau beli pulsa, token, atau ... "

"Benar konter ini milik Niko?" potong laki-laki yang Bunga perkirakan usianya beberapa tahun di atasnya itu.

"Iya, benar. Kakak ini siapa ya? Ada perlu apa mencari Niko? Dia sedang nggak berada di sini," ujar Bunga menjelaskan.

"Apa dia masih kuliah?" tanya laki-laki itu lagi. Bunga mengernyit bingung, siapa sebenarnya laki-laki ini, pikirnya? Sepertinya ia tahu tentang Niko tapi mengapa justru mencari kemari? Bunga menelisik penampilan laki-laki itu, terlihat santai tapi elegan dengan kemeja berwarna biru dan celana bahan hitam. Tak lupa sepatu pantofel membalut telapak kakinya. Apa yang dikenakannya Bunga tahu merupakan barang yang cukup mahal. Ternyata laki-laki itu juga membawa mobil yang Bunga yakini cukup mahal.

"Iya. Kalau nggak salah dia pulang sore hari ini," sahut Bunga apa adanya.

"Oh," jawabnya singkat.

Bunga terdiam. Ia tidak tahu ingin mengatakan apalagi. Apalagi ia tidak mengenal siapa laki-laki itu.

"Perkenalkan, aku Edgar. Kakak sulung Niko," ujar laki-laki itu seraya mengulurkan telapak tangannya.

"Hah!" seru Bunga menganga tak percaya ternyata yang menghampirinya itu adalah kakak sulung Niko.

"Hei, kok bengong!" panggil laki-laki bernama Edgar itu sambil mengulum senyum membuat Bunga salah tingkah.

"Oh, jadi Anda kakaknya Niko. Saya pikir Anda debt colector mau nagih hutang," ejek Bunga seraya bercanda untuk memecah kecanggungan.

"Apa ada debt colector yang setampan saya?" tanyanya menyombongkan diri.

Bunga menggeleng tak percaya, ternyata kakak dan adik sama saja. Sama-sama narsis pikirnya.

"Kenapa menggeleng seperti itu?"

"Oh, tidak apa-apa. Hanya saja, ternyata Anda sama saja seperti Niko, sama-sama narsis," ujarnya dengan bibir tersenyum mengejek membuat Edgar tergelak.

"Pantas saja Niko lebih suka nongkrong di konternya dari pada di rumah. Ternyata di sini dia memiliki teman yang menyenangkan."

"Oh ya? Ah, perasaan tidak juga! Kan dia kuliah. Sebagian waktunya kadang lebih sering ia habiskan di kampus. Apalagi dia sedang tahap menyelesaikan skripsinya. Duh, hampir saja lupa! Silahkan masuk, kak!" ujar Bunga seraya menarik sebuah kursi untuk Edgar duduk.

Edgar pun mengikuti langkah Bunga. Tak lama kemudian, satu persatu pembeli muncul. Bunga pun melayani para pembeli secara bergantian dengan gesit namun tetap ramah. Edgar memperhatikan segala gerak-gerik Bunga, pun Putri yang masih tertidur pulas. Edgar sebenarnya iseng saja menyambangi konter Niko. Ia ada pekerjaan tak jauh dari konter itu jadi ia iseng ingin melihat konter yang menurut Niko ada bidadari tak bersayap di dalamnya.

"Apakah maksud Niko bidadari tak bersayap itu perempuan itu? Atau anak kecil itu?" gumam Edgar pelan sambil memandangi wajah Bunga yang masih terlihat sedikit sembab.

...***...

...Happy reading 🥰🥰🥰...

Terpopuler

Comments

Pisces97

Pisces97

Edgar asisten nya Calvin itu ya Thor 🤭😁

2024-07-10

0

Widi Widurai

Widi Widurai

tp kl menyangkal terus, kl penyakit parah tambah parah

2022-10-24

1

Yuli Purwati

Yuli Purwati

lanjut.😭😭😭semoga putri bisa sembuh ya sayang.thor,,,please jangan ambil putri ya thor

2022-09-01

0

lihat semua
Episodes
1 Bab. I Asmara Putih abu-abu
2 Bab. II Dimabuk asmara
3 Bab. III Dua garis
4 Bab. IV Hurt
5 Bab. V Maafkan mama
6 Bab. VI Si cantik yang menggemaskan
7 Bab. VII Bolos
8 Bab. VIII Mencari Bunga
9 Bab. IX Bunga, maafkan aku.
10 Bab. X Keributan
11 Bab. XI Hampir
12 Bab. XII Bertemu Putri
13 Bab. XIII Sorot mata yang mirip
14 Bab. XIV Kekhawatiran seorang ibu
15 Bab. XV Merindukan Putri
16 Bab. XVI Penjelasan
17 Bab. XVII Putri
18 Bab. XVIII Tak ingin kembali kehilangan
19 Bab. XIX Dimana anak kita?
20 Bab. XX Curahan hati Putri
21 Bab. XXI Keyakinan Putri
22 Bab. XXII Papa untuk Putri
23 Bab. XXIII Putri mau papa
24 Bab. XXIV Om baik mana, ya?
25 Bab. XXV Bertemu ?
26 Bab. XXVI Papa, jangan pergi lagi!
27 Bab. XXVII Hurt
28 Bab. XXVIII Terpaksa mengalah
29 Bab. XXIX A day with ...
30 Bab. XXX Mungkinkah
31 Bab. XXXI Luka Bunga
32 Bab. XXXII Protes Putri
33 Bab. XXXIII Khawatir
34 Bab. XXXIV Sikap orang tua Edgar
35 Bab. XXXV Sebuah Penawaran
36 Bab. XXXVI
37 Bab. XXXVII Ke rumah orang tua Bunga
38 Bab. XXXVIII Benar-benar Kecewa
39 Bab. XXXIX
40 Bab. XL
41 Bab. XLI
42 Bab. XLII Benci tapi cinta
43 Bab. XLIII Amarah Karlina
44 Bab. XLIV Kabar tak terduga
45 Bab. XLV Rumah Sakit
46 Bab. XLVI Takut dan cemas
47 Bab. XLVII Kata-kata polos penuh harapan
48 Bab. XLVIII Putus asa
49 Bab. XLIX Mulai menyadari
50 Bab. L Kenyataan memilukan
51 Bab. LI Penyesalan
52 Bab. LII Izin
53 Bab. LIII Semburat sendu di hari istimewa
54 Bab. LIV VC with Putri
55 Bab. LV Kabar mengejutkan sekaligus membingungkan
56 Bab. LVI Kiss
57 Bab. LVII Takkan pernah terganti
58 Bab. LVIII Kembali berjuang demi Putri
59 Bab. LIX
60 Bab. LX Permintaan Putri
61 Bab. LXI Menggenggam hati
62 Bab. LXII Hamil?
63 BAB. LXIII Definisi mencintai
64 Bab. LXIV KAMU
65 Bab. LXV Hari Bahagia
66 Bab. LXVI Dulu, kini, dan nanti.
67 Bab. LXVII Perkara durian
68 Bab. LXVIII Perhatian Nathan
69 Bab. LXIX
70 Bab. LXX
71 BAB. LXXI See you and bye-bye
72 Special from othor D'wie
Episodes

Updated 72 Episodes

1
Bab. I Asmara Putih abu-abu
2
Bab. II Dimabuk asmara
3
Bab. III Dua garis
4
Bab. IV Hurt
5
Bab. V Maafkan mama
6
Bab. VI Si cantik yang menggemaskan
7
Bab. VII Bolos
8
Bab. VIII Mencari Bunga
9
Bab. IX Bunga, maafkan aku.
10
Bab. X Keributan
11
Bab. XI Hampir
12
Bab. XII Bertemu Putri
13
Bab. XIII Sorot mata yang mirip
14
Bab. XIV Kekhawatiran seorang ibu
15
Bab. XV Merindukan Putri
16
Bab. XVI Penjelasan
17
Bab. XVII Putri
18
Bab. XVIII Tak ingin kembali kehilangan
19
Bab. XIX Dimana anak kita?
20
Bab. XX Curahan hati Putri
21
Bab. XXI Keyakinan Putri
22
Bab. XXII Papa untuk Putri
23
Bab. XXIII Putri mau papa
24
Bab. XXIV Om baik mana, ya?
25
Bab. XXV Bertemu ?
26
Bab. XXVI Papa, jangan pergi lagi!
27
Bab. XXVII Hurt
28
Bab. XXVIII Terpaksa mengalah
29
Bab. XXIX A day with ...
30
Bab. XXX Mungkinkah
31
Bab. XXXI Luka Bunga
32
Bab. XXXII Protes Putri
33
Bab. XXXIII Khawatir
34
Bab. XXXIV Sikap orang tua Edgar
35
Bab. XXXV Sebuah Penawaran
36
Bab. XXXVI
37
Bab. XXXVII Ke rumah orang tua Bunga
38
Bab. XXXVIII Benar-benar Kecewa
39
Bab. XXXIX
40
Bab. XL
41
Bab. XLI
42
Bab. XLII Benci tapi cinta
43
Bab. XLIII Amarah Karlina
44
Bab. XLIV Kabar tak terduga
45
Bab. XLV Rumah Sakit
46
Bab. XLVI Takut dan cemas
47
Bab. XLVII Kata-kata polos penuh harapan
48
Bab. XLVIII Putus asa
49
Bab. XLIX Mulai menyadari
50
Bab. L Kenyataan memilukan
51
Bab. LI Penyesalan
52
Bab. LII Izin
53
Bab. LIII Semburat sendu di hari istimewa
54
Bab. LIV VC with Putri
55
Bab. LV Kabar mengejutkan sekaligus membingungkan
56
Bab. LVI Kiss
57
Bab. LVII Takkan pernah terganti
58
Bab. LVIII Kembali berjuang demi Putri
59
Bab. LIX
60
Bab. LX Permintaan Putri
61
Bab. LXI Menggenggam hati
62
Bab. LXII Hamil?
63
BAB. LXIII Definisi mencintai
64
Bab. LXIV KAMU
65
Bab. LXV Hari Bahagia
66
Bab. LXVI Dulu, kini, dan nanti.
67
Bab. LXVII Perkara durian
68
Bab. LXVIII Perhatian Nathan
69
Bab. LXIX
70
Bab. LXX
71
BAB. LXXI See you and bye-bye
72
Special from othor D'wie

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!