Setelah selesai makan bersama, Dara sepertinya mengajak Niko untuk pergi bersama. Namun, sebelum Niko pergi, ia mengajakku berbicara empat mata di sudut kantin.
“Nad, makasih banyak ya kamu bisa mengerti kondisi aku saat ini,” katanya sambil menatap wajahku begitu lekat.
“Aku ngerti, kamu tidak ingin mengecewakan Dara, kan? Bagaimana pun juga, Dara adalah cinta pertama kamu. Dan, aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan saat ini. Kamu juga pasti dalam kondisi yang sulit di mana kamu harus bisa menjaga perasaan aku dan juga Dara.
“Sejak semalam kita bertengkar, aku memikirkan banyak hal. Kalau pun aku berada di posisi kamu saat ini, aku juga pasti akan akan melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan. Aku putuskan Niko, kita harus merahasiakan pernikahan kita dari Dara sampai keadaan sudah mulai membaik.”
Niko menatap wajahku begitu lekat. Ia mengenggam kedua tanganku dan tersenyum lembut padaku.
“Aku tahu kamu pasti bisa mengerti keadaanku sekarang ini. Dan, aku yakin kamu memang orang yang paling bisa mengerti aku. Terimakasih banyak, Nad.”
Aku mencoba untuk tersenyum dan menyembunyikan rasa sedihku. Kamu kuat Nadia, kamu pasti bisa. Semangat!
“Pergilah, Dara sudah menunggumu.”
Niko mengangguk seraya melepaskan kedua tanganku kemudian pergi. Namun, langkahnya seketika terhenti. Ia membalikkan tubuhnya dan menatap wajahku dengan sorotan mata yang sangat sulit diartikan.
“Kamu percaya padaku kan, Nad?” tanyanya.
“Aku percaya padamu, Niko,” jawabku pendek.
Niko kemudian pergi, aku menatap kepergiaannya dari kejauhan. Kini, aku yakin satu hal, kalau sebenarnya aku merasakan hal itu lagi. Aku. . . aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta lagi kepada Niko yang kini menjadi suamiku.
Sambil duduk termenung di bangku taman kampus, aku memikirkan banyak hal. Ketika aku jatuh cinta kepada Niko untuk pertama kalinya, aku belum bisa sedekat ini dengannya.
Untuk kedua kalinya aku jatuh cinta padanya, aku merasa kalau aku begitu jauh darinya. Walau kami tinggal di tempat yang sama, tapi hatiku terasa sangat jauh dengan hatinya. Bila memang kita harus berpisah, tapi aku bahagia bisa masuk ke dalam kehidupannya. Dan, aku tidak pernah menyesal pernah mencintainya.
“Kenapa lo membiarkan suami lo pergi bersama perempuan lain?” tanya seseorang yang tiba\-tiba duduk di sampingku.
Aku menatapnya. Ternyata, orang itu adalah Maxime.
“Kenapa lo menikah dengan Niko kalau pada akhirnya dia memilih wanita lain?” tanyanya dengan nada sinis.
“Elo tidak akan pernah mengerti dengan apa yang telah terjadi diantara gue dengan Niko, Max.”
“Apa lo mencintai Niko?” tanya Maxime yang membuatku kini menatapnya.
“Cinta atau tidak itu bukan urusan lo, Max,” kataku yang kemudian pergi.
“Apa lo rela melepas orang yang lo cintai pergi ke pelukan orang lain? Apa lo rela melepas orang yang lo cintai hanya untuk orang lain?” serunya yang membuat langkahku terhenti. “Gue tahu, cinta lo untuk Niko tulus, kan?”
“Apa yang lo tahu tentang Niko? Apa lo merasa elo mengenal Niko juga?”
“Niko itu sahabat lo sejak kecil, gadis yang kini pergi bersama dengan Niko juga adalah sahabat lo juga, kan? Sejak kecil rumah kalian berdekatan, kalian juga sering bermain bersama. Niko adalah anak yang pintar, dia paling tidak tega melihat perempuan menangis. Benarkan?”
Aku mendekatkan diri ke arah Maxime dan menatap wajahnya begitu tajam. Jarak kami sekarang benar\-benar dekat sekali, bahkan aku sampai bisa merasakan hembusan nafasnya yang tidak beraturan.
“Siapa lo sebenernya? Kenapa lo banyak tahu tentang gue dan juga Niko?”
“Gue siapa? Gue guardian angel lo, Nad. Gue akan selalu ada di samping lo saat lo membutuhkan gue.”
“Gue tidak membutuhkan seorang guardian angel, gue hanya membutuhkan jawaban kenapa elo bisa tahu semua tentang gue dan juga Niko?”
Maxime mendekat ke arahku dan memegang kedua bahuku sambil menatapku dengan begitu lekat.
“Suatu hari nanti elo pasti akan tahu gue siapa.”
“Kenapa lo tidak mengatakan sekarang saja siapa lo yang sebenarnya? Kenapa lo harus merahasiakan identitas lo?”
“Lupakan soal identitas gue. Sekarang lo pasti butuh hiburan, kan? Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Gue siap menemani hari ini bersama lo.”
Untuk kesekian kalinya, Maxime menyembunyikan identitas dirinya yang sebenarnya dariku. Tapi, entah kenapa aku merasa nyaman jika bersama dengannya, aku juga tidak merasa terbebani dengan keberadaanya di sampingku. Karena Maxime menawarkan diri untuk menemaniku, aku pun memutuskan untuk mengajaknya pergi menonton film bersama.
Selama di dalam bioskop, aku dengannya sama\-sama menonton film horor. Dan, selama kami berada di dalam bioskop, aku dan Maxime begitu menikmati film yang kami tonton. Maxime orang yang sangat ramah dan juga baik, ia sangat bisa diandalkan dan begitu melindungiku.
Ketika aku lelah, dia menawarkan minuman untukku. Ketika kami berada di dalam lift yang penuh dengan orang, ia datang menjagaku dengan berdiri di depanku seraya menahan kerumunan orang agar tidak menabrakku. Maxime juga menggandeng tanganku saat kami hendak menyebrang jalan. Aku benar-benar sangat terlindungi dengan keberadaanya di sisiku.
“Mau bermain sepeda?” tanyanya padaku.
“Sepeda? Boleh juga, ayo!”
Maxime tersenyum dan membawakan satu buah sepeda yang sengaja ia sewa. Maxime juga mempersilahkanku untuk duduk di belakangnya. Kami pun mengelilingi jalanan dengan menaiki sepeda bersama\-sama.
“Kenapa elo membawa gue ke sini?” tanyaku saat Maxime membawaku ke taman bermain, tempat kenanganku bersama dengan Niko dan juga Dara.
“Tempat ini tempat kenangan untuk gue, Nad,” jawabnya pelan.
“Tempat kenangan?”
“Iya, tempat ini mengingatkan gue kepada nyokap gue. Sebelum gue pindah ke Jerman, gue bersama nyokap dan adik gue sering pergi bermain di sini. Gue masih ingat saat adik gue menangis karena tejatuh dari ayunan, nyokap gue datang memeluk adik gue dan mengatakan ‘*anak gadis mamah tidak boleh nangis, anak gadis mamah anak yang hebat*’ itulah kata\-kata nyokap yang selalu bisa membuat anak\-anaknya tenang dan merasa aman,” ceritanya dengan mata berkaca\-kaca.
“Gue juga sering banget menjahili adik gue dan dia selalu kesal karena gue paling senang mengejeknya pendek. Dan di tempat ini, gue dengan adik gue sering bermain kejar\-kejaran. Akh, gue jadi merindukan masa lalu.”
Mendengar cerita masa lalu Maxime, ternyata gue bisa melihat sisi lain darinya. Dia sangat menyayangi ibunya dan juga adiknya. Pasti, Maxime sosok kakak yang berhati lembut dan juga hangat.
“Elo sayang banget ya sama adik dan nyokap lo?”
“Sayang banget, Nad. Gue sangat menyayangi adik dan nyokap gue. Mereka itu yang membuat gue ada di sini lagi,” katanya sambil memegang sebuah kalung berbentuk hati yang ia pakai di lehernya.
“Memangnya, adik dan nyokap lo sekarang di mana? Di Jerman atau di sini?” tanyaku penasaran.
Maxime menatap samar. Ia memandangi langit sore dengan mata sendunya.
“Nyokap gue sudah meninggal 2 tahun yang lalu karena sakit keras. Sedangkan bokap gue dan dua kakak gue menetap di Jerman karena mereka berkebangsaan Jerman,” ceritanya sambil tersenyum tipis.
“Oh, sorry gue nggak tahu.”
“I’ts oke.”
Dia kembali tersenyum. Tapi, kali ini senyumannya terlihat hampa. Kedua bola matanya kosong seperti memikul beban yang begitu berat.
“So, adik lo ke mana?” tanyaku kembali.
“Adik gue ada . . . .”
Belum sempat Maxime melanjutkan perkataannya, aku begitu terkejut karena aku baru saja melihat Niko bersama dengan Dara tengah bermain ayunan.
“Loh, Dara sama Niko ada di sini juga? Apa gue ke sana aja, yah? Tapi, gue takut mengganggu mereka. Tapi, gue samperin aja, deh.”
Belum sempat aku menghampiri Dara dan Niko yang sedang bersama, aku dikejutkan dengan Dara yang tiba\-tiba saja mencium bibir Niko. Rasanya tanganku seperti ditusuk oleh jarum dan hatiku seperti dihujam ribuan panah.
Aku mematung seketika dan tidak bisa bergerak sama sekali. Tiba\-tiba saja Maxime menarik tanganku dan memelukku begitu erat. Ia membuatku berhenti untuk memandangi pemandangan buruk itu.
Dalam sekejap, aku menangis di dalam pelukannya. Air mataku sudah tidak dapat aku bendung lagi. Tangisanku mulai pecah dan Maxime semakin mempererat pelukannya. Aku berusaha untuk tidak melihat kejadian itu, tapi kaki ini tidak mengikuti apa kata hatiku.
Aku tetap ingin melangkahkan kaki ini ke arah mereka, tapi Maxime tidak mengijinkannya. Ia mendekap tubuhku begitu erat sampai aku tidak dapat melepaskan pelukannya. Apa ini rasanya patah hati? Rasanya sungguh menyakitkan dan aku tidak ingin merasakan hal ini lagi.
“Lo baik\-baik aja kan, Nad?” tanya Maxime saat melihatku hanya berdiam diri saja dan tak mengeluarkan suara sama sekali.
“Gue benci harus mengalah seperti ini. Gue benci dengan diri gue sendiri yang sering mengalah karena cinta. Gue benci melihat Niko bersama Dara dan gue paling benci dengan perasaan yang gue rasakan untuk Niko. Apa cinta harus sebegitu menyedihkannya?”
Maxime menarik tanganku dan memegang kedua bahuku dengan menatapku begitu tajam.
“Sebesar apa cinta lo untuk Niko, Nad? Apa sudah tak ada kesempatan lagi kah untuk laki\-laki lain yang ingin mencintaimu dengan tulus?” tanya Maxime tiba\-tiba yang membuatku menatapnya.
“Gue nggak tahu sebesar apa rasa cinta gue untuk Niko, tapi yang jelas rasa sakit inilah takaran rasa cinta gue untuknya. Dan, sebesar itulah cinta gue untuknya.”
Maxime tersenyum. Dia memegang kepalaku dengan lembut dan membelai\-belai rambutku dengan penuh kasih sayang. Pandangan matanya terlihat penuh rasa kasih sayang yang sangat tulus. Aku takut, kebaikan dan rasa kasih sayang yang diberikan Maxime padaku akan memberikan rasa penyesalan untuknya.
Walau kami baru kenal beberapa hari ini, tapi aku senang bisa mengenalnya dan bisa sedekat ini dengannya. Maxime memang seperti malaikat tanpa sayap yang sengaja dikirim Tuhan untuk menjagaku.
“Gue harap, semoga elo bisa mendapatkan wanita yang baik untuk masa depan lo kelak, Max,” kataku pelan.
“Elo juga wanita yang baik, bahkan gue sudah mendapatkan wanita baik itu. Dan, wanita itu sekarang ada di hadapan gue,” jawabnya yang membuatku kembali menatapnya dengan lirih.
“Elo terlalu baik untuk gue, Max. Gue nggak mau menyakiti lo. Elo sendiri tahu kan gue sudah bersuami dan elo sendiri tahu kan kalau gue sangat mencintai Niko.”
Maxime menggenggam kedua tanganku dengan lembut dan menatapku begitu dalam.
“Gue tidak peduli elo sudah bersuami atau pun elo mencintai pria lain. Rasa sayang gue untuk lo tidak akan pernah berubah dan berkurang sedikit pun. Elo tidakak harus membalas rasa sayang gue, Nad. Dengan elo yang selalu ada bersama gue dan elo yang selalu tersenyum cerah, itu sudah lebih dari cukup untuk gue.”
Entah kenapa, rasanya aku ingin sekali memeluknya. Berkat kehadirannya, kali ini aku sudah cukup terhibur dan tidak begitu kesepian. Aku memeluk Maxime begitu erat. Dengan pelukan ini, setidaknya aku bisa membalas kebaikannya selama ini padaku.
“Terimakasih banyak, Max. Tanpa elo, gue tidak akan sekuat ini.”
Maxime tersenyum tipis. Ia membalas pelukanku dan membuatku merasa nyaman di dalam pelukannya. Karena hari sudah malam, aku memutuskan untuk tidak pulang ke rumahku. Yang bisa aku lakukan saat ini hanya pulang ke rumah kedua orang tuaku. Karena seharian ini aku pergi bersama dengan Maxime, ia pun dengan senang hati mengantarku pulang.
“Mampir dulu yuk, Max. Nanti gue kenalin lo sama kedua orang tua gue.”
“Kedua orang tua lo?” ulangnya tampak terkejut.
“Iya, gue mau mengenalkan lo sama papah dan mamah. Mereka sepertinya ada di dalam.”
“Akh, tidak usah. Lebih baik gue pulang aja, gue takut mengganggu.”
“Ko, pulang sih? Ayolah, kita masuk saja dulu.”
“Nadia?” panggil seseorang yang membuatku dan juga Maxime membalikkan badan ke arah sumber suara.
“Papah!” kataku yang langsung berlari\-lari kecil menghampiri papah sekaligus mencium telapak tangannya.
“Dengan siapa kamu ke sini? Dengan Niko?”
"Nadia ke sini sama temen Nadia. Maxime, sini!” teriakku memanggilnya.
Maxime tampaknya terlihat sangat terkejut ketika melihat papahku datang. Dengan langkah perlahan, ia menghampiriku dan papah yang berada di depan pintu rumah. Ketika dirinya dan papah saling berhadapan, entah kenapa aku melihat Maxime seperti hendak meneteskan air matanya. Apa mungkin ia merindukan sosok ayahnya yang berada di Jerman?
“Malam om, saya Maxime teman satu kampus Nadia,” katanya pelan sambil memperkenalkan diri.
“Malam, terimakasih ya sudah mengantar anak om ke sini,” tutur papah pelan.
“Iya, sama\-sama, Om.”
“Ayo, masuk dulu,” ajak papah.
“Sudah malam, lebih baik saya pulang saja.”
“Ayolah Max, sebentar aja,” pintaku setengah memaksa.
Maxime terlihat sedang menimbang\-nimbang. Pada akhirnya, ia setuju dan ia pun masuk ke dalam rumah. Selama di dalam, entah kenapa rasanya aku ingin sekali memperkenalkan Maxime kepada mamah, papah dan juga Kesya.
Untungnya, kedua orang tuaku juga Kesya menerimanya dengan pintu terbuka. Melihat papah yang sedang berbincang\-bincang dengan Maxime di ruang tamu, aku pun membiarkan mereka berdua mengobrol sebentar sementara aku pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.
“Sudah lama tinggal di Indonesia?” tanya papah.
“Baru 2 mingguan om, tapi dulu saya sempat tinggal di Indonesia beberapa tahun. Kemudian, saya dan ibu saya pindah ke Jerman untuk menetap di sana,” ceritanya yang tak berani menatap wajah papah.
“Sepertinya, kita pernah bertemu sebelumnya? Om merasa seperti sudah mengenal kamu begitu lama,” kata papah dengan mata menyelidik.
“Oh, iya? Mungkin wajah saya familiar, jadi om seperti merasa pernah bertemu dengan saya,” jawabnya seraya mengalihkan pandangan matanya.
“Ciee yang udah akrab!” kataku sambil membawa dua gelas kopi susu dan beberapa makanan ringan.
“Kamu ini, papah tinggal dulu deh kalau begitu.”
Sepeninggal papah, Maxime tampak terlihat sedang menundukkan kepalanya. Ia seperti sedang menghapus air matanya yang tadi aku lihat sempat menetes.
“Menangis saja jika kamu memang ingin menangis.”
Maxime tersenyum. Ia menatapku dengan kedua bola yang terlihat sedang menyembunyikan kesedihannya.
“Gue tidak selemah itu, Nad.”
“Elo pasti merindukan ayah lo yang berada di Jerman, kan?”
“Iyaa,” jawabnya yang langsung mengalihkan pandangan matanya.
“Kalau lo memang merindukan ayah lo, coba lo telepon ayah lo. Pasti, beliau akan senang.”
“Nanti gue coba. Oh, ya elo mau pulang atau menginap di sini?”
“Gue menginap di sini saja. Lagi pula, gue merindukan suasana rumah. Sudah lama juga gue nggak pulang,” kataku terpaksa berbohong.
Aku memang tidak ingin pulang dulu ke rumah, karena aku masih belum siap untuk bertemu dengan Niko.
“Kalau gitu gue pamit pulang, yah? Sudah malam juga.”
Aku mengangguk pelan. Setelah berpamitan kepada kedua orang tuaku, akhirnya Maxime pulang juga. Rasanya, hari ini aku banyak berhutang budi padanya. Ternyata, ada sisi lain yang selama ini tidak aku ketahui tentangnya. Maxime banyak menyimpan rahasia dan sepertinya Maxime bukan orang yang jahat. Dia hanya kesepian dan membutuhkan seorang teman di sampingnya.
“Maxime anak yang baik. Iya kan, mah?” kata papah tiba\-tiba setelah Maxime pergi.
“Iya, Maxime anak yang baik. Dia juga anaknya sopan sama orang tua,” tutur mamah menyetujui perkataan papah.
“Dia juga ganteng,” seru Kesya yang tiba\-tiba muncul.
“Hey, dasar anak kecil. Tahu apa sih kamu tentang orang ganteng?” kataku gemas sambil mencubit pipi adikku yang chubby.
“Ikh, kak Nadia jangan cubit\-cubit pipi Kesya terus. Kesya kan udah gede!”
Kesya, adikku yang paling suka melihat pria tampan. Hobbynya itu nonton drama Korea dan menyukai Sehun Exo. Kamarnya dipenuhi dengan big poster member termuda di Exo tersebut. Entah kenapa, dunia K\-pop cepat sekali masuk ke otaknya dari pada mata pelajaran. Diminta papah untuk mengikuti les Bahasa Inggris, ia lebih memilih Bahasa Korea ketimbang bahasa Inggris yang menurutnya itu rumit.
“Udah gede dari mana, baru masuk Smp aja udah sok gede kamu!”
“Kesya emang udah gede tahu!” katanya sambil menjulurkan lidahnya kemudian pergi.
Usia Kesya masih 13 tahun, tapi dia tidak pernah mau di sebut anak kecil. Menurutnya, usia 13 tahun itu sudah bisa dibilang remaja. Adikku yang paling centil dan bawel ini memang paling bisa menghidupkan suasana rumah agar terlihat lebih ceria dan juga hangat.
Inilah suasana yang aku rindukan selama setahun ini. Bercengkrama dengan adikku, berbincang\-bincang dengan kedua orang tuaku dan berkumpul bersama orang\-orang tercinta. Rasanya, aku jadi ingin kembali ke masa lalu, di mana aku belum menikah dan belum berpacaran dengan Niko.
“Kamu tumben pulang ke rumah? Kamu lagi berantem sama Niko?” tanya mamah tiba\-tiba.
“Ya gitu deh, Mah. Biasalah anak muda,” kataku pelan sambil menundukkan kepala dan mengayun\-ayunkan kedua kakiku.
“Tidak baik marah lama\-lama sama suami. Yang namanya rumah tangga itu, sudah berbeda dengan yang namanya pacar\-pacaran. Iya kan, Pah?” kata mamah sambil merapihkan gelas minuman yang berada di ruang tamu.
“Benar kata mamahmu, papah tidak melarang kamu menginap di sini. Tapi, apa kamu sudah meminta izin sama suamimu?”
“Nanti Nadia telepon untuk kasih kabar,” kataku sambil menggaruk\-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Papah yang kebetulan sedang membaca buku tentang ilmu hukum yang terlihat tebat itu, langsung menutup bukunya. Papah memang salah satu dosen di universitas swasta ternama di Jakarta. Dulunya papah adalah seorang Jaksa, tapi karena usianya sudah mulai memasuki kepala 5, papah memutuskan untuk menjadi dosen saja.
“Oh, iya kamu kenal Maxime di mana? Ko, rasanya papah seperti pernah bertemu dengannya sebelumnya."
“Nadia ketemu di kampus sih, Pah. Tapi, Maxime itu sedikit aneh menurutku. Dia tahu banyak soal Nadia dan juga Niko. Padahal, kita baru saja kenal, apa jangan\-jangan Maxime itu peramal?”
“Ngaco kamu, peramal dari mana coba,” tawa papah hingga membuat mamah terkekeh mendengar celotehanku.
“Tapi, Maxime kasihan juga, Pah. Mamahnya 2 taun yang lalu meninggal karena sakit keras. Di Jerman sana hanya tinggal papahnya, kakak dan juga adiknya. Nadia paling sedih kalau sudah mendengar cerita tentang meninggalnya orang tua.”
Aku termenung untuk beberapa saat. Aku jadi teringat sesuatu, sepertinya papah tahu tentang isi hatiku saat ini. Papah datang menghampiriku dan merangkulku dari samping, sambil menggenggam tanganku dengan lembut.
“Kamu kangen mamah Nidya, yah?” tanya papah yang membuatku tiba\-tiba saja meneteskan air mata.
“Sepertinya begitu, Pah. Mana mungkin juga Nadia lupa sama mamah Nidya. Selama ini, di dalam hati Nadia yang paling dalam, Nadia selalu merindukan sosok mamah Nidya.”
“Kamu nggak marah sama papah kan, Nad?” tanya papah sambil merangkulku dan membelai\-belai rambutku dengan lembut.
“Untuk apa Nadia marah sama papah? Kejadian itu sudah lama sekali terjadi.”
“Kamu memaafkan papah kan, Nak?”
Aku menatap wajah papah beberapa saat. Wajahnya sudah tidak terlihat muda lagi. Rambutnya sudah terlihat memutih, kerutan di wajahnya juga sudah mulai terlihat. Dan, aku pun tersenyum kecil.
“Kesalahan yang pernah di perbuat oleh orang tua itu akan terhapus dengan rasa kasih sayangnya pada anaknya. Dan, Nadia sangat berterimakasih memiliki ayah seperti papah,” kataku dengan mata berkaca\-kaca.
“Walau kamu sudah memaafkan papah, tapi papah merasa bersalah pada dirimu, Nak,” ucapnya lirih hingga membuat mamah yang sedang berada di dapur melirik ke arah kami berdua.
Aku menggenggam kedua tangan papah dengan erat dan menatap wajahnya dengan lembut.a
“Selama papah ada di sisi Nadia dan tidak pernah meninggalkan Nadia, itu sudah lebih dari cukup. Yang Nadia inginkan saat ini hanya satu, kebahagiaan papah, mamah dan juga Kesya. Asalkan kalian semua bahagia, Nadia juga pasti akan bahagia.”
Papah tersenyum tipis dan menggenggam kedua tanganku dengan begitu lembut.
“Papah tidak usah menyalahkan diri papah lagi. Papah tidak salah, itu semua hanya masa lalu. Masa depan papah sekarang adalah mamah, Kesya dan juga Nadia,” ucap mamah tiba\-tiba yang datang menghampiri kami berdua dan merangkul bahu papah dengan hangat dan penuh kasih sayang.
“Terimakasih, Mah. Mamah selalu ada untuk papah selama ini,” katanya pelan seraya menggenggam tangan mamah dengan lembut.
“Sama\-sama, Pah.”
Untuk sekarang ini, aku sangat bahagia sekali karena aku mempunyai keluarga yang luar biasa hebatnya. Tanpa mereka, aku tidak akan tumbuh menjadi wanita yang kuat dan begitu tegar menghadapi cobaan yang begitu berat.
Walau hatiku sakit dan begitu kesepian, tapi aku masih mempunyai keluarga yang sudah aku anggap sebagai jiwa dan ragaku sendiri. Karena keluarga adalah harta yang paling berharga untukku.
“Love you sayangku,” ucap papah lembut sambil mencium keningku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
sintia manuhutu
thor nadya itu adikx max yha😊
2020-09-25
2