"Apa yang sedang kamu fikirkan?" tanya Niko saat aku berjalan menghampirinya.
"Ah, tidak ada," jawabku pendek yang langsung mengalihkan pandanganku.
"Jangan berfikiran macam-macam kamu!"
"Nggak, ko. Aku tidak berfikiran macam-macam!" seruku langsung mengklarifikasi.
"Niko, Nadia!!" teriak seseorang dari kejauhan sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah kami berdua.
Aku dan Niko langsung menatap ke arah sumber suara. Seorang perempuan berambut sebahu dengan seorang pria berkacamata tampak sedang berlari-lari kecil. Mereka adalah Bella dan juga Bobby. Sahabat kami berdua sejak SMA yang tahu percis bagaimana hubunganku dengan Niko yang sebenar-benarnya.
"Nad, tumben banget pergi bareng sama ini bocah?" tutur Bella sambil merangkulku dan menunjuk wajah Niko dengan dagunya.
"Ya, terus kenapa? Nggak boleh?"
"Ya nggak juga, sih. Pemandangan baru aja buat gue, biasanya kan kalian suka pergi masing-masing. Jarang banget kelihatan barengan kaya gini."
Bella dan Bobby tampak cengengesan tidak jelas hingga membuatku langsung menatap sinis ke arah mereka berdua. Sementara Niko, ku lirik dia sejenak. Wajahnya tetap datar dan tak berekspresi sama sekali.
"Gue jadi meragukan hubungan kalian berdua," celetuk Bobby tiba-tiba yang membuatku dan juga Niko langsung menatap dengan tajam ke arahnya.
"Gue meragukan kalau kalian berdua itu sudah menikah. Biasanya, orang yang sudah menikah itu, apalagi menikah muda seperti kalian ini pasti lagi so sweet-so sweetnya, kan? Tapi, kenapa kalian berdua nggak? Apa jangan-jangan, ciuman saja kalian belum pernah melakukannya?" todongnya hingga membuat kedua bola mataku kali ini langsung melotot tajam ke arahnya.
"Sepakat! Kalau nggak saling suka, kenapa juga kalian maksain buat nikah? Pernikahan itu bukan untuk main-main, kawan. Menikah itu ibadah!" tambah Bella yang langsung menodong kami dengan pernyataannya yang cukup menyebalkan, tapi ada benarnya juga.
"Terus, gue mesti gimana sekarang?" tanyaku polos.
"Ya, ciuman, dong!" seru Bella dan juga Bobby bersamaan hingga membuatku dan juga Niko cukup terkejut mendengarnya.
Rasanya, kali ini aku benar-benar dibuat kesal oleh pernyataan kedua makhluk tak berdosa itu. Mereka tidak ada habis-habisnya menggoda kami selama setahun belakangan ini. Kalau bukan karena pertemanan kami yang cukup lama, mungkin mereka sudah habis babak belur olehku. Begini-begini juga, saat SMA aku berhasil mendapatkan sabuk hitam dalam klub karate.
"Guys, kalian kan sudah 1 tahun menikah. Masa nggak ada peningkatan sama sekali, sih? Kalian nggak mau kan sampai semua orang tahu kalau sebenarnya kalian itu dijodohkan dan menikah tanpa dasar cinta? Jadi, pegangan tangan kaya gini kan bagus. Biar terlihat seperti pasangan suami istri asli," tutur Bobby sambil menarik tanganku dan juga tangan Niko hingga kami bergandengan.
"Apaan sih lo, Bob? Norak lo!" seru Niko kesal sambil menepis tanganku dengan kasar kemudian pergi.
"Masa gitu doang ngambek sih, Nik? Nik, tungguin gue! Guys, gue cabut duluan!" teriak Bobby yang kebetulan memang satu kelas dengan Niko dan langsung mengejar kepergiannya.
Aku menghela nafas pendek, kemudian melanjutkan langkahku menuju Fakultas Psikolog.
"Nad," panggil Bella pelan seraya berjalan di sampingku.
"Apaan?"
"Niko emang emosian yah dari dulu?"
"Elo kaya yang baru kenal Niko kemarin sore aja sih, Bel. Niko kan emang gitu anaknya."
"Elo kayanya sabar banget yah menghadapi suami lo yang seperti itu. Salut gue sama lo."
Aku hanya tertawa kecil dan merangkul sahabatku yang kebawelannya itu minta ampun banget. Dan, rasa-rasanya ingin sekali aku menutup mulutnya yang seperti mercon itu dengan menggunakan lakban.
"Bella sayang, gue kan udah kenal Niko dari kecil. Kalau gue nggak sabaran, gue nggak mungkin bertahan sampai sekarang."
"Oh iya, gue lupa," katanya cengengesan.
Aku tersenyum kecut dan merapihkan kembali rambutku yang mulai berantakan.
"Nad, lo pernah nggak sih ngerasain rasanya jantung berdebar-debar ketika lo menyukai seseorang? Menyukai Niko gitu contohnya. Pernah nggak?" tanyanya hingga membuatku seketika terdiam dan berfikir sejenak.
"Sudahlah, nggak usah ngomongin Niko lagi. Ke kelas aja, yuk!"
Aku langsung menarik tangan Bella bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan kami yang sudah mulai menyimpang dan mengajaknya langsung menuju kelas karena kebetulan kami satu Fakultas dan satu kelas juga.
Bella mengangguk pasrah. Sebenarnya aku tau dia pasti masih penasaran dengan jawabanku. Tapi, aku sudah malas kalau percakapan kami ini isinya hanya seputar Niko dan perasaanku padanya.
Kami berdua pun langsung menuju kelas kami yang tidak begitu jauh dari arah kami berjalan. Sesampainya di depan pintu kelas, tiba-tiba saja ada seorang perempuan yang dengan sengaja menabrakku dengan begitu kasar, hingga membuatku menabrak pintu kelas dengan cukup keras.
"Hey, elo punya mata nggak, sih?" teriak Bella emosi begitu melihat wajah perempuan yang sudah menabrakku.
"Punya mata atau tidak itu bukan urusan lo!" jawabnya sinis.
"Mau lo itu apa sih sebenarnya? Ngajak ribut terus tiap hari, nggak cape lo?" seru Bella yang terlihat semakin kesal hingga membuatku mencoba untuk menenangkannya.
"Mau gue? Mau gue lo jauh-jauh dari hidup Niko," katanya menjawab dengan sorotan mata tajam dan menunjuk wajahku dengan jari tangannya.
Kuku jari perempuan tersebut terlihat menggunakan kutex berwarna merah menyala. Dan, itu membuatku berfikir kalau perempuan itu tidak mematuhi peraturan kampus di sini yang melarang mahasiswinya untuk menggunakan kutex.
"Jangan main asal tunjuk ya lo. Itu nggak sopan! Lagi pula, Niko sama Nadia itu nggak pernah bisa pisah. Dan, sayangnya lo harus terima kenyataan kalau Nadia itu istri Niko yang sah!!" pekik Bella dengan menekan kata 'sah' dengan begitu jelas.
"Baru juga nikah, orang yang nikah aja bisa cerai. Jadi, gue doakan semoga kalian berdua cepat bercerai, deh."
"Elo!!" tunjuk Bella ke arah wajah perempuan itu dan hampir saja menampar pipinya.
"Bell, udahlah nggak usah ladenin dia lagi," kataku seraya menarik tangan Bella dan berusaha menenangkannya.
"Cewe kaya dia itu harus dikasih pelajaran, Nad. Nggak bisa di diemin gitu aja. Elo emangnya terima suami lo direbut sama cewe ganjen kaya dia? Gue sih ogah banget!"
"Terserah apa kata kalian. Bye!!" katanya kemudian pergi sambil mengibaskan rambutnya yang panjang berwarna kecoklatan itu hingga mengenai wajahku dan juga Bella .
"Sok cantik banget sih itu cewe ganjen. Heran gue, nggak di SMA nggak di kuliahan, ketemu cewe ganjen itu terus. Bosen gue!!" gerutu Bella tampak kesal.
"Udah lupain aja. Mendingan, kita ke kelas aja, yuk."
Aku langsung menarik tangan Bella untuk segera masuk ke dalam kelas kami. Sesampainya di kelas aku sejenak terdiam. Perempuan itu adalah Lisa, teman satu sekolah kami saat SMA dulu. Sejak Sma, hubungan kami memang tidak pernah akur.
Pada awalnya, Lisa memang menyukai Niko dan mengejar-ngejar cintanya meski Niko sama sekali tak memandangnya. Berkali-kali di tolak, Lisa tidak sama sekali menyerah dan selalu berusaha agar Niko menyukainya. Hingga pada akhirnya Niko dan aku resmi berpacaran, Lisa masih saja tetap mengejar cinta Niko.
Lisa memang sangat membenciku karena aku begitu dekat dengan pria yang di cintainya. Menjadi sahabatnya saja sudah membuatnya sangat membenciku. Bahkan, ketika ia tahu aku berpacaran dengan Niko, Lisa semakin menjadi-jadi dan selalu berusaha untuk memisahkan kami berdua.
Dan, entah kenapa walau kami menjalani hubungan tanpa dilandasi cinta, aku dan Niko tidak dapat dipisahkan sampai akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Lisa memang tidak ada habis-habisnya mencari masalah setiap harinya denganku. Aku saja sudah cukup lelah dengan semua perbuatan kasarnya itu.
"Udah, jangan difikirkan apa kata-kata perempuan sinting itu. Kalau dia berani macam-macam sama lo, biar gue yang hadapi," ujar Bella yang duduk di sampingku sambil menggenggam kedua tanganku.
"Gue nggak habis fikir aja sama Lisa. Apa dia nggak cape terus mengusik kehidupan orang lain?"
"Orang seperti Lisa mana mungkin lelah. Memang pada dasarnya itu cewe sakit jiwa. Lama-lama dia bisa stres karena obsesinya itu," tutur Bella yang diberi anggukkan olehku.
"Obsesi memang salah satu penyakit yang menakutkan. Gue harap Lisa segera sadar. Gue takut, lama lama dia bakalan mengidap penyakit berkepribadian ganda," kataku yang langsung merinding sendiri membayangkannya.
"Nad, berkepribadian ganda itu sangat menyeramkan. Gue fikir, lama-lama Lisa bisa mengidap penyakit itu."
"Gue tidak bisa membayangkannya. Apa jadinya, jika seorang Lisa mempunyai kepribadian ganda? Pribadi seorang Lisa saja sudah cukup menakutkan."
"Sudahlah, jangan membicarakan dia lagi. Lama-lama gue mual membicarakan perempuan tak tahu diri itu," tutur Bella yang membuatku tertawa kecil mendengarnya. "Oh iya, gelang hitam yang sering lo pakai itu ke mana, Nad? Ko, gue udah jarang banget lihat akhir-akhir ini?"
"Gelang hitam ini maksud lo?" tanyaku sambil mengeluarkan sebuah gelang berwarna hitam dari dalam tasku.
Bella mengangguk hingga membuatku langsung memandangi gelang yang dimaksud Bella tadi.
"Gelang ini gelang kesayangan gue. Walau sudah usang, dekil dan tak berbentuk seperti semula, gue sangat menyayangi gelang ini."
"Iya, dari dulu gue sering banget lihat lo pake gelang itu dan pernah nangis gara-gara gelangnya hilang."
Aku tersenyum kecil dan mengenang masa-masa di mana gelang hitam ini pernah hilang dan aku menangis sejadi-jadinya karena sudah menghilangkannya.
"Gue harus membawa gelang ini ke mana pun gue pergi, Bell. Saat pernikahan gue saja, gue masih tetap membawanya walau pun tidak memakainya. Ini merupakan jimat keberuntungan gue dan separuh nyawa gue," kataku menjawab seraya menatap wajah Bella dan memandangi gelang hitam itu dengan mata berkaca-kaca.
"Jiahhh, bahasa lo udah kaya dukun beranak aja," katanya sambil tertawa hingga membuatku langsung terkekeh begitu mendengarnya.
Akhirnya dosen sudah masuk kelas juga. Sambil membuka buka catatanku, tidak sengaja aku melihat sebuah foto yang berada di dalam tasku. Aku menatap foto tersebut begitu lama dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasanya, ingin sekali aku kembali ke masa lalu.
"Nad, sebenarnya perasaan lo buat Niko kaya gimana, sih?" tanya Bella tiba-tiba.
"Perasaan gue?" ulangku bingung sambil memasukkan kembali fotoku ke dalam tas. "Perasaan gue buat Niko biasa aja. Kenapa?"
"Coba deh tes perasaan lo itu di depan Niko biar lo tahu sebenarnya perasaan lo itu seperti apa."
"Caranya?"
"Banyaklah, Nad. Bisa dengan jalan bareng semacam ngedate gitulah. Atau nggak pegangan tangan gitu, saling tatap-tatapan dan masih banyak lagi."
"Nggak ah, kurang kerjaan banget melakukan hal bodoh seperti itu."
"Itu bukan hal bodoh Nadia. Kalau lo sudah melakukan hal-hal yang tadi gue bilang, coba deh tes jantung lo. Kalau jantung lo berdebar-debar, terus elo salah tingkah, itu artinya lo suka sama Niko. Cobain, deh."
"Tes pake apa? Pake alat?"
Bella terlihat gemas sekali begitu mendengar jawabanku. Ia langsung menyubit kedua pipiku dengan begitu kencang sampai membuatku hampir saja berteriak karena ulahnya. Bahkan, dosen di depan pun sampai melirik ke arah kami berdua dengan begitu sinis. Dan, itu membuat kami berdua terdiam beberapa saat.
"Kenapa lo mendadak bego soal ginian, sih? Biasanya lo selalu pinter. Tapi, elo emang pinter soal pelajaran aja. Elo itu sama Niko emang cocok. Sama-sama pinter soal pendidikan dan sama-sama bego soal percintaan," katanya yang membuatku tertawa lebar begitu mendengarnya.
"Tahu apa sih lo soal cinta? Kaya macem pakar cinta aja lo, Bell!"
Bella memelototiku dengan tajam hingga membuat kedua bola matanya hampir saja keluar dari kelopak matanya.
"Gue yakin elo bakalan nyesel, Nad. Sekarang aja lo bisa bilang kalo lo nggak suka sama Niko. Giliran nanti suka sama Niko, elo bakalan nyesel kalo Niko jatuh cinta sama orang lain. Cinta itu menyakitkan, kawan!"
"Mau Niko suka sama orang lain atau nggak itu bukan urusan gue."
"Jelas itu urusan lo. Elo itu sudah menjadi istri Niko yang sah."
"Sah dalam agama dan menurut negara. Tapi, tidak sah dalam hati gue juga hati Niko."
Bella mengernyitkan keningnya dan menatap wajahku begitu lekat. Ia menghela nafas panjang hingga membuatku penasaran dengan apa yang akan dikatakan olehnya selanjutnya.
"Elo yakin tidak pernah sekali pun merasakan rasanya jatuh cinta terhadap Niko walau hanya semenit saja?" tanyanya sambil menatap wajahku dan tak sabar menunggu jawabanku.
Aku menghela nafas pendek kemudian menatap ke arah dosen di depan yang sedang menjelaskan.
"Gue sudah mengubur rasa cinta itu dalam-dalam, Bell."
"Maksud lo?" tanyanya tak mengerti.
"Maksudnya, lo nggak akan pernah ngerti dengan apa yang gue rasakan selama ini terhadap Niko."
"Gimana gue mau ngerti kalau elo sendiri aja nggak pernah bilang sama gue kalau lo suka sama Niko. Elo itu emang terlalu tertutup sama temen sendiri."
Aku terdiam. Rasanya, yang dikatakan Bella tadi ada benarnya juga. Aku memang tertutup jika sudah menyangkut soal perasaan dan juga urusan cinta. Menurutku, soal cinta itu tidak perlu di umbar-umbar. Cukup di rasakan sendiri dan biarkan melebur dalam hati ini dengan sendirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments