MY WIFE

Setelah berpisah dengan Nadia dan juga Bella, gue dan Bobby segera memasuki ruang kelas kami. Saat dosen sudah datang, keadaan kelas tampak sangat hening. Gue terpaku sejenak, menatap ke arah dosen yang sedang menjelaskan tentang organ-organ tubuh manusia.

Sambil memandang ke arah proyektor, gue memandangi kerangka tubuh manusia itu dengan begitu seksama. Namun, sialnya teman sebelah gue alias Bobby mengganggu konsentrasi gue dengan kebisingan yang ia buat dengan kursinya.

“Nik,” panggilnya pelan setengah berbisik.

“Apaan, sih? Ganggu aja deh lo, mata kuliah belum selesai tahu!”

“Ya ela, bentar doang. Gue cuma nanya aja sebentar.”

“Tanya apaan?”

Bobby mendekatkan kursinya ke arah gue dan setengah berbisik. “Elo pernah sempet deket yah sama si Nina?”

“Nina? Kenapa emangnya?” tanya gue bingung.

“Dari tadi, gue lihat si Nina memandang lo terus dari awal masuk perkuliahan. Kayanya, dia naksir sama lo,” ucapnya pelan sambil melirik ke arah belakang.

Reflek, gue juga mengikuti arah mata Bobby dan melihat ke arah sudut belakang gue. Di sana, ada seorang perempuan yang sedang tersenyum manis ke arah gue. Ya, dia adalah Nina teman satu kelas kami berdua.

Sejak awal masa-masa perkuliahan, Nina memang cukup dekat dengan gue. Karena sejak mengikuti masa orientasi, kami selalu satu kelompok dan saling bergantung satu sama lain.

Sejak awal, gue memang mengagumi sosok gadis seperti Nina. Dia gadis yang baik dan juga pintar, Nina juga berparas cantik. Banyak pula yang menyukainya dan ingin menjadikannya sebagai kekasih. Tapi, entah kenapa Nina sama sekali tidak menyukai salah satu pria-pria yang menyukainya itu.

Namun, sejak satu kampus tahu gue dan Nadia menikah muda 1 tahun yang lalu, persahabatan yang terjalin antara gue dan Nina sedikit merenggang. Gue sendiri tidak mengerti, kenapa Nina menjauhi gue seperti itu?

“Tuh kan, si Nina senyum sama lo.”

“Gue sama Nina itu dulu sahabatan. Tapi, semenjak gue married, si Nina emang agak menjauh gitu dari gue.”

“Udah jelas itu, si Nina suka sama lo. Nina itu menjauh kayanya patah hati gara-gara lo udah married. Otomatis, pupus sudah harapannya untuk menjadi pendamping lo.”

“Apaan sih lo? Mana mungkin gadis secantik Nina suka sama gue?”

“So what gitu loh, Nik. Dari zaman Sma, cewe-cewe satu sekolah udah pada naksir berat sama lo. Dari mulai si Lisa yang obsesi pengen memiliki lo, sampe Dewi si kutu buku anak emasnya pak Gilbert.”

Gue hanya tersenyum kecil dan menatap kembali ke arah proyektor yang berada di depan kelas kami.

“Jujur, gue aja sebagai cowo mengakui kalau lo itu seorang pria yang nyaris sempurna, Nik. Lo ganteng, tajir, smart, tinggi dan baik lagi sama semua orang. Ya, hanya saja, terkadang sifat cuek lo itu sering muncul tiba-tiba kalau sama orang yang gak lo kenal.”

“Shutt up, perhatikan ke depan. Gue mau konsentrasi belajar dulu!”

“Aishhh, menyebalkan sekali lo! Eh, tapi gue masih bingung sama lo, Nik.”

“Bingung apa lagi sih, Bob? Ngobrolnya nanti aja deh saat mata kuliah selesai.”

Bobby memainkan pulpennya sambil memikirkan sesuatu. Melihat ekspresi wajahnya yang seperti itu, membuat gue ingin sekali rasanya menjitak kepalanya dan meninju keras wajah konyolnya itu.

“Sebenarnya, elo cinta gak sih sama Nadia?” tanya Bobby tiba-tiba hingga membuat gue sejenak terdiam dan mencerna kata-katanya tadi.

“Nik, elo sama Nadia itu udah kenal lama, ya wajar aja sih kalau kalian tumbuh rasa cinta. Tapi, gue lihat elo dan Nadia itu sama-sama saling tidak menyukai satu sama lainnya.”

“Maksud lo?”

“Nadia itu sahabat lo sejak kecil, pacar lo saat Sma dan istri lo saat kuliah. Metamorfosis kehidupan lo dengan Nadia itu terbilang tersusun dengan sangat rapih. Tapi, bukannya lo pernah bilang yah kalau lo itu sebenernya gak ada rasa sama Nadia? Terus, kalau gak ada rasa kenapa lo sempat pacaran dengan Nadia tempo lalu?”

Sejenak gue terdiam. Yang dikatakan Bobby memang benar, istri gue saat ini adalah Nadia. Kami sudah menjadi sepasang suami istri sejak 1 tahun yang lalu.

Nadia adalah sahabat gue sejak kecil. Gue menyayangi Nadia sebagai sahabat gue. Gue juga sudah menganggapnya sebagai adik gue sendiri. Dan, memang benar gue sama sekali tidak menyimpan rasa untuknya.

Gue sendiri bingung kenapa gue menyetujui perjodohan ini? Menikah muda itu bukanlah hal yang mudah. Usia kami terbilang masih sangat belia. Gue dan Nadia masih 20 tahun, tapi kami harus menjalani kehidupan kami sebagai sepasang suami istri. Tanggung jawab gue pun sudah cukup besar karena tanggungan gue sekarang bertambah.

Masa depan gue adalah Nadia. Dia adalah istri gue yang sah dan Nadia merupakan tanggung jawab gue sepenuhnya. Apapun yang terjadi padanya, gue harus melindungi keluarga kecil gue ini. Belum lagi, jika gue dan Nadia sudah mempunyai anak, hidup gue akan semakin berat karena sebuah rumah tangga itu bukanlah hal yang mudah untuk di jalani.

Walau gue sudah tahu semua yang ada di dalam diri Nadia, tapi statusnya kini sudah berubah. Menyatukan dua kepala dalam satu prinsip itu bukanlah hal yang mudah. Gue sendiri heran, melihat orang-orang yang dengan gampangnya mengatakan untuk menikah muda.

Menikah memang suatu kewajiban, tapi membangun rumah tangga di usia dini bukanlah hal yang mudah. Menikah juga bukan hanya dilandasi oleh rasa cinta saja, kita juga harus banyak memikirkan masa depan kita kelak.

Mulai dari keharmonisan rumah tangga, tanggungan biaya kita sehari-hari, menyatukan perbedaan pendapat sepasang suami istri, belum lagi mengurus biaya pendidikan anak kelak.

Gue sendiri belum memikirkan banyak hal untuk ke depannya. Gue masih kuliah dan gue juga masih tanggungan orang tua gue. Gue belum bisa menghasilkan uang sendiri dan gue masih bergantung dengan uang orang tua gue. Bagaimana caranya gue bisa menghidupi keluarga gue, sedangkan gue belum mempunyai pekerjaan tetap?

Rezeki memang tidak ke mana, tapi apa mereka tidak pernah berfikir yang menjalani nikah muda seperti gue? Apa mereka tidak malu menanggung biaya rumah tangga yang masih meminta kepada orang tua? Walau pun sudah mempunyai pekerjaan, apa itu cukup?

 

Untuk membiayai diri sendiri saja susahnya bukan main, apalagi membiayai untuk dua orang? Menikah itu bukan seperti orang berpacaran.

Dalam pernikahan, untuk posisi pria seperti gue, apa mereka tidak pernah memikirkan kebahagiaan pasangan kita? Secara tidak langsung, kita sudah mengambil anak perempuan dari kedua orang tuanya.

Selama belasan tahun, kedua orang tua mereka memberikan materi, pendidikan dan kasih sayang yang berlimpah. Diberikan hal-hal yang bahkan kita belum tentu mampu bisa memberikan hal itu seperti yang kedua orang tua mereka berikan.

Untuk meyakinkan kedua orang tuanya saja, jika anak mereka akan bahagia bersama kita susahnya minta ampun. Yang sudah mempunyai pekerjaan saja itu menjadi hal terberat untuknya, apalagi yang belum mempunyai pekerjaan seperti gue ini?

Semua memang butuh proses, tapi prosesnya itu sampai kapan? Usia 20 tahun itu masih rentan dan bisa dikatakan masih labil. Syukur-syukur si pasangan bisa bersikap dewasa, tapi kalau sudah menikah urusannya bukan cinta lagi.

Urusannya sudah duniawi, satu kata yang bisa menyebabkan kehancuran rumah tangga selain ‘orang simpanan’, itu adalah ‘uang’. Kalau dia tidak diberikan iman yang kuat, kesabaran dalam berlapang dada, ikhlas menerima kenyataan, mungkin kita bisa saja di depak dan mencari yang lebih baik dari kita.

Gue saja sampai sekarang ini masih suka berfikir keras. Apa gue mampu? Apa gue siap menjalani pernikahan muda ini? Perceraian zaman sekarang sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Angka pernikahan dan perceraian nyaris seimbang, bahkan lebih besar perceraian. Awal-awal manis, bilang ‘ayo menikah’, lambat laun mereka pasti akan mengatakan ‘ayo kita bercerai'.

Pernikahan bukanlah hal yang gampang, banyak sebab dan akibat jika kita melakukan suatu tindakan. Suatu pertemuan pasti akan berujung perpisahan, tapi suatu pernikahan apakah harus berujung perceraian juga?

Jika dicerai mati itu tidak masalah, tapi kalau diceraikan dalam keadaan kita yang tidak sesuai harapan mereka bagaimana?

Pengenalan dalam berproses untuk menikah itu memang wajib diperlukan. Kesiapan mental ketika dunia berputar dan kita berada di posisi terbawah, apakah pasangan kita siap selalu ada untuk kita?

Kita tidak akan pernah tahu kan ke depannya hidup kita akan seperti apa, maka dari itu perjanjian seperti itu harus wajib ditekankan.

Sama halnya gue yang menekankan kepada Nadia, apa dia siap jika dia harus berada di posisi terbawah bersama gue?

Dan, yang gue suka Nadia menjawab seperti ini

‘***Aku pernah merasakan posisi paling terbawah, posisi terendah yang harus merangkak kembali ke atas. Di situlah, kunci sukses kebahagiaan kita kelak. Bagaimana aku dan kamu bisa bersama-sama melewati itu semua? Hanya ada dua jawabannya, Niko.

'Berserah diri kepada Tuhan akan takdir kita dan ikhlaskan hati kita dengan menerima keadaan kita sekarang. Percayalah, walau berpuluh-puluh tahun berproses, asalkan kita saling bahu-membahu, saling mensupport satu sama lainnya, tersenyum walau itu menyakitkan, aku dan kamu pasti akan bisa menghadapinya***’.

Luar biasa bukan jawaban Nadia satu tahun yang lalu sebelum kami menikah. Gue suka jawaban dia dan yang lebih gue suka lagi Nadia pernah bilang

‘Cinta tidak pernah abadi, Niko. Cinta abadi hanya ada untuk orang tua kepada anaknya. Cinta manusia terhadap Tuhannya. Lambat-laun kita pasti bosan dengan pasangan kita masing-masing. Tapi kamu harus selalu ingat, bagaimana pertama kali kita merasakan rasanya saling jatuh cinta. Dan, yang pasti ketika kamu sudah berada di puncak, jangan pernah lupakan kenangan saat kita berada di bawah. Anggap saja semua itu pembelajaran hidup kita.'

Pernikahan muda ini terkadang membuat gue frustasi. Terkadang, gue kehilangan masa-masa muda gue. Gue sudah tidak bisa bersenang-senang lagi sebagai seorang bujangan seperti dulu. Tapi, untungnya Nadia membebaskan gue untuk melakukan apapun, asalkan gue selalu ingat kalau di rumah sudah ada seseorang yang menunggu.

“Apa yang lo fikirkan, Nik?” tanya Bobby yang membuyarkan semua lamunan gue.

“Hah? Tidak, gue hanya memikirkan tentang Nadia.”

“Nadia? Kenapa? Elo kangen istri lo?”

“Bukan, gue hanya sedang memikirkan apa Nadia akan bahagia hidup dengan seorang suami yang belum bekerja seperti gue?”

“Elo jangan membicarakan soal kebahagiaan dululah, harusnya sih lo bangga mempunyai istri seperti Nadia. Istri lo itu smart, dia juga mandiri tidak manja seperti wanita-wanita lainnya. Dan satu hal lagi, elo harus bangga karena Nadia itu pernah hidup keras saat dia masih Sd.”

“Iya, elo bener.”

“Ingat kan lo cerita Nadia, saat masih Sd keluarganya pernah gulung tikar dan mereka hidup mulai dari nol lagi. Mungkin, elo sendiri tahu karena lo menyaksikan sendiri kehidupan pahit Nadia saat itu. Tapi, gadis seperti Nadia yang terbilang masih kecil saat itu, gimana gak hebat coba? Dia bisa memotivasi dirinya sendiri dan juga keluarganya untuk bangkit dari keterpurukan.”

Yang dikatakan Bobby memang benar. Gue masih ingat dengan jelas kenangan pahit Nadia kala itu. Gue menyaksikan sendiri kerasnya hidup Nadia saat masih Sd dulu. Nadia memang perempuan hebat yang gue kenal. Dan, gue bangga bisa mengenalnya dan juga memiliki istri sepertinya.

1 jam kemudian, perkuliahan akhirnya selesai juga. Saat keluar dari kelas, gue tidak sengaja berpapasan dengan Nina di pintu kelas. Nina sesaat terdiam, tetapi ia langsung tersenyum ke arah gue kemudian pergi. Gue heran, apa gue punya salah dengannya ya selama ini?

“Elo gak nanya gitu sama Nina, kenapa dia jadi cuek-bebek gitu sama lo?” tanya Bobby saat kami berada di kantin kampus.

“Bodo amat, males gue nanya yang kaya gituan. Kalau dia masih mau temenan sama gue syukur, kalau gak juga gak masalah. Gak usah dijadiin ribet.”

“So cool lo!” sewot Bobby sambil menyantap semangkok bakso yang berada di hadapannya itu dengan lahap.

Gue hanya menggeleng-gelangkan kepala gue melihat tingkah Bobby yang setiap harinya selalu seperti itu. Banyak berbicara dan sok menasehati. Tapi, gue akui, nasehatnya itu terkadang membantu. Dan, gue fikir Bobby cocok jadi seorang filsafat. Sepertinya Bobby salah masuk jurusan, karena pada dasarnya itu dia sangat senang berbicara.

 

"Kalau lo belum married sama Nadia, gue mau jadi suami dia"

"Emangnya Nadia mau sama lo?"

"Sama lo aja mau, apa lagi sama gue?"

"Tingkat kepede-an lo sungguh luar biasa!"

"Kalau lo udah gak mau sama Nadia, lempar dia sama gue aja, Nik."

"Emangnya Nadia barang di lempar-lempar!!"

Terpopuler

Comments

Mimosa

Mimosa

Betul sekali, aku suka dengan cara pikir author di tulisannya.. Tetap semangat ya thor..
Jangan lupa mampir juga di cerita ku 'Mellifluous' 😉

2020-09-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!