“Jawab pertanyaan gue, Nad!” teriak Dara dengan mata berkaca-kaca.
Seluruh tubuhku rasanya lemas saat mendengar teriakan Dara. Kenapa? Kenapa Dara harus mengetahui rahasia ini dengan cara seperti ini?
“Jawab gue, Nad. Kalau elo emang sahabat gue, kenapa lo bohong tentang rahasia sebesar ini?” tangisnya yang mulai pecah.
“Sorry, Ra,” ucapku pelan sambil menundukkan kepala.
“Kenapa harus lo, Nad? Kenapa elo tega sama gue? Apa cuma gue seorang di sini yang tidak tahu soal pernikahan lo dengan Niko? Apa cuma gue yang tampak bodoh tidak mengetahui apa yang diketahui oleh orang banyak?”
“Gue nggak bermaksud membohongi lo, Ra. Gue . . . .”
Plakk . . . tiba-tiba saja Dara menampar pipiku begitu keras. Melihat sikap Dara yang seperti ini, aku begitu terkejut dan begitu syock. Rasanya aku terlihat begitu hina di depan Dara. Tapi, sepertinya aku memang pantas mendapatkan ini semua.
“Gue kecewa sama lo, Nad. Gue kecewa sama lo!” teriaknya kemudian pergi. Namun, saat Dara hendak pergi, ia tidak sengaja bertemu dengan Niko yang sedang memandangi kami berdua.
Ketika melihat wajah Niko, rasanya aku tak sanggup menatapnya begitu lama. Aku sangat malu, aku hanya bisa memalingkan wajahku dan meneteskan air mataku dengan kejadian yang sungguh tak terduga ini.
Dara menatap wajah Niko dengan nanar. Air matanya terus mengalir, aku bisa melihat dari raut wajah Dara yang tampak sangat kecewa sekali. Kalau pun aku menjadi Dara, aku pasti akan merasa kecewa sepertinya. Kebahagiaan yang singkat ini, apakah akan berakhir begitu saja?
“Selamat atas pernikahanmu,” katanya pelan.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Niko sembari menatap wajah Dara.
“Apa ini balasanmu untukku setelah bertahun-tahun aku menggantung hubungan kita?”
“Aku tak bermaksud untuk membalas kejadian yang sudah lama berlalu. Aku hanya ingin kamu memberikan aku waktu sebentar saja.”
“Untuk apa? Untuk merasakan rasanya dikhianati?” tangisnya yang membuat Niko menundukkan kepalanya karena merasa bersalah.
“Untuk mencari jawaban apa yang menurutku sangat sulit untuk aku jawab,” jawabnya sembari menatap wajah Dara.
“Kamu sudah menemukan jawabannya?”
Niko mengangguk pelan dan menatap wajah Dara dengan mata berkaca-kaca.
“Semoga kalian bahagia,” katanya pelan kemudian pergi.
Kepergian Dara sepertinya akan merusak hubungan yang kami jalin beberapa tahun terakhir ini. Apa kami akan bahagia setelah apa yang terjadi hari ini? Apa aku masih bisa bersama dengan Niko dan tetap bersahabat dengan Dara? Apakah ini akhir cerita yang kami inginkan?
“Apa yang sekarang harus kita lakukan? Apa kejadian ini yang kamu inginkan?” tanyaku pelan dan menatap wajah Niko.
“Ini bukan akhir yang aku inginkan, Nad. Tapi, aku bersyukur, Dara akhirnya mengetahui juga rahasia kita.”
“Walau dengan cara seperti ini?” kataku menyindir. Niko menundukkan kepalanya. Tak berani menatap wajahku. “Kenapa kamu tidak mengejar kepergian Dara?”
“Untuk apa? Untuk menjelaskan semuanya? Untuk memperbaiki semuanya?”
“Bukankah kamu mencintai Dara,” kataku pelan.
Niko sepertinya kesal dengan perkataanku barusan. Aku sendiri merasa menyesal karena sudah mengatakan hal tersebut padanya. Walau sakit, tapi aku harus tetap kuat menghadapi kenyataan yang pahit ini.
“Apa sih yang kamu tahu tentang cinta? Kenapa sejak dulu kamu hanya membicarakan soal perasaanku terhadap Dara? Apa kamu benar-benar menginginkan aku untuk bersama dengannya?” teriaknya yang membuatku dengan reflek meneteskan air mataku kembali dan menatap wajah Niko dengan tajam.
“Iya, aku ingin kamu bersama dengan Dara. Bukankah sejak dulu kalian itu saling mencintai? Kalian ingin bersama selamanya, kan? Lantas, kenapa kamu masih berdiam diri di sini?” teriakku yang terlarut dalam emosi.
“Jadi itu yang kamu inginkan? Kamu ingin aku bersama dengannya?”
“Iya, itu yang aku inginkan.”
Bodoh! Benar-benar bodoh. Kenapa aku malah mengatakan hal itu? Aku tidak ingin Niko kembali bersama dengan Dara. Tapi, kenapa malah kata-kata itu yang keluar dari mulutku? Ini tidak sesuai dengan isi hatiku selama ini.
“Nad, pernahkah kamu pertanyakan perasaanku selama ini padamu?” tanyanya tiba-tiba dengan ekspresi wajah yang terlihat serius.
“Apa maksudmu?”
“Jangan selalu berfikir kamu yang merasa tertindas dan paling menderita. Aku juga korban perasaan di sini. Kamu, aku dan juga Dara sama-sama menderita atas perasaan yang membelenggu kita selama ini. Perasaan ini ada bukan untuk meminta, Nad.
“Perasaan itu muncul begitu tiba-tiba tanpa adanya aba-aba. Kamu fikir, aku mau mengalami ini semua? Kamu fikir aku mau menyukai dua orang yang sama dalam waktu yang bersamaan? Menjadi diriku itu tidak sama kali menyenangkan.
“Kamu tidak tahu betapa tertekannya aku selama ini karena kejadian ini semua, kan? Cobalah melihat dari sudut pandang yang berbeda. Belajar memahami situasi saat ini, aku tahu kamu pasti mengerti keadaan aku mau pun Dara sekali pun.”
Yang dikatakan Niko memang benar. Aku mungkin terlalu egois dan tidak bisa memahami situasi kami saat ini. Semua orang di sini tersakiti, kami semua adalah korban perasaan cinta yang tidak kenal situasi. Perasaan tidak dapat disalahkan, tapi mungkin di sini waktu dan kondisinya yang membuat kami semua mengalami hal pahit ini.
“Jadi, sekarang kita harus bagaimana?” tanyaku membuka suara.
“Kamu ingin kita bagaimana?” tanyanya balik hingga membuatku menatap wajah Niko dengan bingung.
“Aku ingin kita kembali seperti semula.”
“Itu tidak mungkin. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Sekarang, kita hanya bisa menyelesaikan masalah ini sampai selesai. Dan, belajarlah dewasa dalam menyikapi hal ini. Walau berat, tapi kita harus melaluinya,” katanya pelan kemudian pergi.
Kejadian pahit ini benar-benar membuatku frustasi. Di sisi lain aku tak ingin kehilangan Niko sebagai suamiku. Tapi, aku juga tidak ingin kehilangan Dara. Dia adalah sahabat terbaikku, sahabat yang selalu ada di setiap aku mengalami kesulitan. Dia selalu mendukungku dan selalu tersenyum cerah padaku.
Kali ini, siapa yang akan ada di sampingku ketika aku mengalami kesulitan? Siapa yang akan mendukungku dan selalu tersenyum cerah padaku? Walau terkadang aku iri melihat kedekatan Dara dengan Niko, tapi dia tetap sahabatku.
Sahabat yang selalu ada ketika aku kesepian, sahabat yang selalu ada ketika aku menangis, sahabat yang selalu ada ketika aku sakit. Dan, sahabat yang selalu memarahiku ketika aku berbuat sesuatu hal yang salah. Sekarang, di manakah sahabat itu pergi?
Niko benar. Aku harus belajar dewasa dalam menyikapi masalah ini. Tapi, bagaimana bisa aku menyelesaikan masalah ini, sementara aku dalam keadaan kalut seperti ini. Apa yang mesti aku lakukan?
“Kau baik-baik saja?” tanya Maxime yang datang menghampiriku.
“Menurutmu, apa aku salah?” tanyaku sambil menatap wajah Maxime dengan lekat.
“Cepat atau lambat pernikahanmu dengan Niko pasti akan diketahui olehnya. Biarkan Dara sendiri dulu, dia butuh ketenangan untuk beberapa saat. Nanti juga dia akan mengerti apa maksud kalian berdua merahasiakan status kalian darinya.”
“Apa Dara akan berfikir seperti apa yang kau fikirkan, Max? Andai Saja setiap orang berfikiran sepertimu.”
Maxime tersenyum. Dia memegang bahu kananku sembari menatap ke atas langit.
“Cinta memang rumit, Nadia. Tapi, di setiap permasalahan yang elo hadapi, gue yakin elo pasti akan melaluinya dengan baik,” katanya penuh arti kemudian pergi.
Iya, setiap masalah pasti akan ada jalan keluarnya. Tapi, apakah mungkin kali ini aku bisa melewatinya begitu saja? Apakah aku masih bisa mempertahankan hubunganku dengan Niko?
“Nad, jangan murung gitu, dong!” seru Bella saat melihat wajahku terlihat murung ketika kami sedang makan bersama di caffe dekat kampus.
“Apa gue salah, Bell? Apa gue harus bersujud di depan Dara baru dia akan memaafkan gue?”
“Sebenarnya, kejadian semua ini bukan salah kalian. Ini hanya masalah waktu saja dan ternyata waktu sudah membuktikannya, kan? Keadaan yang membuat kalian jadi saling berbohong untuk menutupi semuanya. Tapi, kalian berbohong juga untuk kebaikan kalian masing-masing.”
Aku menaruh kepalaku di atas meja. Berkali-kali aku mengetuk kepalaku di atas meja, rasanya hidupku semakin sulit saja.
“Tenangkan diri lo, Nad. Elo nggak sendirian, masih ada gue dan Bobby yang care sama lo. Yang harus lo lakukan sekarang ini adalah perbaiki masalah lo.”
“Caranya?” tanyaku sambil menatap wajah Bella.
“Hadapi kenyataan, berbicaralah dengan Niko dan juga Dara secara perlahan.”
“Apa gue sanggup? Untuk menatap wajah Dara saja, gue selalu dirundung kesedihan dan penyesalan yang luar biasa.”
“Elo harus bangkit, Nad. Segala sesuatu jika tidak dibicarakan pasti akan berbuntut panjang. Bagaimana pun Dara adalah sahabat lo, sahabat kita. Gue sama Bobby nggak bisa ikut campur lebih dalam urusan permasalahan kalian. Yang kita bisa bantu cuma support dan doa. Kami selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian agar kita bisa berkumpul lagi seperti dulu.”
“Ucapan lo manis banget, Bell.”
“Come on, Nadia. Belajarlah dewasa dan hadapi kenyataan ini. Elo pasti bisa, elo mesti bisa menjalani ini semua.”
“Berbicara itu gampang, Bell. Prakteknya yang susah.”
“Gue bakalan bantu lo sampai masalah lo selesai. Percaya sama gue, lo pasti bisa menyelesaikan masalah lo secepatnya. Kita itu sayang sama kalian semua, sayang sama lo. Jadi, jangan pernah berfikir lo sendirian. Elo ada gue, bila perlu gue bantu lo untuk ngomong sama Dara.”
Aku meneteskan air mata haruku. Bella memelukku begitu erat. Bersyukur sekali aku mempunyai sahabat luar biasa sepertinya. Terimakasih Tuhan, terimakasih karena telah memberikan sahabat terbaik untukku selama ini.
Setelah pembicaraanku dengan Bella, aku sedikit merasa tenang. Ternyata memang benar, di saat terpuruk seperti ini, kita memang memerlukan teman diskusi. Dan, Bella adalah salah satu teman paling setia di saat aku sedang ada masalah berat seperti ini. Dia selalu bisa menenangkanku dan memberikanku solusi terbaiknya.
Aku berjalan menuju parkiran. Mencoba untuk lebih berani dalam menghadapi kenyataan yang pahit ini. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang datang menghampiriku saat aku tengah membuka pintu mobilku.
“Nadia?” katanya memanggil.
“Nina? Hey, kenapa lo ada di sini?”
“Gue baru mau pulang. Gue habis makan, lo habis makan juga?”
Aku mengangguk pelan. Karena terlanjur bertemu, kami berdua pun memutuskan untuk duduk bersama di dalam mobilku sambil berbincang-bincang.
“Akhir-akhir ini elo lagi ada masalah ya sama Niko?” tanya Nina membuka suara.
“Memangnya terlihat jelas, yah?”
“Gue nggak tahu ada masalah apa yang sedang kalian hadapi saat ini. Tapi, gue berharap lo jangan terlalu membuat Niko tertekan.”
“Tertekan? Maksud lo?” tanyaku bingung.
“Akhir-akhir ini, Niko sering tidak berkonsentrasi saat belajar di dalam kelas. Bahkan, ia sering ditegur dosen karena sering terlambat mengumpulkan tugas. Nilai-nilai ujiannya juga turun secara drastis. Gue khawatir, Niko akan tidak bisa mendapatkan beasiswa S2 nya.”
“Separah itukah perubahan Niko di kelasnya?”
Nina mengangguk hingga membuatku merasa sangat bersalah atas apa yang sedang menimpa kami berdua akhir-akhir ini. Apa Niko terlalu memikirkan masalah kami sehingga nilainya turun secara drastis seperti itu?
“Lo sayang nggak sih sama suami lo?” tanya Nina tiba-tiba hingga membuatku terkejut mendengar pertanyaannya itu.
“Kenapa lo menanyakan hal itu sama gue, Nin? Memangnya, gue terlihat tidak menyayangi suami gue sendiri?”
Nina menggeleng. Ia tersenyum tipis dan menggenggam kedua tanganku dengan erat.
“Nad, kalau lo sayang sama seseorang, lo harus percaya sepenuhnya kepada orang yang lo sayang itu. Karena dengan saling percaya satu sama lain, secara tidak langsung lo mempercayainya sebagai pasangan lo. Kalau tidak ada rasa saling percaya terhadap satu sama lainnya, untuk apa kalian mempertahankan hubungan kalian? Yang ada, kalian akan saling menyakiti satu sama lainnya.”
“Jadi, apa yang harus gue lakukan, Nin? Gue percaya sepenuhnya kepada Niko. Tapi, gue tidak yakin dengan Niko nya sendiri.”
“Percayalah, Niko itu sangat mempercayai lo. Niko sering bercerita banyak soal lo sama gue,” katanya pelan hingga membuatku langsung menatapnya tak percaya.
“Niko cerita banyak soal gue?”
Nina menganggukkan kepalanya kemudian tersenyum tipis.
“Elo tahu nggak artinya kalau orang yang lo suka sering banget menceritakan banyak hal tentang lo? Elo kan anak psikolog, pasti ngertilah apa yang gue maksud tadi.”
“Niko suka sama gue? Apa itu mungkin?”
“Tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini, Nad. Masih inget tentang seminar motivasi diri dengan tema menata hubungan baik dengan orang lain? Garis besarnya adalah jawaban dari permasalahan hidup lo itu ada di situ.”
“Seminar?” ulangku masih terlihat bingung.
“Gue duluan,” pamitnya kemudian pergi.
Sepeninggalnya Nina, aku berfikir keras apa maksud dari perkataan Nina barusan. Tunggu, sekarang aku tahu di mana aku pernah bertemu dengan Nina di luar kampus itu. Ternyata, kami pernah bertemu saat acara seminar tempo lalu.
“Makasih banyak, Nin. Terimakasih untuk pencerahannya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments