“Kau baik-baik saja?” tanya Maxime yang datang menghampiri di saat gue sedang berusaha menenangkan fikiran gue.
“Untuk apa lo datang? Untuk menertawakan gue?” tanya gue sambil melirik sinis ke arahnya.
“Ini bukan ending yang gue harapkan Niko.”
Maxime datang menghampiri gue dan duduk di samping gue. Ia menekuk kedua tangannya dan menatap gue dengan tajam.
“Sekarang elo bisa menertawakan gue, Max. Gue kehilangan Dara, hubungan gue dan juga Nadia merenggang. Apa elo puas?”
“Gue tidak sepicik yang lo bayangkan, Niko. Gue tidak mengambil keuntungan apa yang telah terjadi diantara kalian. Walau pun elo tidak bersama dengan Nadia, tapi gue juga tidak akan pernah bisa memilikinya. Karena apa? Karena gue ingin melihat kalian bersama kembali.”
“Gue tidak tahu, Max. Gue tidak tahu apakah gue masih bisa bersama dengan Nadia atau tidak. Hubungan pernikahan kami sedang berada di ujung tanduk.”
Maxime memegang bahu kanan gue seraya memandang lurus ke depan. Gue mengikuti arah pandangan matanya dan ikut menatap lurus ke depan.
“Semua butuh proses, Nik. Perasaan lo juga butuh pengorbanan. Cinta memang tidak harus memiliki, tapi rasa yang lo punya harus lo ungkapkan. Biarkan Nadia tahu semua perasaan lo terhadapnya. Cuma itu salah satu cara agar kalian bisa memperbaiki hubungan kalian.”
“Tapi, keadaan tidak akan berubah secepat itu, Max. Hubungan gue dengan Dara bagaimana? Gue terlalu takut untuk menghadapi kenyataan.”
Maxime menghela nafas panjang. Rasanya, permasalahan ini belum mendapatkan titik temunya. Akankah semua bahagia seperti dulu kala?
“Semua tidak akan berjalan lancar jika lo tetap diam seperti ini, Nik. Apa yang sudah terjadi tidak dapat kembali lagi seperti dulu. Sama halnya orang yang tumbuh dewasa, tidak akan bisa kembali ke masa kanak-kanak mereka.
“Kalau lo sayang sama Nadia, perjuangkan rasa sayang lo itu. Jangan sampai Nadia di rebut orang lain, lo pasti bakalan menyesal seumur hidup lo. Untuk masalah Dara, biarkan dia sendirian dulu. Dara butuh waktu untuk berfikir dengan jernih. Dia terlalu syock dengan semua yang terjadi padanya akhir-akhir ini.
“Tapi, percayalah. Dara itu perempuan dewasa, suatu hari dia pasti mengerti dengan keadaan lo juga Nadia yang tidak sengaja membohonginya karena keadaan kalian.”
Pernyataan Maxime barusan membuat gue menatap wajahnya dalam-dalam. Bukankah dia menyukai Nadia? Lalu, kenapa dia ingin melihat gue bersama dengan Nadia? Gue benar-benar tidak bisa membaca fikirannya.
“Kenapa lo ingin melihat gue bersama dengan Nadia kembali?”
Maxime tersenyum tipis. Ia memandang ke arah yang tak pasti hingga membuat gue menatapnya bingung.
“Karena gue ingin melihat orang yang gue sayang bahagia dan selalu tersenyum,” katanya pelan kemudian pergi.
Apa ini yang diinginkan Maxime? Apakah Maxime mengorbankan perasaannya untuk kebahagiaan Nadia? Sedalam itukah rasa cinta Maxime untuk Nadia? Kenapa gue merasa kecil di hadapan Maxime saat ini? Gue merasa kalah akan perasaan yang dimilikinya saat ini.
Gue masuk ke dalam rumah dengan fikiran kosong. Keadaan rumah sudah tidak seperti dulu lagi. Gue menatap foto pernikahan gue dengan Nadia dengan lirih. Setelah gue mengetahui jawaban atas perasaan yang gue rasakan saat ini, kenapa gue kian menjauh dari orang-orang yang gue sayangi?
Di saat gue hendak memilih apa yang sudah ada di hadapan gue, kenapa masalah ini datang begitu cepatnya? Gue melihat Nadia sedang duduk termenung di kamarnya, gue ingin sekali menghampirinya tapi gue tak ingin membuatnya menangis kembali.
Setiap kali Nadia menatap wajah gue, setiap kali Nadia berada di sisi gue, dia selalu saja meneteskan air matanya. Kebahagian yang pernah ada diantara kami sepertinya akan sirna begitu saja.
Gue tidak ingin melihatnya menangis lagi, gue hanya ingin melihatnya selalu tersenyum seperti senyuman cerah yang selalu diberikannya untuk Maxime.
Bersama Maxime, Nadia selalu tampak bahagia dan tidak pernah menangis. Bersama dengan Maxime, Nadia selalu tersenyum cerah. Maxime selalu bisa membuat Nadia tertawa, Maxime juga bisa melindungi Nadia lebih dari gue. Apa ini saatnya gue menyerah?
“Sudah makan?” tanya Nadia yang tiba-tiba datang menghampiri gue ke kamar saat gue sedang membaca buku.
“Nanti saja, aku belum lapar.”
“Niko, ayo kita bicara,” katanya pelan kemudian keluar dari kamar.
Gue menutup buku dan mengikutinya dari belakang. Kami berdua berjalan-jalan sejenak untuk menghirup udara malam. Udaranya begitu segar, rasanya kepenatan gue hilang seketika. Kami duduk bersama di bangku taman. Sambil menatap langit malam, gue dan Nadia terdiam dalam kesunyian.
“Aku menyukaimu, Niko,” katanya tiba-tiba membuka suara hingga membuat gue menatap wajahnya. “Aku sangat menyukaimu, aku benar-benar menyukaimu sampai membuatku rasanya ingin meledak. Aku menyukaimu lebih dari diriku sendiri, aku menyukaimu sampai membuatku sulit bernafas. Dan, aku menyukaimu sampai aku begitu menderita.”
Mendengar pernyataannya, gue menundukkan kepala dan tak berani menatap wajahnya. Sebesar itukah rasa suka yang di miliki Nadia untuk gue?
“Aku, kamu dan juga Dara sudah begitu banyak mengalami hal-hal yang begitu menyakitkan. Sejak kecil, aku tahu rasa cintamu memang untuk Dara dan rasa cintamu begitu besar untuknya. Terkadang, aku iri melihat rasa cinta yang kalian miliki. Aku iri dengan rasa cinta kalian yang begitu besar. Tapi, apakah kamu sadar kalau aku juga menyukaimu sejak dulu?”
Deggg . . . jantung gue berdetak begitu cepat. Apa gue tidak salah dengar? Nadia menyukai gue sejak dulu? Bagaimana bisa?
“Sejak kecil aku menyukaimu, Niko. Aku cemburu, aku sedih, aku kecewa, aku marah saat aku tahu kalau kalian berdua saling menyukai. Tapi aku tidak bisa apa-apa, karena kalian berdua adalah sahabatku dan aku tidak ingin kehilangan kalian. Cukup satu kali aku merasakan rasanya kehilangan itu seperti apa, aku tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.”
Gue menundukkan kepala gue pasrah. Gue bingung. Perasaan gue campur aduk, gue bingung untuk menjelaskannya.
“Karena tak ingin merasakan kehilangan lagi, gue memutuskan untuk menyerah dan mengubur rasa cinta yang gue miliki dalam-dalam. Sampai saatnya kita menikah, aku merasakan rasa itu lagi. Diam-diam aku memperhatikanmu, diam-diam aku mendukungmu dan diam-diam aku mencintaimu. Walau aku terlambat untuk mengatakannya tapi aku mencintaimu, Niko.”
Perasaan apakah ini? Kenapa tiba-tiba gue ingin menangis setelah mendengar semua isi hati Nadia? Kenapa gue tidak pernah sadar kalau Nadia mencintai gue selama ini? Apakah gue sudah menyakitinya sejak dulu?
“Karena rasa cinta inilah aku memutuskan untuk berpisah,” katanya tiba-tiba dengan air matanya yang mulai menetes.
“Berpisah?” ulang gue bingung.
Mendengar pernyataannya barusan, gue seketika membisu. Hal yang tidak ingin gue dengar akhirnya terdengar juga oleh telinga gue sendiri. Mungkin, Nadia sudah memutuskannya secara matang. Tidak semudah itu gadis seperti Nadia mengucapkan kata pisah.
Nadia wanita yang hebat, ia mampu membuat perasaan gue tercampur aduk seperti ini. Seperti roller coster, perasaan gue saat ini melambung begitu jauh. Namun, saat ia terjatuh ke bawah, semuanya terdiam membisu dan tak mampu berteriak kembali.
“Kita berpisah saja, Niko. Agar diantara kita tidak ada yang sama-sama tersakiti. Aku tidak ingin menyakiti Dara, aku melakukan semua ini karena aku menyayanginya.”
“Berpisah?” ucap gue pelan sambil menundukkan kepala.
“Kita selesaikan masalah kita dengan Dara, setelah itu kita pelan-pelan berbicara dengan kedua orang tua kita dan menjelaskannya secara baik-baik. Mungkin, ini keputusan yang tepat. Maka dari itu kita berpisah saja,” katanya kembali.
“Baiklah, jika ini yang terbaik untuk kita semua. Ayo, kita berpisah,” ucap gue pasrah.
Pasrah mungkin salah satu cara agar gue ikhlas melepaskan orang yang gue sayang. Belajar tidak egois dan belajar untuk menerima suratan takdir ini. Mungkin, dengan berpisah semuanya akan berjalan lancar dan membaik seperti sedia kala.
“Kita masih bisa menjadi sahabat, kan?” tanyanya sambil menatap wajah gue.
Gue mengangguk pelan dan mencoba untuk menyembunyikan kesedihan gue saat ini.
“Sahabat?” katanya sambil mengulurkan tangannya.
“Sahabat,” jawab gue sambil membalas uluran tangannya.
Nadia tampak sangat sedih dan berkali-kali ia meneteskan air matanya. Melihatnya menangis seperti itu, rasanya gue ingin sekali memeluknya. Gue menggenggam tangannya begitu erat dan langsung menarik tangannya hingga ia jatuh ke pelukan gue. Gue memeluknya begitu erat, seketika tangisan Nadia pun pecah dalam pelukan gue.
Mungkin, ini akan menjadi pelukan gue yang terakhir. Pelukan mantan suami paling brengsek di muka bumi ini. Belum sempat gue membahagiakannya, yang ada gue malah membuatnya menangis setiap harinya.
Sial, kenapa di saat ini gue malah ingin menangis?
“Apa pernah kamu merasakan rasanya jantungmu berdebar ketika kamu bersamaku? Apakah kamu pernah sekali saja merasakan rasanya mencintaiku?” tanyanya pelan hingga membuat gue melepaskan pelukan gue.
“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku, Niko?”
Gue menatap kedua bola Nadia begitu lekat. Kedua matanya yang memerah dan mulai terlihat sembab, membuat gue berfikir. Berapa ratus air mata yang ia keluarkan untuk menangisi pria brengsek seperti gue?
“Jawaban apa yang ingin kamu dengar dariku?”
“Jawaban sejujur-jujurnya tentang perasaanmu terhadapku selama ini.”
Nadia mengambil nafas dalam-dalam. Ia mulai mencoba mengatur nafasnya. Membuangnya secara perlahan, kemudian kembali mengambil nafas panjang.
“Apa kamu pernah merasakan rasanya menyukaiku sekali saja? Apa pernah kamu merasakannya?”
“Aku nyaman bersamamu, aku juga bahagia bisa menikah denganmu. Itu adalah jawabanku,” jawab gue yang membuat Nadia terdiam beberapa saat kemudian membisu di tempatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
sintia manuhutu
Thor Sesak sx bab ini😭😭😭😭
haruakah mrwka berpisah??😭
2020-09-26
1