Aku begitu terkejut karena tiba-tiba saja Niko mencium bibirku. Ini adalah pertama kalinya kami berciuman setelah sekian lamanya kami saling kenal, sekian lamanya kami berpacaran dan akhirnya menikah. Ciuman pertamaku bersama Niko.
“Sudah malam, tidurlah,” katanya pelan.
“Iya, kamu juga tidur sana,” jawabku gugup.
“Night, Nadia.”
“Night, Niko.”
Akibat ciuman pertamaku dengan Niko, aku jadi tidak bisa tidur sama sekali. Sebenarnya aku tidak tahu maksud dari Niko mencium bibirku itu apa? Apakah Niko mulai menyimpan rasa untukku? Aku sendiri pun tidak tahu jawabannya apa.
Esok harinya, aku dan Niko tidak pergi bersama karena perkuliahan kami tidak pada jadwal yang sama. Aku pun memutuskan untuk mengendarai mobilku sendiri menuju kampus. Sesampainya di kampus aku segera menuju kelasku. Karena tidak terlalu melihat jalan dengan begitu baik dan terlalu sibuk melihat handphone, aku tidak sengaja menabrak seseorang hingga membuatku terjatuh.
“Aduh!” rengekku.
“Are you okey?” katanya sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
“I’m fine,” kataku sambil membalas uluran tangannya dan segera membersihkan pakaianku.
“Elo Nadia, kan?” katanya yang membuatku terkejut dan langsung menatap wajahnya.
“Kenapa elo bisa tahu nama gue? Elo siapa?” tanyaku bingung.
“Kita memang di takdirkan untuk bertemu, Nad. Nice to meet you, Nadia!” serunya yang langsung memelukku dengan begitu erat hingga membuatku begitu terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba saja memelukku dengan seenaknya.
“Tunggu, elo siapa? Gue tidak merasa mengenal lo. Dan, jangan seenaknya peluk-peluk orang lain seperti itu!” kataku kasar yang berusaha untuk melepaskan pelukannya.
“Gue Max . . . Maxime.”
“Max? Gue nggak kenal sama lo sama sekali dan gue juga belum pernah bertemu dengan elo sebelumnya.”
“Masih ingat dengan kejadian saat gue membantu elo membereskan buku-buku lo yang berserakan di lantai?” katanya seraya melepaskan pelukannya dan menatap wajahku hingga membuatku sejenak berfikir dan mencoba untuk mengingat-ngingat.
“Jadi, elo si gelang putih yang udah nolongin gue?”
“Gelang putih?” ulangnya bingung tampak berfikir.
“Iya, si gelang putih yang udah nolongin gue. Tapi tunggu, kenapa elo bisa tahu nama gue?”
“Gue guardian angel lo, Nad. Gue akan selalu melindungi lo dan akan selalu ada untuk mendampingi lo. I miss you so much, Nad!” serunya yang kembali memelukku dengan begitu eratnya.
“Wait . . . wait . . . gue gak kenal lo sama sekali. Asal lo tahu, gue sudah menikah dan gue sudah bersuami. Jadi, lo jangan seenaknya peluk-peluk gue!”
“Apa? Jadi, elo sudah menikah? Seriously?” teriaknya tampak terkejut seraya melepaskan pelukannya.
“Ya, gue sudah menikah dan suami gue satu kampus dengan gue. Dia anak Fakultas kedokteran jadi jangan pernah coba-coba untuk mengganggu gue!” kataku sembari menatapnya dengan tajam.
“Gue tidak peduli elo sudah bersuami atau belum. Yang penting gue bisa bertemu dengan lo saja itu sudah lebih dari cukup. Elo tahu nggak sih, betapa butuh perjuangannya gue untuk menemukan lo dan menemui lo di sini. I’m so happy and i’m always remember you.”
“Elo sakit jiwa!” kataku yang kemudian pergi.
Tetapi pria itu menghalangi jalanku dan membuatku sedikit takut dengan sikapnya itu.
“Please, tinggalin gue. Elo membuat gue takut dengan sikap lo yang seperti ini!”
“Elo nggak usah takut dengan gue, Nad. Gue sama sekali tidak akan menyakiti lo.”
“Bagaimana bisa gue percaya elo tidak akan menyakiti gue? Elo membuat gue takut!”
Kedua bola mataku mulai menatapnya dengan rasa takut. Pria yang mengaku-ngaku bernama Maxime itu pun tampaknya terlihat tidak berbohong. Tatapan matanya begitu tajam. Seperti tatapan mata sendu dan juga kesepian.
“Gue belum bisa mengatakan hal yang sebenarnya sama lo. Tapi percayalah, niat gue baik dan gue tidak akan pernah menyakiti lo.”
“What ever!” ucapku terkesan sinis kemudian pergi.
“Nad . . . Nadia!” teriaknya kembali, “elo bener lupa sama gue, Nad?”
Aku segera bergegas pergi menuju kelasku. Pria tadi benar-benar membuatku takut. Bagaimana bisa ia tahu namaku tanpa aku mengenalnya sama sekali dan seolah-olah dia tahu banyak hal tentangku. Ini benar-benar sangat aneh. Siapa sih pria bernama Maxime itu sebenarnya?
Aku menjalani waktuku selama 2 jam penuh untuk mengerjakan beberapa tugas yang diberikan dosenku. Selama 2 jam mengerjakan tugas, membuatku tak sadar waktu berjalan begitu cepat. Karena mata kuliah kali ini aku tidak satu kelas dengan Bella, aku pun keluar dari kelas dan menunggu Bella di depan kelasnya.
Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang duduk di sampingku dan menatapku dengan tatapan matanya yang begitu menusuk. Saat aku melihatnya, ternyata orang itu adalah pria bernama Maxime yang mengaku-ngaku kalau dia adalah guardian angelku.
“Elo lagi? Elo mau apa lagi, sih?”
“Nama lo Nadia Sharena Rizkya, umur lo 21 tahun, elo lahir tanggal 22 Mei tahun 1999, golongan darah lo O, warna favorit lo hijau, hobby lo menggambar dan bermain piano. Elo suka kucing dan juga hujan. Tapi elo sangat membenci gelap, petir dan juga kolam berenang.”
Mataku melotot tajam begitu mendengar pria asing bernama Maxime itu tahu semua tentangku. Bagaimana bisa ia mengetahui semua hal itu?
“Tunggu, dari mana lo tahu semua tentang gue?” tanyaku menyelidik.
“Elo pernah menjuarai lomba menggambar saat elo masih Tk, lo juga pernah juara kontes piano saat lo masih Sd. Elo pernah mengubur kucing kesayangan lo saat umur lo 7 tahun karena tertabrak mobil. Dan, elo pernah operasi amandel saat umur lo 9 tahun,” ungkapnya yang membuatku semakin terkejut mendengarnya.
“Elo siapa sih sebenernya? Kenapa lo bisa tahu hal-hal pribadi tentang gue?” tanyaku tak sabaran.
“Elo nggak perlu tahu gue siapa, yang penting lo harus tahu kalau gue sayang banget sama lo.”
“Elo gila, elo beneran nggak waras!” kataku yang kemudian pergi tapi dia langsung menarik tanganku hingga membuatku jatuh kepelukannya.
“Elo tahu gak sih betapa gue sangat merindukan lo, Nad! Apa lo tidak bisa memahami isi hati gue? Butuh waktu yang lama untuk gue bisa berbicara dengan lo seperti ini,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Aku bisa melihat wajah keseriusan dan kejujuran dari sorot matanya yang berkaca-kaca. Aku sebenarnya tidak tahu dia siapa, tapi ketika melihat matanya, aku bisa melihat dengan jelas dia begitu tulus menyayangiku.
Sorot matanya tampak sangat sedih dan kesepian, ia seperti memikul banyak beban selama ini. Dan, entah kenapa rasanya aku merasa ingin menangis melihat sorot matanya itu.
“Please, jangan tanya gue tahu dari mana soal lo. Elo hanya cukup diam saja dan please jangan tinggalin gue lagi. Gue membutuhkan lo!”
“Tapi, kita baru saja kenal dan bertemu tadi.”
“Suatu saat lo akan tahu dan mengerti, kenapa gue bersikap seperti itu. Anggap saja gue sebagai sahabat lama lo.”
Aku menghela nafas panjang. Akhirnya, Bella keluar juga dari kelasnya. Dan, benar dugaanku, Bella tampak heran melihat gue bersama dengan seorang pria asing yang kini berdiri di sebelahku.
“Siapa dia?” bisik Bella.
“Max, perkenalkan ini sahabatku dan Bella perkenalkan ini Maxime.”
“Hay Max, senang bertemu dengan lo.”
“Hai, Bella.”
“Elo anak baru, yah? Sepertinya, gue belum pernah melihat lo?”
“Iya, gue baru saja pindah ke sini,” jawabnya sambil tersenyum.
“Oh, elo pindahan dari mana?”
“Gue pindahan dari Jerman.”
“Wow, Jerman? Hebat! Elo anak fakultas apa?” tanya Bella kembali tampak antusias..
“Hukum Pidana.”
“Wow, hebat sekali! Iya kan, Nad?” serunya bersemangat.
Aku hanya tersenyum kecil mendengar ceritanya yang menurutku sih biasa-biasa saja. Mana mungkin aku bisa kenal seorang pria pindahan dari Jerman sedangkan ia bisa mengenalku begitu jauh. Sebenarnya siapa sih Maxime itu? Kenapa ia tahu banyak tentang diriku?
Karena sudah terlanjur bertemu dengannya, kami memutuskan untuk pergi ke kantin bersama. Saat perjalanan kami menuju kantin, Maxime mengejutkanku kembali dengan tiba-tiba menarik tanganku hingga aku jatuh ke pelukannya kembali.
“Awas, ada bola!” teriaknya yang langsung menarik tanganku hingga membuatku saling beradu pandang dengannya.
Aku begitu terkejut karena tiba-tiba saja Maxime menarik tanganku saat ada bola yang hampir mengenai kepalaku. Beberapa orang datang menghampiri kami untuk mengambil bola miliknya yang hampir mengenai kepalaku dan mereka semua meminta maaf kepadaku karena sudah ceroboh.
Aku masih terpaku di tempat dan masih menatap wajah Maxime yang terlihat begitu dekat dengan wajahku.
“Hm . . . hmm . . . hmm.”
Mendengar suara Bella, aku langsung melepaskan tangan Maxime dan membuatku sedikit menjauh darinya.
“Elo nggak apa-apa?” tanya Maxime.
“Nggak apa-apa. Gue mau ke kantin, gue lapar,” kataku mencoba mengalihkan dan segera bergegas pergi.
Saat berada di kantin, aku bertemu dengan Bobby dan juga Niko yang sepertinya melambaikan tangannya ke arahku dan juga Bella.
“Siapa dia?” bisik Bobby ke arah Bianka yang terdengar olehku saat melihat Maxime yang berada di belakangku.
“Anak baru, temannya Nadia.”
“Siapa dia, Nad?” tanya Niko saat melihat Maxime yang duduk di sebelah Bobby.
“Dia?” kataku bingung.
“Gue Maxime, pindahan dari Jerman dan gue anak fakultas Hukum. Senang bertemu kalian,” potongnya yang langsung memperkenalkan diri seakan-akan dia sadar kalau kami semua sedang membicarakannya.
“Gue Bobby anak fakultas Kedokteran.”
“Niko, fakultas Kedokteran,” tutur Niko memperkenalkan diri.
“Siapa diantara kalian berdua yang suaminya Nadia?” celetuk Maxime tiba-tiba yang membuat suasana menjadi hening dan juga canggung.
“Gue, kenapa?” tanya Niko balik yang membuatku mendadak gugup.
“Tolong jaga Nadia baik-baik,” katanya yang membuat kami semua terdiam untuk beberapa saat.
“Sudah . . . sudah . . . ayo kita makan,” kataku mencairkan suasana.
Saat tengah makan, Maxime lagi-lagi membuatku terkejut. Dia tiba-tiba saja mengambil piring isi nasi gorengku dengan cepat hingga membuat semua orang yang berada di sekitarku ikut terkejut juga melihatnya.
“Hey, itu makanan gue!” teriakku kesal.
“Jangan makan itu, nasi ini ada udangnya. Bukannya elo alergi udang? Kenapa masih makan udang?” katanya yang membuatku kembali tercengang. “Makan nasi goreng punya gue, ini nggak ada udangnya,” katanya sambil menukar piring isi nasi goreng milik kami berdua.
Niko dan yang lainnya tampak memandang sinis ke arah Maxime. Sepertinya, akan ada perang dunia ke- 3 setelah kami semua makan hari ini.
“Kenapa kalian melihat wajah gue seperti itu?” tanya Maxime bingung.
“Kenapa lo tahu Nadia alergi udang, bukannya kalian baru saja saling kenal, yah?” tanya Bella bingung.
“Iya, sepertinya juga elo tahu banyak soal Nadia. Gue jadi bingung sendiri,” tutur Bobby sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Semua teman-temanku langsung menyerbu Maxime dengan beberapa pertanyaan. Aku sendiri sangat penasaran menunggu jawaban darinya, kenapa dia bisa begitu mengenal lebih jauh tentangku? Apa dia adalah sosok pria di masa lalu? Tapi, siapa?
“Gue memang baru bertemu dengan Nadia, tapi gue tahu banyak tentangnya. Dan, untuk lo?” katanya sambil menatap wajah Niko.
“Elo kan suaminya Nadia, harusnya elo tahu dong kalau istri lo alergi udang. Mana bisa orang seperti lo jadi suami Nadia!” katanya kembali yang membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dan membuat selera makan Niko hilang.
“Jangan berbicara seolah-olah lo tahu Nadia lebih dari gue. Gue tahu banyak tentang Nadia, gue kenal Nadia sejak kecil. Jadi, elo tidak usah sok menceramahi gue seperti itu!”
Mata Niko sudah terlihat begitu emosi. Sepertinya, ia sudah memberikan sinyal perang kepada Maxime dengan ekspresi wajahnya yang terlihat menahan amarah. Niko juga menatap Maxime dengan berani.
“Kalau memang lo tahu Nadia lebih banyak dari gue, kenapa lo gak tahu kalau di nasi goreng itu ada udang?”
Niko tersenyum kecut dan membuat susana menjadi tidak enak. Bobby dan Bella juga sepertinya sudah tidak ada selera untuk menyantap makanan mereka lagi.
“Nad, ayo pulang,” ucap Niko yang langsung menarik tanganku hingga membuat Maxime hanya menatap sinis ke arahku dan juga Niko.
Niko masih saja terus menarik tanganku dan membawaku untuk masuk ke dalam mobil. Wajahnya terlihat tampak sangat kesal dengan kejadian di kantin barusan.
“Nik, kamu marah?” tanyaku memberanikan diri membuka suara.
“Menurutmu? Kalau kamu jadi aku, apakah kamu akan melakukan hal yang sama?”
“Maksud kamu?”
Niko menatapku begitu dalam. Sorot matanya terlihat sangat tajam, tetapi kedua bola matanya juga seperti mengisyaratkan rasa kekecewaan terhadapku. Bahkan, ekspresi wajahnya sudah menggambarkan dengan jelas kalau ia sangat kecewa sekali.
“Maxime itu orang asing, kamu juga baru mengenalnya, kan? Atau jangan-jangan, sebelumnya kamu mengenalnya?” tuduhnya tak beralasan.
“Itu mana mungkin, aku saja baru bertemu dengannya!”
“Lantas, kenapa dia banyak tahu semua tentang kamu, seolah-olah dia mengenal kamu jauh lebih baik dari pada aku? Dia fikir dia itu siapa? Yang menjadi suaminya itu kan aku bukan dia!” teriaknya kesal.
Aku begitu terkejut. Kenapa Niko harus berteriak seperti itu kepadaku? Semarah itukah Niko padaku? Hanya gara-gara seorang pria asing yang lebih mengetahui tentang kepribadianku, apa pantas seorang suami berteriak seperti itu kepada istrinya?
“Kenapa kamu harus seemosi ini? Memangnya kamu tahu aku itu seperti apa? Aku sangat yakin, kamu juga pasti tidak tahu kan kalau aku itu alergi udang?” tanyaku yang terbawa emosi.
“Kenapa kamu jadi ikut berbicara seperti itu padaku? Aku ini suamimu. Jelas aku tahu banyak tentangmu!” katanya yang membuatku kesal mendengar jawabannya.
Ternyata, selama ini dugaanku salah. Niko tidak selembut yang aku bayangkan selama ini. Aku menatap Niko dengan nanar dan penuh kekesalan. Air mataku hampir saja keluar dari pelupuk matanya, tapi aku berusaha untuk menahannya agar tidak terjatuh dan tidak terlihat tampak lemah di hadapannya.
“Tahu banyak? Ada beberapa hal yang tidak kamu tahu tentang aku, Niko. Kedua orang tuaku saja belum tentu tahu keseharianku setiap harinya seperti apa, apalagi kamu yang hanya berstatus seorang suami. Dan, apa kamu tahu tentang isi hatiku sekarang? Kamu bukan Tuhan yang tahu semua tentagku.”
“Aku . . . aku memang tidak tahu semuanya tentangmu. Tapi, hampir setengah hidupku aku lalui bersama denganmu, Nad. Dan, sekarang posisiku adalah suamimu. Jadi, aku pasti tahu bahkan harus tahu semua tentangmu.”
“Lantas? Kenapa kamu harus semarah itu padaku? Apa salahku?”
Niko terdiam. Ia sudah kehabisan kata-kata dan entah kenapa aku harus terbawa emosi hanya dengan seorang pria asing yang muncul dengan tiba-tiba di dalam kehidupanku. Niko sama sekali tidak membalas perkataanku. Niko hanya bisa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Selama dalam perjalanan pulang, aku dan Niko sama sekali tidak membuka suara. Dan untuk pertama kalinya, kami bertengkar hebat seperti ini setelah 1 tahun kami menikah. Ternyata memang benar, rasa ego masing-masing, perbedaan pendapat dan hal-hal yang paling kecil pun bisa memicu pertengkaran kehidupan rumah tangga kami.
Sesampainya di rumah, Niko langsung masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa memandangku. Aku tidak tahu di dalam pertengkaran ini, aku berbuat hal yang benar atau tidak.
Tapi yang aku katakan memang benar, orang asing itu tahu lebih banyak tentang diriku dari pada suamiku sendiri. Mungkin yang dikatakan Maxime sedikit keterlaluan, hanya saja aku terlalu menuntut banyak kepada Niko.
Hanya karena dia suamiku, aku menuntutnya harus tahu banyak tentang kepribadianku. Aku kembali membuka album fotoku semasa kecil. Di dalam foto itu banyak sekali foto-foto kebersamaanku dengan Niko. Tapi aku akui, saat masih kecil Niko selalu berada di sampingku. Dia selalu ada saat aku membutuhkan seseorang dan dia selalu membantuku jika aku mendapat kesulitan.
Aku fikir, guardian angelku yang sebenarnya bukanlah Maxime tapi itu adalah Niko. Masih ingat dengan jelas di dalam benakku, Niko pernah memberikan buku pr matematikanya padaku saat aku lupa membawanya ketika kita masih kelas 4 sd dulu. Hingga pada akhirnya, Niko yang diberikan hukuman oleh guru karena telah membantuku.
Niko juga pernah memberikan sepatunya padaku saaat sepatuku robek dan ia harus rela berjalan tanpa beralaskan sepatu. Niko juga yang membantuku melewati masa-masa di mana dulu aku pernah difitnah oleh Lisa saat kelulusan Sma 3 tahun yang lalu. Selalu Niko . . . Niko . . . dan Niko.
Aku tidak mengerti kenapa aku sulit jatuh cinta padanya. Tapi, sejujur-jujurnya dari dalam lubuk hatiku yang paling terdalam, aku pernah merasakan rasanya jatuh cinta sekali padanya. Dan, rasa cinta itu membuatku sedikit trauma untuk merasakan hal yang sama kembali padanya.
Aku takut, takut akan perasaan itu benar-benar muncul kembali. Dan, aku juga takut perasaan itu akan membuat hubunganku dengan Niko tidak lancar. Karena aku takut, perasaan itu akan membelengguku kembali dan membuat hubunganku dengan Niko jadi merenggang.
“Karena lo nggak akan pernah tahu dan nggak pernah mau tahu tentang isi hati gue, Nik. Cukup sekali gue merasakan itu, gue nggak mau perasaan itu muncul kembali. Karena dengan adanya kembali perasaan itu, gue tidak pernah hidup tenang. Dan, selamanya gue akan terkurung dalam penantian yang panjang.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Mimosa
Aw.. 😘
2020-09-22
1