BAYANGKAN DAN RASAKAN

“Nina? Ada apa?” tanya gue bingung saat melihat Nina menghampiri gue ketika perkuliahan selesai.

 

“Ada yang ingin gue sampaikan sama lo, Nik.”

Nina terlihat gugup sekali. Ia juga terlihat memegang tali tas miliknya begitu erat. Bibirnya juga terlihat kelu dan wajahnya sudah mulai terlihat pucat. Sebenarnya, apa yang ingin dikatakan Nina? Kenapa wajahnya terlihat tegang seperti itu?

“Mungkin, gue tak pantas untuk mengatakan hal ini. Tapi, gue sudah tak sanggup untuk menyimpan rahasia ini lagi.”

“Rahasia? Rahasia apa?” ulang gue bingung.

“Sebenarnya, sejak awal kita bertemu gue . . . gue . . . gue sudah menyukai lo. Gue jatuh cinta pada pandangan pertama sama lo, Nik!” ungkapnya yang membuat gue sangat terkejut begitu mendengar pengakuannya.

“Apa? Lo suka sama gue?” seru gue tak percaya dengan apa yang baru saja gue dengar.

Seorang Nina suka sama gue? Hebat, apa yang dia lihat dari gue? Gue sama sekali tidak percaya. Gadis secantik Nina, secerdas Nina, suka sama gue? Impossible! Ini benar-benar diluar dugaan gue selama ini.

 

Gue kira, Nina hanya menganggap gue sebagai teman biasa, tak disangka dia menyimpan perasaan lebih terhadap gue selama ini. Walau sebenarnya gue sudah terbiasa dengan pembicaraan seperti ini. Bukan berniat sombong, tapi gue sudah sering sekali berada dalam posisi di mana perempuan di luar sana mengungkapkan perasaannya terhadap gue dari zaman Smp dulu. Dari cewe yang paling cantik sampai cewe paling pendiam di sekolah.

 

Menurut gue, Nina itu cewe yang sangatlah berbeda. Selain cantik, dia itu pintar. Mahasiswi kesayangan pak Dodi dan perwakilan dari kampus untuk mengikuti olympiade sains tahun lalu.

Banyak sekali sejuta prestasi dan pesona dari gadis yang menurut gue nyaris perpect ini. Gue sangat menghormati dan mengagumi sosok gadis seperti Nina, tapi tak disangka dia menyimpan rasa untuk gue selama ini.

“Elo serius suka sama gue?”

Nina mengangguk pelan dan menundukkan kepalanya tidak berani menatap wajah gue.

“Gue tahu, saat itu elo sudah memiliki seorang kekasih. Tapi, perasaan itu tidak bisa gue hindari. Saat gue tahu elo menikah dengan Nadia, itu membuat gue syock dan patah hati. Gue masih belum bisa menerima lo menikah dengan Nadia. Makanya, gue menjauh dari lo,” paparnya.

“Jadi, itu alasannya lo menjauh dari gue?”

Nina mengangguk dan kembali menundukkan kepalanya. Namun, ia memberanikan diri untuk menatap wajah gue penuh arti.

“Maaf, gue bukan bermaksud nekad seperti ini. Gue menghargai keputusan lo untuk menikah muda dengan Nadia. Tapi, gue tidak bisa membohongi perasaan gue sendiri kalau gue menyukai lo."

Gue menghela nafas panjang. Gue tidak menyangka sama sekali seorang Nina yang menjadi primadona kampus menyukai pria seperti gue. Nina gadis yang baik dan cantik. Gue menyukai kepribadiannya.

Hanya saja, rasa suka gue tidak melebihi dari batas kekaguman gue terhadapnya. Rasa suka gue bukan berarti cinta, tapi hanya sebatas rasa kagum. Kagum sebagai seorang teman dan juga rekan.

“Gue hargai perasaan lo, Nin. Tapi, elo tahu kan kalau gue sudah mempunyai istri?”

“Iya, gue tahu dan gue mengerti. Tapi, thank’s banget elo udah mau mendengarkan isi hati gue. Gue tidak meminta lebih, gue hanya ingin elo tahu tentang perasaan gue yang sebenarnya. Gue . . . gue hanya ingin terbebas dari perasaan yang membelenggu gue selama ini.”

Gue tertegun. Gue berusaha dan mencoba untuk memikirkan kata-kata yang tidak menyakiti perasaan Nina. Baru kali ini gue menolak perempuan seperti Nina dengan memikirkan cara agar tidak menyakitinya. Biasanya, gue selalu berkata kasar, terkesan arogan dan sangatlah angkuh. Tapi, kali ini tampak jelas berbeda. Gue tak ingin menyakiti perasaannya.

“Makasih elo udah mau ngerti dan gue harap kita masih bisa berteman seperti biasanya.”

Nina tersenyum lembut dan menatap gue dengan mata yang terlihat tidak ada beban sama sekali.

“Elo tenang aja, gue akan kembali menjadi Nina yang dulu dan akan tetap berteman seperti yang elo inginkan.”

Setelah pengakuan cinta Nina terhadap gue tadi, gue cukup merasa lega. Akhirnya, gue masih bisa berteman lagi dengannya, walau ada sedikit rasa bersalah gue terhadapnya. Cinta memang tak harus memiliki dan cinta tak harus dipaksakan. Karena jika cinta harus dipaksakan, itu bukan cinta namanya melainkan obsesi.

Gue duduk seorang diri di taman belakang kampus sambil membaca buku dan mendengarkan lagu. Karena kebetulan ada mata kuliah pilihan yang tidak satu kelas dengan Bobby, gue memutuskan untuk menunggunya di taman belakang kampus sendirian.

Saat gue tengah asyik membaca buku, tiba-tiba saja ada seseorang yang menyodorkan sebatang coklat di depan wajah gue. Ketika gue menengadah, ternyata orang yang memberikan gue coklat itu adalah Nadia.

“Sendirian aja?” tanyanya sambil duduk di samping gue.

“Iya, lagi nunggu Bobby. Soalnya dia ada kelas. Bella mana?”

“Dia ada kumpul BEM.”

“Oh, masih ada kelas?”

“Ada sih, tapi dosennya gak ada. Jadinya dikasih tugas, deh,” jawabnya kembali, “lagi baca buku apa?”

“Aku lagi baca tentang buku penyakit dalam,” jawab gue sambil memperlihatkan isi buku yang sedang gue baca.

“Kamu mau ambil spesialis penyakit dalam?”

“Sepertinya begitu, karena aku sedikit tertarik soal penyakit dalam.”

“Berarti, nanti kamu harus kuliah lagi, yah?”

Gue mengangguk pelan dan melanjutkan kembali membaca buku sambil memakan coklat yang diberikan Nadia tadi.

“Nik, inget gak? Dulu, waktu Smp kamu kan pernah tolongin anak kecil yang punya penyakit asma? Inget gak, sih?”

“Iya, aku inget. Kenapa?” tanyaku sambil menatap ke arahnya.

“Saat itu, aku merasa kamu sangat hebat. Di usia kamu yang terbilang masih dini, tapi dengan sigap kamu menolong anak kecil itu. Kamu bahkan sedikit tahu tentang ilmu kedokteran. Aku rasa, kamu akan menjadi dokter yang hebat suatu hari nanti. Aku fikir, dokter anak akan menjadi hal yang menakjubkan untukmu saat itu,” kenangnya hingga membuat gue menatap wajah Nadia beberapa saat.

“Dokter anak?” ulang gue pelan.

“Kamu tahu gak, anak itu adalah titipan dari Tuhan yang harus kita jaga sebagai orang tua sampai dia besar nanti. Coba kamu bayangkan, zaman sekarang banyak sekali anak-anak kecil yang sudah mengidap penyakit kronis. Penerus bangsa kita akan semakin berkurang, jika anak-anak kecil banyak yang pergi dipanggil Tuhan.

“Usia mereka yang masih dini, tapi mereka harus pergi meninggalkan orang-orang yang begitu menyayanginya. Zaman sekarang, sudah begitu jarang dokter yang setidaknya mengurangi angka kematian anak-anak. Anak kecil masih belum banyak memiliki dosa, coba kamu bayangkan dan rasakan jadi orang tua kelak.

“Sedih bukan rasanya ditinggal oleh seorang anak? Anak yang seharusnya menjadi kebanggaan keluarganya harus pergi begitu saja tanpa usaha dari dokter-dokter yang menanganinya.

“Aku tahu, mati dan hidupnya seseorang itu ada di tangan Tuhan. Tapi, setidaknya kita sebagai manusia apalagi seorang dokter yang mempunyai tugas berat dan pekerjaan yang sangat mulia, harus berusaha sekuat tenaganya untuk menolong anak-anak yang menjadi kebanggaan orang tuanya.”

Semua pernyataan Nadia langsung meresap di otak gue begitu saja. Gue berusaha mencerna semua kata-katanya dengan perlahan. Gue tidak menyangka, gadis yang duduk di samping gue yang merupakan istri gue sekarang ini mempunyai pemikiran luar biasa dan jauh dari pemikiran gue saat ini yang sedang mendalami dan berproses menjadi dokter.

Gue bangga memiliki istri seperti Nadia walau otoritasnya sebagai psikolog. Tapi, dia memikirkan masa depan anak-anak kecil yang kurang beruntung di dunia ini karena diberi cobaan hidup dengan adanya penyakit yang membelenggunya. Gue fikir, sebagai dokter yang sedang berproses seperti ini, harusnya gue memiliki pemikiran seperti itu.

“Inilah yang aku kagumi darimu, Nad. Kamu selalu mempunyai pemikiran yang luar biasa dan membuatku berfikir ulang untuk melakukan suatu perubahan dengan pembaharuan. 1001 perempuan sepertimu ini di dunia ini.”

“Aku hanya menyampaikan opiniku saja. Yang penting sekarang adalah selesaikan kuliah kita, terus kita lulus sama-sama. Ayo, wujudkan impian kita masing-masing dan saling mendukung satu sama lainnya. Semangat?”

“Semangat! Oh iya, mau dengarkan lagu sama-sama?”

“Ide bagus.”

Gue memberikan satu headset gue kepada Nadia. Kami sama-sama mendengarkan lagu yang sedang gue dengarkan tadi. Sambil mendengarkan lagu Open Arms milik The Journey, gue dan Nadia bernyanyi bersama.

Hari sudah menjelang malam. Setelah menunggu Bobby selesai kuliah, gue, Nadia dan Bella memutuskan untuk makan malam bersama di sebuah cafe sambil menonton pertunjukan bandnya Noah yang kebetulan malam ini ada performs.

“Gila, gue nggak nyangka suara adik lo bagus juga, Nik!” seru Bella memuji suara Noah yang baru saja menyanyikan 3 buah lagu cover dari lagunya Bruno Mars, Maroon 5 dan One direction.

“Gue aja sebagai kakaknya sangat terkejut dan tidak menyangka sama sekali, adik gue punya bakat bernyanyi seperti itu. Soalnya, gue jarang banget nonton performs bandnya Noah.”

“Gak kalah deh suara adik lo dari suaranya Bruno Mars!” seru Bobby yang membuat kami semua tertawa.

Saat kami semua tengah bersenda gurau, Noah beserta teman-teman satu band yang lainnya datang untuk menyambut kedatangan kami. Setelah mereka memperkenalkan diri, mereka semua pergi dan memberikan Noah waktu untuk bersama keluarganya.

“Thank’s banget yah kalian udah pada datang untuk menonton perfoms band kita,” ucap Noah yang terlihat keren sekali saat berada di atas panggung tadi.

“Suara lo keren banget, No!” puji Bobby dan Bella bersamaan.

“Thank’s, Kak.”

“Band kamu keren banget. Star Generation berhasil membuat penonton terhanyut dalam suasana!” seru Nadia yang memberikan dua jempolnya.

“Hahaha, thank’s, kak Nad. Kalau begitu aku tinggal dulu yah, soalnya kita masih ada job, nih.”

“Oke, good luck, Bro!” ucap gue memberi semangat.

“Oh ya, kak bisa ngobrol bentar di belakang?” bisik Noah.

Gue mengangguk pelan dan segera mengikuti Noah yang sepertinya mengajak gue ke sudut cafe agar kami bisa berbicara lebih leluasa. Nadia sempat melirik ke arah kami berdua dengan bingung, tetapi dengan cepat gue memberikan isyarat kepadanya kalau kami butuh waku berdua untuk berbincang-bincang.

“Ada apa?”

Noah menghela nafas panjang dan menatap wajah gue dengan ekspresi begitu serius.

“Apa yang terjadi nanti, lo bakalan tetep sama kak Nad, kan?” tanyanya tiba-tiba hingga membuat gue langsung mengernyitkan kening gue bingung.

“Kenapa lo ngomong gitu secara tiba-tiba?” selidik gue.

“Nggak, gue cuma ingin memastikan aja kalo lo bakalan tetap setia dan menjaga kak Nad.”

“Gue kan udah terikat sama Nadia, ya masa iya gue tinggalin Nadia gitu aja?”

“Gue takut aja elo ninggalin kak Nad.”

Gue tersenyum kecil dan memegang kedua bahu Noah yang hampir melebihi tinggi badan gue seraya menatapnya lebih bersahabat.

“Gue janji, gue nggak akan ninggalin Nadia.”

“Janji kan lo, apa pun yang terjadi nanti ke depan dan apa pun yang akan menghampiri lo nanti, lo bakalan tetap sama kak Nad?”

“Iya bawel, gue janji sama lo.”

“Gue pegang ucapan sama janji lo, Kak,” katanya yang kemudian pergi dan membuat gue bingung sendiri.

Terkadang, Noah itu orangnya cuek dengan orang-orang sekitarnya. Namun, kadang kala ia bisa lebih peka dari siapa pun dan sering menasehati gue seperti orang dewasa. Noah memang sangat sulit dimengerti. Tapi, itulah ciri khas adik gue yang satu ini, unik, langka, tapi penuh perhatian.

“Dan satu hal lagi,” katanya yang membuat langkahnya terhenti dan menatap wajah gue dengan sorotan mata tajam, “belajarlah untuk mencintai istri lo sendiri,” katanya yang kemudian pergi.

Setelah Noah pergi, kami melanjutkan aktivitas kami dengan menyantap makanan kami sambil berbincang-bincang. Malam ini rasanya gue merasa lebih dekat dengan Nadia. Entah kenapa, tapi gue bahagia bisa berbincang-bincang dengannya dan tertawa lepas bersamanya walau ada kehadiran Bella dan juga Bobby.

Meski setiap hari sering melihat wajahnya dan bertemu terus dengannya, tapi entah kenapa malam ini gue seperti kembali ke masa-masa lajang gue. Tiba-tiba saja, Nadia menghapus noda makanan yang berada di bawah mulut gue dengan menggunakan punggung tangannya.

 

Dan, itu membuat gue sangat terkejut. Itu memang hal yang sederhana dan sangatlah wajar. Namun, untuk gue hal itu merupakan hal yang luar biasa. Karena sebelumnya, kami tidak pernah bersikap romantis atau perhatian berlebih seperti ini.

Gue sempat menatap wajahnya dan untuk beberapa saat kami saling beradu pandang dengan begitu lama. Entah kenapa, gue merasakan desiran yang tiba-tiba menghampiri hati gue saat ini. Rasanya, seluruh tubuh gue panas, jantung pun berdegup kencang tak seperti biasanya. Perasaan apakah ini?

Kedua bola mata Nadia terlihat dengan jelas oleh kedua mata gue. Gue pun tak ada henti-hentinya menatap wajah Nadia sampai pada akhirnya, Bella dan juga Bobby yang baru saja keluar dari toilet, membuat gue juga Nadia langsung mengalihkan pandangan mata kami dengan cepat.

“Udah malam balik sekarang, yuk,” kata Bella yang baru saja keluar dari toilet.

“Ayo,” kata Nadia terbata-bata hingga membuat suasana menjadi canggung.

Saat di tempat parkir kami berpisah, karena Bella diantar pulang oleh Bobby sedangkan gue dan juga Nadia pulang dengan menggunakan mobil kami masing-masing. Namun, sebelum pulang gue menarik tangan Nadia dan mencium keningnya.

 

Entah ada angin apa, gue tiba-tiba saja melakukan hal diluar nalar gue selama ini hingga membuat Nadia sepertinya bingung dengan sikap gue yang tiba-tiba seperti ini. Gue melepaskan tangannya dan menatap wajahnya lembut, untuk beberapa saat ia terlihat bingung dan terheran-heran. Mungkin, dia befikir kalau gue ini salah makan apa atau bisa dibilang gue sedikit gila. Tapi, semua hal yang terjadi hari ini diluar kendali dan akal sehat gue.

 

“Niko?” katanya pelan sambil menatap wajah gue, “kamu gak salah minum obat, kan?”

“Kenapa kamu ngomong gitu? Emangnya ada yang aneh denganku hari ini?”

“Sangat aneh dan benar-benar aneh. Aku sampai tidak mengenali sikap kamu hari ini.”

“Apa aku berlebihan?” tanya gue malu-malu.

“Kamu kesambet jin apa sih sampai perhatian gitu sama aku? Melakukan hal yang sebelumnya belum pernah kamu lakukan sama aku seumur hidup kamu. Mungkin kata orang itu wajar, tapi menurutku itu aneh. “

Gue tersenyum kecut dan menggaruk-garuk kepala gue yang tidak gatal. Sepertinya hari ini gue sangat berlebihan sekali sampai mencium keningnya Nadia segala. Karena seumur-umur, gue belum pernah melakukan hal itu kepada Nadia. Gue tersenyum tipis dan menghela nafas panjang sambil mengatur nafas gue dengan perlahan.

“Hati-hati di jalan yah, sampai jumpa di rumah nanti,” ucap gue yang kemudian pergi.

“Iya, kamu juga hati-hati di jalan.”

“Nad,” panggil gue lagi sembari membalikkan badan.

Nadia menatap wajah gue bingung dengan kedua bola matanya yang mulai menyipit, “Kenapa, Nik?”

“Apa yang aku lakukan hari ini, itu semua murni tidak dibuat-buat. Bukan karena keterpaksaan atau pun kebohongan belaka. Aku benar-benar tulus.

“Aku hanya ingin berbuat sesuatu hal yang membuatmu bahagia. Karena aku ingin melihat senyuman kamu setiap hari dan setiap saat. Aku ingin belajar menjadi suami yang bisa diandalkan olehmu. Aku juga ingin belajar untuk mencintai kamu,” ucap gue yang tanpa sadar mengatakan hal yang luar biasa.

 

Terpopuler

Comments

Naoki Miki

Naoki Miki

haii mampir yuk ke krya q 'Rasa yang tak lagi sama'
cuss bacaa jan lupa tinggalkan jejaakk🤗
Tkan prgil q ajaa yaaa😍
vielen danke😘

2020-10-18

0

Mimosa

Mimosa

Nggak ada yg impossible didunia ini say 😄

2020-09-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!