RASA YANG MEMBINGUNGKAN

Mendengar janji yang diucapkan Niko tadi, membuatku begitu terharu. Aku yakin, Niko pasti akan menepati janji-janjinya itu. Tapi, apakah mungkin Niko akan tetap menjadi suamiku kelak? Apa mungkin aku dan Niko akan hidup bahagia walau tanpa dilandasi rasa cinta?

Setelah kejadian tadi di kampus, aku dan Niko segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Niko mencuci mobil miliknya agar terlihat lebih bersih. Melihat Niko yang sedang mencuci mobil, membuatku berinisiatif membuatkannya teh.

Saat sedang membuatkan teh untuk Niko, aku mengenang kembali saat acara pernikahan kami 1 tahun yang lalu.

 

Hari itu, aku sangat gugup sekali. Walau aku menikah dengan pria yang tidak aku cintai, tapi aku cukup bahagia karena jodohku itu adalah sahabatku sendiri.

Saat hari pernikahan, aku menggunakan kebaya berwarna keemasan. Dengan adat Jawa-Sunda, pernikahanku dengan Niko berlangsung dengan meriah.

1 tahun yang lalu . . .

“Aku cantik nggak?” tanyaku saat berada di atas pelaminan dan setengah berbisik kepada Niko ketika kami sedang bersalam-salaman dengan para tamu.

“Cantik. Cantik seperti Rapunzel, tokoh Barbie favoritmu.”

Aku tersenyum tipis hingga membuat kedua pipiku merona karena malu.

“Kamu nggak nyesel kan menikah denganku?” tanyaku kembali.

Niko seketika terdiam. Ia membalikkan badan dan menatap wajahku dengan seksama. Ia memegang kedua bahuku dan menatapku begitu lekat.

“Kalau aku nyesel, untuk apa aku sekarang berdiri di samping kamu di pelaminan?”

“Apa pun yang terjadi nanti, kamu nggak bakalan ninggalin aku kan, Nik?”

“Aku tidak bisa menjanjikan hal itu, Nad. Tapi, aku berjanji akan selalu ada untuk kamu ketika susah atau pun senang. Dan, aku berusaha untuk menjadi suami yang baik untukmu.”

“Niko . . . .”

“Jadi, kita berusaha bersama-sama, yah?” Aku mengangguk pelan dan tersenyum lebar padanya.

Walau terbilang usia kami masih sangat muda. Tapi, sebelum menikah, banyak hal-hal yang aku diskusikan dengan Niko terlebih dahulu. Kami banyak membuat perjanjian pra nikah.

Kami berjanji, tidak akan melarang karir masing-masing. Niko juga tidak akan mengekangku untuk urusan berkarir. Dan, kami berdua juga sama-sama menghargai keputusan masing-masing.

Karena kami masih dalam masa proses perkuliahan, kami tidak akan saling menuntut dalam hal keuangan. Kami juga harus bisa mandiri dan tidak membebani orang tua kami masing-masing.

Kami akan hidup serba berkecukupan sebelum aku dan Niko mempunyai pekerjaan tetap. Niko sendiri juga membiarkan aku bekerja nanti dan tidak akan menuntutku untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya.

Kami berdua juga tidak akan mengganggu privasi masing-masing, akan saling mendukung dalam masa pembelajaran sampai kami wisuda nanti. Dan, yang pasti kami tidak akan mengecewakan kedua orang tua kami.

Untuk masalah perasaan, kami juga tidak akan menuntut banyak. Biarlah semua mengalir dengan sendirinya. Maka dari itu, prinsip kami adalah pernikahan muda tidak akan mengganggu pembelajaran dan impian besar kami.

 

Siapa bilang menikah itu banyak pembatasan diri? Siapa bilang, menikah itu menganggu masa belajar kami?

Buktinya, aku dan Niko malah saling mendukung satu sama lainnya. Maka dari itu, aku akan menepis pernyataan mereka yang mengatakan ‘menikah itu membuat kita tidak bisa bermimpi’.

Asalkan kita saling mendukung, tidak membebani diri masing-masing, percayalah orang yang menikah muda itu bisa menggapai impian besar mereka, meski nantinya mereka sudah mempunyai anak.

Karena dengan menikah atau sudah mempunyai anak, bukan alasan kita untuk berhenti mengejar impian kita. Asalkan kita mau berproses, berusaha semaksimalkan mungkin, percayalah impian itu sudah dekat di depan mata kita.

Walau kami sudah menikah, kami berdua juga sekarang menggunakan kamar yang berbeda. Sampai kami berdua siap, barulah kami akan tidur bersama dalam satu kamar. Dan, aku sangat gembira sekali karena Niko bisa menghargai keputusanku dan memahamiku sampai saat ini.

Beruntungnya aku bisa menikah dengannya. Karena dengan menikah dengannya, kini aku belajar untuk lebih bertanggung jawab dalam mengambil keputusan atau pun pilihan.

Setelah membuatkan Niko teh, aku segera mengantarkan teh buatanku ke tempat Niko berada. Sesaat, aku menatap foto pernikahan kami berdua yang terpampang di ruang keluarga.

Apa mungkin, aku bisa merasakan pernikahan penuh cinta seperti pasangan yang lainnya? Aku sendiri saja sangat berterimakasih kepada orang tua Niko, karena mereka sangat baik sekali terhadapku.

Ayah Niko memberikan hadiah mobil untuk kami berdua, kedua orang tua Niko juga memberikan hadiah rumah ini untuk kami berdua tinggali. Rumah minimalis yang akan menjadi saksi hidup rumah tangga kami berdua.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Niko yang membuyarkan lamunanku.

“Akh, tidak. Oh iya, ini aku buatkan teh manis untuk kamu.”

“Simpan saja di atas meja, aku mau mandi dulu.”

“Oh, oke. Oh iya, memangnya ada apa kamu mandi? Tumben banget jam segini mandi?” tanyaku bingung.

“Kamu lupa, yah? Kamu sendiri kan yang bilang, papah mengundang kita makan malam di rumahnya. Masa lupa, sih?”

“Astaga, aku lupa! Aku belum siap-siap lagi. Aduh, aku siap-siap dulu, deh."

Setelah diingatkan Niko, aku segera bergegas untuk bersiap-siap. Hampir saja aku lupa, kalau malam ini aku ada janji makan malam dengan keluarganya Niko. Dan, kenapa juga aku sampai mendadak menjadi pelupa seperti ini?

Arghhh, sial!

45 menit kemudian, setelah semuanya sudah siap aku segera keluar dari kamarku. Saat aku keluar dari kamar, aku begitu terperangah melihat penampilan Niko yang terlihat sangat rapih. Hanya dengan memakai kemeja berwarna biru dongker dan sepatu berwarna biru yang serasi dengan kemejanya, Niko terlihat sangat tampan sekali. Aku sampai dibuat terpesona melihatnya.

“Kenapa? Ada yang aneh dengan penampilanku?” tanya Niko yang tersadar terus diperhatikan olehku sejak tadi.

“Oh, tidak. Kamu tampak berbeda malam ini. Sedikit lebih tampan.”

“Aku kan memang tampan. Kamu baru sadar?” ucapnya narsis sambil memakai jam tangan pemberian dariku, saat ulang tahunnya yang ke 17.

Aku menatap ke arah jam tangan yang pernah aku belikan untuk Niko 3 tahun yang lalu. Saat itu, aku membelikan hadiah itu dengan menggunakan uang hasil kerja kerasku selama ini.

Walau harganya tak seberapa, tapi aku sangat gembira karena jam tangan itu menjadi salah satu jam tangan favoritnya. Dan, aku tak menyangka jam tangan itu masih ada sampai saat ini.

“Pergi sekarang, yuk.” ajaknya yang diberi anggukan olehku, “tunggu?”

“Kenapa?” tanyaku bingung sambil menoleh ke arah Niko.

Niko mendekat ke arahku hingga membuatku menjadi salah tingkah. Tiba-tiba saja ia merunduk dan membuatku begitu terkejut karena sikapnya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanyaku bingung.

Niko sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Yang ia lakukan saat ini hanyalah membenarkan tali high heels milikku yang terlepas. Tiba-tiba saja jantungku berdegup begitu kencang. Sikap manis yang dilakukan Niko saat ini membuatku menjadi salah tingkah.

“Makasih,” kataku pelan.

Niko masih tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecil kemudian pergi. Hal manis yang dilakukan Niko selanjutnya adalah membukakan pintu mobil untukku. Walau itu hal yang sederhana, tapi entah kenapa aku sangat bahagia sekali.

Ada apa denganku? Kenapa aku jadi malu sendiri?

 

Selama di dalam mobil, Niko terlihat sedang berkonsentrasi mengemudikan mobilnya sembari sesekali bersenandung. Entah kenapa, sejak tadi aku terus memperhatikannya, sampai aku harus curi-curi pandang hanya untuk melihatnya.

Sesampainya di kediaman rumah Niko, aku disambut begitu hangat oleh kedua orang tuanya. Karena Niko adalah anak kedua dari tiga bersaudara, maka dari itu keluarga Niko jadi terlihat sedikit berkurang.

Kakak Niko yang pertama adalah Nugi. Nugi sudah menikah dan mempunyai satu anak perempuan yang masih berusia 5 tahun.

Nugi sendiri sekarang sudah hidup sukses dan bahagia dengan keluarga kecilnya. Bekerja sebagai seorang jaksa dengan sang istri yang sebagai reporter tv di salah satu stasiun tv swasta, membuat kedua orang tua Niko sangatlah bangga.

 

Sedangkan adik Niko yang bernama Noah, baru saja masuk Sma. Noah adalah anak yang pintar seperti kedua kakaknya. Dan, aku cukup begitu dekat dengan adiknya Niko yang satu ini.

“Bagaimana kuliah kalian? Lancar?” tanya papahnya Niko saat berada di ruang makan.

“Alhamdulillah lancar, tidak ada problem sama sekali,” jawab Niko santai.

“Seringlah kalian main ke sini, rumah jadi sepi semenjak kalian menikah. Noah juga jarang ada di rumah karena sibuk ngeband,” tutur mamahnya Niko.

“Kalau ada waktu senggang, Nadia pasti bakalan sering berkunjung ke rumah, Mah. Akhir-akhir ini di kampus emang lagi banyak banget tugas, jadi Nadia belum sempet ke rumah,” jawabku menjelaskan.

Mamahnya Niko mengangguk pelan dan membelai-belai rambutku dengan lembut. Belaian seorang ibu sangatlah membuat hati tenang dan damai. Aku paling suka kalau mamahnya Niko sudah memegang kepalaku, membelai-belai rambutku dan memelukku penuh kasih sayang. Aku seperti seorang anak yang sangat beruntung karena memiliki seorang ibu yang luar biasa hebatnya.

“Kapan nih kalian memberikan cucu untuk kami berdua dan keponakan untuk Noah?” tanya papah Niko hingga membuatku dan Niko tersedak karena begitu terkejut begitu mendengar pernyataannya.

“Papah terlalu frontal, mereka berdua kan jadi syok!” tawa Noah hingga membuatku menjadi salah tingkah.

“Loh, nggak ada yang salah kan dengan pertanyaan papah? Kalian kan sudah menjadi suami istri, sudah sewajarnya kalian memiliki anak.”

“Pah, kita kan masih muda!” seru Niko tiba-tiba.

“Justru karena kalian masih muda, bagus dong kalau kalian sudah mempunyai bayi.”

“Kami masih kuliah, masa kita bawa-bawa anak ke kampus kan repot,” jawabku cepat.

“Yang dikatakan Nadia ada benarnya, Pah. Biarkan mereka menikmati masa muda dan masa-masa perkuliahan mereka. Urusan anak itu gampang, yang penting mereka lulus dulu dan cepat-cepat wisuda baru membicarakan soal anak. Lagi pula, mereka kan baru 1 tahun menikah. Jadi jangan terburu-buru,” tutur mamahnya Niko yang langsung diberi anggukan olehku.

“Kebayang aja, lagi sidang skripsi kak Nadia gendong bayi, kan konyol!” tawa Noah hingga membuat Niko langsung menyenggol tangan adiknya itu.

“Berisik lo anak kecil!”

“Gue bukan anak kecil tahu, gue udah Sma!”

“Udah Sma aja bangga!”

“Banggalah, ini masa pendewasaan gue tahu!” timpal Noah yang tak mau kalah.

“Anak kecil tetep aja anak kecil, sono balik lagi pake popok. Masih gelendotan sama mamah aja dibilang udah dewasa.”

“Sembarangan kalau ngomong, gue nggak pernah manja-manjaan lagi sama mamah. Ya kan, Mah?” tanya Noah meminta persetujuan mamahnya.

“Sudah-sudah, baru aja ketemu udah ribut lagi. Rumah sudah tenang kalian nggak pernah ribut lagi. Pas lagi gak ada aja ditanyain, giliran ketemu ribut terus,” tutur mamahnya Niko yang membuatku tertawa kecil.

“Dasar bocah cilik!” kataku sambil memberantaki rambut Noah.

“Aku bukan bocah lagi, Kak!” katanya manyun.

Setelah selesai makan malam bersama, aku membantu mamah Niko mencuci piring dan membawa beberapa cemilan ke teras depan rumah. Sementara Niko, ia sedang bermain catur dengan papahnya di teras rumah dengan ditemani Noah yang selalu membuat ramai suasana rumah.

“Kak, mendingan masuk Ipa atau Ips?” tanya Noah pada kakaknya yang sedang sibuk bermain catur dengan papahnya.

“Lo maunya masuk apa?”

“Bagusan mana emangnya Ipa sama Ips?”

“Dua-duanya bagus, No. Jangan menjadikan Ipa dan Ips itu perbandingan bagus atau tidaknya. Semua jurusan sama bagusnya, yang berbeda hanya materi pembelajarannya saja,” kata mamahnya Niko menjawab pertanyaan anaknya.

“Tapi, kebanyakan temen Noah ngambil Ipa, Mah. Katanya gengsi masuk Ips, banyak anak nakalnya. Katanya lagi, masuk Ipa itu lebih keren.”

“Ckckck, gossip lama, tuh. Eh, gue kasih tahu sama lo. Ipa sama ips sama sulitnya, Ipa punya fisika sedangkan Ips punya geografi. Tingkat kesulitannya sama, orang Ipa belum tentu bisa geografi. Sebaliknya, orang Ips belum tentu bisa fisika. Jangan terlalu gengsi karena memilih suatu hal.

 

"Kalau lo nyaman dengan pilihan lo, kenapa lo nggak pilih itu aja? Yang penting itu belajar yang bener dan lo mampu sama materinya,” papar Niko yang membuatku kagum begitu mendengar penjelasannya.

“Yang dikatakan kakakmu benar itu. Jangan karena kedua kakakmu dulu masuk Ipa, kamu ikut-ikutan mereka juga. Kalau kamu cocok di Ips, kenapa nggak?” tutur papah.

“Buktinya, kak Nugi masuk Ipa. Kuliahnya malah ngambil jurusan hukum yang notabenenya Ips. Jangan sampai salah ambil pilihan, kalau kamu cocoknya atau mampunya di salah satu pilihan itu. Ya, kamu ambil itu aja,” nasehat mamah kembali.

“Yang pasti, kamu jangan ikut-ikutan orang lain. Ikuti aja kata hatimu dan jangan memilih sesuatu karena keterpaksaan. Kalau karena keterpaksaan, nanti belajarnya kamu nggak akan bener,” sambungku yang diberi anggukan kedua orang tuanya Niko.

“Okelah, Noah mau ambil Bahasa aja. Pengen jadi sastrawan,” katanya asal hingga membuat kami semua terkekeh mendengarnya.

“Pe’a lo, kampret! Kenapa jadi ke Bahasa, pertanyaan lo tadi kan bukan ke Bahasa,” tawa Niko yang membuatnya jadi terbahak-bahak mendengar ocehan adiknya.

“Intermezo kali, Kak. Gue putuskan, gue akan memilih Ips. Gue ingin jadi seorang auditor nanti kalau udah gede. Jadi, kalian semua harus mendukung keputusan Noah, yah?”

Semuanya mengangguk pelan dan memberikan kedua jempolnya untuk Noah.

“Jadi, mau Bahasa atau Ips?” tanyaku kembali sambil cengengesan.

“Aku mau jadi ustadz aja kalau begitu,” katanya asal hingga membuat kami semua kembali tertawa.

“Eh, jadi ustadz juga gak segampang itu kali, No. Elo kudu paham betul agama, sejarah agama islam dan masih banyak lagi. Ustadz juga pekerjaan yang sangat mulia,” tutur Niko yang diberi anggukan oleh kami semua.

“Iye, gue tahu itu. Gue juga belum sanggup kalau jadi ustadz. Tadi, gue asal ngomong.”

“Kan, lu mah kalau ngomong nggak pernah di saring dulu. Jangan asal tanpa banyak pikir dulu. Bocah-bocah!” seru Niko sambil memberantaki rambut adiknya itu gemas.

“Ih, gue bukan bocah. Gue itu manusia tampan dari planet bumi yang paling bersinar,” katanya pede hingga membuat semuanya kembali tertawa.

Gelak tawa semakin terasa di keluarga kecil kami. Di mana ada Noah, di situ pasti akan terjadi kerusuhan, kehebohan dan keceriaan yang luar biasa. Noah selalu bisa membuat suasana menjadi hangat.

Noah memang bintang yang paling bersinar di keluarga kami. Dia sangat lucu, tapi dia juga keren seperti kedua kakaknya. Sama-sama tampan dan berotak cerdas, tapi yang satu ini lebih nyentrik dan lebih unik dari kedua kakaknya yang terlihat cuek-bebek.

 

Karena hari sudah semakin malam, aku dan Niko pun berpamitan untuk pulang.

“Bermalam di sini, mamah masih kangen kalian,” pinta mamah sambil memelukku dari samping.

“Lain kali kita pasti menginap, tapi gak hari ini, yah?” kataku membalas pelukan mamah Niko.

“Baiklah, jaga diri kalian kalian masing-masing. Jangan malas belajar, jangan sering ribut, tetap jaga kesehatan, istirahat yang cukup dan jangan lupa sholat lima waktu,” nasehat papah.

“Iya, Pah. Niko pasti akan selalu ingat nasehat papah dan juga mamah.”

“Dan, jangan lupa cepet-cepet buat anak. Berikan gue keponakan secepatnya!” seru Noah tiba-tiba yang ditertawakan oleh kedua orang tuanya Niko.

“Dasar bocah tengil. Tahu apa lo soal buat anak, hah? Belajar yang bener lo, jangan nge band mulu!” seru Niko sambil menjitak kepala adiknya itu.

“Hahaha, kalian berdua kali-kali datang dong pas band gue tampil. Support adiknya kek gitu, biar jadi band papan atas.”

“Iya, nanti kapan-kapan kita datang kalau inget,” candaku yang diberi anggukan Niko.

“Sepakat, tos dulu, dong!”

Aku tersenyum kecil dan langsung melakukan high five bersama dengan Niko hingga membuat Noah manyun.

“Jaga papah sama mamah di rumah, elo sekarang anak cowo satu-satunya yang diandalkan di rumah. Jangan nyusahin papah sama mamah lo.”

“Siap, Om!” ucap Noah sambil memberikan hormat kepada kakaknya.

“Kita pamit dulu ya mah, Pah,” ucapku dan Niko sambil mencium telapak tangan mereka berdua.

“Hati-hati, jangan kebut-kebuttan di jalan,” nasehat papah.

Niko mengangguk pelan. Kami berdua pun pulang setelah berpamitan.

“Aku beruntung bisa mengenal keluargamu, Nik,” kataku pelan saat di perjalanan pulang. “Mereka sangat baik padaku dan sangat menyayangiku. Boleh kan aku menganggap mereka sebagai keluargaku sendiri?” tanyaku sambil menatap wajah Niko yang sedang menyetir.

“Mereka itu memang keluargamu, Nad. Apa pun dan bagaimana pun, keluargaku juga keluargamu,” jawabnya yang membuatku tersenyum merekah dan terharu begitu mendengar ucapannya.

“Makasih yah, Niko.”

“Makasih untuk apa?” tanyanya bingung.

“Terimakasih sudah memberikan keluarga yang luar biasa untukku. Tanpa mereka, aku tidak akan sebahagia ini.”

“Sama-sama, Nad. Sering-sering aja berkunjung ke rumah mereka kalau suatu saat kamu merindukan mamah dan papah.”

Aku mengangguk pelan dan tersenyum kecil. Esok harinya, karena hari ini jadwal kuliah kami tak sama, aku memutuskan untuk membersihkan rumah selagi rumah sepi karena Niko sendiri ada jadwal kuliah pagi. Karena pekerjaan rumah cukup banyak, aku pun menghabiskan waktu cukup lama untuk membersihkan rumah.

“Ternyata berat juga jadi ibu rumah tangga,” keluhku sambil menyeka keringat yang menetes di keningku seraya menyapu halaman belakang rumah.

“Gue nggak boleh menyepelekan pekerjaan ibu rumah tangga, nih. Sekarang baru kerasa sendiri sama gue. Pekerjaan rumah tangga itu lebih berat dari pada yang gue bayangkan sebelumnya.”

Setelah selesai membereskan rumah, aku segera menuju kamar mandi. 20 menit kemudian aku segera merias diri di depan cermin. Setelah selesai berdandan dan bersiap-siap, aku bergegas pergi menuju kampus dengan menggunakan mobil Toyota Rush milikku, pemberian dari kedua orang tuaku.

Selama dalam perjalanan menuju kampus, papahku terus saja menghubungiku dan mengajakku mengobrol

 

“Jangan lupa makan, sholat dan istirahat yang cukup,” kata papah disebrang telepon sana.

“Iya, Pah. Papah juga jangan lupa makan dan jangan sering lembur di kantor.”

“Iya, Nadia. Oh iya, kapan kamu pulang? Adikmu katanya kangen sama kamu.”

“Nanti kalau tugas Nadia beres semua, Nadia pulang ke rumah. Papah tenang aja, Nadia suka whatsapp-an sama Kesya, ko. Sering video call-an juga malah.”

“Syukur kalau gitu, cepet pulang ke rumah, yah? Mamah di sini juga katanya kangen sama kamu.”

“Iya, Pah. Ya udah, Nadia lagi nyetir ini. Nanti disambung lagi yah, Pah?”

“Oke, hati-hati di jalan, Sayang. Love you."

“Love you to, Pah."

Baru saja sampai di kampus, aku tidak sengaja melihat Niko sedang berduaan dengan seorang gadis di koridor kampus. Perempuan itu tak lain dan tak bukan adalah Nina, teman satu kelasnya Niko.

Nina, perempuan yang pernah diceritakan Bobby yang sepertinya menyukai Niko. Mereka terlihat serasi sekali dan terlihat asyik saat sedang berbincang-bincang.

“Nad, elo udah kerjain tugasnya pak Bambang?” tanya Disa teman sekelasku saat aku tengah memandangi Niko yang sedang berduaan dengan Nina, hingga membuatku terkejut dengan kehadirannya Disa.

“Eh, Dis? Elo bikin kaget aja. Kenapa? Tadi lo bilang apa?”

“Gue bikin kaget, yah? Sorry, Nad.”

“Iya, nggak apa-apa. Selow aja, Dis. Oh iya, tadi lo tanya apa?”

“Elo udah ngerjain tugasnya pak Bambang?”

“Oh, udah. Kenapa?”

“Hm, gue boleh nyontek nggak?” katanya sambil cengengesan.

“Boleh, nanti di kelas gue kasih lihat tugasnya.”

“Makasih, yah? Kalau gitu gue duluan, gue mau ke kantin dulu,” pamitnya kemudian pergi sambil melambaikan tangannya.

Aku tersenyum kecil dan kembali memandang ke arah Niko dan juga Nina. Entah kenapa, rasanya aku sangat tidak menyukai pemandangan buruk itu. Rasanya sangat aneh dan membingungkan.

Hati dan fikiran rasanya sudah mulai tidak sinkron dan berkecamuk tidak jelas. Aku tidak mengerti, kenapa aku tidak begitu suka dengan sikap Nina yang terlihat tampak manis di depan Niko? Yang aku rasakan saat ini hanyalah tidak suka dan aku membenci hal itu.

“Woi, ngapain elo bengong ngelihatin Niko sama Nina berduaan?” seru Bella yang tiba-tiba muncul dan mengejutkanku.

“Nggak ko, siapa juga yang lagi ngelihatin mereka berdua?”

“Akh, gue tahu. Pasti elo cemburu sama Nina, kan?” tebaknya yang membuatku langsung menjadi salah tingkah.

“Hah? Apa? Cemburu? Mana mungkin gue cemburu sama Nina?”

“Masa?” selidiknya.

“Itu kan haknya Niko sama Nina mau bersosialisasi sama siapa aja. Ngapain juga mesti cemburu, gue kan gak suka sama Niko.”

“Anak Psikolog dibohongi? Nggak mempan, Sayang. Ngaku aja deh mbak, kalau lo cemburu baguslah berarti elo itu normal.”

“Apaan sih, malah jadi bahas cemburu-cemburuan segala. Gue mau ke kelas dulu, deh,” kataku yang langsung pergi meninggalkan Bella.

“Mbak, kelas kita di sebelah sana, bukan arah kiri,” katanya sambil menunjuk ke arah kanan hingga membuatku langsung menghentikan langkahku.

“Ke sana mau ke mana? Mau ke Fakultas Hukum?” seru Bella yang membuatku malu hingga membuatku berbalik arah dan segera menuju kelasku.

“Nadia, elo bego banget, sih!” teriakku sambil memberantaki rambutku sendiri hingga membuat beberapa orang yang melirik ke arahku tertawa kecil melihatnya.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!