Semuanya melambat bagi Maheswari. Tubuhnya juga bergerak lambat. Hanya bola matanya yang bisa bergerak cepat.
Inilah jurus yang paling diandalkannya. Kesempurnaan Gerak.
Dengan jurus ini, Maheswari bisa bergerak lebih cepat. Dibutuhkan keterampilan khusus untuk menguasai jurus ini sepenuhnya. Pengguna harus konsentrasi penuh agar gerakan tetap terarah. Salah sedikit, tubuhnya hilang kendali. Butuh latihan bertahun-tahun untuk mengendalikan jurus ini. Bukan main.
Maheswari memutar ke kiri. Sekuat tenaga. Tubuhnya berbalik. Menghadap Karni. Masih menggunakan jurus yang mencucurkan banyak Prana ini, Maheswari menusuk dengan pedang. Angin terbelah. Desing besi. Dingin. Menjerit di telinga, mata pedang biru jernih itu tetap maju.
Maheswari menyerang tinju yang sedang menyerbunya. Ia tahu jika pedangnya menembus jantung Karni saat ini, maka serangan mematikan dari Karni tetap menghantam tubuhnya. Karni akan membawanya mati bersama.
Ledakan terjadi akibat bentrokan itu. Atap-atap terpental-pental. Gelombang kejut mengoyak sebagian dinding. Melontarkannya ke mana-mana. Letupan angin menggelegar. Membelah langit kota, membangunkan penduduk.
Si Sayang juga ikut terdorong keluar, jatuh dari lantai tiga. Lantai dua terkena gelombang kejut juga. Sejumlah orang terluka cukup parah di sana. Lantai pertama heboh. Orang-orang lari ketakutan. Keluar kedai seperti dikejar hantu.
Maheswari berlutut. Dadanya naik dan turun cepat. Darah mengalir di ujung bibir. Maheswari terluka cukup parah di bagian dalam. Kembali menelan pil. Tidak berpengaruh cukup banyak.
Waktu menipis, Maheswari lekas berdiri. Musuh bisa menyerangnya kapan saja. Karni tersenyum puas, ia tidak mendapatkan luka apa pun dari bentrokan tadi. Kekuatannya jauh di atas Maheswari.
"Kau ... apa yang salah denganku? Bukannya kau punya masalah dengan pria tua tadi? Mengapa aku?" ujar Maheswari terputus-putus.
"Aku lihat Anda adalah temannya. Membalaskan dendam bisa diwakilkan bukan?" Maheswari tersenyum kecut. "Seharusnya tidak ada yang mempunyai dendam di sini. Pacarmu itu juga, memang salah!"
"Nah, karena kau juga sejalan dengan pemahaman pria tua itu, maka tidak ada alasan hidup lagi untukmu!" Karni mengangkat tinjunya setinggi dada.
"Kaukira bumi ini kepunyaanmu?!" Suara bentakan entah dari siapa menghentikan Karni.
Akhza melompat ke lantai tiga yang temboknya lebih banyak kosong. Ia begitu geram saat mendengar sikap semena-mena dari gadis itu. Di tangannya teracung sebilah golok. Ke mana kerisnya itu? Golok tak akan banyak membantu di sini.
"Hmph! Daerah ini adalah daerah kekuasaan Kastel Es Hitam. Aku berhak mengatur di sini!"
"Daerah kepalamu! Ini kepunyaan Sang Maha Tunggal!" seru Akhza.
"Dasar sok bijak! Terima tapakku!"
Karni sangat bodoh. Tak bisakah ia sadari bahwa Akhza naik ke lantai tiga tidak melalui tangga? Akhza langsung lompat dari tanah bawah! Bahkan Karni tak bisa melihat tingkat Prana Akhza, langsung menyerang saja. Satu lagi, Akhza merasa manusia seperti ini perlu dimusnahkan. Sehingga, tak segan-segan lagi.
Prak!
Akhza meninju dada Karni, sebenarnya ini tidak sopan, tapi cara inilah yang dapat membunuhnya langsung. Dengan terhormat. Selain kepalanya yang hancur berkeping-keping. Karni membeliakkan mata! Dadanya terasa nyeri luar biasa.
Ia mundur beberapa langkah, sebelum tumbang dengan mulut memuntahkan darah.
"Beban dunia berkurang satu," kata Akhza yang lalu memberi Maheswari sebuah pil. "Makan pil itu, Maheswari. Pil bernama Esensi Bulan Seroja ini ampuh menyembuhkan luka dalam."
Maheswari menelan pil tersebut. Kekuatannya pil itu cukup menyembuhkan luka Maheswari meskipun tidak sepenuhnya. Akhza mengangguk puas. Entah bagaimana ia bisa berterima kasih pada Akhza, Esensi Bulan Seroja adalah pil mahal yang ia sendiri tidak punya.
"Masih ada satu lagi di bawah, pria yang menekankan nafsu pembunuh ke Kala tadi." Maheswari masih menuntut pria itu mati. Tapi dia sendiri tak kuasa mengangkat senjata.
Akhza melihat ke bawah. Tidak ada orang itu. Mereka beramsumsi bahwa pecundang itu lari, kemungkinan besar akan melapor pada para tetua di Perguruan Kastel Es Hitam.
"Semua sudah beres!" teriak Kala dari bawah, tadi ia ditugaskan untuk memberi pil kepada mereka yang terluka serta mengatur lalu lintas.
Akhza mengangguk pelan. "Maheswari, kita harus cepat-cepat meninggalkan kota sebelum perguruan itu mengirimkan murid-murid senior guna menghabisi kita. Sebenarnya aku bisa menghadapi mereka, tapi hidupku tak lama lagi, aku tidak mau Kala jadi buronan saat aku tiada nanti. Apakah kau mau ikut dengan kita atau pergi sendiri?"
"Boleh aku ikut? Jika tidak merepotkan. Aku butuh perlindunganmu, Tuan Akhza." Maheswari menunduk rendah.
"Aku hanya berencana mengantar kau sampai keluar kota, setelah itu aku akan melatih Kala. Jika mereka memburumu, pergi saja ke puncak Gunung Loro Kembar."
Maheswari turut mengangguk kemudian mengobati mereka yang belum pulih di bawah. Kala serba salah lagi melihat Maheswari yang demikian berhati putih. Cantik lagi!
***
"Sampai di sini aku bisa melindungi dirimu, lebih baik seterusnya kamu berganti kostum serta pakai topeng yang menutup penuh wajahmu. Lakukan itu sampai kaukeluar dari batas wilayah Perguruan Danau Hitam."
Akhza, Kala, Maheswari sudah menjauh dari kota berkat penyamaran dan strategi dari Akhza.
"Nuwun sewu, sudah memberikan perlindungan. Itu memberikan rasa aman yang berarti sekali. Maheswari memberi hormat terdalam pada Tuan Akhza," ujarnya.
Akhza melambai tangan ringan, menolak hormat itu. "Kau seperti orang dari daratan lain saja."
Maheswari tersenyum menanggapi.
"Kala, terus rajin berlatih ... ingat selalu tentang ilmu pengobatan yang aku ajarkan." Maheswari menatap lamat-lamat Kala, sampai akhirnya gemas. "Jangan lupa, dukun dan tabib itu beda. Sehat selalu, Kala. Jangan lupakan aku."
Maheswari tersenyum pada Kala sebelum memakai topengnya. Wajahnya yang cantik diibaratkan bagai daging segar. Ada banyak anjing lapar di luar sana. Maheswari lalu berjalan, tapi tiba-tiba berhenti dan berlari kembali ke tempat Akhza dan Kala.
"Kala, aku punya sedikit kenang-kenangan untukmu. Hampir saja aku melupakan ini." Maheswari mengeluarkan sebuah cincin yang terbuat dari batu akik putih. Di badan cincin itu tertulis nama Kala Piningit dengan warna emas. Sangat indah. Bagai cincin bidadari yang turun ke bumi. Diiringi deru air terjun yang bernyanyi. Kala menerima itu, lalu merasakan air terjun benar-benar bisa bernyanyi indah bersama puluhan bidadari.
"Kala, kau harus memberinya sesuatu ...." Akhza menyenggol.
Kala mengaruk kepalanya. Minta izin ke hutan sebentar. Kemudian kembali. Dengan sebuah dahan kecil yang masih segar. Bangga Kala menjelaskan dahan mandraguna ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Alfi Ghaf
kekuatan pil itu
2022-12-22
0
Haniv Anwar
cincin di balas dengan batang kayu
👍👍👍
2022-11-15
2
udin_seblak
🙏👍
2022-10-20
0