Satu hal lagi yang terlupakan, Kala tidak tahu cara menyalakan api di sini. Biasanya, batu api akan membantunya untuk menyalakan api. Tapi, di sini tidak ada batu api, dan ia masih belum terbiasa mematik api dengan ranting atau batu biasa.
Tidak mungkin jika dirinya harus mengambil batu api di gubuknya. Selain jaraknya jauh, Kala juga yakin batu api itu sudah tertimbun jauh di bawah puing-puing.
Kala duduk termangu. Tidak ada api untuk malam, di kaki Loro Kembar, sama saja cari mati. Sesekali Kala melihat-lihat keris panjang kepunyaan si kakek, jika dilihat-lihat ini adalah senjata paling bagus yang pernah ia lihat, serta auranya yang menakutkan dan berwibawa padahal itu hanya senjata.
Ia menarik keris itu dari sarungnya, sambil berpikir. Ide konyol muncul di benaknya. Ia berpikir bahwa keris ini bisa menghasilkan api karena terbuat dari logam, walau ia belum pernah mencoba bahan logam untuk mematik.
Selain itu, Kala juga berada dalam tekanan batin yang kuat, gubuknya sudah hancur dan ia bagai kehilangan segalanya. Bisa dikatakan bahwa saat ini Kala setengah gila.
Memang ada kemungkinan api menyala, tapi hanya sedikit kemungkinannya. Tak mau membuang waktu lebih banyak lagi, Kala berdiri dan membawa keris panjang itu ke tumpukan ranting.
Keris ditancapkan ke tanah, lalu ranting-ranting kecil digesekkan ke mata keris, menimbulkan suara berdecit yang luar biasa gila suaranya.
Api tidak muncul, bahkan sekadar asap pun tidak muncul. Namun, logam keris—hanya bagian yang digesek—memanas. Kala tidak menyerah. Dia menambah tenaga, dan bahkan terus ditingkatkan lagi. Bunyi berdecit semakin keras dan mengganggu, beberapa burung terdengar bersorak kemudian terbang meninggalkan sarang. Namun, suara keras itu tidak membuahkan hasil, api tidak menyala, tidak ada percikan bunga api.
Tapi bukan Kala namanya jika mudah menyerah. Ia menambah kekuatan lagi sekaligus menambah decitan!
Ngit!
Ngit!
Ngit!
NGIT!!!
Suara berdecit itu mencapai puncaknya. Pria tua yang pingsan di dalam kubah sontak buka mata.
"Aku seperti pernah mendengar suara ini di suatu tempat lain." Dia memutar bola matanya. "Di mana aku?!"
Saat membuka matanya, yang dilihat hanyalah gelap sedikit terang karena posisinya menghadap ke langit-langit kubah yang cukup gelap.
Dia berpikir bahwa ini adalah bentuk dari kematian atau dia terbangun di dalam liang kubur—jelas yang satu ini sangat mengerikan!
Namun, saat matanya menyisir ke bawah kaki--tempat di mana pintu kubah berada, ia sadar bahwa ini masih di bumi! Nyatanya ia masih melihat rerumputan dan udara segar, terlebih rasa sakit di punggung semakin meyakinkan.
Dia masih hidup!
Karena panik dicampur senang, kakek sepuh itu langsung berdiri dari tidurnya!
Tentu saja atap kubah itu tidak tinggi, bahkan Kala hanya bisa berjongkok di dalamnya. Bagaimana bisa kakek tinggi ini bisa berdiri sempurna tanpa terbentur?
Kepalanya menghantam kuat langit-langit kubah, sangat kencang dan juga bunyi hantaman mengalahkan suara decitan. Bukannya meringis kesakitan, kakek ini tidak menghentikan lajunya! Namanya juga pendekar kuat, atap kubah seperti ini tidak bisa menghalanginya.
Ia terus menghantam langit sampai rusak, kepalanya menyembul di atap kubah. Dengan wajah heran.
Kala menghentikan kegiatannya, menyempatkan diri untuk menoleh dan melihati ulah si kakek. Sebenarnya Kala sangat kaget, sebab tiba-tiba saja ada kepala kakek-kekek di atap kubah, raut wajah heran darinya pun tampak sangat menyebalkan. Tentu saja kubah itu dibangun semudah membalikkan telapak tangan, tanpa perlu mencari bahan ke mana-mana!
"Sudah cukup kegilaan untuk hari ini."
Kala seakan tidak peduli, ia melanjutkan kegiatannya. Sudah banyak kejadian aneh hari ini, otaknya seakan tidak bisa bekerja dengan benar.
Si kakek mengerutkan dahi melihat sikap dingin dari Kala. Walau sebenarnya, Kala tidak bersikap dingin—dia hanya bingung. Ia tengah kebingungan dan tak tahu akan melakukan apa. Jadilah ia melanjutkan kegiatannya.
Sungguh, Kala adalah anak yang sopan, ia tidak mungkin bersikap dingin dengan kakek-kakek yang ia tidak tahu apakah jahat atau tidak wataknya. Suara decitan kembali terdengar kuat setelah Kala melanjutkan kerja.
Gelombang suara itu memasuki telinga si kakek dan menabuh mengiris gendang telinga. Telinga sang kakek masih belum tuli, dan ia tak mau cepat tuli karena ini!
"Berhenti dulu." katanya, Kala menghentikan gesekan maut itu dan memandang sang kakek dengan linglung.
Kala menghunjam lebih dalam keris itu ke tanah sebab bingung harus apa apa. Apalagi tadi ia mengacuhkan sang kekek, bagaimana ia bisa menjelaskan ini ke kekek? Sungguh tidak sopan, sangat tidak sopan.
Namun, di samping itu, Kala merasa senang si kakek sudah sadarkan diri. "Eh! Kakek sudah sadar?"
Si kakek malah membalikkan pertanyaan. "Kau siapa? Saya di mana?"
Kala merasa tidak perlu menanyakan lagi pertanyaannya, ia beralih ke pernyataan. "Kakek, tadi aku menemukan kakek di dekat kediamanku setelah ledakan besar aneh. Kediamanku hancur sebab ledakan, sedangkan Kakek tak sadarkan diri dan butuh tempat yang hangat. Aku mengambil keputusan dan menggendong kakek mencari tempat hangat. Dan di sinilah aku membangun tenda darurat, Kakek malah menghancurkannya."
Si kakek memandangi Kala curiga, sejurus kemudian tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Mulutnya terbuka, tangannya menunjuk Kala, mata keriputnya seperti tidak percaya akan apa yang ia lihat.
"Matamu ... MATA ITU!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Alfi Ghaf
kakek kakek
2022-12-08
1
Abdus Salam Cotho
matamu.... 😂
2022-10-10
1
@🌹 Sekar Rinjani🌴✨
matamu.... membuka kisah.. kasih asmara yg pernah ternoda (mimpi by anggun) 🤭😅😅😅
2022-10-05
0