Ketika Akhza dan Satrya terbangun, mereka melihat sebuah air terjun yang sangat tinggi dan cukup luas tepat di dekat mereka. Dan saat bangkit duduk bersamaan, segera disadari bahwa diri mereka terdampar di atas sebuah batu besar yang terletak di pinggiran sungai.
"Kalian sudah bangun?"
Bertepatan dengan munculnya suara itu, Akhza dan Satrya sekonyong-konyong menoleh ke atas. Mulut mereka terbuka dan mata mereka terbialak ketika mendapati pemandangan sesosok manusia yang melayang turun dari langit!
Orang itu mendarat di atas sebuah batu berukuran setapak kaki yang terletak tak jauh dari Akhza dan Satrya. Kini wajahnya menjadi jelas terpampang. Dialah pria yang Akhza dan Satrya lihat di pasar kota sesaat sebelum tidak sadarkan diri!
"Kita belum saling mengenal. Aku ingin kalian menyebut nama sebelum kita bahas segala persoalan."
"Siapa dirimu?!" Akhza berteriak histeris, sebab dengan turun dari udara pria itu baru saja menakut-nakutinya.
"Aku bernama Darmono. Sesuka kalian hendak memanggilku apa. Kalian masih belum memenuhi permintaanku, jangan membuat aku berubah pikiran."
Siapa pun dia, itu pasti berbahaya, begitulah jalan pikir Akhza dan Satrya. Tanpa banyak basa-basi lagi, mereka membeberkan semua keterangan diri dan juga niat mereka sampai pergi jauh-jauh ke tempat ini, termasuk juga kejadian sewaktu di pasar tadi.
"Aku melihat segala kejadian di pasar itu. Kalian sangat berbakat dalam ilmu bela diri, tetapi watak kalian, terutama dirimu Akhza, masih belum terbentuk. Kalian berdua mudah sekali terbawa amarah. Jika tidak terbimbing, mungkin kalian akan menjadi orang yang sangat berbahaya di masa mendatang. Untuk itulah biar aku tanyakan saja tanpa banyak basa-basi, maukah kalian berdua menerimaku sebagai guru? Jika tidak, mungkin diriku terpaksa menumpas kalian berdua sebelum berkembang menjadi iblis."
Akhza dan Satrya saling menukar pandang. Bahkan mereka belum mengenal pria paruh baya ini dalam setengah hari, dan dia sudah menawarkan diri menjadi guru mereka. Tetapi tawaran seperti ini sangat sulit ditolak, karena mereka memang sedang mencari guru untuk mengajari ilmu silat.
"Soal jati diriku, kalian tidak perlu banyak bertanya. Hanyalah perlu kalian menjawab pertanyaanku." Darmono mengalihkan pandangan matanya menuju air terjun.
"Tapi jika boleh kami tahu, alasan apakah yang membuat Tuan sudi mengangkat kami menjadi murid?"
"Alasannya sangat sederhana, aku butuh pewaris ilmu-ilmuku. Kalian cukup berbakat menjadi seniman bela diri."
Akhza dan Satrya mengangguk bersamaan. Senyum lebar tercetak di bibir rapuh kedua remaja kurus itu. Pencarian mereka berbuah hasil yang memuaskan.
Semenjak hari itu, mereka dididik keras oleh Darmono. Dan perlahan, mereka mulai mengenal Darmono sebagai pahlawan yang sering menyelamatkan desa-desa dari jeratan penyamun. Terkadang Darmono tidak melatih dan pergi dari hutan secara mendadak ketika mendapat kabar bahwa terdapat masyarakat kecil yang mengalami masalah serius.
Mereka juga menyadari, bahwa menjadi pahlawan di sungai telaga persilatan bukanlah perkara senang. Setiap kembali ke tempat pelatihan, Darmono selalu membawa luka-luka yang tidak sedikit. Terkadang, luka-luka itu tidak terlalu serius, tetapi terkadang pula sangat serius hingga membuatnya terbaring sakit untuk waktu yang tidak sebentar.
Tahun demi tahun berlalu. Akhza dan Satrya mengalami perkembangan yang sangat luar biasa. Orang yang dulunya pernah mengenali mereka berdua, pastilah membutuhkan beberapa waktu untuk dapat kembali mengenali mereka.
Telah banyak ilmu silat yang mereka kuasai; ilmu berpedang, ilmu meringankan tubuh, ilmu tangan kosong, dan banyak lainnya.
Saat mengentakkan kaki dengan pelan, mereka dapat melayang hingga mencapai ketinggian tiga puluh kaki. Itu sangat menakjubkan!
Tentulah perubahan juga pada diri Darmono, namun ini bukanlah perubahan baik. Pria yang semakin menua itu lebih sering menghabiskan waktunya di luar hutan ketimbang melatih, padahal Akhza dan Satrya sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari hutan. Itu menyebabkan mereka harus belajar sendiri, dan terkadang melakukan latih tanding tanpa pengawasan hingga menyebabkan luka yang cukup serius.
Sikap Darmono berubah banyak. Kian hari, kian kentara. Tak ada lagi senyum di wajahnya sekarang. Tak jarang keluar perkataan kasar dari mulut yang biasanya mengucapkan nasihat-nasihat baik.
Beberapa bulan belakangan, suasana antara ketiganya sudah tidak enak. Puncaknya adalah saat Darmono mengamuk hingga menghancurkan rumah serta kebun milik Akhza dan Satrya.
"Kalian harus tahu, aku sudah benar-benar berubah sekarang!" Dia tertawa terbahak-bahak. Air liurnya sampai menyembur. Mirip sekali dengan orang gila. “Aku sering bermain dengan perempuan, bermabukan, dan membunuh tanpa perlu berpikir panjang. Semua yang kalian anggap sebagai keburukan dan kejahatan telah ada pada diriku. Tetapi kalian salah betul jika menganggap hal-hal itu tidak nikmat." Darmono kuat-kuat menancapkan pedangnya ke tanah. "Sekarang aku beri kalian dua pilihan. Pilihan pertama: ikutlah bersamaku dan rasakan kenikmatan dunia. Atau pilihan kedua: tetaplah pada kenaifan kalian, tidak perlu mengikutiku lagi. Sekarang katakanlah, kalian pilih apa?!"
"Tentu aku akan ikut Guru." Satrya maju dan berlutut, Akhza yang belum sempat menjawab itu tercengang jadinya. "Aku sudah bersumpah untuk setia hidup sampai mati pada Guru!"
"Murid bagus, murid bagus!" Darmono tertawa. "Akhza, kau tentu ikut bersama kami bukan?"
Akhza menatap tajam pada gurunya. "Tidak. Itu bukan kebaikan, tidak seperti apa yang pernah Guru ajarkan dulu."
"Itu pandanganku di masa lampau yang sangat naif. Aku selalu berpikir bahwa berbuat jahat adalah suatu kenistaan, tetapi kini aku sadar bahwa kejahatan hanya sebuah perbedaan, yang bukan berarti tidak dapat dibenarkan. Terserahlah padamu, manusia berhak memilih. Satrya, mari kita pergi sekarang pula. Diriku ada janji temu hari ini, biar kuajak dirimu melihat dunia."
"Satrya, desa masih membutuhkan kita. Apa yang kaulakukan?!" Akhza menyela resah. Ditatap sahabatnya itu dengan sepenuh pengharapan.
"Aku tidak akan mengkhianati sumpah setia." Satrya memandang kosong ke arah Akhza.
"Tapi kita juga memiliki janji setia pada desa!"
"Aku tidak pernah sekalipun berjanji pada desa."
"Oh, baiklah! Jika begitu, kau pernah berjanji padaku, janji sehidup-semati!"
Kini Satrya menatap langsung ke arah mata Akhza dengan lebih serius. "Jika kau mati, aku juga akan mati. Janji itu akan tetap aku pegang."
Akhza ingin membalas, tetapi perkataannya itu tersangkut di lidahnya. Terdiam. Tak berkutik. Darmono juga sudah berkata lebih dulu. "Kalau kau masih berani menahan muridku, maka aku akan berubah pikiran."
Akhza tetap diam. Satrya dan Darmono pergi begitu saja. Akhza masih belum bisa menerima apa yang seharusnya menjadi sebuah kenyataan, ini sungguh di luar perkiraannya. Satrya telah ia anggap sebagai saudara kandungnya sendiri, tapi sekarang dia dengan begitu mudah meninggalkannya begitu saja.
"Mengapa? Mengapa? Mengapa?" Akhza jatuh bersimpuh. "Mengapa waktu berlalu begitu cepat? Mengapa sesuatu yang seharusnya aku tahan, justru berlalu dengan teramat cepat?"
Akhza tidak mau menangis. Dia bukan pemuda yang mau dilihat lemah, meski kini sungguh tidak akan ada yang melihatnya menangis. Berada tempat ini akan membuatnya menangis. Ia keluar dari hutan, bermodalkan insting semata. Dan dalam beberapa minggu saja, ia berhasil menemukan jalan kembali ke desanya.
Sebuah desa di mana dia berharap ibunya akan memberikan semangat atas kekosongan besar di hatinya saat ini.
Atau mungkin tidak.
Desa yang ia kenal dulu kini tinggal puing tiada bernilai. Tak ada yang berdiri lagi di sini selain sebatang pohon yang tinggi menjulang. Seluruh bangunan runtuh, menjadi arang-arang yang sudah lama bersemayam di sana. Manunggal dengan tanah.
Akhza bersimpuh lalu menangis di depan tumpukan tulang belulang yang menggunung. Ia tahu bahwa para perampok tidak kenal ampun. Tidak ada yang bisa diselamatkan. Satrya dan ibunya sudah pergi.
Akhza yang dulu dikenal sebagai pribadi periang kini telah hilang sepenuhnya, dan jika pun ia riang, itu hanyalah sandiwara. Ia berkelana, tapi dalam diam. Melewati jalan persilatan yang sepi dan sunyi sebagai seniman pilih tanding. Ia bergabung dengan aliran putih dalam pergerakan menumpas perampok-perampok aliran hitam agar tidak ada anak lain yang mengalami nasib buruk seperti dirinya.
Berkat kekuatan Prana, Akhza berhasil bertahan hidup lebih dari seratus tahun. Kemampuannya luar biasa dan semakin meningkat di setiap pertambahan umurnya. Bahkan tanpa Akhza sadari, dirinya berhasil mendapat gelar sebagai pranor[1] terkuat di Jawa, tapi tidak sedikit pun Akhza peduli dengan gelar itu.
Selama lebih dari 100 tahun itu, sifat Akhza mengalami perubahan. Ia kembali menjadi pribadi yang periang, dan selalu tersenyum pada setiap orang baik yang ditemuinya.. Namun, riang bukan berarti hatinya tidak lepas dari kekosongan besar, kepergian ibunya dan Satrya masih terus berdampak bahkan hingga seratus tahun lamanya.
Hingga pada suatu pagi di saat-saat yang sudah rawan terjadinya perang antara aliran putih dengan aliran hitam, Akhza mendapat undangan dari Satrya yang tetiba saja muncul ke telaga persilatan dengan gelar sebagai seniman bela diri terkuat di Jawa yang menandingi gelar Akhza.
Undangan itu menyatakan bahwa dia menantang Akhza untuk bertarung sampai mati dengan penuh kehormatan di Gunung Loro Kembar.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Akhza yang telah begitu lama tidak bertemu Satrya menjadi haru bukan main. Kekosongan hatinya yang dia kira telah hilang untuk selamanya, ternyata masih memiliki harapan untuk disembuhkan. Dengan sangat senang hati, Akhza berangkat ke Gunung Loro Kembar tanpa terlalu memikirkan soal tantang bertarung itu. Dia hanya ingin bertemu Satrya!
Dan kejadian yang sudah ia prediksi sebelumnya itu memang benar terjadi. Ia berhasil membunuh Satrya, tapi dirinya sungguh tak merasa bersalah. Betapa sebentar lagi ia akan menyusul saudaranya itu.
___
Catatan:
[1] : Dalam novel Seni Bela Diri Sejati, pranor adalah orang-orang yang mengembangkan tenaga prana sebagai jalan bela diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Alfi Ghaf
berada di tempat ini
2022-12-03
2
Haniv Anwar
thor kau mengingatkan ku akan betapa kecilnya diriku di hadapan ibuku walau nyatanya aku dah gede tapi tetep bocah kecil di mata ibuku 😍
2022-11-13
1
udin_seblak
misteri darmono... 🙏👍
2022-10-18
0